Get Stories: http://mawarberduri99.blogspot.com

Sunday, March 10, 2013

MODEL MEDIA PEMBELAJARAN KOMPREHENSIF : STRATEGI MEMAKSIMALKAN MEDIA PEMBELAJARAN DALAM KEGIATAN BELAJAR MENGAJAR



MODEL MEDIA PEMBELAJARAN KOMPREHENSIF :
STRATEGI MEMAKSIMALKAN MEDIA PEMBELAJARAN
DALAM KEGIATAN BELAJAR MENGAJAR

Pendahuluan

Pendidikan

Pendidikan dalam arti luas adalah sebuah manajemen individu, intra individu, atau interaksi sosial  terhadap alam lingkungannya sehingga terbentuk sebuah komunitas yang cenderung kepada sebuah perbaikan. Perbaikan yang dimaksud adalah adanya integralisasi etike, estetika, kometmen, sosial, dan setiap jenis nilai positifisme. Dalam pengertian ini pendidikan atau suatu ajaran yang menjurus kepada nilai negatif, maka bukan dikatakan sebagai pendidikan.

Jean Peaget, 1896-1980, mengatakan bahwa pendidikan, bagi sebagian besar orang, berarti berusaha membimbing anak untuk menyerupai orang dewasa, (sebaliknya) bagi saya, pendidikan berarti menghasilkan pencipta, sekalipun tidak banyak, sekalipun suatu penciptaan dibatasi oleh pembandingan dengan penciptaan yang lain.[1] Dari definisi ini jelaslah bahwa yang dimaksud pendidikan adalah upaya realistis dalam pemberdayaan logika anak didik sehingga tersipta swadaya formulasi yang menghasilkan daya cipta yang optimal. Menurut Peaget, sekalipun tidak banyak, sekalipun suatu penciptaan yang dibatasi oleh pembanding dengan penciptaan yang lain, ini merupakan optimisme cipta karya yang dengan sendirinya anak didik akan menemukan jati dirinya. Dalam pengertian lain, diharapkan anak didik bukan hanya memahami rumus Phytagoras, akan tetapi diinginkan adanya aktualisasi konsep dari rumus tersebut atau bahkan dapat menyempurnakan format temuan yang pada saat ini mungkin sudah harus ada penyempurnaan.

Pendidikan didefinisikan Peaget sebagai penghubung dua sisi, “di satu sisi, individu yang sedang tumbuh (dan) di sisi lain, nilai sosial, intelektual, dan moral yang menjadi tanggung jawab pendidik untuk mendorong individu tersebut”.[2]

Bahkan, menurut Jerome S. Bruner,[3] pendidikan bukan sekadar persoalan teknik pengolahan informasi, bahkan bukan penerapan teori belajar di kelas atau menggunakan hasil ujian prestasi yang berpusat pada mata pelajaran (subject centered achievement testing). Akan tetapi pendidikan merupakan usaha yang kompleks yang di dalamnya tercakup banyak peranan untuk menghasilkan tujuan pendidikan itu sendiri. Baik peserta didik, pendidik ataupun media pendidikan yang harus benar-benar terukur dan terstruktur.

Menurut John I Goodlad,[4] ada tiga kriteria yang harus diintegralkan dalam pendidikan :
1.          bahwa pendidikan merupakan penyampaian (transmision) sesuatu yang berharga kepada mereka yang terikat dengannya
2.          bahwa pendidikan harus mencakup pengetahuan dan pemahaman serta semacam perspektif kognitif yang tidak lembam
3.          bahwa pendidikan setidaknya mengesampingkan sebagian prosedur penyampaian karena tidak memiliki kesadaran dan kerelaan

Belajar dan pembelajaran

Belajar adalah sebuah aksi dari sebuah reaksi yang disebut dengan pembelajaran. Jadi antara belajar dan pembelajaran terdapat intraktif komunikatif, sehingga terjalin sebuah komunikan saling ketergantungan. Belajar memerlukan pembelajaran karena di dalamnya terdapat proses, sedangkan pembelajaran adalah beragam teknik dan model yang harus diterapkan guna memperoleh hasil yang maksimal. 

Berikut ini beberapa difinisi belajar dalam monoarti dengan pembelajaran. Menurut Manshur Muslich[5] dalam “KTSP : Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual” menjelaskan bahwa pengertian belajar : Cronbach (1954) mengatakan “learning is shown by a change in behaviour as result of experience” bahwa belajar dapat dilakukan secara baik dengan jalan mengalami.

Menurut Spears :[6]learning is to observe to read, to imited, to try something themselves, to listen, to follow direction”, bahwa belajar adalah sebuah observasi pengalaman, membaca, meniru, mencoba sesuatu dengan sendirinya, mendengar serta mengikuti sebuah petunjuk yang benar. Jadi secara makro belajar itu harus menyeimbangkan keseluruhan panca indra.

Robert M. Gagae,[7]learning is a change in human disposition or capacity, wich persists over a period time, and wich is not simply ascribable to process of grouth”. Belajara adalah  perubahan yang terjadi dalam kemampuan manusia setelah belajar secara terus menerus, bukan hanya disebabkan oleh proses pertumbuhan saja.

Lester D. Crow and Alice Crow mendefinisikan, “learning is the acquisition of hebits, knowledge and attitudes” belajar adalah upaya untuk memperoleh kebiasaan, pengetahuan dan sikap.

Belajar adalah kemajuan moral karena merupakan asketisisme, mengurangi egoisme dan memperluas konsepsi kita tentang kebenaran, juga memberikan visi yang lebih dalam, lebih tajam, dan lebih bijak tentang dunia. Apa yang diajarkan di sekolah yakni memberi perhatian dan mengerjakan semuanya dengan benar. Kakuatan kreatif memerlukan kemampuan studi intelektual dan keterampilan menghasilkan kualitas kesadaran baru, kedalaman persepsi, dan kemampuan mengamati. Semuanya mengubah keinginan, gerak naluriah keinginan dan keengganan kita. Memberi perhatian berarti peduli, yakni belajar untuk ingin belajar (Simone Weil, 1909-1943).[8]

Pengertian Mengajar

Apa arti mengajar ? Bagi Oakeshott,[9] mengajar berarti membuat anak didik memahami dan mengingat sesuatu yang menurut guru sangat berharga untuk dipelajari. Mengajar dalam pengertian ini dapat dilaksanakan dengan banyak cara : memberi petunjuk, menyarankan, mendesak, membujuk, mendorong, membimbing, menunjuk, berbicara, memerintah, menceritakan, menyampaikan materi, mendemonstrasikan, melatih, menguji, meneliti, mengkritik, mengoreksi, mengarahkan, mengasah keterampilan, dan seterusnya cara apa saja yang tidak menghambat pemahaman.

Mengajar, kata Burrhus Frederic Skinner,[10]  adalah mempercepat proses belajar. Anak didik belajar tanpa pengajaran, dan guru menciptakan kondisi agar anak didik bertindak (belajar) secara lebih efektif dan lebih cepat. Proses quantum learning ini diperlukan guna memperoleh efektifitas belajar, sehingga pada akhirnya diperoleh hasil yang maksimal.

Siswa atau peserta didik

Sedangkan pengertian dari siswa atau peserta didik adalah, “ a person registered in an education and porsuing a course of study[11] seseorang yang terdaftar pada sebuah lembaga pendidikan dan mengikuti suatu jalur studi. Dalam pengertian ini adalah siswa dalam arti formal. Sedangkan siswa dalam arti umum adalah seseorang yang melibatkan diri dalam pencarian seuatu ilmu pengetahuan, tanpa memandang dimana, kapan, dan siapa orang tersebut.

Sedangkan menurut Aminuddin Rasyad, 2000 : 105, mengatakan bahwa siswa atau peserta didik adalah seseorang atau sekelompok orang yang bertindak sebagai pelaku pencari, penerima dan penyimpan isi pelajaran yang dibutuhkannya untuk mencapai tujuan. Mencari, menerima dan menyimpan bisa dilakuakan oleh siapa saja, kapan saja, darimana saja dan seterusnya tanpa adanya aturan khusus yang bisa membatasi teknik atau metode untuk mencapai tujuan yang dimaksud.[12]

A.    Arti Media Pembelajaran

Media dalam makna denotasi adalah alat atau sarana yang dapat digunakan untuk beragam keperluan, sehingga dengan alat dan sarana tersebut implikasi muatan yang dimaksud dapat teruwujud dengan lebih baik atau sempurna. Dalam kamus besar bahasa Indonesia dijelaskan makna media sebagai berikut :

“Media : 1) alat ; 2) alat (sarana) komunikasi seperti koran, majalah, radio, televise, filem, poster dan spanduk ; 3) yang terletak di antara dua pihak (orang, golongan, dsb) wayang bisa dipakai sebagai – pendidikan ; 4) perantara, penghubung”.[13]

Kata media menurut Heinich dkk (1982) berasal dari bahasa latin, merupakan bentuk jamak dari kata medium yang secara harfiah berarti perantara (between) yaitu perantara sumber pesan (source) dengan penerima pesan (receiver). Dalam proses pembelajaran, media ini dapat diartikan sebagai berikut :[14]

1.          Teknologi pembawa pesan yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan pembelajaran (Schramm, 1977)
2.          Sarana fisik untuk menyampaikan isi/materi pembelajaran seperti buku, film, video, slide dan sebagainya (Briggs, 1977)
3.          Sarana komunikasi dalam bentuk cetak meupun pandang dengar, termasuk teknologi perangkat kerasnya (NEA, 1969).

Teknologi pembawa pesan berindikasi bahwa segala jenis model media terapan yang bisa dimanfaatkan dalam proses kegiatan belajar mengajar. Jenis-jenis model teknologi ini begitu banyak dan beragam sehingga kita harus mampu dan dapat menyeleksi bentuk dan model media yang sesuai dengan isi/materi yang harus kita sampaikan. Sarana fisik, merupakan ciri bentuk media yang bisa kita lihat dengan kasat mata, dalam hal ini berarti segala sesuatu yang digunakan untuk keperluan pembelajaran. Buku paket dan atau lembar kerja siswa adalah model media yang sering kita temukan dalam praktek kegiatan belajar mengajar di lingkungan lembaga pendidika, baik yang formal maupun nonformal, baik negeri maupun swasta. Namun demikian, media dalam hal ini tidak terbatas pada dua aspek yang disebutkan terakhir ini. Sementara, sarana komunikasi yang meliputi bentuk media cetak maupun pandang dengar serta perangkat kerasnya adalah model media yang berbentuk visual, audio, atau audio visual. Untuk media ini memang sudah tergolong Higt Teknology Media, sehingga penggunaannya hanya terbatas pada lembaga-lembaga tertentu saja, tapi tidak menutup kemungkinan bahwa media teknologi ini pada saatnya nanti bisa dinekmati oleh masyarakat luas. Ke arah yang dimaksud sampai dasa warsa kekinian sudah semakin terindikasi.

Karena media adalah alat atau sarana, maka kita dapat memaksimalkan alat atau sarana yang ada agar dalam proses pembelajaran efektifitas serta kualitas konsep isi/materi pelajaran semakin baik. Dengan bagitu tujuan belajar, yaitu membuat segala sesuatu yang kita jawab menjadi hakikat-hakikat yang selalu menunjukkan dirinya sendiri akan kita capai. Karena yang dituntut dalam pembelajaran adalah membiarkan mereka belajar.[15]   

B.     Media Pembelajaran Komprehensif



Salah satu tujuan dalam proses pembelajaran adalah mempercepat proses belajar.[16] Untuk mencapai tujuan ini di antaranya dengan cara memaksimalkan media pembelajaran. Makna dari memaksimalkan media pembelajaran adalah menggunakan waktu dan kesempatan serta mengintegralkan sarana dan prasarana yang ada hubungannya dengan isi atau materi pembelajaran.

Media pembelajaran harus berindikasi mamuat seluruh aspek pengajaran yang ada. Dengan model dan teknis generalis dalam kegiatan pembelajaran maka model dan teknis tersebut diimplikasikan sebagai maksimalisasi media pembelajaran komprehensif. Dalam hal demikian ada beberapa karakteristik media pembelajaran komprehensif seperti uraian berikut ini.
1.      Memuat seluruh aspek isi atau materi yang akan disampaikan dalam kegiatan belajar mengajar. Hal ini jelas harus terintegrasi di dalam pembelajaran karena esensi dari media pembelajaran adalah untuk efektifitas dan kreatifitas anak didik teraktualisasi di dalam sistem kegiatan belajar dan mengajar.

2.      Tidak mengedepankan modernisasi media, akan tetapi lebih menekankan efektifitas, keamanan dan daya “magis”nya. Artinya bahwa media belajar tidak harus berafiliasi ke modal yang basar, akan tetapi media yang dimaskud hendaknya dapat mengakomudasi seluruh tujuan isi atau materi yang ingin disampaikan.

3.      Melahirkan indikasi etika, estetika dan dinamika penggunaannya, sehingga tidak terjadi kejenuhan dalam tujuan akhirnya. Setiap media yang kita gunakan hendaknya memiliki karakter yang positif. Karakteristik ini dinilai dengan model media yang pada gilirannya terkoordinasi di dalam format yang sederhana, tetapi mempunyai suatu nilai yang bijak. Sehingga kenyamanan, keamanan serta kesenambungan kerja dan kinerja, terjalin di dalam model media yang kita gunakan. Etika dan keindahan juga perlu diimplementasikan di dalam setiap model media, sehingga pada akhirnya peserta didik tidak menemukan kejemuan dan pula tidak mencemari pemikiran yang negatif.

4.      Bukan sebuah media yang dipaksakan dalam penggunaannya. Masksudanya media yang kita gunakan harus benar-benar selaras dan serasi dengan materi yang akan kita citakan. Akulturasi media dengan lingkungan sekitar juga perlu kita perhatikan dalam praktek aktualisasinya.

C.    Fungsi Media Pembelajaran

Penggunaan media pembelajaran bukan merupakan fungsi tambahan, tetapi memiliki fungsi tersendiri sebagai sarana bantu untuk mewujudkan situasi belajar mengajar yang lebih efektif.[17]Integralisasi media dalam pembelajaran merupakan fungsi utama, sehingga media pembelajaran yang kita gunakan bukan merupakan sebuah sarana pelengkap yang hanya bisa digunakan bila diperlukan, dan dihilangkan penggunaannya bila tidak diperlukan. Jadi, artinya media sedianya harus merupakan variable intrinsick bukan variable ekstrinsick.

Media pembelajaran merupakan bagian integral dari keseluruhan proses pembelajaran. Hal ini mengandung pengertian bahwa media pembelajaran sebagai salah satu komponen yang tidak berdiri sendiri tetapi saling berhubungan dengan komponen lainnya dalam rangka menciptakan situasi belajar yang diharapkan.[18]Keterkaitan ini merupakan inklusifisme yang bergitu kuat sehingga di dalamnya tidak terdapat dikhotomi parsial antara berbagai komponen yang terlibat. Dalam hal ini media menajadi sebuah konsep padu untuk mencapai tujuan pembelajaran yang kita harapkan.  

Media pembelajaran dalam penggunaannya harus relevan dengan tujuan dan isi pembelajaran. Fungsi ini mengandung makna bahwa penggunaan media dalam pembelajaran harus selalu melihat kepada tujuan dan bahan ajar.[19]Tujuan pembelajaran adalah hal penting dalam proses integrasi konsep-materi pembelajaran. Maka media pembelajaran juga harus mempunyai satu kesatuan visi dan misi untuk mencapai tujuan tersebut.

Media pembelajaran bukan berfungsi sebagai hiburan, dengan demikian tidak diperkenankan menggunakannya hanya sekedar untuk permainan atau memancing perhatian siswa saja.[20]Hal ini bukan berarti menghilangkan sama sekali efek estetika di dalam penggunaan media pembelajran. Akan tetapi bila yang terjadi adalah semata-mata hiburan atau semata-mata untuk memancing perhatian siswa saja, maka media tersebut bukan lagi disebut sebagai media, karena seperti dijelaskan sebelumnya, bahwa media itu harus terintegralisasi di dalam setiap komponen yang ada, serta harus searah dalam visi dan misi untuk mencapai tujuan pembelajran tersebut. Maka media pembelajaran yang penggunaannya hanya sebatas hiburan dan untuk menarik perhatian siswa, tidak sejalan dengan fungsi media yang sebenarnya. Media tersebut tidak berfungsi apa-apa, dan dianggap sebuah alat tambah yang jalurnya di luar media pembelajaran.

Media pembelajaran berfungsi mempercepat proses belajar. Siswa dapat menangkap konsep dan materi dengan lebih mudah dan lebih cepat.[21] Dengan fungsi ini hakikat media pembelajaran adalah sarana sentralistik yang adventasinya harus jelas terarah pada konsep dan materi yang dituju pada pokok aplikatifnya.

Mempercepat proses pembelajaran adalah sebuah keharusan di dalam kegiatan  belajar mengajar. Karena dengan proses lebih efektif akan mencapai tujuan dengan sfesien. Signefikansi proses kegiatan belajar dan mengajar adalah model inklusi edukasi yang terarah dan menyenangkan yang pada akhirya intisari konsep dapat diserap siswa dengan lebih baik dan menggairahkan.

Media pembelajaran meletakkan dasar-dasar yang konkrit untuk berpikir, oleh karena itu dapat mengurangi terjadinya penyakit verbalisme.[22]Aplikasi menyeluruh dalam materi atau konsep pembelajaran adalah tujuan utama. Maka dasar-dasar konsep yang lebih konkrit harus diintegralkan dalam proses pembelajaran. Hal ini akan mengikis terjadinya verbalism ill terhadap siswa. Karena dasar kognitif siswa cenderung kepada meniru pola kehidupan yang bekerja apa kata orang, tanpa mengobservasi apa dan bagaimana hal itu dapat terjadi serta menganalisis proses dari kejadian itu sendiri. Tetapi dengan media pembelajaran yang kooperatif serta visioneratif akan (setidaknya) mengurangai penyakit verbalisme seperti yang dimaksud di atas.

D.    Strategi Memaksimalkan Media Pembelajaran
Aspek metode

Metode adalah salah satu indikator penentu kesusksesan di dalam kegiatan belajar mengajar. Metode harus diaransmen dengan cermat sesuai dengan visi dan misi tujuan akhir dari setiap konsep yang dipersiapkan. Dengan metode yang cermat dan cerdas dalam arti sesuai dengan konsepsi mata ajar yang konseptual, maka tujuan pembelajaran, yaitu efektifitas dan efesiensi aktifitas pembelajaran akan kita dapatkan.

Ada beragam metode yang disediakan, baik yang telah terpublikasi maupun metodologi yang didapat dari pengalaman sendiri dapat diaplikasikan. Aktualisasi ini harus melihat kepada konsep dan materi, peserta didik serta lingkungan sekitar. Dengan simfoni model edukasi demikian, estetika pembelajaran akan menjadi lebih baik, efektif dan efisien.

Dengan demikian metode harus benar-benar korelatif dengan komponen-komponen pembelajaran, sehingga integralisasi media terakomudasi di dalamnya. Integralitas media yang akomudatif akan melahirkan irama keharmunisan pembelajaran yang pada akhirnya tujuan konseptual yang terindikasi dalam proyeksi model media yang diusung akan mencapai puncak keberhasilan.

Menurut Abdurrahman Mas’ud, MA, Ph.D, metode tidak hanya diartikan sebagai cara mengajar dalam proses belajar-mengajar bagi seorang guru, tetapi dipandang sebagai upaya perbaikan komprehensif dari semua elemen pendidikan sehingga menjadi sebuah iklim yang mendukung tercapainya tujuan pendidikan.[23]  

Aspek guru

Secara konfensional, guru paling tidak harus memiliki tiga kualifikasi dasar, yaitu menguasai materi, antusiasme dan penuh kasih sayang (loving).[24]Penguasaan materi yang maksimal berdampak akan terjadinya kristalisasi penyampaian pembelajaran, sehingga tidak terjadi kesenjangan pemahaman yang ortodoksi. Penguasaan materi tidak sebatas memahami dan mengetahui konsep yang akan disampaikan, akan tetapi masih terkait dengan variabel-variabel lain baik yang bersifat intrinsik maupun ekstrinsik. 

Antusiasme merupakan salah satu karakter yang harus dimiliki oleh seorang guru. Tanpa antusiasme atau kometmen diri untuk mencapai tujuan yang diharapkan, maka nilai akhir yang diinginkan tidak akan maksimal. Antusiasme berarti semangat, optimisme dan penuh harap. Dengan karakteristik tersebut maka seorang guru tidak pernah mengalami dipresi, apatis dan rasa putus asa. Mencari beragam alternative bila satu media atau sarana kurang menjembatani suatu pembelajaran. Educated innovation merupakan bagian integral yang terangkum di dalam dirinya.

Rasa kasih sayang (loving) merupakan salah satu karakter intrinsik seorang guru. Dengan rasa kasih dan sayang seorang guru dapat berafiliasi dan berinteraksi lebih jauh dengan anak didiknya. Dan peserta didik akan lebih antusias dan bersemangat untuk lebih meningkatkan pemahaman terhadap konsep atau materi yang sedang didiskusikan. Rasa kasih sayang harus ditanamkan dengan semangat keikhlasan di dalam individu seorang guru, karena dengan rasa tulus ikhlas keberkahan[25] ilmu pengetahuan akan kita dapatkan.

Aspek siswa

Di dalam kitab klasik karya Al-Zarnuji dijelaskan bahwa ada enam prasyarat yang harus dimiliki oleh siswa sebagai pedoman untuk mendapatkan konsep dan materi dalam proses pembelajaran. Keenam prasyarat tersebut adalah modal, semangat, waktu yang memadai, petunjuk guru, keuletan (kesabaran) dan intelektual (kecerdasan).

Dari keenam prasyarat yang tersebut di atas semangat dan kesabaran merupakan modal fundamental dan esensial. Karena dengan semangat dan kesabaran intelektualita, biaya, kesempatan dan mursyid alias fasilitator dengan sendirinya akan kita dapatkan. Tetapi, bila kesemua prasyarat tersebut terpenuhi, maka efektifitas dan efesiensi semakin eksis.

Aspek sarana prasarana

Di dalamnya termasuk media pembelajaran. Sarana prasarana merupakan komponen pembelajaran yang terakomudasi di dalam proses. Proses merupakan model kalkulus yang esensinya besinergi dengan setiap komponen pembelajaran. Maka ketersediaan sarana prasarana yang memadai merupakan prasyarat yang harus teraktualisasi di dalam kegiatan pembelajaran.

Sarana prasarana merupakan komponen yang tak terpisahkan di dalam proses pembelajaran. Maka keberadaan aspek ini harus benar-benar dipahami dan dimengerti guna terciptanya koridor proses pembelajaran dan mencapai tujuan yang telah di kedepankan. Memahami eksistensi sarana prasarana merupakan sebuah kewajaran dalam proses pembelajaran, karena tanpa adanya pemahaman yang terakumulasi di dalama paradigma pengajaran, maka akan melahirkan sebuah keniscayaan yang berakibat kurangnya kualitas di dalam proses pembelajaran.  

Aspek evaluasi

Evaluasi bukan merupakan akhir dari sebuah proses pembelajaran. Evaluasi merupakan analisis terhadap kerja dan kinerja model proses. Evaluasi dan analisis diperlukan guna menilai efektifitas serta kualitas, keunggulan dan kelemahan di dalam proses pembelajaran. Dengan mengetahui kekuatan dan kelemahan diri dari segala aspek yang berperan di dalam pembelajaran, maka kita mudah untuk menentukan lengkah antisipasi terhadap krisis aktualisasi kesempatan yang ada. Dalam hal ini, peran dari evaluasi merupakan essensiality art di dalam setiap program pembelajaran.

Evaluasi tidak hanya sekedar menilai dari adventualitas proses pembelajaran, akan tetapi aspek ini lebih jauh menemukan model konsep yang up to date. Sehingga dalam setiap sisi pembelajaran dengan konsep, recivent, serta kondisi yang beragam mampu menjadikan aktualita pembelajaran serta kualita konsep semakin terarah.

Aspek tindak lanjut

Terkadang kita terperangkap oleh sebuah proses yang stagnan, sehingga tidak terjadi adanya follow up di dalam sebuah model perencanaan, yang dalam hal ini adalah tindak lanjut dari sebuah proses pembelajaran. Aspek tindak lanjut adalah sebuah keharusan agar proses serta nilai kinerja yang kita miliki terangkat ke permukaan. Dengan demikian akan terjadi kesinambungan proses sehingga kita bisa menjawab persoalan yang terjadi atau mampu memberikan nuansa inovatif terhadap gagasan-gagasan yang akan datang. Persoalan selanjutnya, tentu tidak akan sama dengan problem yang kita hadapi saat ini. Dengan  demikian persolan selanjutnya adalah model media yang seharusnya terintegrasi dalam aspek kelanjutan dari sebuah gagasan maupun persoalan yang kita telaah guna menemukan format yang efektif dan afektif.

Memanage sebuah persolan yang telah, sedang dan akan kita hadapi memerlukan sebuah proses yang berkesinambungan. Proses ini akan menemukan titik kulminasi bila kita mampu menjembatani setiap sisi kegiatan. Sehingga problematikanya tidak sebatas konsep semata, akan tetapi menjadi sebuah motif dan model inovasi dalam sebuah system yang menyeluruh.

E.     Kesimpulan

Penerapan konsep media yang kita aktualisasikan dalam proses pembelajaran harus sejalan dan terkoordinasi semaksimal mungkin. Dengan maksimalisasi penguasaan strategi dan model penerapan media yang kita jadikan moel pembelajaran, maka kualitas dan nilai akhir yang kita inginkan akan dicapai secara komprehensif.

Untuk melahirkan konsep-konsep strtegi model media yang menyeluruh, dalam arti terakomudasi dalam setiap materi maupun mengakomudir setiap keberagaman peserta didik, maka media yang kita terapkan mencapai puncak harapan yang tentu saja akan melahirkan keharmonisan di dalam proses pembelajaran.

Kaidah penerapan model media yang komprehesif ini akan berjalan dengan kualitas yang bernilai tinggi bila didukung oleh komponen-komponen yang menyeluruh. Dalam hal ini semua aspek pembelajaran akan memberikan andil yang antara satu dengan yang lainnya saling mendukung. Keterkaitan ini harus terus berkesinambungan dan berjalan seiring dan sepenanggungan tanpa harus dibedakan antara yang satu dengan lainnya. Komunikatif komponen ini juga menentukan seberapa jauh konsep dan materi yang akan kita capai. Sehingga koordinasi dari keseluruhan komponen konsep dan strateginya menuai capaian nilai akhir yang kita inginkan.

Penutup

Media pembelajaran merupakan sarana edukasi yang  harus dipahami dan dimengerti oleh seorang pendidik guna adventasi komprehensif penggunaannya melahirkan efektifitas proses pengajaran yang kita inginkan. Dengan konsep dan strategi yang mumpuni dari seoarang pendidik, maka didikan akan mendapatkan efektifitas dan kualitas yang lebih baik.

Akhirnya, marilah kita berusaha dengan samangat yang meyakinkan untuk lebih jauh menjadikan media yang ada, dan atau kita mampu berinovasi dengan varian media dari hasil pemikiran kita sendiri.  Dengan inovasi-inovasi yang kita rancang kemungkinan besar realitas kesesuaian dengan lingkungan kita besosialisasi untuk menjadikan proses pembelajaran lebih bermakna dan berkualitas.

Kualitas dan kebermaknaan KBM adalah merupakan harapan dari sebuah proses pembelajaran, sehingga efektivitas dan efesiensi pembelajaran lebih kita tingkatkan.


DAFTAR PUSTAKA

Palmer, Joy A. (ed), Fifty Modern Thinkers on education : 50 Pemikir Paling Berpengaruh Terhadap Dunia Pendidikan Modern, (Yogyakarta : IRCiSoD, 2006)
Muslich,  Manshur, KTSP : Pembelajran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual, (Jakarta : Bumi Aksara, 2007)
Knowles,  Asa S., Editor in Chief, The International Encyclopedia of Nigher Education, Volume 1, 1977
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, (Jakarta : Balai Pustaka, 1995)
Winataputra, Udin S., Drs. MA dkk, Strategi Belajar Mengajar : 1-2, (Jakarta : Universitas Terbuka, 2002)
Burrhus Frederic Kinner “ Fifty Modern Thinkers on education : 50 Pemikir Paling Berpengaruh Terhadap Dunia Pendidikan Modern”, (Yogyakarta : IRCiSoD, 2006)
Mas’ud, Abdurrahman MA, Ph.D, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik (Humanisme Religius Sebagai Paradigma Islam), Yogyakarta : Gema Media, September 2002,


[1] Joy A. Palmer (ed), Fifty Modern Thinkers on education : 50 Pemikir Paling Berpengaruh Terhadap Dunia Pendidikan Modern, (Yogyakarta : IRCiSoD, 2006) hal. 71
[2] Ibid. hal. 75
[3] Ibid. hal. 166
[4] Ibid. hal. 217
[5] Manshur Muslich, KTSP : Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual, (Jakarta : Bumi Aksara, 2007) hal. 195
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Joy A. Palmer (ed), Fifty Modern Thinkers on education : 50 Pemikir Paling Berpengaruh Terhadap Dunia Pendidikan Modern, (Yogyakarta : IRCiSoD, 2006) hal. 134
[9] Ibid. hal 87
[10] Ibid hal. 108
[11] Asa S. Knowles, Editor in Chief, The International Encyclopedia of Nigher Education, Volume 1, 1977
[12] Manshur Muslich, KTSP : Pembelajran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual, (Jakarta : Bumi Aksara, 2007) hal. 196
[13] Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, (Jakarta : Balai Pustaka, 1995) hal. 640.
[14] Drs. Udin S. Winataputra, MA dkk, Strategi Belajar Mengajar : 1-2, (Jakarta : Universitas Terbuka, 2002) hal. 54.
[15] Joy A. Palmer (ed), Fifty Modern Thinkers on education : 50 Pemikir Paling Berpengaruh Terhadap Dunia Pendidikan Modern, (Yogyakarta : IRCiSoD, 2006) hal. 44
[16] Seperti yang dikemukakan oleh Burrhus Frederic Kinner dalam Fifty Modern Thinkers on education : 50 Pemikir Paling Berpengaruh Terhadap Dunia Pendidikan Modern, (Yogyakarta : IRCiSoD, 2006) hal. 108
[17] Drs. H. Udin S. Winataputra, MA dkk, “Strategi Belajar Mengajar : 1-2” (Jakarta : Universitas terbuka, 2001)
[18] Ibid.
[19] Ibid.
[20] Ibid.
[21] Ibid.
[22] Ibid.
[23] Abdurrahman Mas’ud, MA, Ph.D, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik (Humanisme Religius Sebagai Paradigma Islam), Yogyakarta : Gema Media, September 2002, hal. 202
[24] Ibid. hal 194
[25]  Secara harfiah berkah berarti ziyadatul khair minallah yaitu tambahan kebaikan yang datangnya dari Allah SWT. Tidak semua person menerima akan hakikat ini, akan tetapi dalam adat ketimuran hal ini masih berlaku walaupun pada akhir-akhir ini sudah mulai menipis.

STRATEGI PENDIDIKAN MASA DEPAN SUMENEP : MENGGAGAS PARADIGMA PENDIDIKAN GLOBALISASI RELIGIUS ISLAMI

STRATEGI PENDIDIKAN MASA DEPAN SUMENEP :
 MENGGAGAS PARADIGMA PENDIDIKAN GLOBALISASI RELIGIUS ISLAMI


PENDAHULUAN

Pendidikan, secara umum adalah suatu proses dimana suatu bangsa mempersiapkan generasi mudanya untuk menjalankan kehidupan dan untuk memenuhi tujuan hidup secara efektif dan efisien.[1]

Pendidikan bukan hanya sebuah pengajaran yang berorientasi pada kecakapan individu teoritis (teoritis individual), akan tetapi pendidikan lebih ditekankan kepada  individual practice. Mampu membawa diri beradaptasi dengan lingkungan, serta dapat memberikan kreatifitas yang bermakna terhadap diri, keluarga, masyarakat dan lingkungan sekitar.

Islam sebagai gama yang paling banyak dianut di Kabupaten Sumenep, juga memberikan banyak estimasi stigma sehubungan dengan pendidikan secara umum. Rasulullah juga pernah bersabda ;

“ Menuntut ilmu adalah merupakan kewajiban pada setiap orang Islam, baik laki-laki maupun perempuan “


Allah Swt. Berfirman sehubungan dengan pentingnya pendidikan ;

“ Katakanlah, ‘ adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui ?’, sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran “.[2]
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi silih berganti siang dan malam, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan daari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering) nya dan Dia sebarkan di bumi segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi ; sesungguhnya terdapat tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagu kaum yang memikirkan “ (QS :al-Baqarah : 164)

Korelasinya dengan pendidikan, beberapa ahli pendidikan memberikan pandangan konteksnya dengan dunia pendidikan secara umum :

John Milton, mengatakan bahwa pendidikan secara umum adalah individu yang mampu membentuk diri yang terampil, dengan kejujuran yang universal baik kepada dirinya sendiri maupun kepada masyarakat sekitar, baik di kala damai maupun di kala perang. John Dewey, mengatakan bahwa pendidikan adalah proses pembentukan kecakapan fundamental, secara intelektual dan emosional, ke arah alam sesama manusia.

Ki Hajar Dewantara, mengatakan bahwa pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan budi pekerti (kekuatan batin), pikiran (intellect) dan jasmani anak-anak selaras dengan alam dan masyarakatnya. Mohammad Natsir, menjelaskan bahwa yang dinamakan pendidikan ialah satu pimpinan jasmani dan rohani yang menuju kepada kesempurnaan dan kelengkapan arti kemanusiaan dalam  arti sesungguhnya.[3]

Dari beberapa paparan para ahli pendidikan di atas, sehubungan dengan pendidikan secara umum dapat ditarik kesimpulan bahwa pada dasarnya pendidikan dimaksudkan untuk memberikan keleluasaan berkarya, berdikari serta mampu memberikan aksi dan reaksi yang bermakna terhadap individu, keluarga, masyarakat dan lingkungannya. Dengan kata lain sebagaimana yang dikatakan oleh Indra Djati Sidi, dalam bukunya “ Menuju Masyarakat Belajar : Menggagas Paradigma Baru Pendidikan “ yaitu menciptakan masyarakat “ madani “.[4] Masyarkat madani (civil society) berarti berbicara tentang bagaimana anggota-anggota masyarakat menjadi well educated. Kondisi ini yang biasanya korelatif dengan tindakan-tindakan yang rasional, transparan, penuh estimasi, bermoral dan berwawasan jauh ke depan, sehingga mungkin saja, jika sudah demikian adanya, sebagian besar masyarakat Indonesia tidak mudah dihasut, juga tidak gampang “ diperbudak “. Sebaliknya, masyarakat mempunyai bargaining position yang tinggi terhadap power of state, dan pada gilirannya masyarakat bisa menjadi balancing force bagi state yang cenderung sewenang-wenang.[5]

Pada pendapat  lain, masyarakat madani adalah masyarakat yang saling harga menghargai satu dengan yang lain, yang mengakui hak-hak asasi manusia, yang menghormati akan prestasi dari anggota sesuai dengan kemampuan yang dapat ditunjukkan bagi masyarakatnya  (Tilaar, 1999).[6]

Dalam makna yang lebih terfokus, pendidikan di lingkungan kita (baca : Sumenep), tentu menginginkan sebuah konsep pendidikan yang religius islami, sebuah format pendidikan Islam yang komprehensif. Hal ini berdasarkan kehidupan masyarakat Sumenep, yang secara umum beragam Islam[7] dalam arti menyeluruh. Hal ini dibuktikan dengan adanya lembaga-lembaga Islam baik yang formal maupun  nonformal.

Dari karakteristik itulah, maka format pendidikan formal di Kabupaten Sumenep perlu dikaji ulang, guna menyelaraskan sistem pendidikan dengan lingkungan masyarakat sekitar.

A. BERORIENTASI PADA IPTEK
Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) yang begitu pesat tidak bisa kita elakkan lagi. Saat ini kita tidak lagi dipusingkan oleh jauhnya jarak, karena kendaraan super cepat semisal pesawat atau jet sudah tersedia. Kita tidak lagi dibingungkan oleh jauhnya tempat, karena fasilaitas TV, hand phone (HP) dan internet telah tersebar dimana-mana. Jadi,  jarak dan waktu bukan lagi sebuah persoalan karena fasilitas yang mempercepat berita atu informasi telah kita miliki.

Ilmu Pengetahuan yang merupakan terjemahan dari “ science[8] adalah merupakan fakta, konsep-konsep, teori serta hukum-hukum yang diperoleh dengan konsep metode ilmiah. Dengan metode ilmiah kita dituntut untuk bersikap objektif,  jujur, transparan, menerima saran dari orang lain serta mampu memberikan kehidupan yang normatif untuk menuangkan sebuah gagasan pragmatis-efektif.

Teknologi adalah terapan. Sebuah pengejawantahan dari ilmu pengetahuan, sehingga kaita dapat melakukan sebuah pekerjaan secara lebih baik, efektif dan efesien. Dengan teknologi kita bisa berbuat lebih bijak dan lebih sejahtera terhadap individu, masyarakat dan lingkungan.

Sehubungan dengan IPTEK, lebih jauh kita menelaah terhadap fasilitas sarana prasarana serta pada tindak pelayanannya. Terutama di sekolah-sekolah, sebagai tolok ukur dalam kesungguhan dan keseriusannya. Dari beberapa (kalau tidak semuanya) lembaga formal yang ada di wilayah dengan sebutan sumekar, berupa lambang kuda terbang, ini masih jauh dari harapan. Peralatan-peralatan yang ada di laboratorium IPA masih sangat minim, atau bahkan boleh di bilang tidak ada. Ini terjadi pada sekolah-sekolah negeri, lebih lagi di sekolah swasta, tentu lebih sangat memprihatinkan.

Sarana laboratorium IPA merupakan dasar yang paling prinsip dalam pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.[9] Jadi sangat mustahil kita mampu bersaing dengan negara-negara lain, jika  sarana yang paling mendasar sekalipun kurang mendapat perhatian.

Agar urgensi pemahaman terhadap IPTEK (lab IPA) lebih survive, maka pelayanan terhadap fasilitas IPTEK, perlu perhatian secara lebih konsekuen. Hal ini memang tidak mudah apalagi bila dihubungkan dengan anggaran yang begitu mahal (benar-benar mahal ?). Namun dengan tekat dan semangat yang tinggi, cita-cita itu pasti kita raih.

B.  MENUJU GURU PROFESIONAL

Profesi merupakan pekerjaan yang dilakukan sebagai kegiatan pokok untuk menghasilkan nafkah hidup dan yang mengandalkan suatu keahlian.[10] Guru juga merupan sebuah profesi. Oleh karena itu, maka menjadi seorang guru yang hal ini merupakan sebuah pilihan, harus kita lakukan dengan dengan semangat profesi. Namun untuk mencapai keahlian ini kita dihadapkan terhadap banyak persoalan. Terutama terkait dengan persoalan kesejahteraan yang kita dapatkan dari profesi kita sebagai guru. Namun demikian, kita telah meleburkan diri di dalam kancah dunia pendidikan. Oleh karena itu persoalan kesejahteraan yang tidak memadai harus dinomorduakan. Hal ini untuk menggairahkan rasa tanggung jawab terhadap profesi yang telah kita pilih.

A Sony Keraf (1991, 41) memaparkan ciri-ciri profesi sebagai berikut :

1)      Adanya pengetahuan khusus terkait dengan profesi yang digelutinya, dalam hal ini sebagai calon pendidik jelas sudah mempunyai bekal yang dapat digunakan sebagai bahan untuk tatanan dalam sekolah, baik terkait dengan kegiatan belajar mengajar maupun dalam hubungannya dengan para teman sejawat dan para staf pendidik di sekolah.

2)      Adanya kaidah dan standar moral yang tinggi, dalam arti adanya norma yang jelas dalam mengemban amanat sebagai pendidik, dalam percakapan sehari-hari dikatakan guru kencing berdiri murid kencing berlari. Dalam pepatah jawa dikatakan guru adalah seorang yang digugu dan ditiru (dapat dicontoh dan diteladani). Untuk itu dalam berbuat dan bertingkah, baik terhadap sesama, atasan, maupun kepada para siswa hendaknya selalu mencerminkan keteladanan.

3)      Pengabdian kepada kepentingan masyarakat. Dalam paparan diatas dikatakan bahwa profesi luhur meletakkan kepentingan pribadinya dibawah kepentingan masyarakat. Dalam rangka ini ada suatu keinginan untuk mengabdikan jasa kepada masyarakat sebagai pengabdian tanpa pamrih, namun dalam perkembangannya timbul kecenderungan baru memperdagangkan jasa tersebut untuk memperoleh keuntungan. Seorang guru hendaknya harus tetap memegang amanat dalam upayanya untuk menghilangkan serta mengikis kebodohan.

4)      Ada ijin khusus untuk bisa melaksanakan suatu profesi tersebut. Bagi seorang pendidik ijin tersebut dikeluarkan apabila yang bersangkutan benar-benar mampu untuk melaksanakan kegiatan belajar mengajar sesuai dengan bidang yang digelutinya dalam hal ini berupa ijazah akta mengajar.

5)      Kaum profesional biasanya menjadi anggota dari suatu organisasi profesi dengan tujuan untuk menjaga keluhuran profesi tersebut, selain itu  juga sebagai wahana untuk menyelesaikan permasalahan terkait dengan profesi yang digelutinya. Organisaai profesi bagi seorang pendidik dapat melalui ISPI (Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia) atau lainnya.[11]

Pendapat lain mengetengahkan sehubungan dengan profesi, bahwa guru sebagai profesi  menuntut adanya kemampuan administratif, merencanakan, melaksanakan kegiatan sesuai dengan rencana, serta mengevaluasi terhadap apa yang telah dikerjakan.[12] Sebagai guru yang profesional tentu kita dituntut untuk menunjukkan keprofesionalannya di dalam afektifitas dunia pendidikan.

Untuk mewujudkan guru profesional di wilayah Kabipaten Sumenep perlu adanya tekat dan semangat dari berbagai pihak yang terkait. Dalam hal ini mungkinkah pemerintah daerah Kabupaten Sumenep menfasilitasi semua aspek kebutuhan hidup bagi guru-guru yang ada di wilayah ini ? Di sinilah pemerintah kita diuji kelayakan kepemimpinan serta pengayomannya terhadap kemajuan lembaga pendidikan dimanapun dan dalam bentuk apapun. Jadi tidak ada perbedaan antara lembaga kepulauan maupun daratan, serta juga tak ada dikotomi antara lembaga pendidikan negeri maupun swasta, formal maupun nonformal, seimbang dan sama rata.

C. KURIKULUM KREATIF BERBASIS IMTAQ

Kurikulum adalah perangkat mata pelajaran yang tersusun dan sistematis yang diajarkan pada suatu lembaga pendidikan atau paerangkat mata kuliah mengenai bidang keahlian khusus.[13] Kreatif adalah bermakna memiliki daya cipta atau kemampuan untuk menciptakan[14] sesuatu yang bernilai positif. Jadi, kurikulum kreatif adalah muatan-muatan perangkat pembelajaran yang meliputi : Analisis materi pelajaran (AMP), program tahunan maupun program semester, silabus serta sistem penilaian yang kooperatis praktis.

Kurikulum pendidikan Sumenep masa depan harus dikembangkan berdasarkan kompetensi dasar (competency-based curriculum). Dalam konsep ini, kurikulum disusun berdasarkan kemampuan dasar minimal yang harus dikuasai seorang peserta didik, setelah yang bersangkutan menyelesaikan satu unit pelajaran, satu satuan waktu dan atau satu satuan pendidikan.[15]

Berdasarkan sosio-kultural Kabupaten Sumenep yang mayoritas beragama Islam, maka pengembangan kurikulum juga ditekankan pada pengembangan Iman dan takwa. Kurikulum berbasis Iman dan Takwa, yang dalam istilah A. Wahid Hasan berbasis spiritual (SQ)[16] adalah kurikulum pendidikan yang berdasarkan konsep-konsep pendidikan Islam. Pendidikan Islam menurut Dr. Yusuf al-Qardhawi adalah pendidikan manusia seutuhnya ; akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya ; akhlak dan keterampilannya. Karena pendidikan menyiapkan manusia untuk hidup , baik dalam (damai) dan perang, dan menyiapkan untuk menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatannya, manis dan pahitnya.[17]

Materi pendidikan masa depan harus ditekankan pada mata pelajaran yang sanggup menjawab tantangan zaman, globalisasi, berlandaskan IMTAQ dan perkembangan IPTEK yang sangat cepat. Karena itu, pelajaran ilmu-ilmu dasar, yaitu matematika dan IPA serta pendidikan moral dan etika menjadi inti pengembangan kurikulum di setiap jenis dan jenjang pendidikan.

Ada beberapa indikator pengambangan kurikulum yang seharusnya menjadi perhatian serius oleh dinas pendidikan kabupaten Sumenep :

-                            Kurikulum pendidikan harus bersifat luwes, sederhana dan bisa menampung berbagai kemungkinan perubahan di masa yang akan datang sebagai dampak perkembangan teknologi dan tuntusan sosio-kultural (adat budaya, termasuk agama) masyarakat

-                            Kurikulum harus bersifat pedoman pokok (general guideline) kegiatan pembelajaran siswa

-                            Pengembangan kurikulum selayaknya dilakukan secara simultan dengan pengmbangan bahan ajar (buku dan lembaar kerja siswa) dan media atau alat pembelajaran

-                            Kurikulum pendidikan hendaknya berpatokan pada standar global/regional, berwawasan nasional dan dilaksanakan secara lokal

-                            Kurikulum pendidikan hendaknya merupakan satu kesatuan dan kesinambungan dengan satuan dan jenjang pendidikan di atasnya

-                            Pengembangan kurikulum bukan lagi menjadi otoritas pemerintah pusat, tetapi merupakan shared activity dengan pemerintah daerah, bahkan komunitas

-                            Pengembangan tidak diarahkan untuk menciptakan satu kurikulum tunggal yang diberlakukan untuk semua sekolah

-                            Kurikulum juga mesti memperhatikan pendidikan yang terjadi di keluarga dan komunitas/masyarakat.

-                            Kurikulum harus bersifat stimulus terhadap stigma sosio-agama masyarakat Sumenep, yaitu meningkatkan keimanan dan ketakwaan terhadap Allah SWT.


Tetapi yang perlu diperhatikan dalam setiap strategi, konsep dan idiologi pendidikan Kabupaten Sumenep adalah keselarasan wacana praktis terhadap tujuan pendidikan yang kita inginkan. Sebab bagaimanapun, sebaik apaun kurikulumnya, variasi metodenya dan kelengkapan sarana prasaarananya tanpa ditunjang oleh profesionalisme guru yang memadai, tidak akan terjadi proses pembelajaran yang ideal,[18] praktis dan representatif.

D. SISTEM PENDIDIKAN OBJEKTIF REPRESENTATIF

Seharusnya pendidikan masa depan Sumenep harus bersaifat objektif representatif, artinya sebuah konsep serta strategi pendidikan yang mampu mewakili semua kalangan. Kita tahu bahwa, masyarakat Sumenep, secara kultural, terdiri dari beragam kebiasaan yang harus menjadi perhatian serius. Oleh karena itu, pendidikan sumenep harus bersifat makro serta mewadahi setiap golongan yang ada.

Konsep community based education (pendidikan berbasis komunitas atau masyarakat) yang merupakan konsekwensi dari otonomi pendidikan dan sekolah,[19] merupakan sebuah strategi yang harus diaktualisasikan dalam proses kegiatan pendidikan di Kabupaten Sumenep. Hal ini karena konsep pendidikan  bermasyarakat ini dapat mencakup setiap lini komunitas masyarakat Sumenep. Jadi, persoalan selanjutnya adalah sebuah pertanyaan kritis yang dialamatkan ke Pemerintah Kabupaten Sumenep, adakah keberanian pemerintah daerah untuk menjadikan sebuah konsep strategi pendidikan sesuai dengan sosio-kultural, sosio-agama, sosio-pedagogis, sosio-politis, sosio-ekonomi, termasuk sosio-geografisnya.[20]

Memahami pendidikan yang sesuai dengan keadaan lingkungan masyarakat Sumenep, tentu saja Pemerintah Daerah (baca : Sumenep) harus mempunyai visi dan misi yang jelas. Sebab, realitas ini merupakan dasar yang fundamental untuk menciptakan tatanan kehidupan pendidikan yang survive pragmatis.

Sehubungan dengan hal tersebut, Gordon dan Jeannette Vos (The Leaning Revolution), merumuskan apa yang menjadi tujuan (visi dan misi) belajar :[21]

1.                            Mempelajari keterampilan dan pengetahuan tentang materi-materi pelajaran spesifik. Keterampilan merupakan kecakapan praktis yang harus dimiliki oleh setiap individu guna menjalankan kehidupan hakiki, demi terciptanya kesejahteraan universal, baik kepada diri sendiri, keluarga, masyarakat dan lingkungan sekitar
2.                            Mengembangkan konseptual umum. Biasanya konsep-konsep, fakta, teori-teori yang terdapat pada sebuah materi pelajaran merupakan sebuah konsep umum, yang hal ini perlu dikembangkan oleh individu sesuai dengan  pengetahuan keterampilan yang dimilikinya.
3.                            Mengembangkan kemampuan dan sikap pribadi yang secara mudah dapat digunakan dalam segala tindakan. Sikap,  merupaka sebuah etika, etika adalah tingkah laku yang sesuai dengan kaidah dan norma kemasyarakatan. Jadi, dengan kemampuan mengembangkan sikap pribadi daharapkan sosial kemasyarakatannya (hablum minannas) dapat dipertanggungjawabkan.

E. STIMULUS PENDIDIKAN BERLANDASKAN MORAL

Sebuah keharusan bahwa landasan pendidikan Kabupaten Sumenep harus berdasarkan serta berlandaskan etika-moral. Sesuai dengan etika ketimuran, bahwa sikap kemasyarakatan harus diutamakan. Hal ini, karena akhlak adalah merupakan sikap awal sebagao cerminan terhadap tingkah laku dalam masyarakat. Demikian pun menjadi sebuah misi Rasulullah, bahwa beliau diutus untuk memperbaiki kebobrokan moral di tengah masyarakat jahiliyah.

“ Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia “


Pasal 31 UUD 1945, ayat 3 menegaskan ; “ Pemerintah mengusahakan dengan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang”.[22]

Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) “ Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara “.[23]

Dengan memperhatikan konsep-konsep yuridis di atas dapat dikemukakan bahwa pendidikan diarahkan kepada mentalitas sikap terhadap kehidupan bermasyarakat. Jadi tidaklah berlebihan bila pemerintah kita harus mempunyai prinsip revolusif untuk mengetengahkan sebuah strategi pendidikan yang komprehensif.

PENUTUP

Paradigma pendidikan di Kabupaten Sumenep harus berdasarkan sosio-kultural yang terjadi di masyarakat. Hal ini harus mengacu kepada religiusitas masyarakat yang lebih mengarah kepada pendidikan Islam. Profesionalisme seorang guru harus ditekankan dalam rangka meningkatkan kemampuan keterampilan guru dengan variasi motode serta beragam kaidah pembelajaran yang sesuai dengan kultur pendidikan di lingkungan tempat mengajar.

Profil seorang guru :
1)      Memiliki kepribadian yang matang dan berkembang. Kepribadian merupakan sifat dan sikap yang harus dimiliki oleh seorang guru profesional, karena kepribadian yang matang dan berkembang akan memberikan dampak yang sgnifikan terhadap anak didiknya. Kribadian matang berarti mampu mengendalikan emosional diri terhadap segala kemungkinan yang akan terjadi, baik itu yang bersifat memaksa terhadap tindak laksana kebijaksanaan. Kepribadian berkembang memiliki arti bahwa guru bisa menularkan segala keterampilan yang dimiliki serta dapat beradaptasi terhadap kemungkinan-kemungkianan yang dapat berubah sesuai dengan kondisi zaman dan lingkungan sekitar tempat terjadinya proses Kegiatan Belajar Mengajar (KBM).
2)      Memilki penguasaan ilmu yang kuat. Artinya memahami betul apa yang menjadi tanggung jawabnya sehubungan dengan proses pendidikan yang dimilki.
3)      Memilki keterampilan untuk memotifasi siswa dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
4)      Mengembangkan profesi secara berkesinambungan. Profesi yang dimiliki harus dikembangkan secara terus-menerus, sesuai dengan kondisi lingkungan masyarakat sekitar yang ada.

Kita tahu bahwa Kabupaten Sumenep, sebagaimana diungkapkan dalam pendahuluan dari tulisan ini adalah mayoritas masyarakatnya beragama Islam. Sementara integritas Pendidikan Agama (Islam) di sekolah-sekolah formal sangat tidak refresentatif. Hanya terdapat dua jam pelajaran dari keseluruhan rata-rata 36 jam pelajaran setiap pekan. Kondisi ini berarti bahwa pendidikan Agama Islam hanya sekitar 5,5 % dibandingkan dengan pendidikan umum. Kondisi ini tidak mencerminkan bahwa Kabupaten Sumenep dapat mengemban visi dan misi IMTAQ. Walaupun dengan alasan bahwa pendidikan agama bisa diintegrasikan pada setiap mata pelajaran, tetapi karena hal itu hanya sebatas formalitas belaka, sehingga tidak dapat dijadikan sebagai konsensus untuk menerapkan Sumenep sebagai derah religius islami.

Di sinilah kemudian dipertanyakan secara kritis kebijakan Pemerintah Daerah, khususnya Kabupaten sumenep untuk merefleksikan keseimbangan antara Pendidikan Agama dengan Pendidikan Umum.

Di akhiar kesimpulan tulisan ini, kami ingin mengungkapakan sebuah stetmen yang diungkapkan oleh Billi P.S. Lim dalam bukunya yang berjudul Berani Gagal, “ Berikan saya 10 orang gagal yang memahami apa artinya kalah dan saya akan kembalikan kepada Anda 10 orang sukses sejati “. [24]

*****

DAFTAR PUSTAKA


Azra, Azyumardi, Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, (Jakarta : PT Logos Wacana Ilmu, 1999)
Bunga Rampai : Menggagas Pendidikan Masa Depan, (Malang : FKIP Universitas Muhammadiyah, 2003)
Sidi, Indra Djati, Menuju Masyarakat Belajar : Menggagas Paradigma Baru Pendidikan, (Jakarta : Paramadina dan PT Logos Wacana Ilmu, 2001)
Lim, Billi P.S, Berani Gagal, (Jakarta : PT Pustaka Delapratasa, 1996)
Zainuddin, Din, Pendidikan Budi Pekerti Dalam Persepektif Islam, (Jakarta : al-Mawardi Prima, 2004)
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan : Edukasi Nomor 06 Tahun 2006
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan : Edukasi Nomor 07 Tahun 2007
Mimbar Pembangunan Agama, Nomor 238 Tahun 2006
Mimbar Pembangunan Agama, Nomor 237 Tahun 2006
Mimbar Pembangunan Agama, Nomor 235 Tahun 2006





[1] Azyumardi Azra, Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, (Jakarta : PT Logos Wacana Ilmu 1999), hal. 3
[2] Al-Qur`an, Surat : al-Zumar : 9
[3] Ibid.
[4] Indra Djati Sidi, Menuju Masyarakat Belajar : Menggagas Paradigma Baru Pendidikan, (Jakarta : Paramadina dan PT Logos Wacana Ilmu 2001), hal. 8
[5] Ibid. hal. 8
[6] Lise Chamisjatin, Menggagas Pendidikan Masa Depan : Potret Guru Profesional Harapan Era Milenium Ketiga, (Malang : FKIP Muhammadiyah), hal. 188
[7] Ahmad Wasir W, Pendidikan Berbasis Nilai : Sebuah Refleksi Menghadapi Pergeseran Nilai Sosial Masa Kini, (Jurnal Eduksi No. VII Tahun 2007) hal. 6
[8] Sukirman dkk, Modul Ilmu Pengetahuan Alam Untuk PGSD, makalah tidak diterbitkan
[9] Indra Djati sidi, Menuju Masyarakat Belajar : Menggagas Paradigma Baru Pendidikan, (Paramadina dan PT Logos Wacana Ilmu 2001), hal. 17
[10] Ahsanul In`am, Menggagas Pendidikan Masa Depan : Etika sebuah Kajian Bagi Seorang Pendidik, (Malang : FKIP Universitas Muhammadiyah), hal. 195
[11] Ibid.
[12] Hidayat Raharja, Guru di Antara Tuntutan Profesionalisme dan Realistas Dunia Pendidikan yang Beragam, (Juranal : Edukasi no. VII Tahun 2007) hal. 58
[13] Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan, hal. 546
[14] Ibid. hal. 530
[15]  Indra Djati sidi, Menuju Masyarakat Belajar : Menggagas Paradigma Baru Pendidikan, (Paramadina dan PT Logos Wacana Ilmu 2001), hal. 15
[16] Mohammad al-Auva, Menggagas Pendidikan Berbasis Spritual, (Resensi : Jurnal Edukasi  No. VII Tahun 2007), hal. 78
[17]  Azyumardi Azra, Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, (Jakarta : PT Logos Wacana Ilmu 1999), hal. 5

[18] Syaiful Rizal Alinata, Pendidikan Berbasis Moral (Urgensi Pendidikan Agama dan Peranan Guru dalam Membangun Moral Siswa), Jurnal Edukasi no. 7 tahun 2007, hal. 34
[19] Indra Djati sidi, Menuju Masyarakat Belajar : Menggagas Paradigma Baru Pendidikan, (Paramadina dan PT Logos Wacana Ilmu 2001), hal. 20
[20] A. Malik fajar, Menggagas Pendidikan Masa Depan : Pendidikan Budi Pekerti, Bunga Rampai (Malang : FKIP Universitas Muhammadiyah, 2003), hal. 7
[21] Ibid. hal. 21
[22] Mohammad Hasan Basri, Pendidikan Moralitas : Membeber Beragam Kerancuan, (Jurnal Edukasi No. 7 tahun 2007) hal. 43
[23] Ibid.
[24] Billi P.S. Lim, Berani Gagal, (Jakarta : PT Pustaka Delapratasa) hal. 41