SESOBEK SURAT KECIL BUAT BAPAK JOKOWI-JK
Tidak
pernah terbayangkan dalam benak saya, jika pada akhirnya, Jokowi-JK yang aku
pilih, bertekuk lutut pada partai. Jargon yang dia ungkapkan semasa kampanye,
hanya sebatas retorik licik berakar politik. Maka, kekecewaan saya pun
berlarut, berurat, dan berakar.
Semula,
saya banyak berharap dari Pak Jokowi. Kesederhanaannya, membangkitkan asa yang
begitu besar. Ditambah lagi dengan 'blusukannya' mengingatkan saya pada Sahabat
Umar bin Khattab.
"Inilah
presiden yang saya banggakan!"
Begitu
kira-kira pikiran saya berharap. Berharap agar rakyat lebih sejahtera. Berharap
agar BBM tidak naik, dan tidak naik lagi. Berharap agar bahan-bahan pokok tidak
mencekik. Berharap agar korupsi tidak semakin menjadi-jadi. Berharap agar tidak
ada kriminalisasi. Berharap agar hukum dan keadilan semakin mumpuni. Dan masih
banyak lagi, harapan-haran yang lainnya.
Ahh,,,
Ternyata harapan itu sia-sia. Berharap hujan di musim kemarau, berharap mimpi
di saat terjaga. Saya semakin apatis terhadap pemerintahan ini, meski tidak
sampai pada tingkat nadir. Karena saya masih ingin ada perubahan. Ada
kebijakan-kebijakan yang memihak kepada rakyat kecil. Saya pun tidak pernah
berhenti berharap, doa yang selalu saya panjatkan. Semoga masih ada oase di
padang gersang. Masih berharap embun di puncak kemarau.
Tentu,
sesiapa pun presidennya tidak dapat dipastikan terjadi perubahan. Perubahan ke
arah yang positif tentunya. Karena presiden kita saat ini, dibayang-bayangi
oleh situasi sekitar. Politik terkadang membawa dampak yang absurd. Keinginan
pribadi terkebiri oleh kemauan partai yang mengusungnya. Tapi, haruskah
kepentingan rakyat ter-marjinal-kan?
Kecewa?
Tentu! Karena presiden yang saya gadang-gadang, yang saya sanjung-sanjung,
tidak sebagaimana yang saya harapkan. Jokowi-JK tidak seperti yang saya
bayangkan. Bukan orang tua yang sayang akan anaknya (baca: rakyat kecil). Bukan
sahabat yang akan menolong sahabat lainnya yang 'kelaparan.' Tetapi, mereka
berada di balik bayang-bayang partai, penentu kebijakan yang meng-atasnama-kan
golongan. Bolehlah saya uangkap sebagai 'boneka', atau sapi perah yang diambil
manfaatnya, kemudian digiring ke tempat 'jagal.'
Adakah
saya terlalu emosional dalam perkara ini? Bisa mungkin, pun bisa tidak. Apapun
alasannya, saya telah memilih. Maka pilihan saya harus saya
pertanggungjawabkan. Dengan cara apa? Tentu dengan cara mengingatkan. Meski
hanya sebatas Sesobek Surat Lusuh ini, harapan untuk kembali pada jalan
kebenaran harus tetap diupayakan.
Saya
tidak berharap suksesi di tengah jalan. Karena akan begitu banyak makan korban.
Ya, yang terkorbankan adalah rakyat kecil. Rakyat yang tidak tahu menahu
tentang politik. Tidak paham dengan kebijakan pejabat. Tidak mengerti dengan
kesenjangan-kesenjangan sosial. Mereka terkorbankan oleh kepentingan kelompok,
golongan, dan kemauan partai.
Saya
juga tidak suka dengan demonstrasi. Apa lagi demo yang dimotori oleh sebungkus
nasi. Demonstrasi model ini hanya akan mengganggu stabilitas. Waktu yang
terkorbankan. Bulum lagi bentrok fisik yang mengakibatkan lecet, luka, patah,
bahkan yang terparah bisa kehilangan nyawa.
Bagi
saya, kebijakan yang berpihak pada grassroot, rakyat kelas bawah sudah sangat
bagus. Karena dengan kebijakan dan kebijaksanaan ini, rakyat akan merasakan
dampaknya. Masyarakat menjadi damai, makmur. Sebagaimana yang diamanatkan dalam
UUD '45.
Lalu,
mengapa BBM selalu naik? Dampaknya, kebutuhan bahan makanan pokok pun mencekik
rakyat. Mengapa rupiah semakin terperosok ke jurang, ngarai yang paling dalam?
Mengapa pula LPJ juga terus merangkak, mendaki? Mengapa kriminalisasi tidak
kunjung usai? Mengapa pengadilan berpihak pada 'orang-orang besar?' Mengapa?
Mengapa? Mengapa?
Terakhir,
apa kabar revolusi mental? Apa kabar hukuman mati untuk kasus narkoba? Apa
kabar KPK? Apa kabar POLRI? Dimana dan kemana kebijakanmu 'Jokowi-JK' yang dulu
dikampanyekan?
Ahh,
rasanya hilang sudah asa di hati saya. Andai saja krisis multi level ini tidak
berkesudahan, maka mati berkalang tanah akan jauh lebih menenangkan. Tapi, aku
masih percaya Tuhan.
"Janganlah
Engkau berputus asa atas Rahmat Allah. Karena sesungguhnya tidak akan berputus
asa atas Rahmat Allah, kecuali orang-orang yang kafir." (Alquran)
Jadi,
Sobekan Surat Kecil ini tetap disudahi dengan harapan. Harapan perubahan kebijakan
yang berpihak kepada rakyat kecil. Karena, merekalah yang pertama kali akan
menjerit, melengking hingga menembus langit ketujuh, andai saja kebijakan itu
tidak berpihak kepada mereka.
"Wahai
Surat Kecil, terbanglah ke angkasa meski tidak ada yang sudi membaca. Karena,
angin, bintang, awan, langit, mentari, pelangi, dan sebagainya, yang akan
membacakannya untuk para pemangku kebijakan. Terbanglah, bersama asa yang terus
berkobar!"
Sumenep,
03/04/2015