Sunday, September 28, 2014

GADIS DI UJUNG KISAH





Aku berusaha mengingat kembali masa lalu. Masa yang begitu rapuh. Pada sebuah zaman yang ingin aku lupakan. Meski berat untuk kuabaikan. Waktu yang meruntuhkan segala asa dan harapanku.

"Mas, tolonglah aku," suara itu terus memburu pikiranku. Jelas terngiang di gendang telingaku. Suara itu, aku paham betul. Mengapa ia minta tolong padaku? Apa yang terjadi dengannya? Adakah ia membutuhkan pertolonganku?

Senja di musim kemarau. Aku duduk di pematang sawah. Panen baru saja usai. Burung pipit beterbangan menghiasi senja. Beberapa tahun yang lalu. Ya, di sini. Tepatnya di area pematang ini. Saat padi di sawah mulai menguning. Panen hampir tiba. Senyum petani rekah, melihat hasil panen yang, mungkin, melimpah.

"Pastinya para petani gembira saat ini," suara Raisah mendayu.
"Ya, pastinya," aku mengiyakan. Setuju.

Itu terjadi sepuluh tahun yang lalu. Ah, gak, lebih dari itu. Tepatnya duabelas tahun, dua bulan, dan duabelas hari. Begitu ingat, begitu membekas. Saat cinta itu berpadu. Dalam kehangatan rindu, pada setiap desahan napasku dan napas Raisah.

Maka, waktu pun berlalu. Melewati setiap masa, dan waktu yang terus berpacu. Maka Raisah pun pergi. Berlalu di hadapanku. Entah kemana. Aku hanya mengadu pada keadaan. Aku bersimpuh pada malam. Bermunajat, mengangkat tangan. Semoga Raisah damai dalam kehidupan yang tidak kutahu rimbanya.

Pagi itu Raisah datang padaku. Tergesa dan tergopoh. Apa yang terjadi, aku tidak paham. Air mata Raisah menganak sungai.

"Ada apa Raisah?" Aku terpana di antara rerumputan yang masih mengembun. Raisah diam. Tubuhnya terguncang. Aku semakin tidak mengerti. Sekian lamanya, Raisah tetap diam. Tidak bergeming.

"Aku akan pergi, Mas," tiba-tiba Raisah terbata. Meski sebagai gumam, kalimat itu begitu jelas di gendang telingaku. Aku bagaikan dihantam halilintar. Tidak percaya dengan apa yang dikatakannya.

Maka, Raisah pun lesap. Hilang bagai tak berbekas. Aku tidak tahu, kemana ia pergi. Dengan siapa ia berlabuh. Bersama siapa ia merapat. Pulau apa yang ia tuju. Sungguh, Raisah, hanya ada di ujung kisah.
***


"Mas, tolonglah aku!" Suara itu seperti pernah aku dengar. Warna suaranya, mimbran bunyi yang tidak lekang oleh perpisahan waktu. Ya, itu suara Raisah. Suara yang tidak mungkin aku lupa. Suara yang selalu terngiang di saat siang dan malamku.

Apakah ini hanya sebuah ilusi? Mimpi? Bukankah Raisah telah pergi? Sekian lamanya aku tidak mendengar nama Raisah. Ia telah pergi. Pergi dengan laki-laki pilihan orang tuanya. Pergi untuk tidak kembali lagi. Dan aku di sini, sendiri. Mendendangkan lagu untuk Raisah yang tak mungkin kumiliki.
***

Nun jauh di seberang!
Raisah termenung sendiri. Di beranda rumah yang begitu besar, indah, dan mewah. Hatinya serasa dirajam. Ia merasa bersalah. Meninggalkan cinta yang sebenarnya. Cinta yang tulus, suci oleh kemurnian hati. Jiwanya menjerit. Melolong, memanggil-manggil nama kekasih yang sebenarnya.

Tapi, semua sudah musnah. Nuraninya telah direnggut paksa oleh keadaan. Cintanya digadaikan oleh orang tuanya. Meski demikian, ia tidak pernah menyalahkan orang tuanya. Nasib telah membuat segalanya ada. Ada untuk tiada, atau tiada untuk ada. Ada, apa adanya, dan apa, ada apanya.

Semula berjalan begitu indah. Sebuah rumah tangga yang memang ia inginkan. Dan cinta itu, lambat laun mulai bersula. Menaut dengan tiba-tiba. Hingga, mala petaka itu datang tanpa diduga.
***

Suami Raisah meninggal. Hanya itu yang Raisah tahu. Tiba-tiba dan begitu saja. Tidak diketahui sebabnya. Raisah hanya pasrah. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia hanya menangis, di atas pusara suami yang masih basah. Air matanya membanjir. Maka, sejak saat itu Raisah kehilangan pegangan. Dan ia pun jatuh ke kubang neraka. Di dalam pelukan lelaki yang tidak ia suka. Hati busuk suami keduanya, hanya untuk memanfaatkan dirinya. Musnah sudah segalanya.
***


Aku mencoba menata ingatan. Saat Raisah cantik, berlari-lari di antara pematang. Sawah yang mulai menghijau, angin sepoi mempermainkan anak rambutnya.

"Haaiiii,....Mas Dadi. Tungguuu....," teriak Raisah dari jauh.
"Cepaaa....t, kejar aku..." Permainan kejar-kejaran pun dimulai. Aku dan Raisah. Antara cinta dan rindu yang kian menyatu.

Hingga pada suatu saat, Raisah terpeleset. Dengan cepat aku menyangga tubuhnya. Celakanya, aku yang jatuh. Dan lumpur sawah mengotori bajuku. Raisah tertawa, dan aku pun tergelak.

Di dangau bambu ini, aku tersentak, saat aku terjatuh karena tertidur.

"Raisah mana? Mana?" Aku mendesah pada angin, pada pematang sawah. Kepada rumpun padi yang mulai menguning.

Sumenep, 28092014

No comments:

Post a Comment