Aku tidak
mengerti, mengapa aku selalu mengalah. Tepatnya, selalu kalah. Padahal aku
laki-laki, yang seharusnya menjadi pimpinan dalam sebuah rumah tangga.
Kenyataannya, aku selalu di bawah. Aku diam, padahal
bukan pendiam. Aku tidak bisa marah, padahal aku bisa.
Aku membisu, padahal hatiku berkata-kata, mengata-ngatai, dan terus bicara. Aku kalah. Aku lelaki kalah. Aku
terpecundang oleh keangkuhan istriku sendiri.
Takut kepada
istri? Mungkin itu predikat yang teramat pantas untuk diriku. Statusku sebagai
suami hanya sebatas legal formal. Tidak lebih dari sebuah pajangan bunga di
atas meja kamar tamu. Atau malah jauh lebih rendah dari itu. Terkadang timbul
di benakku, "Aku ini lelaki apa?" Entahlah! Aku suami yang takut
istri. Meski hatiku selalu berontak, namun hal itu hanya di angan saja.
Realitasnya, aku hanya diam. Diam dan diam.
Sementara, istriku
adalah perempuan yang punya segudang kata. Tanpa ada permasalahan yang pasti,
ia terus nyerocos. Aku yang salah lah.
Aku tidak begini, tidak begitu. Mengapa begitu, tidak begini. Aku lelaki banci,
tidak becus ngurus anak. Tidak ini lah,
tidak itu lah. Dan,...terus saja
kata-kata itu meluncur dari bibirnya yang tipis, sinis.
Istriku memang
cantik, meski tidak cantik amat. Tetapi, kecantikannya akan sirna begitu saja,
andai saja Anda tahu kelakuan buruk istriku. Dia tidak mengenal waktu, situasi,
dan kondisi. Bahkan, meski ada temanku di rumah, jika ia lagi kumat, maka
cacian, kata-kata kotor, dan makian terus saja meluncur dari mulutnya. Hingga, temanku
yang sedang berkunjung tidak enak sendiri.
"Hans, aku
pulang saja ya!" Begitu biasanya temanku berkata padaku. Di rumahku,
keharmonisan hanya sebatas wacana, dan hayalan belaka.
Aku lelaki kalah.
Sekali saja aku bicara, maka istriku akan membalasnya dengan puluhan kali. Atau
bisa ratusan, bahkan ribuan. Dengan emosi yang meledak-ledak. Tinggi
berapi-api. Hingga matanya memerah, ludahnya muncrat ke mana-mana. Ia mau
menang sendiri. Seribu alasan, bahkan yang tidak logis sekalipun, untuk
membenarkan dirinya sendiri. Ia juga mau benar
sendiri. Meskipun ia nyata-nyata salah, ia berlindung di balik kata-katanya
yang pedas dan tajam. Menusuk jantung hatiku.
"Kenapa tidak
Kauceraikan saja wanita seperti itu," suatu hari Faqih, temanku bicara
padaku. Ia turut geram ketika aku curhat tentang rumah tanggaku.
"Bukan aku
tidak mau, Qih. Tapi aku juga memikirkan Anis, putriku."
"Daripada makan hati?" Faqih masih agak emosi.
"Ya juga
sih!"
***
Rumahku surgaku.
Seharusnya begitulah konsep dalam sebuah keluarga. Tetapi apa nyana?
Kenyataannya, rumah bagiku tidak ubahnya sebuah neraka. Suasananya begitu
gerah, panas, dengan kondisi rumah tangga yang berhaluan darah tinggi. Seringkali aku hanya diam, kalah, atau mengalah.
Tetapi, diamku tidak serta merta membuat istriku juga diam. Malah semakin
menjadi-jadi. Pintu yang ditutup dengan kasar, peralatan dapur yang terbanting,
atau benda apa saja yang tiba-tiba terbang dan pecah. Huh, begitu suasana rumah yang teramat kolbas[1].
Maka, Anis, anakku
satu-satunya, putri semata wayang tidak betah di rumah. Setelah pulang sekolah,
sehabis makan, biasanya ia pergi. Entah ke mana perginya. Mungkin ke rumah
temannya, juga bisa jadi ke rumah saudara sepupunya. Aku juga kurang perhatian.
Aku dipaksa abai terhadap anak sendiri, oleh ulah istriku yang sudah kelewat
batas. Hatiku, terkadang menangis.
Tidak dengan
istriku, ia tetap dalam keangkuhannya. Kesombongannya telah menutupi setiap
salah yang ia perbuat. Tidak terbersit sedikit pun penyesalan. Bahkan ketika
Anis, sudah tidak betah di rumah. Ia hanya melenguh dengan tatapan miris di
hadapanku.
"Itu salahmu
sendiri!" Angkuh dari mulut istriku. Benar-benar menjijikkan.
Istriku
melimpahkan semua salah padaku. Aku jadi stress. Batinku terperangkap di kubang
neraka yang diciptakan istriku. Aku kalah, aku mengalah. Aku menekan dadaku
sendiri yang tiba-tiba sakit bagai hantaman martil. Aku juga tidak tahu apa
yang harus aku perbuat. Aku tidak kerasan di rumah. Aku muak dengan situasi di
rumahku sendiri.
Maka, jika Anis
merasa sumpek, tidak betah di rumah, aku pun demikian. Aku seringkali melakukan
kesibukan di luar rumah. Bertandang ke rumah teman sampai larut. Jika sudah
demikian, istriku biasanya sudah tidur. Jadi tidak ada keributan. Aku pun tidur
di kamar sebelah atau kamar tamu. Hem,
benar-benar keluaga yang berantakan.
Tetapi, esok
paginya, perang itu akan ditabuh bertalu-talu. Keras, sekeras-kerasnya. Tanpa
henti, berdentam bersama menepinya tirai malam. Lama-lama aku tidak kuat. Aku
tidak mampu bertahan, diam. Cekcok pun terjadi. Lebih kencang, keras, dan tak
ada jeda. Haruskah rumah tangga ini dipertahankan?
"Kita
bercerai saja!" Aku lontarkan kalimat itu dengan luapan emosi. Aku sudah
tidak mampu, tidak kuat mempertahankan keutuhan rumah tangga yang bagaikan
neraka.
"Tidak akan
ada perceraian itu! Aku belum puas membuatmu lebih sengsara!"
Apa? Membuatku
sengsara? Salah apa aku? Aku tidak paham dengan apa yang diinginkan istriku. Mengapa ia ingin aku hidup sengsara. Tidakkah
seharusnya, suami istri itu saling berbagi. Saling menyinta dan berbagi kasih? Oh my God! Apa-apaan ini?
***
Mempertahankan
rumah tanggaku adalah seperti menggenggam api. Begitu jauh, seperti langit dan
bumi. Bagai barat dan timur, yang tidak mungkin menjadi sebuah persimpangan.
Mustahil dan teramat tidak mungkin. Aku sudah tidak peduli. Aku harus menikah
lagi. Dengan wanita yang menerima aku apa adanya. Mencintaiku dengan segenap jiwanya. Tidak perlu cantik, tetapi hati yang menerima, bersyukur, jauh lebih
bisa dinikmati dari hanya sekadar kecantikan fisik. Tanpa persetujuan istriku,
aku akhirnya menikah lagi. Seorang wanita sederhana. Kecantikannya, gaya
hidupnya, penampilannya, dan kepribadiannya juga bagitu
sederhana. Aku mencintainya, sebagitu ia mencintaiku. Aku hidup bersama,
bahagia, di sebuah rumah yang teramat sederhana.
Aku ajak Anis
bersamaku. Bersama ibu tirinya. Ia pun mau dan menerima ibu baru sebagai
ibunya. Ada rasa haru yang tak tertahan, ketika melihat anakku dan istri baruku
bercengkrama, layaknya seorang ibu dan anak yang sesungguhnya. Kutemukan surga
itu di sana. Di petak rumah yang bersahaja, di kedamaian hidup yang
sesungguhnya.
Akhirnya, aku
bercerai dengan istri pertamaku. Tidak ada gunanya mempertahankan rumah tangga
yang tidak harmonis. Selalu cekcok dan tidak saling menghormati. Rumah tangga
yang seperti ini, tidak perlu dipertahankan. Biarlah kita
mencari kebahagiaan masing-masing.
Terakhir aku
dengar, katanya mantan istriku ada di sebuah lokalisasi. Tidak penting bagiku,
di mana pun ia berada. Aku sudah bebas dari tanggung jawab. Apa pun yang ia
perbuat, di luar kekuasaanku. Ia bertanggung jawab pada dirinya sendiri. Hanya
saja, masih terngiang kata-katanya dulu, selagi aku masih bersamanya.
"Tidak akan ada perceraian itu! Aku belum puas
membuatmu lebih sengsara!"
Aku terkadang jadi
was-was sendiri, jika kata-kata itu benar adanya. Tapi, aku berserah diri
kepada Tuhan. Semoga, aku, anakku, dan istriku kali ini selalu dalam
lindungan-Nya.
***
Waktu terus
berlalu, membawa ragam kisah manusia di seluruh dunia. Bermacam persoalan yang akan
meninggalkan jejak sejarah, manis-pahit, hitam-putih, sedih-gembira, dan lain
semacamnya. Berbilang masa, dan jejak-jejak kita semakin terlihat nyata di
dalam kehidupan dunia ini. Aku masih terus berkubang di belantara kekalahan
yang tak kunjung berakhir.
Tiba-tiba
saja aku menderita sakit yang tidak diketahui asal usulnya. Di sudut perutku
bagian kiri, terasa diaduk-aduk. Sakit luar biasa. Tidak seperti sakit biasa.
Seperti terdapat berlaksa duri yang mencengkeram perutku. Sudah berkali-kali
aku memeriksakan diri ke dokter. Dokter tidak menemukan penyakitku. Tiap kali
aku memeriksakan diri, dokter bilang tidak terdapat apa-apa. Tidak ada penyakit
yang terindikasi secara medis. Tetapi, aku sendiri yang merasakan sakit, terus
berasa dalam sebuah penderitaan yang teramat sangat. Sakit yang tak
tertahankan.
“Penyakit
apa Dok?” suatu hari setelah sekian kali aku memeriksakan diri. Sambil menahan
rasa sakit yang luar biasa. Sekan aku tidak mampu bertahan, ingin mati saja
rasanya.
“Tidak
ada penyakit medis yang Saudara derita,” Dokter Burhan pun heran. Ia seakan
tidak percaya terhapa kenyataan yang ia hadapi.
Dengan
tangan hampa, aku pulang. Istriku dengan setia menemaniku. Memberikan motivasi
dan dorongan, bahwa setiap penyakit pasti ada obatnya. Dengan jalan yang
mungkin tidak bisa kita prediksi. Dengan cara yang tidak kita sangka-sangka.
Istriku mengajakku untuk lebih dekat kepada Tuhan, Allah swt. Malam-malamku pun
selalu aku gunakan untuk bermunajat kepada-Nya.
Anis,
anakku belum tahu keadaanku. Setelah lulus dari SMP, ia melanjutkan ke sebuah
Pondok Pesantren. Ia sendiri yang menghendaki. Entah tahu darimana, informasi
tentang pondok yang ia inginkan. Aku dengan perasaan senang yang meluap-luap,
menyetujui keinginan Anis. Di pondok, ia bisa belajar ilmu Agama. Belajar
segala pengetahuan yang ingin ia dalami. Termasuk juga etika bergaul, hubungan
antara orang tua, guru, tetangga, dan lain sebagainya.
Ada yang
bilang aku terkena sihir. “Sihir?” gumamku dengan perasaan tidak menentu. Aku
begitu awam dengan ilmu hitam, santet, gendam, dan sebagainya. Sihir, salah
satunya yang semula tidak pernah aku bayangkan.
“Mungkin
istri pertamamu masih sakit hati,” beberapa kerabat dan tetanggaku bilang
seperti itu.
“Benarkah?”
Hanya itu yang keluar dari mulutku, sebagai ketidakpercayaan atas penyakit yang
aku alami. Sungguh, semula aku tidak percaya dengan sihir. Tetapi pada akhirnya
aku pun bisa mengetahui bahwa sihir itu nyata. Benar adanya. Bahkan Rasulullah
saw pernah disihir oleh Lubaid bin al A’shom al Yahudi, sehingga Rasulullah saw
menderita sakit. Kemudian Allah swt menurunkan surah al-Falaq dan Annas sebagai
obatnya.
Hingga
pada suatu ketika, saat sakit itu begitu meremukkan tubuhku, aku merasakan
sesuatu yang tidak baik. Seakan ajalku sudah akan tiba. Maka, aku ingin
sejenak, biar hanya sebentar untuk bertemu dengan Anis, anakku satu-satunya.
Sebelum ajalku tiba, aku ingin memeluknya. Ingin mengatakan kepadanya, bahwa
aku sangat menyayanginya, mencintainya dengan segenap jiwa dan raga.
Anis pun
diparani ke pondoknya. Ia datang dengan perasaan yang hancur. Selama ini, ia
tidak tahu kalau ayahnya dalam keadaan sakit. Bahkan, hingga saat-saat yang
sangat mendebarkan. Anis menangis di pangkuanku. Aku berbisik kepadanya. Dengan
perasaan yang sungguh menghancurkan hatiku. Aku masih ingin tetap bersamanya.
Sampai ia dewasa, mandiri, dan mendapatkan jodoh yang ia cintai, dan mencintai
Anis apa adanya.
“Anakku,
tidak usah sedih. Ayah masih tetap akan terus bersamamu,” dengan linang air
mata yang tak tertahankan. Tumpah membanjiri kedua pipiku. Anis semakin erat
memelukku.
“Jangan
pergi Ayah!” Hanya itu kalimat yang keluar dari mulut anakku.
Tiba-tiba
Anis melepaskan pelukannya. Ia kemudian pergi ke kamar mandi. Rupanya, ia
mengambil air wudhu’. Benar saja, tidak lama kemudian ia membawa al-Quran dan
membacanya di sampingku.
Suara
Anis mengalun indah. Meresap di antara desah kesakitanku. Lambat laun, suara
ayat-ayat Allah swt itu merasuki pori-pori keimananku. Hatiku bergetar hebat.
Merasakan nikmat yang luar biasa. Seakan-akan, sakit yang selama ini aku derita
berangsur menghilang. Menyelusup di antara ayat-ayat Quran yang dibacakan
anakku. Anis terus saja membaca. Ayat demi ayat. Entah firasat apa yang telah
merasuk dalam pikiran anakku. Hingga ia bermaksud untuk menyembuhkan penyakitku
dengan ayat-ayat al-Quran. Dengan kehendak Allah swt.
Anis
menghentikan bacaannya. Aku berpaling kepadanya. Ia tersenyum, aku pun
menyambutnya dengan senyum. Ada riak-riak bahagia di antara aku dengannya.
“Ya
Allah, terima kasih, telah Engkau anugerahkan kepadaku Putri yang sholihah,”
suaraku bergetar, kebahagiaan muncul bersama hilangnya penyakitku,
perlahan-lahan. Alhamdulillahi Robbil
‘Alamin.
Sumenep, 25122013
***