Friday, November 22, 2013

HUJAN REMBULAN

HUJAN, selalu saja menyisakan air mata. Ada duka, hati yang kian mengulum derita. Entahlah. Waktu tak mampu membuang hujan bergerimis darah. Tetesan hujan begitu menghunjam. Memoranda sekeping hati yang kian kerontang.
 
"Aku benci hujan," pekikku saat itu. Ketika malam berkalang awan hitam. Dan rintik hujan mulai menghantam bumi.
"Hujan adalah hidupku," ujar rumput kering di sekeliling.
"Hujan adalah deritaku."
"Hujan adalah riak jantungku."
"Hujan adalah laraku."
***
 
Malam itu bulan begitu sempurna. Beberapa bintang menghias kelam. Langit cerah. Tak sekelebat awan pun berarak di langit jingga. Aku dan Nilam menikmati suasana malam. Melihat bintang jatuh atau sekadar memperhatikan bias cahaya rembulan.
 
"Mas, jika langit adalah cinta, dan bulan adalah rindu, maka cinta dan rinduku hanya ada untukmu," kata-kata Nilam masih terngiang malam itu.
"Aku pun begitu, Nilamku. Jika Engkau malam, maka kelam adalah selimutku. Engkaulah purna kasih seantero jagat," desahku di telinga Nilam. Begitu dekat, serasa napasku adalah napas Nilam. Dan napas Nilam adalah jiwa dan rohku.
 
Begitu, sari kerinduan cinta berdiri kokoh antara aku dan Nilam. Ada bongkah-bongkah asmara yang tidak hanyut oleh hujan kemarau. Angin malam begitu sepoi. Bias cahaya bulan masih terus berbayang. Nilam merebahkan kepalanya di pangkuanku. Darah mendesir, memuncak di dindang hati. Berkelana di alam mimpi.
 
"Nilam adalah gelora jiwaku," bisikku pada malam. Pada angin. Pada ilalang yang bergoyang direngkuh kelam. Pada Nilam, kekasih hati penyejuk jiwa.
"Love is my flower night," bisik Nilam. Matanya jatuh menghunjam hatiku.
"You're my sun in my night," aku tak kalah agresif dalam bisik-bisik cinta.
***
 
Bulan masih bertahta. Menghias malam dengan sinar emasnya. Begitu indah dan sempurna. Sesempurna antara cintaku dan cinta Nilam, kekasihku. Aku bercermin pada malam. Nilam berpeluk kelam. Di antara desau angin malam. Di telapak sang waktu. Di setiap getar-getar bibir cinta.
 
"Don't leave me, kekasihku!" Kata Nilam merajut berkas bulan.
"I don't want leave you, cintaku!" Jawabku parau. Memburu kelopak rindu. Menjejak safari asmara.
 
Malam masih bersulam rembulan. Sinarnya begitu indah. Damai, sedamai antara buru napasku dan napas Nilam. Kami mahsyuk dalam dekap cinta abadi.
 
Tiba-tiba.
Kelebat awan begitu sempurna. Menghapus cahaya bulan. Kelam pun menghantar petang. Gelap, tak secuil pun cahaya.
 
"Seperti mau hujan, Mas?" Kata Nilam kacau.
"Sepertinya," jawabku galau.
"Kita pulang saja," ajak Nilam dengan getar suara.
"Tunggu,..." Jawabku ragu.
***
 
"Geletarrrrrrr...." Begitu tiba-tiba. Halilintar menggelegar. Dahsyat. Cahayanya membelah malam.
 
"Nilam!" Juga dengan sangat seketika. "Keparat Kau, kampret!" Lanjutnya dengan gemuruh amarah. Aku terkejut. Benar-benar perasaan kalut.
"Papa,..." Kata Nilam pada malam. Pada hujan yang tiba-tiba mencurah. Lebat.
 
Aku hanya melongo. Ketika tubuh kekar itu merenggut Nilam dari hadapanku. Hujan masih terus saja bergemuruh. Petir menyambar-nyambar alam sekitar.
 
Di antara derai hujan. Di dalam gelap malam. Di batas gelegar halilintar. Di depan mataku. Di hadapanku. Aku menyaksikan Nilam diseret. Ditampar, ditendang. Digelandang di atas kecipak air hujan. Nilam menjerit.
 
"Tolooo....ng!"
 
Darah mengucur dari tubuh Nilam. Jeritan dan lolongan Nilam menyayat hati. Aku hanya melongo. Tidak bisa berbuat apa-apa. Aku benci diriku sendiri. Aku mengutuk diriku sendiri. "Mengapa aku hanya diam? Mengapa aku tidak berbuat? Berbuat untuk Nilam, kekasihku?"
 
Masih terngiang di ingatanku. Jerit kesakitan Nilam. Di antara deras hujan dan pecahan petir. Setelah malam hujan itu. Setelah tubuh Nilam terbanting di batu-batu. Di setiap tetes hujan, dan di antara kilat cahaya halilintar. Nilam pergi entah kemana. Ia menghilang bak ditelan bimi. Hanyut oleh bah hujan. Tenggelam di antara kelam malam yang berakhir tetesan darah.
 
"Nilamku, datanglah padaku. Di sini, di bawah sinar rembulan, aku setia menunggu."
***
 
Hujan pun reda. Tapi bayangan Nilam yang menjerit kesakitan masih terus membayang. Darah itu, air mata itu, jeritan itu, lolongan itu, dan hujan itu. "Aku tak berharap hujan dalam hidupku," lemas aku berbisik menahan napas. Satu-satu lepas, melayang menuju surga firdaus. Di sana, senyum Nilam menunggu.
 
Hujan masih menetes satu-satu. Membentuk irama tik-tak-tik dari atap rumahku. Aku terpekur di antara titik-titik hujan. Merenung, teringat dengan Nilam kekasihku.
 
Tapi, sudah sekian lama ia menghilang. Tak tahu rimbanya. Sejak hujan deras di malam itu. Sejak ia menjerit minta tolong. Sejak ia dicampakkan dan dibanting di tengah hujan.
 
Semua telah sirna. Berakhir dengan ketiadaan. Bermula dengan cinta. Berakhir dengan darah nostalgia. Aku hanya mampu meneteskan air mata. Air mata hujan. Air mata untuk Nilam yang hilang entah kemana.
 
"I am here, my heart," tiba-tiba Nilam tersenyum di depanku.
"Hahh, Nilam? Is it real?" Desahku tidak percaya.
"Benar Mas. Aku di sini. Di depanmu," Nilam meyakinkanku.
 
Tidak habis pikir. Mengapa Nilam tiba-tiba ada di depanku. Ini nyata atau ilusi?
"Aku hanya ingin ngasih tahu sesuatu," Nilam menjelaskan.
"Tentang apa cintaku?"
 
Kemudian Nilam panjang lebar menjelaskan. Bahwa ia masih ada untukku. Dalam setiap sisi hidupku. Di antara hujan. Di antara gerimis yang senantiasa turun. Menetesi bumi.
"Maka, jangan pernah takut hujan," akhirnya Nilam mengatakan pokoknya. "Karena di antara tetes hujan itu, Nilam bernostalgia bersama cinta dan rindumu!"
 
Tidak berapa lama, tiba-tiba hujan menderu. Halilintar menggelegar. Aku keluar menemui tetesnya. Bermain dengan gemerciknya. Bercumbu dengan kecipak airnya. Seperti yang diinginkan Nilam.
 
"Nilaaa....mmm, aku di sini, di antara hujanmu yang Kau tercampakkan karenanya!"
***
 
Oleh: Rusdi Umar
Penulis bisa dihubungi di mailto:rusdiumar@gmail.com

No comments:

Post a Comment