Aku berusaha mengingat kembali masa lalu. Masa
yang begitu rapuh. Pada sebuah zaman yang ingin aku lupakan. Meski berat untuk
kuabaikan. Waktu yang meruntuhkan segala asa dan harapanku.
"Mas, tolonglah aku," suara itu terus
memburu pikiranku. Jelas terngiang di gendang telingaku. Suara itu, aku paham
betul. Mengapa ia minta tolong padaku? Apa yang terjadi dengannya? Adakah ia
membutuhkan pertolonganku?
Senja di musim kemarau. Aku duduk di pematang
sawah. Panen baru saja usai. Burung pipit beterbangan menghiasi senja. Beberapa
tahun yang lalu. Ya, di sini. Tepatnya di area pematang ini. Saat padi di sawah
mulai menguning. Panen hampir tiba. Senyum petani rekah, melihat hasil panen
yang, mungkin, melimpah.
"Pastinya para petani gembira saat
ini," suara Raisah mendayu.
"Ya, pastinya," aku mengiyakan.
Setuju.
Itu terjadi sepuluh tahun yang lalu. Ah, gak,
lebih dari itu. Tepatnya duabelas tahun, dua bulan, dan duabelas hari. Begitu
ingat, begitu membekas. Saat cinta itu berpadu. Dalam kehangatan rindu, pada
setiap desahan napasku dan napas Raisah.
Maka, waktu pun berlalu. Melewati setiap masa,
dan waktu yang terus berpacu. Maka Raisah pun pergi. Berlalu di hadapanku.
Entah kemana. Aku hanya mengadu pada keadaan. Aku bersimpuh pada malam.
Bermunajat, mengangkat tangan. Semoga Raisah damai dalam kehidupan yang tidak
kutahu rimbanya.
Pagi itu Raisah datang padaku. Tergesa dan
tergopoh. Apa yang terjadi, aku tidak paham. Air mata Raisah menganak sungai.
"Ada apa Raisah?" Aku terpana di antara
rerumputan yang masih mengembun. Raisah diam. Tubuhnya terguncang. Aku semakin
tidak mengerti. Sekian lamanya, Raisah tetap diam. Tidak bergeming.
"Aku akan pergi, Mas," tiba-tiba
Raisah terbata. Meski sebagai gumam, kalimat itu begitu jelas di gendang
telingaku. Aku bagaikan dihantam halilintar. Tidak percaya dengan apa yang
dikatakannya.
Maka, Raisah pun lesap. Hilang bagai tak
berbekas. Aku tidak tahu, kemana ia pergi. Dengan siapa ia berlabuh. Bersama
siapa ia merapat. Pulau apa yang ia tuju. Sungguh, Raisah, hanya ada di ujung
kisah.
***
"Mas, tolonglah aku!" Suara itu
seperti pernah aku dengar. Warna suaranya, mimbran bunyi yang tidak lekang oleh
perpisahan waktu. Ya, itu suara Raisah. Suara yang tidak mungkin aku lupa.
Suara yang selalu terngiang di saat siang dan malamku.
Apakah ini hanya sebuah ilusi? Mimpi? Bukankah
Raisah telah pergi? Sekian lamanya aku tidak mendengar nama Raisah. Ia telah
pergi. Pergi dengan laki-laki pilihan orang tuanya. Pergi untuk tidak kembali
lagi. Dan aku di sini, sendiri. Mendendangkan lagu untuk Raisah yang tak
mungkin kumiliki.
***
Nun jauh di seberang!
Raisah termenung sendiri. Di beranda rumah yang
begitu besar, indah, dan mewah. Hatinya serasa dirajam. Ia merasa bersalah.
Meninggalkan cinta yang sebenarnya. Cinta yang tulus, suci oleh kemurnian hati.
Jiwanya menjerit. Melolong, memanggil-manggil nama kekasih yang sebenarnya.
Tapi, semua sudah musnah. Nuraninya telah
direnggut paksa oleh keadaan. Cintanya digadaikan oleh orang tuanya. Meski
demikian, ia tidak pernah menyalahkan orang tuanya. Nasib telah membuat
segalanya ada. Ada untuk tiada, atau tiada untuk ada. Ada, apa adanya, dan apa,
ada apanya.
Semula berjalan begitu indah. Sebuah rumah
tangga yang memang ia inginkan. Dan cinta itu, lambat laun mulai bersula.
Menaut dengan tiba-tiba. Hingga, mala petaka itu datang tanpa diduga.
***
Suami Raisah meninggal. Hanya itu yang Raisah
tahu. Tiba-tiba dan begitu saja. Tidak diketahui sebabnya. Raisah hanya pasrah.
Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia hanya menangis, di atas pusara
suami yang masih basah. Air matanya membanjir. Maka, sejak saat itu Raisah
kehilangan pegangan. Dan ia pun jatuh ke kubang neraka. Di dalam pelukan lelaki
yang tidak ia suka. Hati busuk suami keduanya, hanya untuk memanfaatkan dirinya.
Musnah sudah segalanya.
***
Aku mencoba menata ingatan. Saat Raisah cantik,
berlari-lari di antara pematang. Sawah yang mulai menghijau, angin sepoi
mempermainkan anak rambutnya.
"Haaiiii,....Mas Dadi. Tungguuu....,"
teriak Raisah dari jauh.
"Cepaaa....t, kejar aku..." Permainan
kejar-kejaran pun dimulai. Aku dan Raisah. Antara cinta dan rindu yang kian
menyatu.
Hingga pada suatu saat, Raisah terpeleset.
Dengan cepat aku menyangga tubuhnya. Celakanya, aku yang jatuh. Dan lumpur
sawah mengotori bajuku. Raisah tertawa, dan aku pun tergelak.
Di dangau bambu ini, aku tersentak, saat aku
terjatuh karena tertidur.
"Raisah mana? Mana?" Aku mendesah
pada angin, pada pematang sawah. Kepada rumpun padi yang mulai menguning.
Sumenep, 28092014
No comments:
Post a Comment