KADO CINTA BUAT BAPAK
(Bagian 1)
MENTARI
BERPELUK RINDU
(Kado
Cinta Buat Bapak)
Di ceruk matamu,
pelangi meruam
Bulan disanggul
kuburan
Memeras batu-batu,
jadi rindu
Cinta, amarah,
tawa, dan air mata
Serak retak
belulang
Prasasti cinta,
menghela jiwa
Di palung
kehidupan kepulangan
Ujung hari Jumat,
terlipat malaikat
Derai rinai
cakrawala
Memantik hujan
kepagian
Dan tanah pun
meremas asa
Di antara doa-doa
Allahumaghfirlahu,..
Kelebat ampun-Mu,
merajang dosa
Pada hamparan
firdaus
Warhamhu,..
Menagih kasih,
kesiur cinta
Di pintu rindumu,
berkalang peluk rembulan
Wa'afihi, wa'fu
'anhu,..
Beriring kidung
maaf-Mu
Di pelukan bumi,
indah
Bertaman kembang
surgawi
Sungguh!
Cintamu terus
membara
Membakar api
kerinduanku!
Sumenep, 11 April
2014
Puisi
ini aku dedikasikan kepada Bapak, riak rindu cinta di setiap helai napasnya,
yang pada hari Jumat, 4 April 2014 lalu, beliau telah meninggalkan kami,
anak-anaknya, generasi penerus gennya, untuk selama-lamanya. Semoga, Bapak
dalam limpahan Rahmat-Nya di alam sana. Bahagia, di antara bidadari-bidadari
surga-Nya. Amin!
Bapak,
ah! Aku masih belum berbuat banyak kepadanya. Palung cintanya telah mewariskan
sebentuk fisik dan jiwa yang terus mengalir di detak nadiku. Bapak! Duh, betapa
aku rindu, kini ia tidur dalam pangkuan bumi. Tidak ada kata yang sempat
terucap. Tetapi ceruk matanya menyiratkan laksa rindu yang begitu mendalam. Air
mataku membuncah, mengiringi kelebat roh di langit cakrawala. Lesap bersama
rasa cintaku yang tak kesampaian. Aku bersama rindu yang terus menggebu.
Bapak
adalah bukti sebuah cinta. Ketika aku, generasi penerusnya terlahir dari titisan
kelopak mayang. Mayang cinta, rindu, dan riak cahaya menabur geliat asa di sisi
setiap kehidupanku. Menampung tangis kealpaanku, saat Bapak telah pergi. Aku kasip,
tidak mampu menjentikkan gebu rindu dan cinta. Hanya doa,.. ya, hanya lirik doa
yang bisa kubangkitkan bersama urukan tanah yang berkalang air mata.
RINDU KELOPAK MAYANG
(Kado Cinta Buat Bapak)
Nyanyi keriput tulang
di renta tua, waktu melibas segala
Di rimba cinta, rindumu
adalah aku, menyibak tirai cakrawala
di ujung tarikan napas, masih
memuja kelopak mayang, lamur
awasmu terus menghunjam cermin jiwaku
Lerah!
Suluh waktu melindap, kerap
sabana meliris sepoi angin sagara
Bersama rinduku,
cintamu menaut desah lahat
di mulut bumi, raga berkalang
tanah memeluk keriap rinai surga
ambang diam di reranting kamboja
Ranau bergurat!
Aku dalam dekap cintamu.
Sumenep, 24042014
(Kado Cinta Buat Bapak)
Nyanyi keriput tulang
di renta tua, waktu melibas segala
Di rimba cinta, rindumu
adalah aku, menyibak tirai cakrawala
di ujung tarikan napas, masih
memuja kelopak mayang, lamur
awasmu terus menghunjam cermin jiwaku
Lerah!
Suluh waktu melindap, kerap
sabana meliris sepoi angin sagara
Bersama rinduku,
cintamu menaut desah lahat
di mulut bumi, raga berkalang
tanah memeluk keriap rinai surga
ambang diam di reranting kamboja
Ranau bergurat!
Aku dalam dekap cintamu.
Sumenep, 24042014
Bapak
adalah segalanya. Bapaklah yang telah menunjukkan aku birunya langit. Juga
hamparan bumi yang penuh dengan cadas. Bapak, dengan cintanya yang lebur di
palung hatiku, telah merekam jejak kesatria untuk bertarung di hamparan
bumi-Nya. Lekuk keras didikannya, menghantam ganasnya lembah kehidupan. Dan aku
ada, benar,... aku ada dari titisan keringat darah Bapak yang terus bertalu.
Jumat
itu, aku baru saja datang dari masjid. Ketika meniba, sebuah panggilan
mengabarkan duka. Dan aku terbang bersama kelindan perasaan bersalah. Tidak
sempat berseucap dengan Bapak.
“Ya
Allah, ampunilah Bapak!”
Bapak
adalah bilur keangkuhanku. Ketika pada setiap rakaat shalatnya, gemetar
tangannya terangkat untuk sebentuk cinta. Terhadapku, ya kepadaku. Doa-doa
liris, serta alunan kalam Ilahi, selalu dan selalu terucap dari relung hati dan
ucap fasih ayat-ayat Alquran. Cinta Bapak adalah cinta abadi. Membakar seluruh
keangkuhan dan keakuanku. Aku luruh dalam rindu padu. Di atas pusara, yang
basah oleh air mata.
Mengurai
laksa kerinduan. Dalam tatapan mata Bapak yang tajam. Kesiur tembang cintanya luruh.
Di tepian hati yang paling dalam. Akulah anaknya, emasnya, yang selalu menjadi
luhur digdaya, pada setiap nurani jiwanya. Entahlah! Mengapa rinai kepak sayap
rindunya, bermuara di keping nuansaku.
PULANG
(Kado
Cinta Buat Bapak)
Laut asa
terbelah
menusuk
pasang gelombang, pulang
Harum
ruam rinduku
Mengentak
jiwa-hasrat-hati
Selagi
desah bermuara cinta
Bergurat
labuh dermaga, liris
Terjerat
keriput hati
Pulang!
Mengepul
dermaga asa
Menyemai
api rindu, berselimut luka
Telah
berbalut dahaga jiwa
Pada
jeritan asa, untuk bersua
Aku
datang!
Membelah
hari, memanggul api
Tapi
cahaya itu redup
Kepul
kepulangan, asap membubung
Air
mataku!
Menderas
jatuh menghunjam
Melarung
waktu, berbaris doa
Allahummaghfir
lahu!
Sumenep,
03042014
Aku
pulang. Ya, aku pulang setelah dapat SMS dari orang rumah bahwa Bapak sudah
kritis. Aku pulang bersama tetesan air mata. Hati yang kusut. Perasaan yang
tidak karuan. Aku lagi di tempat tugas. Jauh di seberang pulau, saat Bapak
dalam keadaan sakit yang membawa kepergiannya untuk selamanya.
Di atas
Kapal Laut (KM Sabuk Nusantara 27), di atas gelombang, dan di antara badai.
Tetapi perasaanku tertuju pada Bapak. Pada wajah Bapak. Pada cinta dan rindu
Bapak. Untukku, ya hanya untukku. Karena, Bapak begitu cinta, selaksa sayang, yang
selalu ia lontarkan di setiap kesempatan. Pada saat aku tidak ada. Ketika aku
jauh di rantau. Atau, saat aku tidak di sisinya. Bapak selalu mengatakan, kalau
aku adalah anaknya yang hebat. Anak yang selalu dalam sanjungan. Entahlah!
Bapak!
Maafkan anakmu ini, yang tidak mampu memberikan yang terbaik untukmu. Hanya doa
yang bisa aku haturkan untukmu. Untuk cinta yang terus mengalun merdu. Untuk
sebuah kepastian rindu yang terus menyatu. Dalam rindu dan cintamu. Di antara
memoria nasihat-nasihatmu. Tentu, tidak akan pernah aku lupa, bahwa langit
adalah atap kehidupan dan bumi adalah hamparan perjuangan.
Ah!
Bapak bukan seorang pencerita yang baik. Tetapi, suatu hari Beliau berkisah
tentang sebuah perjuangan. Saat beliau masih muda. Di saat Bapak masih mampu
berpetualang. Pergi dari rumah untuk sebuah kehidupan yang lebih baik. Untuk
kehidupan aku, anaknya. Untuk mencari makan kesemua putra-putrinya. Bahwa hidup
adalah perjuangan. Bahwa hidup adalah pengorbanan.
“Jangan
jadi orang sombong, Nak!” Begitu pesanmu padaku. Aku akan terus ingat dalam kehidupan ini.
Sampai akhir hayatku.
DUKA
KECIPAK LARA
(Kado
Cinta Buat Bapak)
Memintal
benang kawat
Pada
langit rinai telaga duka
Luruh!
Sekeruh
sendang air mata
Menusuk
luka, beriak tak terkata
Sehantar
kelebat masa
Terlibas
pada pusara jarak
Rutukku!
Padku
kelu dalam gugu
Setilas
tapakmu, suci
Berkubang
debu asaku, duh!
Lara
kepulangan,
Sekepulan
waktu meruncing
Menghentak
jiwaku, diam
dalam
gamang, angan mengawang
di balik
batu nisan
Kecipak
dukaku
runtuh
di derai air mata
Sumenep,
24042014
Jasad
Bapak telah berpulang. Tetapi, cinta dan kasihnya terus mengalir di detak
nadiku. Di degup jantungku. Terus, selamanya. Begitu bertalu, begitu berpadu.
Terpaku di aliran darah kehidupanku. Cinta Bapak masih ada. Meski Beliau pergi
dari kehidupan ini, untuk selamanya. Untuk tidak kembali lagi.
Maka
sisa kepedihan masih terus menghantui hari-hariku. Aku masih belum bisa
menerima keadaan ini. Meski takdir ini telah menjadikan perasaan harus berkata
“Idza jaa’a ajalukum...” tentu saja aku hanya mempu menghadirkan serangkum doa.
Doa yang akan menghantar Bapak menemui Tuhannya. Allah swt. Semoga Bapak
bahagia di sisi-Nya. (continued)
***
No comments:
Post a Comment