(Kontemplasi Verbal Atas Puisi Muhammad Ali Fakih)
Jangan Kau
Tidur dalam Pikiranku
--- Kepada
diriku yang lain
Tak mesti
dengan kakimu aku berjalan
Dan tak
mesti dengan tanganmu
kuatur semua
perabotan rumahku
Sudah lama
aku berpeluh di terik siang
layu bersama
bunga di musim kering
Maafkan
mimpi-mimpiku
yang menyala
di angkasa
dan
mengacuhkanmu
Aku bagimu
bara api
Baiklah, aku
tak akan tinggal
dalam
anggapanmu
dan biarkan
aku pergi
Aku akan
berkemas bagai benih
tumbuh jadi
pohon dan berbuah
Akan
kukerjakan semua yang ingin kukerjakan
dengan
kekuatanku sendiri
Tapi jangan
kau tidur
dalam
pikiranku
dan melihat
segalanya
dengan
mataku
Jogokaryan,
2014
***
Membangun
sebuah kontemplasi verbal atas sebuah puisi terkadang diperlukan perenungan
yang komprehensif, meliputi tafsir-makna intrinsik dan ekstrinsik. Untuk yang
pertama (intrinsik) dapat diperoleh dengan cara koordinasi makna kata yang
telah tersurat di dalam batang puisi. Namun, untuk pendekatan yang kedua
(ekstrinsik) memerlukan suatu daya yang akan menyerap energi, sehingga hakikat
dari usaha/kerja dapat dimaksimalkan. Sayang sekali, untuk yang kedua referensi
begitu terbatas, sebatas saya kenal Mas Fakih dari biodata di buku antologi
ini.
Saya ingin
mencoba membangun sebuah acuan tafsir-makna yang lebih mengacu kepada hakikat
batang tubuh puisi. Dengan keterbatasan referensi, dengan minimnya pemahaman
kontemplasi, serta aspek ke-tidakmengerti-an lainnya, sehingga memaksa saya
untuk ---sebelumnya--- meminta maaf. Tersebab oleh cinta ---Ketam Ladam Rumah
Ingatan--- berakibat pada sebuah timbulnya kemauan/keinginan untuk turut
berkisah. Berharap lampiran makna dan sampiran kebenarannya menjadi dialektika
yang punya arti (positif).
Kalau dalam
bahasa puisi M. Faizi, "//Pendar gugus bintang semesta raya//jika
engkaulah alamat kebenaran//maka perkenankan//sepanjang hidupku menjadi malam//.
Bahwa jika kontemplasi makna ini menjadi sebuah kebenaran, maka biarkan
"benar" itu menjalari hakikat kehidupan untuk dirasakan oleh semua
orang. Termasuk dalam tafsir-makna puisi ini, jika terdapat sebuah kebenaran
dan bermanfaat, maka biarkanlah kemanfaatan menjadi kebenaran yang seharusnya.
Hanya
tersebab oleh kebetulan, maka saya terpaut dengan puisi Muhammad Ali Fakih.
Saya tidak kenal dengan pencipta puisi ini. Namun, dari beberan biodata yang
ada pada buku antologi ini, sedikit banyak saya tahu bahwa Mas Fakih adalah
orang yang "hebat." Menerbitkan beberapa buku, dalam benak saya sudah
termasuk orang yang hebat. Siapa pun itu. Tidak terbatas hanya pada Mas Fakih.
Pencipta puisi ini termasuk dalam katagori hebat sebagaimana yang saya
definisikan.
Bermula dari
SMS istri saya, Fitri Amalia, salah seorang panitia dalam pelaksanaan
"Peluncuran Buku Ketam Ladam Rumah Ingatan," di Pendopo Kraton
Sumenep. Melalui SMS, istri saya mengirimkan sebuah puisi yang ditulis oleh Mas
Fakih. Ya, terkadang media ---termasuk media SMS--- membuat penggunanya
merasakan kelucuan yang tanpa sengaja untuk melucu. Istri saya mengirimkan
puisi di atas sekaligus dalam satu kali SMS. Tetapi SMS tersebut masuk dua
kali. Dan yang pertama masuk adalah kata api---, dan saya mengira bahwa judul
puisi di atas adalah api, dan seterusnya dengan perubahan batang puisi yang
sangat "riskan." Jadilah sebuah apresiasi yang jauh dari puisi di atas.
(Suatu saat saya akan mediakan sebagai referensi bahwa manusia sangat mungkin
untuk berbuat salah, bahkan tanpa disengaja sekalipun).
//Jangan Kau
Tidur dalam Pikiranku// adalah judul puisi Mas Fakih. Tegas, pencipta
puisi ini menghalau "ia" (kau) agar jangan berdiam di dalam otak atau
memorinya. Kata "jangan" adalah sebuah ketidakmauan, tidak
diinginkan, tidak diharapkan, untuk berada dalam jangkauan. Begitu juga sebuah
keinginan agar "ia" menjauh dari kehidupannya. Sebagai sebuah
penjelas, Mas Fakih memberikan tautan khusus "//kepada diriku yang lain//"
Dari catatan khusus ini, dapat dipahami bahwa "ia" bagian yang tidak
terpisahkan dengan dirinya. Jiwanya telah menjadi dirinya sendiri, dan dirinya
terbangun atas anasir yang tidak gampang untuk dipisahkan.
Maka
muncullah dalam benak saya, "ia" adalah analogi dari sikap dan sifat
egoisme. Dalam pandangan saya, sifat egoisme bisa mengarah kepada sikap-sikap
negatif, dimana sifat tersebut tidak bisa lepas dengan jiwa manusia. Manusia
diciptakan dengan dua kemungkinan, yaitu sikap positif dan sikap negatif.
Terdapat unsur malaikat, pun tersemat sikap iblis. Dengan kondisi ini, manusia
bisa mungkin menjadi baik seperti malaikat atau bahkan melebihi, atau jatuh tersungkur,
terburuk bahkan melebihi keburukan iblis. Hidup dengan sikap baik adalah
pilihan, sebagaimana sikap jelek juga sebuah pilihan.
Makna bias
dari egoisme adalah sifat marah, dengki, hasud, sombong, malas, dan lain
sebagainya. Sifat-sifat buruk ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan
jiwa seseorang. Maka, pas dengan penjelasan pencipta puisi, "kepada diriku
yang lain."
"Dan
janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya
kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan
sampai setinggi gunung." (QS. Al-Isro': 37)
//Tak
mesti dengan kakimu aku berjalan// artinya bahwa sikap egois tidak akan
pernah memberikan tindakan kebajikan. Sifat-sifat manusia yang jelek tidak
memberikan efek positif dalam segala tindakan. Maka, seharusnya bukan hanya
"tidak mesti," tetapi pasti "aku tidak akan berjalan dengan
kakimu." Namun, manusia juga diciptakan dengan dimensi "salah."
Suatu saat, disengaja atau tidak, sedikit atau banyak, kesalahan itu pasti
diperbuat. Tetapi, sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah orang yang
bertobat.
"Sesungguhnya
manusia tempat salah dan lupa." (Alhadits)
Dari ‘Aisyah
RA, dari Rasulullah SAW, beliau bersabda, “Tidaklah seorang hamba menyesali
atas suatu dosa, melainkan Allah mengampuninya sebelum ia mohon ampun kepada
Allah dari dosanya itu” . [HR. Hakim].
Dari
‘Abdullah bin Mas’ud RA, dari Nabi SAW beliau bersabda, “Orang yang bertaubat
dari dosa seperti orang yang tidak punya dosa” . [HR. Ibnu Majah dan Thabrani]
Dan tidak
perlu adanya penjabaran dari kalimat //Dan tak mesti dengan tanganmu//kuatur
semua perabotan rumahku//. Kalimat ini adalah sebuah pengulangan maksud
dari kalimat sebelumnya. Tanpa kalimat ini, sudah bisa dipahami bahwa segala
usaha/kerja tidak akan bernilai guna jika "ia" (egoisme?) masih
bersemayam sebagai metra kerja yang meniadakan kualitas kinerja. Bukan berarti
kalimat ini jelek atau harus dihilangkan, karena penegasan dalam sebuah wacana
diperlukan sebagai "penegas" untuk mencapai suatu maksud.
Usaha dan
ikhtiar telah dijalankan sebagai bagian dari kewajiban mengemban amanah Tuhan.
Banting tulang peras keringat, serta suka dan duka menjadi bagian yang tak
terpisahkan. //Sudah lama aku berpeluk di terik siang//layu bersama
bunga di musim kering//. Sebagai hamba yang punya tanggung jawab, harus
terus berusaha tanpa rasa putus asa. Profesi "khalifah" adalah
sebagai eksistensi manusia yang akan memanusiakan yang lainnya. Bermanfaat
untuk orang lain adalah bagian utama dalam tujuan hidup.
Mimpi adalah
awal untuk mencapai tujuan. Make your dream comes true, buatlah mimpimu
menjadi nyata. Bermimpi artinya membangun keinginan untuk mencapai tingkat
kedewasaan. Yaitu, tangga kandidat yang akan mempertemukan kita dengan Robb,
Tuhan Semesta Alam. //Maafkan mimpi-mimpiku//yang menyala di angkasa//dan
mengacuhkanmu//. Mengacuhkan egoisme adalah sebuah kewajiban. Sikap dan
sifat yang jelek/buruk harus dibuang jauh-jauh. Hingga tak lagi ada koneksi,
bahkan sekalipun hanya sebatas signal yang lewat. Sikap marah, dengki, hasud,
dan sikap jelek lainnya harus kita jauhkan untuk membentuk ketegasan individu
dalam meraih Ridha Allah swt.
//Aku
bagimu bara api//, sesuatu yang akan membuat kamu sengsara. Bermitra
denganmu (egoisme) akan membuat aku lelah. Kalah. Dan terperosok ke dalam
jurang kesesatan. Sikap yang tak acuh akan membuat sifat negatif harus pergi
dari diri seseorang.
//Baiklah,
aku tak akan tinggal//dalam anggapanmu//dan biarkan aku pergi//.
Seharusnya "ia" (egoisme) yang pergi. Namun, sebagai sesuatu yang bisa
niscaya berdiam di dalam sanubari seseorang, maka meninggalkannya adalah sebuah
keharusan. Misalnya, kalau dalam bahasa pribumi, Madura, ada sebagian
"guru" yang berucap, "Pacangke' sefat juba' jareya, e carang, Cong!" (Cantolkan sifat jelek itu di ranting bambu, Nak!) Artinya, sifat jelek bisa kita tinggalkan, meskipun terkadang
sifat tersebut bisa datang tanpa kita undang. Bagaimanapun, sikap apatis
terhadap sifat egois adalah bagian dari kecerdasan individu seseorang.
//Aku
akan berkemas bagai benih//tumbuh jadi pohon dan berbuah//. Berkemas
berarti bersiap-siap untuk membangun individu yang berdaya guna. Menjadi benih,
tidak sekadar benih, terapi tumbuh dan kemudian memberi manfaat baik berupa
pohon dan buah. Menjadi pohon saja tapi tidak bermanfaat (berbuah) tidak cukup.
Harus menjadi pribadi yang berkontribusi dalam membangun peradaban cinta, yaitu
cinta Agama, Bangsa, dan Negara.
//Akan
kukerjakan semua yang ingin kukerjakan//dengan kekuatanku sendiri//
Pada bagian ini ada kesan bahwa pencipta puisi ini, Muhammad Ali Fakih,
mengumbar suatu kesombongan. "Dengan kekuatanku sendiri," sebagai
ucapan yang kontradiktif. Seakan Mas Fakih tidak perlu bantuan orang lain.
Padahal, maksud makna dari kalimat ini adalah bekerja untuk suatu kemaslahatan
tanpa dibarengi oleh sikap sombong, marah, acuh, meremehkan orang lain, dan
lain sebagainya. Bukan berarti bahwa Mas Fakih tidak perlu bantuan orang lain.
Bagaimanapun, sebagai makhluk sosial, semua memerlukan sahabat, yaitu bantuan
orang lain. (Atau jangan-jangan,... hehee, sorry!)
Tapi,
bagaimana sulitnya untuk melepas nilai-nilai sikap negatif di dalam diri kita
sendiri. Berucap, menulis nasihat-nasihat, terasa begitu mudah. Dalam realitas,
sikap egois (penyakit hati) tidak segampang membalik telapak tangan. Diperlukan
keikhlasan. Dibutuhkan kesabaran. Dan diharuskan untuk berjuang secara maksimal
untuk berhindar dari berbagai penyakit hati. //Tapi, jangan kau tidur//dalam
pikiranku//, adalah kalimat skeptis akan sebuah keinginan. Meski keinginan
itu begitu kuat, rasa kawatir tidak mampu menghindar tetap masih ada. //dan
melihat segalanya//dengan mataku//, adalah kekawatiran yang cukup
menyita pikiran. Sebab kalau "penyakit hati" itu telah berkutat dan
berakar di dalam jiwa seseorang, maka ia akan melihat dengan mata kebencian.
Berucap dengan kata-kata pedas, berjalan dengan kaki keangkuhan, dan berpikir
dengan tanpa campur tangan Tuhan. Na'udzu billah, kita berlindung kepada Allah
swt dari sikap egoisme (penyakit hati).
Maaf!
Kata yang
pantas saya ucapkan adalah kata "maaf." Hanya dengan kata ini saya
akan terlepas dari keegoisan, keangkuhan, kesombongan, dan sifat-sifat jelek
lainnya. Dengan kata "maaf" seharusnya saya lepas dari beban tanggung
jawab moral atas kesahihan tafsir-makna ini. Dengan maaf, sungguh saya memohon
kepada pencipta puisi (semula saya biasa menggunakan pemuisi, tapi...),
Muhammad Ali Fakih, untuk tidak menvonis saya sebagai orang yang
"omatao." No more, tidak lebih saya hanya ingin
"menulis" sesuatu yang tiba-tiba muncul di benak saya. Jika kemudian
terdapat salah, itu karena keterbatasan kecerdasan saya, dan jika terungkap
kebenaran dan kemanfaatan, itu semua datangnya dari Allah swt.
Akhir dari
segalanya, "Ketam Ladam Rumah Ingatan," saya memberikan jabaran
sebagai sebuah "hasil (ketam; menuai dengan ani-ani, biasanya padi) dari
kekuatan yang luar biasa (ladam; tapal kuda, sebagai sebuah nilai kekuatan,
sehingga kuda (horse) dijadikan satuan kekuatan),
rumah ingatan; yaitu Madura yang tidak boleh kita lupakan begitu saja.
Jernaknya, bahwa di Madura begitu banyak para penyair yang mempunyai talenta
mumpuni, baik yang sudah dikenal, terkenal, atau pun yang masih belum sempat
terpublikasikan. Maka, "Ketam Ladam Rumah Ingatan," adalah munculnya
penyair yang hebat dari tanah Sakera, Madura. Insya Allah. Aamiin!
Referensi:
Alquran
Al-Karim
Imam Al
Ghazali, Penebus Dosa,...
Ketam Ladam
Rumah Ingatan; Antologi Puisi Penyair Muda Madura, LSL Reboeng, 2016
KBBI Pusat
Bahasa Edisi Keempat, PT Gramedia Pustaka Utama, 2008
M. Faizi,
Permaisuri Malamku, Mei 2012, DIVA Press, Jogjakarta
kampungpuisiwr.blogspot.com/2011/10/istilah-istilah-dalam-puisi.html?m=1