Wednesday, December 25, 2013

LELAKI KALAH

Aku tidak mengerti, mengapa aku selalu mengalah. Tepatnya, selalu kalah. Padahal aku laki-laki, yang seharusnya menjadi pimpinan dalam sebuah rumah tangga. Kenyataannya, aku selalu di bawah. Aku diam, padahal bukan pendiam. Aku tidak bisa marah, padahal aku bisa. Aku membisu, padahal hatiku berkata-kata, mengata-ngatai, dan terus bicara. Aku kalah. Aku lelaki kalah. Aku terpecundang oleh keangkuhan istriku sendiri.

Takut kepada istri? Mungkin itu predikat yang teramat pantas untuk diriku. Statusku sebagai suami hanya sebatas legal formal. Tidak lebih dari sebuah pajangan bunga di atas meja kamar tamu. Atau malah jauh lebih rendah dari itu. Terkadang timbul di benakku, "Aku ini lelaki apa?" Entahlah! Aku suami yang takut istri. Meski hatiku selalu berontak, namun hal itu hanya di angan saja. Realitasnya, aku hanya diam. Diam dan diam.

Sementara, istriku adalah perempuan yang punya segudang kata. Tanpa ada permasalahan yang pasti, ia terus nyerocos. Aku yang salah lah. Aku tidak begini, tidak begitu. Mengapa begitu, tidak begini. Aku lelaki banci, tidak becus ngurus anak. Tidak ini lah, tidak itu lah. Dan,...terus saja kata-kata itu meluncur dari bibirnya yang tipis, sinis.

Istriku memang cantik, meski tidak cantik amat. Tetapi, kecantikannya akan sirna begitu saja, andai saja Anda tahu kelakuan buruk istriku. Dia tidak mengenal waktu, situasi, dan kondisi. Bahkan, meski ada temanku di rumah, jika ia lagi kumat, maka cacian, kata-kata kotor, dan makian terus saja meluncur dari mulutnya. Hingga, temanku yang sedang berkunjung tidak enak sendiri.

"Hans, aku pulang saja ya!" Begitu biasanya temanku berkata padaku. Di rumahku, keharmonisan hanya sebatas wacana, dan hayalan belaka.

Aku lelaki kalah. Sekali saja aku bicara, maka istriku akan membalasnya dengan puluhan kali. Atau bisa ratusan, bahkan ribuan. Dengan emosi yang meledak-ledak. Tinggi berapi-api. Hingga matanya memerah, ludahnya muncrat ke mana-mana. Ia mau menang sendiri. Seribu alasan, bahkan yang tidak logis sekalipun, untuk membenarkan dirinya sendiri. Ia juga mau benar sendiri. Meskipun ia nyata-nyata salah, ia berlindung di balik kata-katanya yang pedas dan tajam. Menusuk jantung hatiku.

"Kenapa tidak Kauceraikan saja wanita seperti itu," suatu hari Faqih, temanku bicara padaku. Ia turut geram ketika aku curhat tentang rumah tanggaku.
"Bukan aku tidak mau, Qih. Tapi aku juga memikirkan Anis, putriku."
"Daripada makan hati?" Faqih masih agak emosi.
"Ya juga sih!"
***


Rumahku surgaku. Seharusnya begitulah konsep dalam sebuah keluarga. Tetapi apa nyana? Kenyataannya, rumah bagiku tidak ubahnya sebuah neraka. Suasananya begitu gerah, panas, dengan kondisi rumah tangga yang berhaluan darah tinggi. Seringkali aku hanya diam, kalah, atau mengalah. Tetapi, diamku tidak serta merta membuat istriku juga diam. Malah semakin menjadi-jadi. Pintu yang ditutup dengan kasar, peralatan dapur yang terbanting, atau benda apa saja yang tiba-tiba terbang dan pecah. Huh, begitu suasana rumah yang teramat kolbas[1].

Maka, Anis, anakku satu-satunya, putri semata wayang tidak betah di rumah. Setelah pulang sekolah, sehabis makan, biasanya ia pergi. Entah ke mana perginya. Mungkin ke rumah temannya, juga bisa jadi ke rumah saudara sepupunya. Aku juga kurang perhatian. Aku dipaksa abai terhadap anak sendiri, oleh ulah istriku yang sudah kelewat batas. Hatiku, terkadang menangis.

Tidak dengan istriku, ia tetap dalam keangkuhannya. Kesombongannya telah menutupi setiap salah yang ia perbuat. Tidak terbersit sedikit pun penyesalan. Bahkan ketika Anis, sudah tidak betah di rumah. Ia hanya melenguh dengan tatapan miris di hadapanku.

"Itu salahmu sendiri!" Angkuh dari mulut istriku. Benar-benar menjijikkan.

Istriku melimpahkan semua salah padaku. Aku jadi stress. Batinku terperangkap di kubang neraka yang diciptakan istriku. Aku kalah, aku mengalah. Aku menekan dadaku sendiri yang tiba-tiba sakit bagai hantaman martil. Aku juga tidak tahu apa yang harus aku perbuat. Aku tidak kerasan di rumah. Aku muak dengan situasi di rumahku sendiri.

Maka, jika Anis merasa sumpek, tidak betah di rumah, aku pun demikian. Aku seringkali melakukan kesibukan di luar rumah. Bertandang ke rumah teman sampai larut. Jika sudah demikian, istriku biasanya sudah tidur. Jadi tidak ada keributan. Aku pun tidur di kamar sebelah atau kamar tamu. Hem, benar-benar keluaga yang berantakan.

Tetapi, esok paginya, perang itu akan ditabuh bertalu-talu. Keras, sekeras-kerasnya. Tanpa henti, berdentam bersama menepinya tirai malam. Lama-lama aku tidak kuat. Aku tidak mampu bertahan, diam. Cekcok pun terjadi. Lebih kencang, keras, dan tak ada jeda. Haruskah rumah tangga ini dipertahankan?

"Kita bercerai saja!" Aku lontarkan kalimat itu dengan luapan emosi. Aku sudah tidak mampu, tidak kuat mempertahankan keutuhan rumah tangga yang bagaikan neraka.

"Tidak akan ada perceraian itu! Aku belum puas membuatmu lebih sengsara!"

Apa? Membuatku sengsara? Salah apa aku? Aku tidak paham dengan apa yang diinginkan istriku. Mengapa ia ingin aku hidup sengsara. Tidakkah seharusnya, suami istri itu saling berbagi. Saling menyinta dan berbagi kasih? Oh my God! Apa-apaan ini?
***

Mempertahankan rumah tanggaku adalah seperti menggenggam api. Begitu jauh, seperti langit dan bumi. Bagai barat dan timur, yang tidak mungkin menjadi sebuah persimpangan. Mustahil dan teramat tidak mungkin. Aku sudah tidak peduli. Aku harus menikah lagi. Dengan wanita yang menerima aku apa adanya. Mencintaiku dengan segenap jiwanya. Tidak perlu cantik, tetapi hati yang menerima, bersyukur, jauh lebih bisa dinikmati dari hanya sekadar kecantikan fisik. Tanpa persetujuan istriku, aku akhirnya menikah lagi. Seorang wanita sederhana. Kecantikannya, gaya hidupnya, penampilannya, dan kepribadiannya juga bagitu sederhana. Aku mencintainya, sebagitu ia mencintaiku. Aku hidup bersama, bahagia, di sebuah rumah yang teramat sederhana.

Aku ajak Anis bersamaku. Bersama ibu tirinya. Ia pun mau dan menerima ibu baru sebagai ibunya. Ada rasa haru yang tak tertahan, ketika melihat anakku dan istri baruku bercengkrama, layaknya seorang ibu dan anak yang sesungguhnya. Kutemukan surga itu di sana. Di petak rumah yang bersahaja, di kedamaian hidup yang sesungguhnya.

Akhirnya, aku bercerai dengan istri pertamaku. Tidak ada gunanya mempertahankan rumah tangga yang tidak harmonis. Selalu cekcok dan tidak saling menghormati. Rumah tangga yang seperti ini, tidak perlu dipertahankan. Biarlah kita mencari kebahagiaan masing-masing.

Terakhir aku dengar, katanya mantan istriku ada di sebuah lokalisasi. Tidak penting bagiku, di mana pun ia berada. Aku sudah bebas dari tanggung jawab. Apa pun yang ia perbuat, di luar kekuasaanku. Ia bertanggung jawab pada dirinya sendiri. Hanya saja, masih terngiang kata-katanya dulu, selagi aku masih bersamanya.

"Tidak akan ada perceraian itu! Aku belum puas membuatmu lebih sengsara!"

Aku terkadang jadi was-was sendiri, jika kata-kata itu benar adanya. Tapi, aku berserah diri kepada Tuhan. Semoga, aku, anakku, dan istriku kali ini selalu dalam lindungan-Nya.
***

Waktu terus berlalu, membawa ragam kisah manusia di seluruh dunia. Bermacam persoalan yang akan meninggalkan jejak sejarah, manis-pahit, hitam-putih, sedih-gembira, dan lain semacamnya. Berbilang masa, dan jejak-jejak kita semakin terlihat nyata di dalam kehidupan dunia ini. Aku masih terus berkubang di belantara kekalahan yang tak kunjung berakhir.

Tiba-tiba saja aku menderita sakit yang tidak diketahui asal usulnya. Di sudut perutku bagian kiri, terasa diaduk-aduk. Sakit luar biasa. Tidak seperti sakit biasa. Seperti terdapat berlaksa duri yang mencengkeram perutku. Sudah berkali-kali aku memeriksakan diri ke dokter. Dokter tidak menemukan penyakitku. Tiap kali aku memeriksakan diri, dokter bilang tidak terdapat apa-apa. Tidak ada penyakit yang terindikasi secara medis. Tetapi, aku sendiri yang merasakan sakit, terus berasa dalam sebuah penderitaan yang teramat sangat. Sakit yang tak tertahankan.

“Penyakit apa Dok?” suatu hari setelah sekian kali aku memeriksakan diri. Sambil menahan rasa sakit yang luar biasa. Sekan aku tidak mampu bertahan, ingin mati saja rasanya.
“Tidak ada penyakit medis yang Saudara derita,” Dokter Burhan pun heran. Ia seakan tidak percaya terhapa kenyataan yang ia hadapi.

Dengan tangan hampa, aku pulang. Istriku dengan setia menemaniku. Memberikan motivasi dan dorongan, bahwa setiap penyakit pasti ada obatnya. Dengan jalan yang mungkin tidak bisa kita prediksi. Dengan cara yang tidak kita sangka-sangka. Istriku mengajakku untuk lebih dekat kepada Tuhan, Allah swt. Malam-malamku pun selalu aku gunakan untuk bermunajat kepada-Nya.

Anis, anakku belum tahu keadaanku. Setelah lulus dari SMP, ia melanjutkan ke sebuah Pondok Pesantren. Ia sendiri yang menghendaki. Entah tahu darimana, informasi tentang pondok yang ia inginkan. Aku dengan perasaan senang yang meluap-luap, menyetujui keinginan Anis. Di pondok, ia bisa belajar ilmu Agama. Belajar segala pengetahuan yang ingin ia dalami. Termasuk juga etika bergaul, hubungan antara orang tua, guru, tetangga, dan lain sebagainya.

Ada yang bilang aku terkena sihir. “Sihir?” gumamku dengan perasaan tidak menentu. Aku begitu awam dengan ilmu hitam, santet, gendam, dan sebagainya. Sihir, salah satunya yang semula tidak pernah aku bayangkan.

“Mungkin istri pertamamu masih sakit hati,” beberapa kerabat dan tetanggaku bilang seperti itu.
“Benarkah?” Hanya itu yang keluar dari mulutku, sebagai ketidakpercayaan atas penyakit yang aku alami. Sungguh, semula aku tidak percaya dengan sihir. Tetapi pada akhirnya aku pun bisa mengetahui bahwa sihir itu nyata. Benar adanya. Bahkan Rasulullah saw pernah disihir oleh Lubaid bin al A’shom al Yahudi, sehingga Rasulullah saw menderita sakit. Kemudian Allah swt menurunkan surah al-Falaq dan Annas sebagai obatnya.

Hingga pada suatu ketika, saat sakit itu begitu meremukkan tubuhku, aku merasakan sesuatu yang tidak baik. Seakan ajalku sudah akan tiba. Maka, aku ingin sejenak, biar hanya sebentar untuk bertemu dengan Anis, anakku satu-satunya. Sebelum ajalku tiba, aku ingin memeluknya. Ingin mengatakan kepadanya, bahwa aku sangat menyayanginya, mencintainya dengan segenap jiwa dan raga.

Anis pun diparani ke pondoknya. Ia datang dengan perasaan yang hancur. Selama ini, ia tidak tahu kalau ayahnya dalam keadaan sakit. Bahkan, hingga saat-saat yang sangat mendebarkan. Anis menangis di pangkuanku. Aku berbisik kepadanya. Dengan perasaan yang sungguh menghancurkan hatiku. Aku masih ingin tetap bersamanya. Sampai ia dewasa, mandiri, dan mendapatkan jodoh yang ia cintai, dan mencintai Anis apa adanya.

“Anakku, tidak usah sedih. Ayah masih tetap akan terus bersamamu,” dengan linang air mata yang tak tertahankan. Tumpah membanjiri kedua pipiku. Anis semakin erat memelukku.
“Jangan pergi Ayah!” Hanya itu kalimat yang keluar dari mulut anakku.

Tiba-tiba Anis melepaskan pelukannya. Ia kemudian pergi ke kamar mandi. Rupanya, ia mengambil air wudhu’. Benar saja, tidak lama kemudian ia membawa al-Quran dan membacanya di sampingku.

Suara Anis mengalun indah. Meresap di antara desah kesakitanku. Lambat laun, suara ayat-ayat Allah swt itu merasuki pori-pori keimananku. Hatiku bergetar hebat. Merasakan nikmat yang luar biasa. Seakan-akan, sakit yang selama ini aku derita berangsur menghilang. Menyelusup di antara ayat-ayat Quran yang dibacakan anakku. Anis terus saja membaca. Ayat demi ayat. Entah firasat apa yang telah merasuk dalam pikiran anakku. Hingga ia bermaksud untuk menyembuhkan penyakitku dengan ayat-ayat al-Quran. Dengan kehendak Allah swt.

Anis menghentikan bacaannya. Aku berpaling kepadanya. Ia tersenyum, aku pun menyambutnya dengan senyum. Ada riak-riak bahagia di antara aku dengannya.

“Ya Allah, terima kasih, telah Engkau anugerahkan kepadaku Putri yang sholihah,” suaraku bergetar, kebahagiaan muncul bersama hilangnya penyakitku, perlahan-lahan. Alhamdulillahi Robbil ‘Alamin.

Sumenep, 25122013
***







[1] Bahasa Madura, artinya panas sekali.