NENEK MOYANG ILMU PENGETAHUAN
(Sebuah Memoar Masa Kecil Yang
Kian Menghilang di Kehidupan)
Kilatan berkas
cahaya di langit
melintas rendah
sehabis Maghrib
"Seorang
malim segera pergi..."
Itu bukan
meteor, itu bukan benda langit
hanya cahaya
yang melintas dekat
selepas ghurub
Lalu, ada kala
seberkas cahaya
melintas tinggi
di jumantara malam
membawa curiga
dalam hati
"Itu
cerawat yang dibawa setan
seseorang akan
buncit perutnya
lalu meninggal
dengan sengsara"
Itu juga bukan
benda langit
sebab, ia tak
jatuh melayang ke bumi
membuat
kerusakan
Kami belajar
pada alam
membaca tanda
duaja dan perubahan
pada angin,
pada cahaya dan gelap
pada nanar,
pada mimpi dan kenyataan
Pengetahuan
beranak pinak
dari pengalaman
dan khayalan
kami belajar
melapangkan ruang penafsiran
belakangan,
sarjana-sarjana setelah kami
mencari wahyu-wahyu
ilmiah
di laboratorium
dan perpustakaan
Pengalaman dan
khayalan
puisi dan
pepindannya
merupakan
leluhur kami
nenek moyang
ilmu pengetahuan
25/08/2009
Menjadi seorang
penikmat sastra lebih mudah dan lebih enjoy ketimbang menjadi apresiator, apalagi
penikmat yang apresiator. Seorang penikmat sastra tidak dituntut untuk
memberikan ide, penilaian, ataupun apresiatif terhadap karya sastra yang
dimaksud. Berbeda dengan apresiator yang dituntut untuk memberikan penilaian
baik-buruknya(?) sebuah karya sastra.
Maka saya di sini
mencoba menjadi yang pertama. Yaitu sebagai penikmat sastra agar tidak dituntut
memberikan penilaian, yang notabenenya, saya bukan seorang kritikus atau
apresiator sastra. Saya hanya mampu mengungkapkan hal-hal yang berhubungan dengan
pengalaman pribadi, terkait dengan sebuah karya sastra.
Bermula dari
sebuah 'ranah' kebetulan, seorang teman saya sekitar awal September 2014
bercerita kepada saya bahwa ia punya sebuah buku kumpulan puisi. Pengarangnya
adalah M. Faizi, dengan judul ''Permaisuri Malamku; Buku Kumpulan Puisi."
Saya pun tertarik dengan buku tetsebut, dan Alhamdulillah, saat ini buku yang
dimaksud sudah ada di tangan saya.
Pertama kali saya
bersinggungan dengan buku ini, ada kesan realitas kehidupan di malam hari.
Hubungannya dengan gelap, kelam, purnama, bintang, dan semacamnya. Seperti yang
diungkapkan pengarang dalam pengantarnya, meski buku kumpulan puisi ini
berbicara 'perbintangan', tetapi bukanlah sebagai buku astronomi, akan tetapi
tetap sebagai buku sastra puisi yang harus diperlakukan sebagai lingua puitika.
Salah satu puisi
yang saya garis-bawahi, dari beberapa puisi (sebanyak 41 judul puisi) adalah
seperti yang saya tulis di atas; Nenek Moyang Ilmu Pengetahuan.
Membaca puisi ini
mengingatkan saya pada masa kecil, ketika listrik masih sebuah hayalan. Pada
saat itu, biasanya, malam hari saya dan anggota keluarga lainnya, menggelar
tikar di halaman. Menikmati taburan bintang-bintang di langit, atau cahaya
rembulan jika pas purnama. Kami biasanya menikmati malam sambil memandang lekat
ke cakrawala. Menghitung bintang, atau mencakapkan rasi bintang yang nampak di
penglihatan. Dalam bahasa saya (Madura Batuputih), ada bintang karteka, bintang
kiblat, ada bintang ngaysongayan, bintang nanggala, dan bintang lainnya. Semua
ada dalam percakapan yang seakan tidak berkesudahan.
Dalam puisi Nenek
Moyang Ilmu Pengetahuan, saya diingatkan pada salah satu garis cahaya, yang
dalam pemahaman kampung saya adalah 'pana(h)'. Sebentuk cahaya, yang dalam
diskripsi puisi M. Faizi ini adalah,
"Kilatan
berkas cahaya di langit
melintas rendah
sehabis Maghrib
"Seorang
malim segera pergi...""
Ya, di kampung
saya juga ada kepercayaan seperti itu. Bahwa cahaya yang dalam pemahaman orang
dulu 'bukan' meteor, adalah sebentuk sihir yang dilepaskan oleh para tukang
sihir. Cahaya tersebut terlahir dari sebab ritual seseorang untuk mencelakai
orang lain tersebab oleh sesuatu yang tak pasti.
Lalu, ada kala
seberkas cahaya
melintas tinggi
di jumantara malam
membawa curiga
dalam hati
"Itu
cerawat yang dibawa setan
seseorang akan
buncit perutnya
lalu meninggal
dengan sengsara"
Cerita teman-teman
saya, juga yang dewasa saat saya masih bocah ingusan, cahaya tersebut berasal
dari pisau, beling, paku, dan lainnya, ditaruk dalam sebuah mangkok, kemudian dibacakan
mantra atasnya, dan melesatlah sebagai cahaya 'pana(h)'. Jika seseorang melihat
cahaya tersebut (cerawat), maka ia harus berteriak 'pana(h) tae', dan dipercaya
sihir tersebut tidak akan mempan. Maka, gema 'pana(h) tae' seringkali akan
terdengar pada setiap waktu dan kesempatan. Itu dulu, sekarang hal tersebut
sudah musnah. Tinggal kenangan saja.
Membaca alam,
termasuk legenda di dalamnya adalah bagian dari proses keilmuan. Dari melihat,
memperhatikan, memprediksi, atau bahkan menghayal, adalah cikal-bakal
terbukanya pengetahuan. Katakanlah, di zaman 'batu' kepercayaan geosentris
masih berurat berakar. Bahkan, jika ada yang menyalahi kesepakatan saat itu,
maka taruhannya adalah penjara, bahkan nyawa.
"Pengetahuan beranak pinak
dari pengalaman dan khayalan
kami belajar melapangkan ruang penafsiran
belakangan, sarjana-sarjana setelah kami
mencari wahyu-wahyu ilmiah
di laboratorium dan perpustakaan"
Walaupun pada
akhirnya yang nyata adalah heliosentris, matahari sebagai pusat tata surya,
maka proses menuju jalan realita ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Maka
saya setuju, jika kurikulum 2013 mengutamakan proses daripada hasil, meski
seharusnya hasil juga harus mencerminkan sebuah logika.
Pada bait terakhir
puisi M. Faizi ini menjelaskan tentang cikal bakal keilmiahan.
"Pengalaman
dan khayalan
puisi dan
pepindannya
merupakan
leluhur kami
nenek moyang
ilmu pengetahuan"
Membaca buku puisi
M. Faizi, akan dibawa ke ruang-ruang kegelapan, malam. Akan mengingatkan kita
pada zaman 'tanpa listrik'. Sinar bulan adalah harapan pasti untuk menemani
perjalanan malam. Dan masih banyak lagi, pembacaan malam yang akan menjadi
kenangan saat ini. Bahkan, anak cucu kita, kemungkinan, sudah tidak dapat
menikmati malam seperti yang kita (khususnya saya) pernah alami di masa
awal-awal kehidupan dulu.
Tidak hanya itu,
menikmati kumpulan puisi ini pembaca diajak untuk bernustalgia dengan malam,
berserta segala kisah yang melatarbelakanginya. Disamping juga, perbendaharaan
kata yang begitu kasat, hingga kita disuguhi kosa kata baru yang koheren.
Benarnya lagi, di penghujung halaman buku ini terdapat perbendaharaan kata yang
termaktub, terjabarkan makna dan artinya.
Membaca puisi
'Nenek Moyang Ilmu Pengetahuan', saya juga diajak untuk kembali pada memoar
puisi D. Zawawi Imron. 'Nenek Moyangku Air Mata' adalah salah satu judul puisi
Zawawi yang kental di ingatan saya, semasa masih di Annuqayah. Kebetulan juga,
pemuisi si Celurit Emas ini seringkali diundang untuk mengisi acara sastra di
PP. Annuqayah. Tentu saja, nenek moyangnya M. Faizi berbeda dengan nenek
moyangnya D. Zawai Imron. Kontemplasi makna dan jabaran puitiknya mempunyai
ke-khasan masing-masing, disamping latar belakang lahirnya puisi-puisi yang
dimaksud.
Di penghujung
sesobek catatan ini, saya mohon maaf kepada semuanya, tanpa kecuali, utamanya
M. Faizi sebagai pihak yang terlibat langsung dalam penciptaan puisi ini.
Harapan saya, kreatifitas sastra Beliau tertular dan terjabarkan dalam jiwa
saya. Wassalam.
Sumenep,
30/09/2014
No comments:
Post a Comment