KADO CINTA BUAT IBU
Ibu,
Engkau adalah goa
pertapaanku. Tempatku bersemayam, di rahim yang penuh dengan cinta. Sejuk
bersama zikir yang Kaulantunkan setiap saat. Hangat bersama peluk rindu dan
kasih sayang. Engkaulah ibuku, yang sekian waktu lamanya aku meringkuk di
rahimmu yang indah. Penuh kasih. Bertabur cinta. Ibu, aku damai dalam surga
rahimmu. Karena Engkau selalu menjagaku. Memilihkan aku makanan dan minuman
yang thoyyibah, baik, bergizi, dan
sehat. Maka, aku pun tumbuh, besar bersama laksa peluk cintamu yang tak
berkesudahan.
Ibu,
Tibalah waktunya
aku lahir. Menginjak dunia dengan taruhan sengal napasmu. Dengan cucuran peluh
dan keringatmu. Dengan segenap jiwamu, untuk mempertahankan keberadaanku.
Engkau taruhkan hidup dan matimu. Engkaulah ibu, yang memantik api kehidupanku. Untukku, anakmu yang Kauharapkan
bersama kisah sukses masa depanku.
Aku pun menginjak
dunia. Bersama tangis yang mengharapkan air susumu. Aku hadir dengan tangis.
Engkau sambut hentak tangisku dengan senyum indahmu. Aku hadir
bersama tingkah nakalku, Engkau datang bersama elus dan kasih sayangmu.
Sungguh, cintamu berhulu tak berhilir. Sayangmu laksana samudra tak berpantai.
Kasihmu adalah bumiku, dan pelukmu adalah langitku.
Ibu,
Engkaulah
madrasahku. Tempatku belajar, memperoleh pendidikan. Kaudidik aku dengan cinta
dan kasih sayangmu. Kauperlakukan aku laksana dian yang tak boleh padam.
Engkaulah guruku, yang menunjukkan siapa Tuhanku.
Engkau ajari aku
cara menetek. Engkau ajari aku cara makan dan minum yang benar. Engkau ajari
aku cara merangkak, berjalan, dan berlari. Bila aku terjatuh, hatimu merasa
luluh. Perasaanmu begitu rapuh, karena tak ingin aku terluka. Namun, Ibu,
Engkau tegakan hatimu, sebagai bentuk pendidikan untukku. Untuk kebaikanku.
Untuk masa depanku.
Kalimat tauhid
yang Engkau ajarkan, adalah bagian dari teori alamiah madrasahmu. Aku pun
tumbuh dan besar dengan pengenalan akan Tuhanku.
Allahn swt.
Ibu,
Dalam menjagaku
Engkau begitu sabar. Engkau selalu tabah. Ikhlas dengan hati yang tulus.
Biarpun aku berulah. Meskipun aku bertingkah. Walaupun aku bersalah. Namun,
sabar dan ikhlasmu selalu mengiringi langkahku. Tak ada dendam. Tak timbul
amarah yang berkepanjangan. Itulah, Engkau ibuku yang selalu jaga untukku.
Waktu tak pernah
berlalu tanpa kasihmu. Tanpa sabar dan ikhlasmu. Tak ada waktu luang, baik
siang maupun malam. Adamu, Ibu, tanpa berbatas
waktu.
Ketika aku masih
kecil, damai dalam tidur di sampingmu. Engkau pun tersenyum, karena aku dalam
keadaan aman. Jika pun aku terbangun, merengek atau pun dalam hentak tangisku,
begitu segera, Engkau merengkuhku, dalam peluk cinta yang
bergelora. Aku pun diam, dalam hangat lezat air susumu. Ibu, jagamu sepanjang
hayat. Awasmu segenap jiwa cinta yang bersemayam di lubuk hatimu yang paling
dalam.
Ibu,
Tak mungkin aku
mampu membalas pengorbananmu. Tak mungkin aku kembalikan sepenuh cinta padamu.
Karena pengorbananmu tak mungkin bisa kuhitung dengan harta.
Ibu, Engkau selalu
berkorban untukku. Berkorban jiwa dan raga. Merelakan segenap waktumu hanya
untukku. Bahkan, air matamu membuncah, jika aku tidak nyaman dalam hidupku.
Itulah, Engkau Ibu, yang selalu mawas untuk aku, anakmu.
Tak pernah
terpikir sedikit pun, jika apa yang telah Engkau berikan, akan diminta kembali
suatu waktu. Tidak, sekali lagi tidak. Karena cintamu adalah ikhlas semata.
"Kasih Ibu
kepada beta. Tak terhingga sepanjang masa. Hanya memberi, tak harap kembali.
Bagai sang surya menyinari dunia."[1]
Ibu,
"kalau aku
ikut ujia// lalu ditanya tentang pahlawan//namamu, ibu, yang kan kusebut paling
dahulu//lantaran aku tahu//engkau ibu dan aku anakmu." [2]
Ibu, Engkaulah
pahlawanku. Berkorban demi aku anakmu. Engkau rela dirimu susah, sakit, dan
sengsara. Asalkan aku, anakmu tetap dalam damai. Ibu, Engkau pahlawan yang tak
bergelar kehormatan. Karena kasihmu adalah cinta yang selalu berpeluk sayang.
Memberi, tidak untuk meminta kembali.
Ibu,
Setulus cintamu
itulah sifatmu. Karakter yang terpatri, tetap mengembang merbakkan bunga kasturi. Setulus cintamu nan suci. Berkelindan
dalam hidupku tanpa henti. Ibu, larik maafmu berdiksi ampunan. Tanpa diminta, tanpa dinyana. Berkelebat bunga-bunga surga, selalu,
menyertai aku anakmu. Ibu, muara cintamu berhilir di pelupuk hidup dan matiku.
Selagi gelora
kasih, masih hayat bersama napasmu, maka sebagitu tulus nuansa cintamu. Engkau
ada untuk napasku. Engkau tercipta untuk detak jantungku. Ibu, biarkan aku
dalam kasihmu yang tulus, karena Engkaulah bidadari surgaku[3].
Ibu,
Sekejap saja aku
berlalu dari awasmu, laksa rindumu berpadu. Rindu berpeluk. Rindu mengecup
gemas pipiku. Bahkan, biarpun aku sudah dewasa. Teruntuk rindu ini, tertanam,
terhunjam, dan berurat berakar di keping hatimu
yang paling dalam. Maka, aku pun damai, seiring basah bibir bersama doamu.
Terjaga dari beribu marabahaya. Lantaran doa rindu yang Kauhulurkan untukku.
Aku damai bersama
doa rindumu. Aku damai bersama ridhamu.
Aku damai bersama cinta berkalung pelangi, berselendang aurora cakrawala. Ibu,
jangan pernah Kautinggalkan aku, tanpa setulus cinta dan rindhamu.
Ibu,
Kini aku sudah
paham. Arti dan kedudukanmu di sisi Allah. Arti dan kedudukanmu di sisi
Rasulullah. Betapa besar pengorbananmu untukku, anakmu. Ketika Allah swt berfirman:
“Kami
perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya,
ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah
(pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga
apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdo’a: “Ya
Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri ni’mat Engkau yang telah Engkau
berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang
saleh yang Engkau ridhai. berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan)
kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya
aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” (Qs. Al-Ahqaaf : 15)[4]
Ibu, jelas sekali
dalam ayat ini aku diperintahkan untuk berbakti. Selalu patuh dan ta'at
kepadamu. Karena Engkaulah yang mengadungku selama 9 bulan. Menyusuiku selama 2
tahun. Kurang lebih 30 bulan lamanya, aku terus dalam pengasuhan cintamu.
Tidak, bahkan untuk selamanya. Selama napasmu masih mampu Kauhela.
"Ribuan
kilo jalan yang Kau tempuh. Lewati rintang untuk aku anakmu. Ibuku sayang masih
terus berjalan. Walau tapak kaki, penuh darah, penuh nanah. Seperti udara kasih
yang Engkau berikan. Tak mampu 'ku membalas. Ibu,..."[5]
Ibu, begitulah,
nyanyi itu terus aku dendangkan. Lagu itu menjadi kado cinta untukmu. Untuk ibu
yang kasihnya tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh
hujan. Ibu, cintamu masih terus bertahan, meski keringat darah menderas di
setiap tapak langkahmu.
Ibu,
Agung tempatmu
menjadi perhatian serius dari Rasulullah saw. Beliau menempatkan dirimu di
singgasana kehormatan. Maka sabda Nabi pun bersenarai:
"Dari Abu
Hurairah radhiyallaahu‘anhu , belia berkata, “Seseorang datang kepada Rasulullah saw dan berkata, ‘Wahai
Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?’ Nabi saw
menjawab, ‘Ibumu!’ Dan orang tersebut kembali bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’
Nabi saw menjawab, ‘Ibumu!’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa
lagi?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu.’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian
siapa lagi,’ Nabi saw menjawab, ‘Kemudian ayahmu.’” (HR. Bukhari no. 5971 dan
Muslim no. 2548)[6]
Ibu, lantaran
kedudukanmu yang begitu terhormat, maka derai air mataku seringkali tertumpah.
Menganak sungai. Karena dosa yang telah kuperbuat. Karena salah yang telah
kulakukan. Karena kata-kata yang seringkali
menyakiti hatimu. Maka, ampunilah aku, Ibu. Maafkankah aku, Ibu. Tanpa maafmu,
tanpa ridhamu, aku akan terperosok ke
jurang kegelapan yang paling dalam. Akan berkubang di neraka yang paling curam.
Ibu, maafkan anakmu ini. Hanya kado cinta yang akan menghantarmu, menuju renta usiamu. Maka tersenyumlah untukku.
Ibu,
Kado cinta
untukmu, Ibu, adalah jelma rindu yang menghampar sejuta makna kasih. Katika
kembang surga, melantunkan doa-doa, dan Engkau bermunajat bersama sayang
kepadaku. Aku pun tersedu, menatap langit, menggores layar kelakuanku. Maka
sederat lukisan salah dan dosa padamu, beriring, berbaris, menumpahkan sebentuk
pinta. Ibu, pintaku padamu, maafkan segala kesalahanku. Ampuni segala dosaku.
Sugguh, bersama kado cinta ini, Engkau dalam peluk cintaku padamu.
Ibu, sebentuk
pengharapanku, hapuslah air matamu. Semoga aku mampu menjagamu. Tempat
sandaranmu ketika Engkau tak lagi mampu berdiri. Inilah aku, anakmu yang ingin
menggantikan detak jantungmu. Aku ingin membagi napasku. Agar Engkau, Ibu, tak
bersengal di ujung waktumu.
Ibu, kini Engkau
telah renta. Rambutmu sudah memutih. Kulitmu pun sudah keriput. Tapi semangat
kasihmu, masih mengalir di relung hatiku. Elusan tanganmu masih terasa nirwana,
menyentuh sejuk perasaan kalbuku. Engkau masih ada, biar ujung senja mulai berlipat. Tawamu seindah bunga di taman firdaus.
Ibu,
Semoga aliran
doaku ini, mampu membuatmu tersenyum. Memberikan kesejukan nuansa, di haribaan
cinta dan kasihmu.
"Robbigh
firlii waliwaalidayya warhamhuma kamaa robbayaanii shoghiraa."
Ya Allah,
ampunilah aku dan kedua orang tuaku (Ibu-Ayah), dan kasihanilah keduanya,
sebagaimana mereka berdua mendidikku (dari) kecil."
Ibu,
Di penghujung
goresan kado cinta
ini, aku, anakmu ingin selalu
bersamamu. Ingin selalu di pelukmu. Ingin selalu dalam cinta dan ridhamu.
Terimalah kado cinta ini, dan senyum tangismu selalu bermuara di relung
kehidupanku. Maafku padamu, Ibu.
***
Note: Teruntuk
ibuku yang kini sudah di usia senja. Doaku selalu untukmu. Dan doamu senantiasa
menyertaiku. Amin.
No comments:
Post a Comment