▼
Friday, April 26, 2013
Sunday, April 14, 2013
ISTRIKU BIDADARIKU
Tidak berapa lama aku
pun telah selesai dengan persiapan mengajar besok pagi. Ada perasaan lega.
Lelah dan capek tiba-tiba datang menyergap. Aku pun menggeliat, beranjak ke
pembaringan. Rasa pegal dan capek mengajakku untuk segera berhayal di dunia
mimpi. Aku pun berbaring di samping istri dan anakku
yang paling kecil. Kedua anakku yang lain tidur di kamar sebelah.
Tapi aku tidak bisa
cepat-cepat tidur. Entahlah, alam pikiranku terus berjalan, menghayal jauh
entah kemana. Aku pun tidak tau kenapa bisa begini. Resah pun jadi gelisah.
Muara hayalku belum berlabuh di alam tidurku. Bantal pun terasa gerah, panas.
Aku hanya bisa bolak-balik di
pembaringan yang terus saja terasa tidak nyaman.
Tiba-tiba anakku yang
paling kecil merengek.
"Ma, mimik
susu" katanya dengan logat bahasanya sendiri yang masih cadel. Maklum
anakku yang bungsu ini berumur belum genap
dua tahun. Tubuhnya mungil nampak seperti kurang gizi. Padahal dibandingkan
dengan mbak dan masnya, dia paling terjamin gizi makan dan minumannya. Makannya
pun dia banyak. Tapi biarlah, toh dia sehat-sehat saja tak kurang suatu apa.
Mendengar rengekan
anaknya, istriku terbangun dan beranjak ke dapur. Sebentar ia melihat ke arahku
yang juga masih belum tidur. Tanpa berkata apa-apa hanya sebuah senyum bangun
tidurnya, ia terus pergi ke dapur.
Membuatkan susu untuk si kecil. Tidak lama kemudian ia pun kembali sambil
memberikan sebotol kecil susu hangat. Si kecil pun dengan tersenyum semangat
menerimanya dan terus melahapnya.
"Eitt...
jangan langsung mimik. Harus baca apa dulu?" cegah istriku dengan lembut.
Si kecil hanya nyengir saja. Kemudian membaca
bismillah seperti yang diinginkan mamanya.
"Bismillahirrahmanirrohim.
Allahumma barik...."
tentu dengan logatnya yang masih berlepotan.
Aku hanya tersenyum
melihat itu semua. Ada rasa bangga ketika keluarga islami mengalir di relung
keluargaku. Sungguh aku bersyukur dengan keadaan keluargaku.
"Alhamdulillah,
tiada sia-sia didikanku selama ini. Istri yang sabar, setia, ikhlas, dan
menerima apa adanya. Anak-anak yang sehat, cerdas, dan patuh kepada kedua orang
tua". Bisikku dalam hati.
"Belum
tidur Yah?" kata istriku melihat aku masih belum tidur dan masih
mengelus-elus kepala si kecil.
"Belum
Ma, baru selesai ngerjakan persiapan besok" jawabku sekenanya.
"Segera
tidur pas Yah. Biar besok tidak ngantuk". Jelas istriku sambil merebahkan
tubuh untuk tidur lagi.
"Ya
Ma", jawabku. Padahal mataku masih belum bisa diajak istirahat. Hayalku
masih terus menerawang.
Menjadi seorang istri
itu bukan perkara gampang. Ada banyak pekerjaan yang menjadi tanggungan. Bukan
sebuah kewajiban memang. Tapi seorang istri yang baik, tentu tidak akan tinggal
diam dengan segala tanggung jawab di dalam sebuah rumah tangga. Maka pantaslah
kalau Rasul saw bersabda,
"Sebaik-baik
harta dunia adalah perempuan (istri) yang shalihah".
Tidak berapa lama
kumandang adzan dari menara masjid terdengar. Istriku bangkit dari pembaringan.
Aku pun mengkutinya. Menuju jeding untuk mengambil air wudhuk. Seperti biasa
aku dan istriku sholat shubuh berjamaah. Sementara ketiga anakku masih lelap di
waktu shubuh yang masih terasa menggigil.
Selepas sholat istriku
seperti biasa mempersiapkan segalanya untukku dan anak-anakku. Memasak sarapan,
menjerang air, membuat sayur. Belum lagi mempersiapkan keperluan anak-anak
sekolah. Mempersiapkan mandi, menyiapkan sarapan, serta melayani si kecil jika
akan pipis dan buang air besar. Sungguh sebuah pekerjaan yang teramat
melelahkan jika kita kaji dan direnungkan.
Tapi istriku tidak
pernah mengeluh. Dia lalui rutinitas keseharian dengan senyum. Itu yang membuat
aku terkadang harus berpikir, bijak dalam hal banyak tingkah dan santun dalam kata dan sapa.
Aku terkadang bersikap kurang baik dan bercakap kurang bijak. Tapi istriku
tidak pernah mendendam.
"Ayah,
ayo sarapan dulu" ajak istriku sambil beres-beres di meja makan.
"Baik
Ma", jawabku sambil beranjak dari depan laptopku. Biasa, pagi-pagi
browsing mencari berita-berita hangat atau sekadar update status di akun FB.
Kedua anakku sudah siap
berangkat ke sekolah. Yang besar namanya Tiara, umurnya hampir sembilan tahun
kelas empat SD. Adiknya kelas dua,
berumur tujuh tahun lebih. Namanya Farhan. Kalau berangkat sekolah pasti selalu
bersama-sama. Tentu, karena
sekolahnya juga sekolah yang sama.
"Ayah,
Mam, ... berangkat sekolah dulu. Assalamu'alaikum..." pamit kedua anakku
dan tak lupa bersalaman.
"Wa'alaikum
salam..." jawabku dan istri bersamaan.
Jam menunjuk angka tujuh
kurang sepuluh menit. Aku pun berangkat ke sekolah untuk memberikan pelajaran
kepada anak didikku. Tempat sekolahku mengajar tidaklah jauh. Hanya beberapa
menit saja aku sudah sampai di kantor sekolah.
Di
sekolah. Juga sebuah rutinitas. Sehari-hari kerja
mengajar. Tidak ada pekerjaan lain. Ya, di sela-sela sibuk mengajar aku
sempatkan untuk membaca. Kadang juga sempat menulis. Tetapi yang pasti tugas keseharianku adalah mengajar.
Berkutat dengan lembar-lembar paket yang itu-itu saja. Tentu saja, terkadang
rasa jenuh itu hadir dalam perasaanku.
Tapi apa
hendak dikata. Mengajar adalah tugas dan kewajibanku. Jadi aku haru mampu
mengusir rasa jenuh itu jauh-jauh. Melahirkan formula KBM dari yang semula bouring
menjadi inspiring. Semoga saja apa yang aku lakukan mendapat berkah dari
Allah swt.
Akhir-akhir
ini dunia pendidikan dibikin heboh. Ribut dengan kurikulum baru. Ada yang pro
ada juga yang kontra. Bahkan ada petisi untuk
memprotes kurikulum tersebut. Entahlah jadi apa dunia pendidikan kita nanti.
Semoga saja lebih baik, dan terus lebih sempurna.
Aku sendiri tidak
terlalu pusing dengan perubahan kurikulum. Karena pada hakikatnya sebaik apapun
sebuah konsep, tanpa dilandasi stigma pengabdian secara personal, maka model
perubahan apapun namanya akan melahirkan kesia-siaan. Intinya sumber daya
pengabdian personal yang harus dibangun menjadi paradigma pendidikan yang baik
dan bijak.
Siang hari. Baru saja
aku tiba dari mengajar. Hari begitu terik, setelah semalaman rintik hujan tiada henti. Cerah,
beberapa lembar awan berkelebat, tapi tidak mampu menghalangi cerahnya mentari.
Selepas makan siang
ditemani istri, aku duduk-duduk di serambi. Kulihat istriku sibuk mengumpulkan
baju-baju kotor. Rupanya ia akan mencuci. Begitu banyak,
menumpuk baju dan celana yang kotor.
Padahal tiap saat istriku selalu mencucinya. Terbersit dalam benakku,
"Mampukah
aku melakukan hal banyak seperti istriku?". Gumamku terbang, melayang ke
angkasa. Menyusuri langit jingga. Menyisiri bianglala. Karena yang dilakukan istriku bukan saja mencuci, tetapi
juga banyak yang lainnya.
"Wanita
itu unik. Anda dapati dia tersenyum seharian, tanpa mengetahui betapa dia
menangis sepanjang malam".
Kalimat itu begitu
menghunjam. Mencabik-cabik relung noraniku. Jiwaku karam dalam tangis yang
panjang. Hatiku kelu mentahbiskan lelaku istriku yang tak mengenal lelah.
"Ma,
istirahat dulu. Biar ayah yang nyuci", pintaku pada istriku.
"Gak
apa-apa kok Yah. Mama juga gak ada kerjaan nih" jawab istriku. Jawaban
yang begitu tulus. Setidaknya itu yang terberait dalam benakku.
Aku pun membantu istriku
mencuci. Sebuah pekerjaan yang jarang sekali aku lakukan. Bahkan hampir tidak
pernah aku lakukan. Ternyata mencuci itu bukan pekerjaan ringan, walaupun bukan
pekerjaan yang teramat berat. Tapi dengan banyaknya cucian yang menumpuk,
mencuci tentu bukan pekerjaan yang bisa dipandang sebelah mata.
Ternyata bekerja
bersama-sama lebih membawa ke arah yang lebih positif. Ada emosional yang lebih
dekat. Komunikasi yang lebih intens, dan hati yang lebih tulus dan lapang.
Kebersamaan dari dua pemikiran yang disatukan melalui ikatan yang sah dan
legal.
Malam sebelum tidur.
Mata belum terpejam. Aku teringat kembali dengan peran berat seorang istri.
Dari bangun tidur sampai tidur kembali, seorang istri tidak lepas dari
aktivitas.
Bangun tidur, setelah
shalat subuh ia telah harus mempersiapkan masakan untuk keluarga. Memasak
mempersiapkan sarapan. Bersih-bersih rumah, menyapu lantai dan halaman sekitar,
mengelap dinding dan kaca jendela. Mencuci barang-barang dapur yang kotor, dan
membereskan semua tempat tidur.
Mempersiapkan anak-anak
sekolah. Memandikan, merapikan pakaian seragam,
menyetrika, dan
melayani mereka sarapan. Membersihkan si kecil yang pipis dan buang air besar, memandikan, dan menenangkannya jika ia
rewel atau semacamnya.
Tak ada waktu untuk
sejenak beristirahat. Cucian yang menumpuk, atau bahan makanan yang berkurang dan harus pergi berbelanja.
Maka aku harus berbisik pada desah angin, pada malam yang menggigil, pada
kesabaran istriku,
"Maafkan aku sayangku, jika aku tidak belajar diam
dari banyaknya bicara, tidak belajar tabah dari sebuah kemarahan, tidak belajar
sabar dari suatu keegoisan, tidak belajar menangis dari sebuah kebahagiaan, dan
tidak belajar tegar dari kehilangaan. Istriku adalah malaikatku dan istriku
adalah bidadariku".
“Bangkitlah wahai jiwaku yang alpa. Sadarlah wahai
noraniku yang salah. Yang selama ini tiada pernah menyadari akan peran serta seorang
istri yang begitu setia, ikhlas, tulus, dan mengabdi semata-mata untuk
kebahagiaan suami”.