Saturday, September 13, 2014

KADO CINTA BUAT BAPAK



KADO CINTA BUAT BAPAK
(Bagian 1)
 
Pemakaman Bapak
MENTARI BERPELUK RINDU
(Kado Cinta Buat Bapak)

Di ceruk matamu, pelangi meruam
Bulan disanggul kuburan
Memeras batu-batu, jadi rindu
Cinta, amarah, tawa, dan air mata

Serak retak belulang
Prasasti cinta, menghela jiwa
Di palung kehidupan kepulangan
Ujung hari Jumat, terlipat malaikat

Derai rinai cakrawala
Memantik hujan kepagian
Dan tanah pun meremas asa
Di antara doa-doa

Allahumaghfirlahu,..
Kelebat ampun-Mu, merajang dosa
Pada hamparan firdaus

Warhamhu,..
Menagih kasih, kesiur cinta
Di pintu rindumu, berkalang peluk rembulan

Wa'afihi, wa'fu 'anhu,..
Beriring kidung maaf-Mu
Di pelukan bumi, indah
Bertaman kembang surgawi

Sungguh!
Cintamu terus membara
Membakar api kerinduanku!

Sumenep, 11 April 2014

Puisi ini aku dedikasikan kepada Bapak, riak rindu cinta di setiap helai napasnya, yang pada hari Jumat, 4 April 2014 lalu, beliau telah meninggalkan kami, anak-anaknya, generasi penerus gennya, untuk selama-lamanya. Semoga, Bapak dalam limpahan Rahmat-Nya di alam sana. Bahagia, di antara bidadari-bidadari surga-Nya. Amin!

Bapak, ah! Aku masih belum berbuat banyak kepadanya. Palung cintanya telah mewariskan sebentuk fisik dan jiwa yang terus mengalir di detak nadiku. Bapak! Duh, betapa aku rindu, kini ia tidur dalam pangkuan bumi. Tidak ada kata yang sempat terucap. Tetapi ceruk matanya menyiratkan laksa rindu yang begitu mendalam. Air mataku membuncah, mengiringi kelebat roh di langit cakrawala. Lesap bersama rasa cintaku yang tak kesampaian. Aku bersama rindu yang terus menggebu.

Bapak adalah bukti sebuah cinta. Ketika aku, generasi penerusnya terlahir dari titisan kelopak mayang. Mayang cinta, rindu, dan riak cahaya menabur geliat asa di sisi setiap kehidupanku. Menampung tangis kealpaanku, saat Bapak telah pergi. Aku kasip, tidak mampu menjentikkan gebu rindu dan cinta. Hanya doa,.. ya, hanya lirik doa yang bisa kubangkitkan bersama urukan tanah yang berkalang air mata.

RINDU KELOPAK MAYANG
(Kado Cinta Buat Bapak)

Nyanyi keriput tulang
di renta tua, waktu melibas segala

Di rimba cinta, rindumu
adalah aku, menyibak tirai cakrawala
di ujung tarikan napas, masih
memuja kelopak mayang, lamur
awasmu terus menghunjam cermin jiwaku

Lerah!
Suluh waktu melindap, kerap
sabana meliris sepoi angin sagara

Bersama rinduku,
cintamu menaut desah lahat
di mulut bumi, raga berkalang
tanah memeluk keriap rinai surga
ambang diam di reranting kamboja

Ranau bergurat!
Aku dalam dekap cintamu.

Sumenep, 24042014

Bapak adalah segalanya. Bapaklah yang telah menunjukkan aku birunya langit. Juga hamparan bumi yang penuh dengan cadas. Bapak, dengan cintanya yang lebur di palung hatiku, telah merekam jejak kesatria untuk bertarung di hamparan bumi-Nya. Lekuk keras didikannya, menghantam ganasnya lembah kehidupan. Dan aku ada, benar,... aku ada dari titisan keringat darah Bapak yang terus bertalu.

Jumat itu, aku baru saja datang dari masjid. Ketika meniba, sebuah panggilan mengabarkan duka. Dan aku terbang bersama kelindan perasaan bersalah. Tidak sempat berseucap dengan Bapak.

“Ya Allah, ampunilah Bapak!”

Bapak adalah bilur keangkuhanku. Ketika pada setiap rakaat shalatnya, gemetar tangannya terangkat untuk sebentuk cinta. Terhadapku, ya kepadaku. Doa-doa liris, serta alunan kalam Ilahi, selalu dan selalu terucap dari relung hati dan ucap fasih ayat-ayat Alquran. Cinta Bapak adalah cinta abadi. Membakar seluruh keangkuhan dan keakuanku. Aku luruh dalam rindu padu. Di atas pusara, yang basah oleh air mata.

Mengurai laksa kerinduan. Dalam tatapan mata Bapak yang tajam. Kesiur tembang cintanya luruh. Di tepian hati yang paling dalam. Akulah anaknya, emasnya, yang selalu menjadi luhur digdaya, pada setiap nurani jiwanya. Entahlah! Mengapa rinai kepak sayap rindunya, bermuara di keping nuansaku.

PULANG
(Kado Cinta Buat Bapak)

Laut asa terbelah
menusuk pasang gelombang, pulang

Harum ruam rinduku
Mengentak jiwa-hasrat-hati
Selagi desah bermuara cinta
Bergurat labuh dermaga, liris
Terjerat keriput hati

Pulang!
Mengepul dermaga asa
Menyemai api rindu, berselimut luka
Telah berbalut dahaga jiwa
Pada jeritan asa, untuk bersua

Aku datang!
Membelah hari, memanggul api
Tapi cahaya itu redup
Kepul kepulangan, asap membubung

Air mataku!
Menderas jatuh menghunjam
Melarung waktu, berbaris doa
Allahummaghfir lahu!

Sumenep, 03042014

Aku pulang. Ya, aku pulang setelah dapat SMS dari orang rumah bahwa Bapak sudah kritis. Aku pulang bersama tetesan air mata. Hati yang kusut. Perasaan yang tidak karuan. Aku lagi di tempat tugas. Jauh di seberang pulau, saat Bapak dalam keadaan sakit yang membawa kepergiannya untuk selamanya.

Di atas Kapal Laut (KM Sabuk Nusantara 27), di atas gelombang, dan di antara badai. Tetapi perasaanku tertuju pada Bapak. Pada wajah Bapak. Pada cinta dan rindu Bapak. Untukku, ya hanya untukku. Karena, Bapak begitu cinta, selaksa sayang, yang selalu ia lontarkan di setiap kesempatan. Pada saat aku tidak ada. Ketika aku jauh di rantau. Atau, saat aku tidak di sisinya. Bapak selalu mengatakan, kalau aku adalah anaknya yang hebat. Anak yang selalu dalam sanjungan. Entahlah!

Bapak! Maafkan anakmu ini, yang tidak mampu memberikan yang terbaik untukmu. Hanya doa yang bisa aku haturkan untukmu. Untuk cinta yang terus mengalun merdu. Untuk sebuah kepastian rindu yang terus menyatu. Dalam rindu dan cintamu. Di antara memoria nasihat-nasihatmu. Tentu, tidak akan pernah aku lupa, bahwa langit adalah atap kehidupan dan bumi adalah hamparan perjuangan.

Ah! Bapak bukan seorang pencerita yang baik. Tetapi, suatu hari Beliau berkisah tentang sebuah perjuangan. Saat beliau masih muda. Di saat Bapak masih mampu berpetualang. Pergi dari rumah untuk sebuah kehidupan yang lebih baik. Untuk kehidupan aku, anaknya. Untuk mencari makan kesemua putra-putrinya. Bahwa hidup adalah perjuangan. Bahwa hidup adalah pengorbanan.

“Jangan jadi orang sombong, Nak!” Begitu pesanmu padaku.  Aku akan terus ingat dalam kehidupan ini. Sampai akhir hayatku.

DUKA KECIPAK LARA
(Kado Cinta Buat Bapak)

Memintal benang kawat
Pada langit rinai telaga duka

Luruh!
Sekeruh sendang air mata
Menusuk luka, beriak tak terkata
Sehantar kelebat masa
Terlibas pada pusara jarak

Rutukku!
Padku kelu dalam gugu
Setilas tapakmu, suci
Berkubang debu asaku, duh!

Lara kepulangan,
Sekepulan waktu meruncing
Menghentak jiwaku, diam
dalam gamang, angan mengawang
di balik batu nisan

Kecipak dukaku
runtuh di derai air mata

Sumenep, 24042014

Jasad Bapak telah berpulang. Tetapi, cinta dan kasihnya terus mengalir di detak nadiku. Di degup jantungku. Terus, selamanya. Begitu bertalu, begitu berpadu. Terpaku di aliran darah kehidupanku. Cinta Bapak masih ada. Meski Beliau pergi dari kehidupan ini, untuk selamanya. Untuk tidak kembali lagi.

Maka sisa kepedihan masih terus menghantui hari-hariku. Aku masih belum bisa menerima keadaan ini. Meski takdir ini telah menjadikan perasaan harus berkata “Idza jaa’a ajalukum...” tentu saja aku hanya mempu menghadirkan serangkum doa. Doa yang akan menghantar Bapak menemui Tuhannya. Allah swt. Semoga Bapak bahagia di sisi-Nya. (continued)
***




No comments:

Post a Comment