Get Stories: http://mawarberduri99.blogspot.com

Wednesday, December 25, 2013

LELAKI KALAH

Aku tidak mengerti, mengapa aku selalu mengalah. Tepatnya, selalu kalah. Padahal aku laki-laki, yang seharusnya menjadi pimpinan dalam sebuah rumah tangga. Kenyataannya, aku selalu di bawah. Aku diam, padahal bukan pendiam. Aku tidak bisa marah, padahal aku bisa. Aku membisu, padahal hatiku berkata-kata, mengata-ngatai, dan terus bicara. Aku kalah. Aku lelaki kalah. Aku terpecundang oleh keangkuhan istriku sendiri.

Takut kepada istri? Mungkin itu predikat yang teramat pantas untuk diriku. Statusku sebagai suami hanya sebatas legal formal. Tidak lebih dari sebuah pajangan bunga di atas meja kamar tamu. Atau malah jauh lebih rendah dari itu. Terkadang timbul di benakku, "Aku ini lelaki apa?" Entahlah! Aku suami yang takut istri. Meski hatiku selalu berontak, namun hal itu hanya di angan saja. Realitasnya, aku hanya diam. Diam dan diam.

Sementara, istriku adalah perempuan yang punya segudang kata. Tanpa ada permasalahan yang pasti, ia terus nyerocos. Aku yang salah lah. Aku tidak begini, tidak begitu. Mengapa begitu, tidak begini. Aku lelaki banci, tidak becus ngurus anak. Tidak ini lah, tidak itu lah. Dan,...terus saja kata-kata itu meluncur dari bibirnya yang tipis, sinis.

Istriku memang cantik, meski tidak cantik amat. Tetapi, kecantikannya akan sirna begitu saja, andai saja Anda tahu kelakuan buruk istriku. Dia tidak mengenal waktu, situasi, dan kondisi. Bahkan, meski ada temanku di rumah, jika ia lagi kumat, maka cacian, kata-kata kotor, dan makian terus saja meluncur dari mulutnya. Hingga, temanku yang sedang berkunjung tidak enak sendiri.

"Hans, aku pulang saja ya!" Begitu biasanya temanku berkata padaku. Di rumahku, keharmonisan hanya sebatas wacana, dan hayalan belaka.

Aku lelaki kalah. Sekali saja aku bicara, maka istriku akan membalasnya dengan puluhan kali. Atau bisa ratusan, bahkan ribuan. Dengan emosi yang meledak-ledak. Tinggi berapi-api. Hingga matanya memerah, ludahnya muncrat ke mana-mana. Ia mau menang sendiri. Seribu alasan, bahkan yang tidak logis sekalipun, untuk membenarkan dirinya sendiri. Ia juga mau benar sendiri. Meskipun ia nyata-nyata salah, ia berlindung di balik kata-katanya yang pedas dan tajam. Menusuk jantung hatiku.

"Kenapa tidak Kauceraikan saja wanita seperti itu," suatu hari Faqih, temanku bicara padaku. Ia turut geram ketika aku curhat tentang rumah tanggaku.
"Bukan aku tidak mau, Qih. Tapi aku juga memikirkan Anis, putriku."
"Daripada makan hati?" Faqih masih agak emosi.
"Ya juga sih!"
***


Rumahku surgaku. Seharusnya begitulah konsep dalam sebuah keluarga. Tetapi apa nyana? Kenyataannya, rumah bagiku tidak ubahnya sebuah neraka. Suasananya begitu gerah, panas, dengan kondisi rumah tangga yang berhaluan darah tinggi. Seringkali aku hanya diam, kalah, atau mengalah. Tetapi, diamku tidak serta merta membuat istriku juga diam. Malah semakin menjadi-jadi. Pintu yang ditutup dengan kasar, peralatan dapur yang terbanting, atau benda apa saja yang tiba-tiba terbang dan pecah. Huh, begitu suasana rumah yang teramat kolbas[1].

Maka, Anis, anakku satu-satunya, putri semata wayang tidak betah di rumah. Setelah pulang sekolah, sehabis makan, biasanya ia pergi. Entah ke mana perginya. Mungkin ke rumah temannya, juga bisa jadi ke rumah saudara sepupunya. Aku juga kurang perhatian. Aku dipaksa abai terhadap anak sendiri, oleh ulah istriku yang sudah kelewat batas. Hatiku, terkadang menangis.

Tidak dengan istriku, ia tetap dalam keangkuhannya. Kesombongannya telah menutupi setiap salah yang ia perbuat. Tidak terbersit sedikit pun penyesalan. Bahkan ketika Anis, sudah tidak betah di rumah. Ia hanya melenguh dengan tatapan miris di hadapanku.

"Itu salahmu sendiri!" Angkuh dari mulut istriku. Benar-benar menjijikkan.

Istriku melimpahkan semua salah padaku. Aku jadi stress. Batinku terperangkap di kubang neraka yang diciptakan istriku. Aku kalah, aku mengalah. Aku menekan dadaku sendiri yang tiba-tiba sakit bagai hantaman martil. Aku juga tidak tahu apa yang harus aku perbuat. Aku tidak kerasan di rumah. Aku muak dengan situasi di rumahku sendiri.

Maka, jika Anis merasa sumpek, tidak betah di rumah, aku pun demikian. Aku seringkali melakukan kesibukan di luar rumah. Bertandang ke rumah teman sampai larut. Jika sudah demikian, istriku biasanya sudah tidur. Jadi tidak ada keributan. Aku pun tidur di kamar sebelah atau kamar tamu. Hem, benar-benar keluaga yang berantakan.

Tetapi, esok paginya, perang itu akan ditabuh bertalu-talu. Keras, sekeras-kerasnya. Tanpa henti, berdentam bersama menepinya tirai malam. Lama-lama aku tidak kuat. Aku tidak mampu bertahan, diam. Cekcok pun terjadi. Lebih kencang, keras, dan tak ada jeda. Haruskah rumah tangga ini dipertahankan?

"Kita bercerai saja!" Aku lontarkan kalimat itu dengan luapan emosi. Aku sudah tidak mampu, tidak kuat mempertahankan keutuhan rumah tangga yang bagaikan neraka.

"Tidak akan ada perceraian itu! Aku belum puas membuatmu lebih sengsara!"

Apa? Membuatku sengsara? Salah apa aku? Aku tidak paham dengan apa yang diinginkan istriku. Mengapa ia ingin aku hidup sengsara. Tidakkah seharusnya, suami istri itu saling berbagi. Saling menyinta dan berbagi kasih? Oh my God! Apa-apaan ini?
***

Mempertahankan rumah tanggaku adalah seperti menggenggam api. Begitu jauh, seperti langit dan bumi. Bagai barat dan timur, yang tidak mungkin menjadi sebuah persimpangan. Mustahil dan teramat tidak mungkin. Aku sudah tidak peduli. Aku harus menikah lagi. Dengan wanita yang menerima aku apa adanya. Mencintaiku dengan segenap jiwanya. Tidak perlu cantik, tetapi hati yang menerima, bersyukur, jauh lebih bisa dinikmati dari hanya sekadar kecantikan fisik. Tanpa persetujuan istriku, aku akhirnya menikah lagi. Seorang wanita sederhana. Kecantikannya, gaya hidupnya, penampilannya, dan kepribadiannya juga bagitu sederhana. Aku mencintainya, sebagitu ia mencintaiku. Aku hidup bersama, bahagia, di sebuah rumah yang teramat sederhana.

Aku ajak Anis bersamaku. Bersama ibu tirinya. Ia pun mau dan menerima ibu baru sebagai ibunya. Ada rasa haru yang tak tertahan, ketika melihat anakku dan istri baruku bercengkrama, layaknya seorang ibu dan anak yang sesungguhnya. Kutemukan surga itu di sana. Di petak rumah yang bersahaja, di kedamaian hidup yang sesungguhnya.

Akhirnya, aku bercerai dengan istri pertamaku. Tidak ada gunanya mempertahankan rumah tangga yang tidak harmonis. Selalu cekcok dan tidak saling menghormati. Rumah tangga yang seperti ini, tidak perlu dipertahankan. Biarlah kita mencari kebahagiaan masing-masing.

Terakhir aku dengar, katanya mantan istriku ada di sebuah lokalisasi. Tidak penting bagiku, di mana pun ia berada. Aku sudah bebas dari tanggung jawab. Apa pun yang ia perbuat, di luar kekuasaanku. Ia bertanggung jawab pada dirinya sendiri. Hanya saja, masih terngiang kata-katanya dulu, selagi aku masih bersamanya.

"Tidak akan ada perceraian itu! Aku belum puas membuatmu lebih sengsara!"

Aku terkadang jadi was-was sendiri, jika kata-kata itu benar adanya. Tapi, aku berserah diri kepada Tuhan. Semoga, aku, anakku, dan istriku kali ini selalu dalam lindungan-Nya.
***

Waktu terus berlalu, membawa ragam kisah manusia di seluruh dunia. Bermacam persoalan yang akan meninggalkan jejak sejarah, manis-pahit, hitam-putih, sedih-gembira, dan lain semacamnya. Berbilang masa, dan jejak-jejak kita semakin terlihat nyata di dalam kehidupan dunia ini. Aku masih terus berkubang di belantara kekalahan yang tak kunjung berakhir.

Tiba-tiba saja aku menderita sakit yang tidak diketahui asal usulnya. Di sudut perutku bagian kiri, terasa diaduk-aduk. Sakit luar biasa. Tidak seperti sakit biasa. Seperti terdapat berlaksa duri yang mencengkeram perutku. Sudah berkali-kali aku memeriksakan diri ke dokter. Dokter tidak menemukan penyakitku. Tiap kali aku memeriksakan diri, dokter bilang tidak terdapat apa-apa. Tidak ada penyakit yang terindikasi secara medis. Tetapi, aku sendiri yang merasakan sakit, terus berasa dalam sebuah penderitaan yang teramat sangat. Sakit yang tak tertahankan.

“Penyakit apa Dok?” suatu hari setelah sekian kali aku memeriksakan diri. Sambil menahan rasa sakit yang luar biasa. Sekan aku tidak mampu bertahan, ingin mati saja rasanya.
“Tidak ada penyakit medis yang Saudara derita,” Dokter Burhan pun heran. Ia seakan tidak percaya terhapa kenyataan yang ia hadapi.

Dengan tangan hampa, aku pulang. Istriku dengan setia menemaniku. Memberikan motivasi dan dorongan, bahwa setiap penyakit pasti ada obatnya. Dengan jalan yang mungkin tidak bisa kita prediksi. Dengan cara yang tidak kita sangka-sangka. Istriku mengajakku untuk lebih dekat kepada Tuhan, Allah swt. Malam-malamku pun selalu aku gunakan untuk bermunajat kepada-Nya.

Anis, anakku belum tahu keadaanku. Setelah lulus dari SMP, ia melanjutkan ke sebuah Pondok Pesantren. Ia sendiri yang menghendaki. Entah tahu darimana, informasi tentang pondok yang ia inginkan. Aku dengan perasaan senang yang meluap-luap, menyetujui keinginan Anis. Di pondok, ia bisa belajar ilmu Agama. Belajar segala pengetahuan yang ingin ia dalami. Termasuk juga etika bergaul, hubungan antara orang tua, guru, tetangga, dan lain sebagainya.

Ada yang bilang aku terkena sihir. “Sihir?” gumamku dengan perasaan tidak menentu. Aku begitu awam dengan ilmu hitam, santet, gendam, dan sebagainya. Sihir, salah satunya yang semula tidak pernah aku bayangkan.

“Mungkin istri pertamamu masih sakit hati,” beberapa kerabat dan tetanggaku bilang seperti itu.
“Benarkah?” Hanya itu yang keluar dari mulutku, sebagai ketidakpercayaan atas penyakit yang aku alami. Sungguh, semula aku tidak percaya dengan sihir. Tetapi pada akhirnya aku pun bisa mengetahui bahwa sihir itu nyata. Benar adanya. Bahkan Rasulullah saw pernah disihir oleh Lubaid bin al A’shom al Yahudi, sehingga Rasulullah saw menderita sakit. Kemudian Allah swt menurunkan surah al-Falaq dan Annas sebagai obatnya.

Hingga pada suatu ketika, saat sakit itu begitu meremukkan tubuhku, aku merasakan sesuatu yang tidak baik. Seakan ajalku sudah akan tiba. Maka, aku ingin sejenak, biar hanya sebentar untuk bertemu dengan Anis, anakku satu-satunya. Sebelum ajalku tiba, aku ingin memeluknya. Ingin mengatakan kepadanya, bahwa aku sangat menyayanginya, mencintainya dengan segenap jiwa dan raga.

Anis pun diparani ke pondoknya. Ia datang dengan perasaan yang hancur. Selama ini, ia tidak tahu kalau ayahnya dalam keadaan sakit. Bahkan, hingga saat-saat yang sangat mendebarkan. Anis menangis di pangkuanku. Aku berbisik kepadanya. Dengan perasaan yang sungguh menghancurkan hatiku. Aku masih ingin tetap bersamanya. Sampai ia dewasa, mandiri, dan mendapatkan jodoh yang ia cintai, dan mencintai Anis apa adanya.

“Anakku, tidak usah sedih. Ayah masih tetap akan terus bersamamu,” dengan linang air mata yang tak tertahankan. Tumpah membanjiri kedua pipiku. Anis semakin erat memelukku.
“Jangan pergi Ayah!” Hanya itu kalimat yang keluar dari mulut anakku.

Tiba-tiba Anis melepaskan pelukannya. Ia kemudian pergi ke kamar mandi. Rupanya, ia mengambil air wudhu’. Benar saja, tidak lama kemudian ia membawa al-Quran dan membacanya di sampingku.

Suara Anis mengalun indah. Meresap di antara desah kesakitanku. Lambat laun, suara ayat-ayat Allah swt itu merasuki pori-pori keimananku. Hatiku bergetar hebat. Merasakan nikmat yang luar biasa. Seakan-akan, sakit yang selama ini aku derita berangsur menghilang. Menyelusup di antara ayat-ayat Quran yang dibacakan anakku. Anis terus saja membaca. Ayat demi ayat. Entah firasat apa yang telah merasuk dalam pikiran anakku. Hingga ia bermaksud untuk menyembuhkan penyakitku dengan ayat-ayat al-Quran. Dengan kehendak Allah swt.

Anis menghentikan bacaannya. Aku berpaling kepadanya. Ia tersenyum, aku pun menyambutnya dengan senyum. Ada riak-riak bahagia di antara aku dengannya.

“Ya Allah, terima kasih, telah Engkau anugerahkan kepadaku Putri yang sholihah,” suaraku bergetar, kebahagiaan muncul bersama hilangnya penyakitku, perlahan-lahan. Alhamdulillahi Robbil ‘Alamin.

Sumenep, 25122013
***







[1] Bahasa Madura, artinya panas sekali.

Friday, November 22, 2013

HUJAN REMBULAN

HUJAN, selalu saja menyisakan air mata. Ada duka, hati yang kian mengulum derita. Entahlah. Waktu tak mampu membuang hujan bergerimis darah. Tetesan hujan begitu menghunjam. Memoranda sekeping hati yang kian kerontang.
 
"Aku benci hujan," pekikku saat itu. Ketika malam berkalang awan hitam. Dan rintik hujan mulai menghantam bumi.
"Hujan adalah hidupku," ujar rumput kering di sekeliling.
"Hujan adalah deritaku."
"Hujan adalah riak jantungku."
"Hujan adalah laraku."
***
 
Malam itu bulan begitu sempurna. Beberapa bintang menghias kelam. Langit cerah. Tak sekelebat awan pun berarak di langit jingga. Aku dan Nilam menikmati suasana malam. Melihat bintang jatuh atau sekadar memperhatikan bias cahaya rembulan.
 
"Mas, jika langit adalah cinta, dan bulan adalah rindu, maka cinta dan rinduku hanya ada untukmu," kata-kata Nilam masih terngiang malam itu.
"Aku pun begitu, Nilamku. Jika Engkau malam, maka kelam adalah selimutku. Engkaulah purna kasih seantero jagat," desahku di telinga Nilam. Begitu dekat, serasa napasku adalah napas Nilam. Dan napas Nilam adalah jiwa dan rohku.
 
Begitu, sari kerinduan cinta berdiri kokoh antara aku dan Nilam. Ada bongkah-bongkah asmara yang tidak hanyut oleh hujan kemarau. Angin malam begitu sepoi. Bias cahaya bulan masih terus berbayang. Nilam merebahkan kepalanya di pangkuanku. Darah mendesir, memuncak di dindang hati. Berkelana di alam mimpi.
 
"Nilam adalah gelora jiwaku," bisikku pada malam. Pada angin. Pada ilalang yang bergoyang direngkuh kelam. Pada Nilam, kekasih hati penyejuk jiwa.
"Love is my flower night," bisik Nilam. Matanya jatuh menghunjam hatiku.
"You're my sun in my night," aku tak kalah agresif dalam bisik-bisik cinta.
***
 
Bulan masih bertahta. Menghias malam dengan sinar emasnya. Begitu indah dan sempurna. Sesempurna antara cintaku dan cinta Nilam, kekasihku. Aku bercermin pada malam. Nilam berpeluk kelam. Di antara desau angin malam. Di telapak sang waktu. Di setiap getar-getar bibir cinta.
 
"Don't leave me, kekasihku!" Kata Nilam merajut berkas bulan.
"I don't want leave you, cintaku!" Jawabku parau. Memburu kelopak rindu. Menjejak safari asmara.
 
Malam masih bersulam rembulan. Sinarnya begitu indah. Damai, sedamai antara buru napasku dan napas Nilam. Kami mahsyuk dalam dekap cinta abadi.
 
Tiba-tiba.
Kelebat awan begitu sempurna. Menghapus cahaya bulan. Kelam pun menghantar petang. Gelap, tak secuil pun cahaya.
 
"Seperti mau hujan, Mas?" Kata Nilam kacau.
"Sepertinya," jawabku galau.
"Kita pulang saja," ajak Nilam dengan getar suara.
"Tunggu,..." Jawabku ragu.
***
 
"Geletarrrrrrr...." Begitu tiba-tiba. Halilintar menggelegar. Dahsyat. Cahayanya membelah malam.
 
"Nilam!" Juga dengan sangat seketika. "Keparat Kau, kampret!" Lanjutnya dengan gemuruh amarah. Aku terkejut. Benar-benar perasaan kalut.
"Papa,..." Kata Nilam pada malam. Pada hujan yang tiba-tiba mencurah. Lebat.
 
Aku hanya melongo. Ketika tubuh kekar itu merenggut Nilam dari hadapanku. Hujan masih terus saja bergemuruh. Petir menyambar-nyambar alam sekitar.
 
Di antara derai hujan. Di dalam gelap malam. Di batas gelegar halilintar. Di depan mataku. Di hadapanku. Aku menyaksikan Nilam diseret. Ditampar, ditendang. Digelandang di atas kecipak air hujan. Nilam menjerit.
 
"Tolooo....ng!"
 
Darah mengucur dari tubuh Nilam. Jeritan dan lolongan Nilam menyayat hati. Aku hanya melongo. Tidak bisa berbuat apa-apa. Aku benci diriku sendiri. Aku mengutuk diriku sendiri. "Mengapa aku hanya diam? Mengapa aku tidak berbuat? Berbuat untuk Nilam, kekasihku?"
 
Masih terngiang di ingatanku. Jerit kesakitan Nilam. Di antara deras hujan dan pecahan petir. Setelah malam hujan itu. Setelah tubuh Nilam terbanting di batu-batu. Di setiap tetes hujan, dan di antara kilat cahaya halilintar. Nilam pergi entah kemana. Ia menghilang bak ditelan bimi. Hanyut oleh bah hujan. Tenggelam di antara kelam malam yang berakhir tetesan darah.
 
"Nilamku, datanglah padaku. Di sini, di bawah sinar rembulan, aku setia menunggu."
***
 
Hujan pun reda. Tapi bayangan Nilam yang menjerit kesakitan masih terus membayang. Darah itu, air mata itu, jeritan itu, lolongan itu, dan hujan itu. "Aku tak berharap hujan dalam hidupku," lemas aku berbisik menahan napas. Satu-satu lepas, melayang menuju surga firdaus. Di sana, senyum Nilam menunggu.
 
Hujan masih menetes satu-satu. Membentuk irama tik-tak-tik dari atap rumahku. Aku terpekur di antara titik-titik hujan. Merenung, teringat dengan Nilam kekasihku.
 
Tapi, sudah sekian lama ia menghilang. Tak tahu rimbanya. Sejak hujan deras di malam itu. Sejak ia menjerit minta tolong. Sejak ia dicampakkan dan dibanting di tengah hujan.
 
Semua telah sirna. Berakhir dengan ketiadaan. Bermula dengan cinta. Berakhir dengan darah nostalgia. Aku hanya mampu meneteskan air mata. Air mata hujan. Air mata untuk Nilam yang hilang entah kemana.
 
"I am here, my heart," tiba-tiba Nilam tersenyum di depanku.
"Hahh, Nilam? Is it real?" Desahku tidak percaya.
"Benar Mas. Aku di sini. Di depanmu," Nilam meyakinkanku.
 
Tidak habis pikir. Mengapa Nilam tiba-tiba ada di depanku. Ini nyata atau ilusi?
"Aku hanya ingin ngasih tahu sesuatu," Nilam menjelaskan.
"Tentang apa cintaku?"
 
Kemudian Nilam panjang lebar menjelaskan. Bahwa ia masih ada untukku. Dalam setiap sisi hidupku. Di antara hujan. Di antara gerimis yang senantiasa turun. Menetesi bumi.
"Maka, jangan pernah takut hujan," akhirnya Nilam mengatakan pokoknya. "Karena di antara tetes hujan itu, Nilam bernostalgia bersama cinta dan rindumu!"
 
Tidak berapa lama, tiba-tiba hujan menderu. Halilintar menggelegar. Aku keluar menemui tetesnya. Bermain dengan gemerciknya. Bercumbu dengan kecipak airnya. Seperti yang diinginkan Nilam.
 
"Nilaaa....mmm, aku di sini, di antara hujanmu yang Kau tercampakkan karenanya!"
***
 
Oleh: Rusdi Umar
Penulis bisa dihubungi di mailto:rusdiumar@gmail.com

NYANYIAN KEMATIAN


Aku memagut-magut diriku di depan cermin. Pantulan bayang itu pun begitu sempurna. "Aku memang cantik," kataku dalam hati. Ada rasa percaya diri yang berlebih. Hingga rasa sombong pun membuncah, memenuhi relung hatiku. Maka, korban pun berjatuhan.

Malam itu, rembulan begitu sempurna. Purnama. Sinarnya menembus pekatnya malam. Aku menyusuri jalan setapak, di taman itu. Taman kota yang begitu ramai di malam purnama seperti ini. Meski sinar bulan itu berpacu dengan gemerlap cahaya lampu listrik. Tapi, sebagian orang masih menikmatinya. Apa lagi, di tempat remang ini.

Seorang laki-laki gagah menghampiriku. Rupanya ia sudah paham siapa aku. Kupu-kupu malam. Tawar menawar pun terjadi.

"Bayar di muka," aku berbisik kepadanya. Wajahnya lumayan tampan. Masih muda. Sudah terlihat buru nafasnya mulai meruah.
"Tidakkah seharusnya pasca main?"
"Tidak," jawabku tegas. Ia pun mengeluarkan dompetnya yang lecek.
***

Malam itu purnama ikut tersenyum. Bukan, bukan hanya tersenyum, tapi malah terbahak. Permainan pun sudah dimulai. Gerimis kematian menghunjam jantung bumi. Anyer darahnya menembus cakrawala malam.

Malam itu pun geger. Ketika  beberapa orang menemukan tubuh tak bernyawa. Tewas entah sebab apa. Matanya mendelik. Seperti menahan siksa yang luar biasa. Tidak ada luka. Tidak ada bekas apa pun yang dapat dijadikan indikasi sebagai siksaan, sebelum kematian. Di balik bayang rumpun bunga taman, aku tersenyum lebar.
***

"Mati dengan tiba-tiba?" Kata seseorang sambil sendekap memperhatikan mayat yang dimasukkan ke ambulan.
"Ya. Kenyataannya demikian," jawan yang lain.
"Kok bisa ya?"
"Entahlah. Emang aneh kok," jawabnya lagi.

Korban terus saja berjatuhan. Dimana-mana dan kapan saja. Malam, siang, sore, atau dini hari. Baik lelaki remaja, dewasa, setengah umur, atau pun sudah lanjut usia. Korban terus berjatuhan. Satu-satu nyawa bergelimpangan. Masih berupa misteri. Tidak dipahami mengapa bisa terjadi.

Aku masih terus saja dengan permainan ini. Permainan maut. Dengan modal cantik. Dan sedikit pasang aksi. Banyak sudah lelaki yang terpikat. Terjebak dalam pelukan kematian. Tiap detik adalah nyawa yang mungkin bisa melayang.

"Kemana Sri?" Rina tetanggaku menyapa saat aku keluar rumah. Mencari mangsa, korban. Atau hanya sekadar jalan-jalan.
"Hanya jalan-jalan kok," jawabku sekenanya. Tentu dengan senyum mautku. Senyum, yang sudah banyak meminta korban.

Menjelang malam. Senja mulai bertabur bintang. Aku duduk di depan rumah. Dua orang lelaki lewat. Lelaki hidung belang, penjaja cinta. Atau lelaki di gelap malam.

"Haii,..." Aku menggoda. Dengan segala pikat yang aku punya. Nampaknya, mereka masuk dalam perangkapku.
"Haii juga. Lagi ngapain?" Basa-basinya.
"Menunggu kalian," manja jawabku.

Mereka pun terjebak pada geliat kupu-kupu malam. Terperangkap di antara kepingan cinta yang gelap, palsu, dan menjaring kematian. Di depan rumahku, ada sebuah rumah tua. Kosong. Dan terlihat angker. Di sanalah tragedi berikutnya terjadi.

Pagi-pagi sekali, di rumah tua itu geger dengan kematian dua pemuda. Matanya terbuka lebar. Yang satunya lagi, lidahnya menjulur. Tidak ada tanda-tanda kekerasan. Misteri kematian.

Dari balik jendela, aku melihat kerumunan orang. Aku tersenyum. Senyum kemenangan. Tawa kegirangan. Korban pun berjatuhan. Entah sampai kapan.

Aku adalah Sri. Ya, hanya Sri. Orang-orang pun hanya memanggilku dengan nama Sri. Aku sebatang kara. Keluargaku meninggal semua. Dengan cara yang tidak wajar. Sangat mengenaskan.

Ayahku diketemukan di dalam sumur tua. Kedua tangannya terikat. Ada banyak bekas luka. Bekas siksaan. Entahlah. Sampai detik ini tidak dikatahui pelakunya. Polisi pun menyerah. Tidak mampu menemukan orang yang telah berbuat jahat terhadap ayahku.

Ayah orang baik. Tidak pernah berbuat salah terhadap orang lain. Rupanya, sang pembunuh mengincar uang di saku ayah. Terbukti uang sebesar lima juta, hasil menjual sapi, lenyap tak berbekas.

Berbeda dengan ibu. Ibu mengalami kekerasan seksual. Kecantikan ibu telah mendorong beberapa orang untuk berbuat senonoh. Mereka, para durjana itu membawa paksa ibuku ke sebuah kebun sunyi. Ibu mencoba berontak. Tetapi tenaga ibu tidak ada apa-apanya. Mereka memperkosa ibu hingga ibu tewas. Kali ini polisi berhasil menangkap seluruh pelakunya, sebanyak tujuh orang, dan menjebloskan mereka ke dalam penjara.

Adikku, yang baru berumur 6 tahun, juga tak luput dari kematian tragis. Untuk adikku ini, aku tidak dapat menceritakannya. Terlalu gamang dan sadis untuk kuceritakan. Aku bahkan selalu berbanjir air mata, tiap kali teringat tragedi tragis adikku. Biarlah menjadi kemelut hatiku, yang akan kujadikan lecut amarahku.

Ilmu hitam pun menjadi sasaranku. Aku berteman iblis. Memuja jamah jemari setan. Sihir dan guna-guna telah mendarah dan mendaging. Maka korban pun terus berjatuhan.

"Meninggal? Siapa yang meninggal?" Kasak kusuk orang-orang membicarakan tragedi maut. Semalam.
"Tetangga desa sebelah," jawab yang ditanya.
"Kenapa emangnya?"
"Gak tahu juga. Sudah tidak bernyawa saat diketemukan orang-orang."
"Ada bekas aniaya?"
"Gak ada."
"Aneh!"

Di antara kerumunan, hatiku tertawa lepas. Lega dan puas. Itulah yang aku harapkan. Melampiaskan kekesalanku pada para hidung belang. Biar aku lepas dari bayang-bayang tragis hidupku. Aku ingin mencari mangsa sebanyak-banyaknya. Mencampakkan mereka ke jurang kebinasaan. Biar luka hati ini terpecah, untuk mereka yang merelakan segala macam cara. Menghalakan yang haram, atau mengharamkan yang halal. Binasalah Engkau, wahai para penjahat kelamin.

Aku ingin tetap tegak. Dengan ilmu hitamku. Dengan segala dosa-dosaku. Aku tetap setia. Kepada iblis. Kepada setan. Kepada maksiat dan kemungkaran.

"Inilah aku," ucapku keras-keras. Sang pemuja kematian. Bagi mereka yang berhati belang. "Tunggulah kedatanganku," masih dengan api kebencian. Masih dengan derap sombong dan keangkuhan. Sebagai balasan, dendam, dan gemuruh hati yang tercampakkan.

Nyanyian kematian. Terus saja berdendang. Bergemuruh di antara gelap malam. Di bawah terang bulan. Bahkan di siang bolong. Mereka menjerit, melolong, mengaduh, menghembuskan nafas terakhirnya, dan merobek kafan kematian.

Sumenep, 17112013

Tuesday, May 7, 2013

AWAN KELABU TELAH SIRNA



Pipiet yang cerdas. Cantik dan tidak manja. Seorang anak berumur dua belas tahun. Sekarang masih duduk di bangku SMP. Dengan rajin ia bangun pagi. Mengerjakan pekerjaan harian tanpa pamrih. Ia melakukannya dengan ikhlas. Menyapu halaman, mengisi air bak mandi. Membersihkan kamar. Dan melayani adiknya, Andika, yang masih berumur empat tahun.

Pipiet kini hidup sendirian. Ibunya telah pergi dua tahun yang lalu. Pergi untuk selamanya. Karena suatu penyakit yang tidak diketahui. Karena ia tidak pernah memeriksakan diri, baik ke Puskesmas atau Rumah Sakit. Masih sering teringat pesan ibunya, selagi beliau masih hidup.

“Piet, gunakan waktumu dengan sebaik-baiknya,” suatu ketika, saat Pipiet dan ibunya serta adiknya lagi duduk-duduk di beranda rumahnya yang sangat sederhana. “Jangan lupa untuk selalu belajar. Karena kalau kamu pinter akan menjadikan derajatmu terangkat.” Lanjut ibunya dengan lembut. Sambil menyitir sebuah ayat yang ia dengar di suatu pengajian.

“Allah mengangkat orang-orang yang beriman di antara kalian, dan orang-orang yang memilki ilmu (pengetahuan), dengan beberapa derajat.”

“Iya Bu. Pipiet akan selalu ingat nasihat ibu.” Jawab Pipiet saat itu.

Suatu pagi di hari Minggu. Ayah Pipiet tiba-tiba mengatakan padanya bahwa dia akan pergi. Pergi untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Untuk mencari uang demi sekolah Pipiet dengan adiknya.

“Ya Nak. Ayah akan pergi untuk mencari penghidupan yang lebih baik.”
“Jadi aku akan hidup sebatangkara?”
“Tapi ini juga demi kamu, Nak!”
“Pipiet mengerti Ayah. Tapi ....”
“Ayah yakin, Pipiet dapat menjaga diri dan adiknya,” potong ayah saat itu.

Pipiet tidak bisa berkata-kata lagi. Ia menyadari keadaan ayahnya jika ia terus tinggal di kampungnya. Tidak ada yang bisa diharapkan. Akhirnya ia merelakan kepergian ayahnya. Harapannya, ayahnya akan mendapat rizki yang diinginkan.

Kini sudah enam bulan lamanya ayahnya pergi. Pipeit tidak tau, dimana ayahnya saat ini. Tidak ada kabar. Tidak ada pesan. Ayahnya pergi bagai ditelan bumi. Tapi untunglah, Pipiet bukan anak yang cengeng. Ia dapat melakukan apa saja untuk menghidupi dirinya dan adiknya. Andika, adik Pipiet juga anak yang penurut. Tidak pernah berbuat yang tidak-tidak. Bahkan anak empat tahun itu kadang membantu kakaknya, semampunya.

“Dika sudah belajar?” suatu malam Pipiet bertanya kepada adiknya.
“Sudah Mbak. Nih lihat Dika menggambar ayam.” Jawab Dika sambil memperihatkan buku kumal di tangannya.
“Wah, bagus sekali gambar ini. Kok tidak diwarnai?”
“Gak Mbak. Besok aja!” Kata Dika yang sudah kelihatan mengantuk.
“Ya sudah. Tidur saja sana!” Pipiet membujuk adiknya.
“Baik Mbak. Dika mau tidur aja. Mbak gak tidur juga?”
“Entar lagi. Dika tidur duluan gih,” lembut Pipiet berkata pada adiknya. Satu-satunya kepunyaannya. Satu-sastunya harapannya. Yang selalu menjadikan ia bergairah dalam setiap kerjanya.

Semenjak ayah Pipiet pergi, ia bekerja mencari uang sendiri. Bekerja apa saja. Yang penting halal dan tidak melanggar aturan. Baik aturan agama maupun aturan etika dalam kehidupan bermasyarakat. Menjadi pencuci baju tetangga. Membantu menanam di sawah. Atau sekadar bersih-bersih rumah orang lain. Dari pekerjaan itu, pipiet mendapatkan upah dan dapat menghidupi diri dan adiknya.

Di sekolah, Pipiet termasuk anak yang rajin. Ia anak yang cerdas. Dari kecerdasan dan kerajinannya, ia mendapatkan bantuan beasiswa. Tidak perlu lagi memikirkan uang untuk keperluan sekolah. Semua sudah ditanggung sekolah, termasuk juga pakaian seragamnya. Bahkan pipiet mendaptkan uang saku karena kemampuan logikanya.

Seringkali Pipiet mewakili sekolahnya dalam berbagai lomba. Beberapa hari yang lalu ia mewakili sekolahnya dalam lomba cerdas cermat mata pelajaran. Dan bahagiaanya, ia mendapatkan juara pertama dalam lomba tersebut. Tentu saja Pipiet meresa bahagia. Sayang sekali kebahagiaan itu tidak disaksikan oleh kedua orang tuanya.

“Ibu, Pipiet dapat juara lagi Bu.” Suatau senja saat ia nyekar ke makam  ibunya. Dari kedua matanya membanjir air mata. Tak terbendung. Membuncah karena suatu perasaan yang begitu mendalam. Adiknya bergelayut di pangkuannya. Dika belum terlalu paham apa yang terjadi pada dirinya.
“Mbak Pipiet kok nangis?” Dika kecil menghapus air mata Mbaknya. Pipiet sepontan memeluk adiknya, dan dalam perasaan gamang ada rasa damai ketika memeluk adik semata wayang.

Malam itu gerimis turun. Suasana begitu sepi, mencekam. Pipiet dan adiknya sudah dari tadi tidur. Musibah tidak ada yang bisa memprediksi. Pipiet yang cantik, cerdas, dan lembut ternyata ada orang bejat yang mengintai. Gerimis malam yang mencekam dijadikan kesempatan untuk melampiaskan bejatnya.

Dengan mengendap-endap, orang yang tidak diketahui identitasnya itu mencoba memasuki rumah Pipiet. Tidak terlalu sulit, karena rumah Pipiet hanya terdiri dari gedek yang mulai melapuk karena dimakan usia. Dan tanpa memberikan kesempatan lagi kepada Pipiet, ia mencoba untuk menindih tubuh mungil Pipiet. Tentu saja Pipiet terkejut. Ia berteriak, meronta, dan mencoba mempertahankan diri. Tapi tenaganya terlalu lemah untuk melawan tenaga lelaki biadap tersebut.

“Tolooo....ng!” Pipiet berharap kalau-kalau ada orang yang mendengarnya dan menolongnya. Tapi serasa sudah putus asa.

Dengan kekuatan yang tersisa, Pipiet meronta. Menerjang. Menendang dan mencakar orang jalang di hadapannya. Entah kekautan darimana? Sepertinya kekuatan luar biasa itu datang begitu saja.

“Allahu Akbar,....” Pipiet menerjang orang itu, dan ia terjengkang dan membentur tangga kayu di pojokan. Dan dalam sekejab, orang itu terkulai. Semaput, tak sadarkan diri karena benturan itu.

Di luar rumah. Tiba-tiba banyak tetangga yang berdatangan. Mereka membawa golok, celurit, pentungan, dan lain sebagainya. Pipiet tidak mengerti, dari mana orang-orang ini tau apa yang terjadi terhadap dirinya. Tiba-tiba adiknya, Dika, menyeruak di antara orang-orang yang berkerumun. Ternyata Andika-lah yang mengabarkan kejadian ini kepada para tetangga. Pipiet memeluk adiknya. Dan ia menagis bahagia. Lepas dari percobaan pemerkosaan oleh orang yang tidak bertanggung jawab.

Akhirnya orang yang mencoba memperkosa Pipiet itu digelandang ke kantor polisi. Setelah sebelumnya, tentu menjadi bulan-bulanan orang-orang marah atas perbuatannya.

“Terima kasih Dika. Engkau telah menyelamatkan Mbak!”
“Tapi Mbak kok bisa melawan orang itu?”
“Allah yang telah menolong Mbak!” jawab Pipiet sambil ber-hamdalah.

Tiga hari setelah kejadian itu ayah Pipiet datang. Ia membawa banyak oleh-oleh. Juga membawa cukup uang. Mendengar kejadian yang menimpa Pipiet, ayah berjanji tidak akan lagi meninggalkan Pipiet dan adiknya.

“Maafkan Ayah Nak. Ayah bukan tidak sayang padamu. Tapi keadaanyalah yang mengharuskan Ayah harus pergi.”
“Gak apa-apa Ayah. Pipiet dan Dika tetap mencintai ayah. Pipiet paham dengan keadaan Ayah yang pergi untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik.”
“Ayah berjanji, tidak akan lagi meninggalkan kalian!” akhirnya ayah Pipiet memutuskan yang terbaik untuk dirinya dan kedua anaknya.

Awan kelabu telah sirna. Dengan uang yang diperoleh, ayah Pipiet memperbaiki rumahnya. Di depannya dibangun sebuah ruang untuk tempat berjualan. Toko kecil-kecilan. Agar kehidupan selanjutnya lebih memungkinkan untuk kelanjutan pendidikan Pipiet dan adiknya. Pelan tapi pasti, kebahagiaan keluarga Pipiet semakin megemuka. Insya Allah.

Sumenep, 06 Mei 2013






Wednesday, May 1, 2013

CINTA DI ATAS BADAI




Aku baru tahu bahwa cinta itu buta. Aku baru memahami bahwa bahwa cinta itu segalanya. Aku baru menyadari bahwa cinta adalah sebuah pengorbanan. Cinta adalah memberi. Cinta adalah berkorban. Cinta adalah atas nama cinta, yang tulus untuk memberikan kasih tanpa diminta.

Mendung masih bergelayut di ufuk. Menampakkan warna merah saga, karena pancaran sinar mentari senja. Aku menatap langit merah jingga, di bawah lambaian pohon kelapa, di tepian pantai yang berpasir putih.

Saat itu, Amalia, yang biasa dipanggil Amel, duduk di atas pasir putih dan lembut ketika air laut lagi surut. Wajahnya yang cantik bersembunyi di balik balutan jilbab warna hitam. Senyum selalu menghias di bibir tipis merah delima. Alami tanpa polesan lipstik. Pesona kharisma seorang gadis beretika, memancar dari raut wajah dan sapa tingkah seorang Amel.

“Assalamu’alaikum,” sapaku pada senja itu.
“Wa’alaikum salam,” jawab Amel dan terlihat agak terkejut dan terkesima.
“Amel sendirian?”, selanjutnya aku berbasa-basi.
“Ya Mas. Lagi menikmati pesona sunset di pantai ini”. Amel menjelaskan.
“Ya. Tapi kok sendiri?” lagi-lagi aku mencoba berbasa-basi.
“Hemm.... Emangnya harus sama siapa?”. Jawab Amel sambil sedikit memalingkan wajahnya ke arahku. Diiringi sebaris tipis senyum bibir yang teramat manis.

Sungguh sebuah pemandangan yang sangat indah. Wajah itu menghunjam jantungku.  Begitu teduh, dan aku mahsyuk dalam sakau cinta yang tiba-tiba lahir di balik hati yang paling dalam. Ada sebentuk purnama dari wajah cantiknya. Aku hampir-hampir tidak percaya.

Tidak terlalu banyak yang bisa dibicarakan saat itu. Karena aku dan Amel masih terhalang oleh syari’at keyakinan. Bahwa dua insan yang berlain jenis tidak boleh berdua-duan dalam satu tempat. Yang ketiga adalah setan. Paradigma berpikirku masih berlaku, sekalipun gejolak cinta begitu menggebu.

Ya, hanya sebatas itulah aku dan Amel berbicara. Tidak lebih dan tidak terlalu jauh. Tapi sebentuk cinta sudah melekat kuat karena pertemuan itu. Dan di kemudian hari melahirkan sari-sari kerinduan.

“Apa pendapatmu jika seseorang jatuh hati padamu Mel?”. SMSku suatu ketika pada Amel. Dari pertemuan di senja itu, hari-hariku diliputi kerinduan terhadap wajah Amel. Entahlah, apakah Amel juga begitu? Aku tidak peduli.
“Tentu Amel lihat dulu orangnya. Agamanya, akhlaknya, dan pastinya juga kometmennya”. Balas Amel, juga melalui SMS.
“Kalau aku, menurutmu seperti apa?”
“Apakah orang itu Mas sendiri?” Amel balik bertanya.
“Insya Allah, kalau Amel adalah tulang rusukku yang hilang itu”.
“Semoga Allah merestui”, balas Amel di akhir SMSnya.

Amel adalah gadis sederhana yang saat ini masih belajar di sebuah pondok pesantren. Ia termasuk anak yang rajin. Banyak prestasi yang sudah ia raih. Tapi semua keunggulan yang ia miliki tidak menjadikan ia tinggi hati atau sombong. Bahkan banyak prestasi yang ia peroleh, menjadikan dirinya semakin tawadhu’ dan rendah hati.

Ta’aruf atau khitbah (pertunangan) akan segera aku lakukan. Itu karena Amel telah membuka pintu hatinya untukku. Aku tidak bertepuk sebelah tangan. Amel ingin berlabuh di belahan hatiku yang terurai kasih hanya kepada Amel.

Maka pada suatu hari yang telah ditentukan, kedua orang tuaku menemui orag tua Amel. Pertunangan atau khitbah. Ya, untuk lebih merapatkan rindu dan cinta di real yang telah digariskan. Selangkah menuju sebentuk halal hubungan antara aku dan Amel.

Namun apa yang terjadi?

“Maaf Bapak, Ibu. Kami bukan tidak menerima lamaran anak Bapak dan Ibu. Tetapi kami telah menerima lamaran dari orang lain”. Orang tua Amel akhirnya menjelaskan kepada kedua orang tuaku. Tentu saja aku kecewa. Aku marah pada diriku sendiri. Mengapa harus terlambat?

Badai begitu keras menghantam kehidupanku. Aku menggeliat menggapai asa. Tapi segalanya telah begitu kelam. Hidupku gelap. Cintaku, kini bertahta di atas badai.

“Ya Allah, jangan Kau tinggalkan aku sendiri”, desahku saat mendengar semua yang dikatakan kedua orang tuaku.

Sendiri aku mengurung diri. Aku tidak tahu apa yang mesti aku lakukan. Tapi, semua telah terjadi. Itu artinya aku harus menerima keadaan. Aku yakin, Amel juga tidak mau hal ini terjadi. Aku harus lebih mendekat lagi ke hadirat-Nya. Agar hidayah itu ada dan menjadi pegangan untuk kehidupan selanjutnya.

Malam jam setengah tiga. Adalah malam yang sangat mustajabah untuk menghatur doa. Aku bersimpuh kepada-Nya. Agar Amel, aku, dan keluarga Amel serta keluargaku diberi kesabaran dan ketabahan. Diberi kebahagiaan, baik di dunia dan di akhirat.

Sesaat setelah sujud terakhirku dalam tahajudku, tiba-tiba handphone bergetar. Dan nama Amel terbaca di screen Hpku.

“Mas, maafkan Amel”.
“Tidak apa-apa Amel,” jawabku. Tentu dengan gejolak emosional yang tidak karuan. Demi sebuah cinta, apapun yang terjadi, Amel harus dalam keadaan bahagia dan sempurna.
“Sehari sebelum orang tua Mas ke rumah, ayah dan ibuku telah menerima lamaran seseorang,” lanjut SMS Amel.
“Tidak apa-apa. Cintai dia apa adanya. Kasihi dia dengan segenap cinta sucimu. Karena dialah pangeranmu”. Entah dari mana kata itu bisa terucap. Tapi aku harus menyadari bahwa cinta itu tidak harus saling memiliki. Biarlah Amel bahagia dengan pengerannya. Dan aku sudah begitu bahagia jika Amel hidup dalam kebahagiaan.

Memang hatiku sakit. Dan semua orang normal pasti akan mengalami hati yang pedih ketika cintanya harus pupus di tengah jalan. Tapi aku yakin bahwa Allah punya rencana lain di balik itu semua.

Akhirnya Amel pun melangsungkan pernikahan. Sebuah pernikahan yang sederhana. Tidak berfoya-foya dengan pesta yang meriah seperti yang terjadi kebanyakan saat ini. Sebuah acara yang hanya memberikan i’lan (petanda halal) bagi pasangan. Aku pun pasrah dengan ini semua. Semuanya aku kembalikan pada yang di atas.

Sudah hampar enam bulan, Amel telah mengarungi rumah tangga. Aku tidak tahu keadaan Amel selama ini. Hanya saja harapan dan doaku semoga dia dan suaminya dalam lindungan Allah swt. Hingga pada suatu waktu Amel mengirim SMS padaku.

“Mas Umar, Amel tidak bahagia dengan pernikahan ini”. Aku terkejut menerima SMS seperti itu dari Amel. Padahal, sesungguhnya kebahagiaan Amel yang aku inginkan. Aku tidak ingin Amel menderita dalam setiap tarikan nafasnya. Itukah yang dinamakan cinta? Ataukah aku ini termasuk orang yang bodoh? Aku tidak peduli apapun namanya. Yang pasti Amel harus bahagia.
“Maksud Amel apa kok bilang seperti itu?”. Aku membalas pesan Amel.
“Ya, Amel tidak bahagia dalam rumah tangga Amel”.
“Amel bertengkar dengan suami?”.
“Tidak Mas”.
“Lalu kenapa?”

Akhirnya Amel menceritakan prihal rumah tangganya. Bahwa selama ini ia tidak pernah melakukan layaknya hubungan suami istri. Bahwa suaminya ternyata, maaf, tidak laki-laki alias impoten. Amel dan suaminya sudah membicarakan hal ini. Tapi usaha yang mereka lakukan tidak membuahkan hasil.

Mendengar masalah ini, sebenarnya aku sangat terpukul. Aku tidak ingin masalah ini terjadi pada Amel dan suaminya. Sekalipun Amel adalah bagian dari cintaku yang pupus di tengah jalan. Tapi semua itu tidak akan membuat aku dendam atau sakit hati yang berkepanjangan. Aku ingin Amel dan suaminya membangun mahligai rumah tangga yang sempurna.

Entahlah, apa himah di balik ini semua. Pada akhirnya suami Amel berkeputusan untuk menceraikannya. Ia tidak rela Amel bersuami orang yang tidak normal. Ia tidak ingin memberikan kekecewaan yang lebih mendalam. Biarlah Amel menemukan orang lain yang lebih sepadan dan mampu membina rumah tangga dengan sebenar-benarnya.

“Biarlah kita berpisah saja Dik”, pada suatu ketika suami Amel berkata. Ada telaga bening di air matanya. Karena sesungguhnya ia masih mencintainya.
“Tidak adakah jalan lain selain perceraian Mas”, jawab Amel juga dengan nada sendu penuh penyesalan.
“Kita sudah berusaha sekian lama waktunya. Tapi Allah tidak memberikan jalan itu kepada kita. Mungkin inilah takdir. Semoga ada hikmah yang lebih besar di balik ini semua”.

Akhirnya Amel pun bercerai dengan suaminya. Aku tidak tahu apa yang mesti aku katakan. Kebahagiaan ataukah kesedihan. Bahagia jika akulah pendamping Amel selanjutnya, dan sedih jika ternyata aku tidak mampu menjadi suami yang baik. Kesempurnaan hanya milik Allah, tapi aku ingin sekali menajadi suami yang baik di sisi Allah swt.

Setelah kira-kira tiga bulan lamanya Amel bercerai dengan suaminya, sesuai dengan kaidah fiqih tiga kali suci, maka aku pun melamar Amel dan sekaligus dilangsungkan pernikahan. Sebuah perjalanan yang penuh dengan badai. Penuh dengan tantangan. Ada air mata. Ada susah yang selalu membayang sebelum pernikahan ini. Bahkan ada tebing yang tidak mungkin dilalui karena bagian dari kaidah syariat Islam.

Kami melangsungkan ijab kabul di sebuah masjid. Masjid itu kira-kira empat kilometer jaraknya dari rumahku. Aku naik mobil. Dan tidak berselang lama aku pun sudah tiba di sana. Akad pun dilangsungkan. Aku sangat bahagia. Karena satu hati satu cinta menyatu dalam ikatan suci, halal, dan disaksikan oleh kerabat dan para tetangga.

“Saya terima nikahnya Amelia binti Fahri dengan maskawin ayat-ayat suci al-Quran”. Begitu aku melaksanakan ijab kabul di masjid yang megah tersebut. Dan acara ijab kabul atau akad pernikahan pun usai.

Aku dan Amel pun pulang. Ada banyak cerita di hati masing-masing yang tidak terungkapkan. Ternyata kami masih dipersatukan dengan satu cinta, meskipun banyak badai yang harus kami lalui. Apa yang akan kami lakukan? Ada first night, malam pertama yang tidak mungkin terlupakan begitu saja.

Tetapi Allah punya rencana. Di tengah perjalanan kami pulang, tiba-tiba dari arah depan melaju tak terkendali sebuah bus, dan dengan kerasnya menghantam mobil yang kami tumpangi. Semuanya gelap. Masih terdengar Amel, istriku, menjerit menyebut nama Allah.
“Allaa....h”, teriak Amel dan aku berbarengan.

Setelah itu entah apa yang terjadi. Gelap, kemudian dari arah yang tidak diketahui sumbernya, kulihat sebuah taman yang begitu indah. Aku dan Amel menuju ke sana. Berpegangan tangan. Menyatukan hati dalam cinta yang damai. Di taman firdaus. Allahu Akbar. Lailaha Illallahu Allahu Akbar. Allahu Akbar Walillahilhamd.
****