Tuesday, May 7, 2013

AWAN KELABU TELAH SIRNA



Pipiet yang cerdas. Cantik dan tidak manja. Seorang anak berumur dua belas tahun. Sekarang masih duduk di bangku SMP. Dengan rajin ia bangun pagi. Mengerjakan pekerjaan harian tanpa pamrih. Ia melakukannya dengan ikhlas. Menyapu halaman, mengisi air bak mandi. Membersihkan kamar. Dan melayani adiknya, Andika, yang masih berumur empat tahun.

Pipiet kini hidup sendirian. Ibunya telah pergi dua tahun yang lalu. Pergi untuk selamanya. Karena suatu penyakit yang tidak diketahui. Karena ia tidak pernah memeriksakan diri, baik ke Puskesmas atau Rumah Sakit. Masih sering teringat pesan ibunya, selagi beliau masih hidup.

“Piet, gunakan waktumu dengan sebaik-baiknya,” suatu ketika, saat Pipiet dan ibunya serta adiknya lagi duduk-duduk di beranda rumahnya yang sangat sederhana. “Jangan lupa untuk selalu belajar. Karena kalau kamu pinter akan menjadikan derajatmu terangkat.” Lanjut ibunya dengan lembut. Sambil menyitir sebuah ayat yang ia dengar di suatu pengajian.

“Allah mengangkat orang-orang yang beriman di antara kalian, dan orang-orang yang memilki ilmu (pengetahuan), dengan beberapa derajat.”

“Iya Bu. Pipiet akan selalu ingat nasihat ibu.” Jawab Pipiet saat itu.

Suatu pagi di hari Minggu. Ayah Pipiet tiba-tiba mengatakan padanya bahwa dia akan pergi. Pergi untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Untuk mencari uang demi sekolah Pipiet dengan adiknya.

“Ya Nak. Ayah akan pergi untuk mencari penghidupan yang lebih baik.”
“Jadi aku akan hidup sebatangkara?”
“Tapi ini juga demi kamu, Nak!”
“Pipiet mengerti Ayah. Tapi ....”
“Ayah yakin, Pipiet dapat menjaga diri dan adiknya,” potong ayah saat itu.

Pipiet tidak bisa berkata-kata lagi. Ia menyadari keadaan ayahnya jika ia terus tinggal di kampungnya. Tidak ada yang bisa diharapkan. Akhirnya ia merelakan kepergian ayahnya. Harapannya, ayahnya akan mendapat rizki yang diinginkan.

Kini sudah enam bulan lamanya ayahnya pergi. Pipeit tidak tau, dimana ayahnya saat ini. Tidak ada kabar. Tidak ada pesan. Ayahnya pergi bagai ditelan bumi. Tapi untunglah, Pipiet bukan anak yang cengeng. Ia dapat melakukan apa saja untuk menghidupi dirinya dan adiknya. Andika, adik Pipiet juga anak yang penurut. Tidak pernah berbuat yang tidak-tidak. Bahkan anak empat tahun itu kadang membantu kakaknya, semampunya.

“Dika sudah belajar?” suatu malam Pipiet bertanya kepada adiknya.
“Sudah Mbak. Nih lihat Dika menggambar ayam.” Jawab Dika sambil memperihatkan buku kumal di tangannya.
“Wah, bagus sekali gambar ini. Kok tidak diwarnai?”
“Gak Mbak. Besok aja!” Kata Dika yang sudah kelihatan mengantuk.
“Ya sudah. Tidur saja sana!” Pipiet membujuk adiknya.
“Baik Mbak. Dika mau tidur aja. Mbak gak tidur juga?”
“Entar lagi. Dika tidur duluan gih,” lembut Pipiet berkata pada adiknya. Satu-satunya kepunyaannya. Satu-sastunya harapannya. Yang selalu menjadikan ia bergairah dalam setiap kerjanya.

Semenjak ayah Pipiet pergi, ia bekerja mencari uang sendiri. Bekerja apa saja. Yang penting halal dan tidak melanggar aturan. Baik aturan agama maupun aturan etika dalam kehidupan bermasyarakat. Menjadi pencuci baju tetangga. Membantu menanam di sawah. Atau sekadar bersih-bersih rumah orang lain. Dari pekerjaan itu, pipiet mendapatkan upah dan dapat menghidupi diri dan adiknya.

Di sekolah, Pipiet termasuk anak yang rajin. Ia anak yang cerdas. Dari kecerdasan dan kerajinannya, ia mendapatkan bantuan beasiswa. Tidak perlu lagi memikirkan uang untuk keperluan sekolah. Semua sudah ditanggung sekolah, termasuk juga pakaian seragamnya. Bahkan pipiet mendaptkan uang saku karena kemampuan logikanya.

Seringkali Pipiet mewakili sekolahnya dalam berbagai lomba. Beberapa hari yang lalu ia mewakili sekolahnya dalam lomba cerdas cermat mata pelajaran. Dan bahagiaanya, ia mendapatkan juara pertama dalam lomba tersebut. Tentu saja Pipiet meresa bahagia. Sayang sekali kebahagiaan itu tidak disaksikan oleh kedua orang tuanya.

“Ibu, Pipiet dapat juara lagi Bu.” Suatau senja saat ia nyekar ke makam  ibunya. Dari kedua matanya membanjir air mata. Tak terbendung. Membuncah karena suatu perasaan yang begitu mendalam. Adiknya bergelayut di pangkuannya. Dika belum terlalu paham apa yang terjadi pada dirinya.
“Mbak Pipiet kok nangis?” Dika kecil menghapus air mata Mbaknya. Pipiet sepontan memeluk adiknya, dan dalam perasaan gamang ada rasa damai ketika memeluk adik semata wayang.

Malam itu gerimis turun. Suasana begitu sepi, mencekam. Pipiet dan adiknya sudah dari tadi tidur. Musibah tidak ada yang bisa memprediksi. Pipiet yang cantik, cerdas, dan lembut ternyata ada orang bejat yang mengintai. Gerimis malam yang mencekam dijadikan kesempatan untuk melampiaskan bejatnya.

Dengan mengendap-endap, orang yang tidak diketahui identitasnya itu mencoba memasuki rumah Pipiet. Tidak terlalu sulit, karena rumah Pipiet hanya terdiri dari gedek yang mulai melapuk karena dimakan usia. Dan tanpa memberikan kesempatan lagi kepada Pipiet, ia mencoba untuk menindih tubuh mungil Pipiet. Tentu saja Pipiet terkejut. Ia berteriak, meronta, dan mencoba mempertahankan diri. Tapi tenaganya terlalu lemah untuk melawan tenaga lelaki biadap tersebut.

“Tolooo....ng!” Pipiet berharap kalau-kalau ada orang yang mendengarnya dan menolongnya. Tapi serasa sudah putus asa.

Dengan kekuatan yang tersisa, Pipiet meronta. Menerjang. Menendang dan mencakar orang jalang di hadapannya. Entah kekautan darimana? Sepertinya kekuatan luar biasa itu datang begitu saja.

“Allahu Akbar,....” Pipiet menerjang orang itu, dan ia terjengkang dan membentur tangga kayu di pojokan. Dan dalam sekejab, orang itu terkulai. Semaput, tak sadarkan diri karena benturan itu.

Di luar rumah. Tiba-tiba banyak tetangga yang berdatangan. Mereka membawa golok, celurit, pentungan, dan lain sebagainya. Pipiet tidak mengerti, dari mana orang-orang ini tau apa yang terjadi terhadap dirinya. Tiba-tiba adiknya, Dika, menyeruak di antara orang-orang yang berkerumun. Ternyata Andika-lah yang mengabarkan kejadian ini kepada para tetangga. Pipiet memeluk adiknya. Dan ia menagis bahagia. Lepas dari percobaan pemerkosaan oleh orang yang tidak bertanggung jawab.

Akhirnya orang yang mencoba memperkosa Pipiet itu digelandang ke kantor polisi. Setelah sebelumnya, tentu menjadi bulan-bulanan orang-orang marah atas perbuatannya.

“Terima kasih Dika. Engkau telah menyelamatkan Mbak!”
“Tapi Mbak kok bisa melawan orang itu?”
“Allah yang telah menolong Mbak!” jawab Pipiet sambil ber-hamdalah.

Tiga hari setelah kejadian itu ayah Pipiet datang. Ia membawa banyak oleh-oleh. Juga membawa cukup uang. Mendengar kejadian yang menimpa Pipiet, ayah berjanji tidak akan lagi meninggalkan Pipiet dan adiknya.

“Maafkan Ayah Nak. Ayah bukan tidak sayang padamu. Tapi keadaanyalah yang mengharuskan Ayah harus pergi.”
“Gak apa-apa Ayah. Pipiet dan Dika tetap mencintai ayah. Pipiet paham dengan keadaan Ayah yang pergi untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik.”
“Ayah berjanji, tidak akan lagi meninggalkan kalian!” akhirnya ayah Pipiet memutuskan yang terbaik untuk dirinya dan kedua anaknya.

Awan kelabu telah sirna. Dengan uang yang diperoleh, ayah Pipiet memperbaiki rumahnya. Di depannya dibangun sebuah ruang untuk tempat berjualan. Toko kecil-kecilan. Agar kehidupan selanjutnya lebih memungkinkan untuk kelanjutan pendidikan Pipiet dan adiknya. Pelan tapi pasti, kebahagiaan keluarga Pipiet semakin megemuka. Insya Allah.

Sumenep, 06 Mei 2013






Wednesday, May 1, 2013

CINTA DI ATAS BADAI




Aku baru tahu bahwa cinta itu buta. Aku baru memahami bahwa bahwa cinta itu segalanya. Aku baru menyadari bahwa cinta adalah sebuah pengorbanan. Cinta adalah memberi. Cinta adalah berkorban. Cinta adalah atas nama cinta, yang tulus untuk memberikan kasih tanpa diminta.

Mendung masih bergelayut di ufuk. Menampakkan warna merah saga, karena pancaran sinar mentari senja. Aku menatap langit merah jingga, di bawah lambaian pohon kelapa, di tepian pantai yang berpasir putih.

Saat itu, Amalia, yang biasa dipanggil Amel, duduk di atas pasir putih dan lembut ketika air laut lagi surut. Wajahnya yang cantik bersembunyi di balik balutan jilbab warna hitam. Senyum selalu menghias di bibir tipis merah delima. Alami tanpa polesan lipstik. Pesona kharisma seorang gadis beretika, memancar dari raut wajah dan sapa tingkah seorang Amel.

“Assalamu’alaikum,” sapaku pada senja itu.
“Wa’alaikum salam,” jawab Amel dan terlihat agak terkejut dan terkesima.
“Amel sendirian?”, selanjutnya aku berbasa-basi.
“Ya Mas. Lagi menikmati pesona sunset di pantai ini”. Amel menjelaskan.
“Ya. Tapi kok sendiri?” lagi-lagi aku mencoba berbasa-basi.
“Hemm.... Emangnya harus sama siapa?”. Jawab Amel sambil sedikit memalingkan wajahnya ke arahku. Diiringi sebaris tipis senyum bibir yang teramat manis.

Sungguh sebuah pemandangan yang sangat indah. Wajah itu menghunjam jantungku.  Begitu teduh, dan aku mahsyuk dalam sakau cinta yang tiba-tiba lahir di balik hati yang paling dalam. Ada sebentuk purnama dari wajah cantiknya. Aku hampir-hampir tidak percaya.

Tidak terlalu banyak yang bisa dibicarakan saat itu. Karena aku dan Amel masih terhalang oleh syari’at keyakinan. Bahwa dua insan yang berlain jenis tidak boleh berdua-duan dalam satu tempat. Yang ketiga adalah setan. Paradigma berpikirku masih berlaku, sekalipun gejolak cinta begitu menggebu.

Ya, hanya sebatas itulah aku dan Amel berbicara. Tidak lebih dan tidak terlalu jauh. Tapi sebentuk cinta sudah melekat kuat karena pertemuan itu. Dan di kemudian hari melahirkan sari-sari kerinduan.

“Apa pendapatmu jika seseorang jatuh hati padamu Mel?”. SMSku suatu ketika pada Amel. Dari pertemuan di senja itu, hari-hariku diliputi kerinduan terhadap wajah Amel. Entahlah, apakah Amel juga begitu? Aku tidak peduli.
“Tentu Amel lihat dulu orangnya. Agamanya, akhlaknya, dan pastinya juga kometmennya”. Balas Amel, juga melalui SMS.
“Kalau aku, menurutmu seperti apa?”
“Apakah orang itu Mas sendiri?” Amel balik bertanya.
“Insya Allah, kalau Amel adalah tulang rusukku yang hilang itu”.
“Semoga Allah merestui”, balas Amel di akhir SMSnya.

Amel adalah gadis sederhana yang saat ini masih belajar di sebuah pondok pesantren. Ia termasuk anak yang rajin. Banyak prestasi yang sudah ia raih. Tapi semua keunggulan yang ia miliki tidak menjadikan ia tinggi hati atau sombong. Bahkan banyak prestasi yang ia peroleh, menjadikan dirinya semakin tawadhu’ dan rendah hati.

Ta’aruf atau khitbah (pertunangan) akan segera aku lakukan. Itu karena Amel telah membuka pintu hatinya untukku. Aku tidak bertepuk sebelah tangan. Amel ingin berlabuh di belahan hatiku yang terurai kasih hanya kepada Amel.

Maka pada suatu hari yang telah ditentukan, kedua orang tuaku menemui orag tua Amel. Pertunangan atau khitbah. Ya, untuk lebih merapatkan rindu dan cinta di real yang telah digariskan. Selangkah menuju sebentuk halal hubungan antara aku dan Amel.

Namun apa yang terjadi?

“Maaf Bapak, Ibu. Kami bukan tidak menerima lamaran anak Bapak dan Ibu. Tetapi kami telah menerima lamaran dari orang lain”. Orang tua Amel akhirnya menjelaskan kepada kedua orang tuaku. Tentu saja aku kecewa. Aku marah pada diriku sendiri. Mengapa harus terlambat?

Badai begitu keras menghantam kehidupanku. Aku menggeliat menggapai asa. Tapi segalanya telah begitu kelam. Hidupku gelap. Cintaku, kini bertahta di atas badai.

“Ya Allah, jangan Kau tinggalkan aku sendiri”, desahku saat mendengar semua yang dikatakan kedua orang tuaku.

Sendiri aku mengurung diri. Aku tidak tahu apa yang mesti aku lakukan. Tapi, semua telah terjadi. Itu artinya aku harus menerima keadaan. Aku yakin, Amel juga tidak mau hal ini terjadi. Aku harus lebih mendekat lagi ke hadirat-Nya. Agar hidayah itu ada dan menjadi pegangan untuk kehidupan selanjutnya.

Malam jam setengah tiga. Adalah malam yang sangat mustajabah untuk menghatur doa. Aku bersimpuh kepada-Nya. Agar Amel, aku, dan keluarga Amel serta keluargaku diberi kesabaran dan ketabahan. Diberi kebahagiaan, baik di dunia dan di akhirat.

Sesaat setelah sujud terakhirku dalam tahajudku, tiba-tiba handphone bergetar. Dan nama Amel terbaca di screen Hpku.

“Mas, maafkan Amel”.
“Tidak apa-apa Amel,” jawabku. Tentu dengan gejolak emosional yang tidak karuan. Demi sebuah cinta, apapun yang terjadi, Amel harus dalam keadaan bahagia dan sempurna.
“Sehari sebelum orang tua Mas ke rumah, ayah dan ibuku telah menerima lamaran seseorang,” lanjut SMS Amel.
“Tidak apa-apa. Cintai dia apa adanya. Kasihi dia dengan segenap cinta sucimu. Karena dialah pangeranmu”. Entah dari mana kata itu bisa terucap. Tapi aku harus menyadari bahwa cinta itu tidak harus saling memiliki. Biarlah Amel bahagia dengan pengerannya. Dan aku sudah begitu bahagia jika Amel hidup dalam kebahagiaan.

Memang hatiku sakit. Dan semua orang normal pasti akan mengalami hati yang pedih ketika cintanya harus pupus di tengah jalan. Tapi aku yakin bahwa Allah punya rencana lain di balik itu semua.

Akhirnya Amel pun melangsungkan pernikahan. Sebuah pernikahan yang sederhana. Tidak berfoya-foya dengan pesta yang meriah seperti yang terjadi kebanyakan saat ini. Sebuah acara yang hanya memberikan i’lan (petanda halal) bagi pasangan. Aku pun pasrah dengan ini semua. Semuanya aku kembalikan pada yang di atas.

Sudah hampar enam bulan, Amel telah mengarungi rumah tangga. Aku tidak tahu keadaan Amel selama ini. Hanya saja harapan dan doaku semoga dia dan suaminya dalam lindungan Allah swt. Hingga pada suatu waktu Amel mengirim SMS padaku.

“Mas Umar, Amel tidak bahagia dengan pernikahan ini”. Aku terkejut menerima SMS seperti itu dari Amel. Padahal, sesungguhnya kebahagiaan Amel yang aku inginkan. Aku tidak ingin Amel menderita dalam setiap tarikan nafasnya. Itukah yang dinamakan cinta? Ataukah aku ini termasuk orang yang bodoh? Aku tidak peduli apapun namanya. Yang pasti Amel harus bahagia.
“Maksud Amel apa kok bilang seperti itu?”. Aku membalas pesan Amel.
“Ya, Amel tidak bahagia dalam rumah tangga Amel”.
“Amel bertengkar dengan suami?”.
“Tidak Mas”.
“Lalu kenapa?”

Akhirnya Amel menceritakan prihal rumah tangganya. Bahwa selama ini ia tidak pernah melakukan layaknya hubungan suami istri. Bahwa suaminya ternyata, maaf, tidak laki-laki alias impoten. Amel dan suaminya sudah membicarakan hal ini. Tapi usaha yang mereka lakukan tidak membuahkan hasil.

Mendengar masalah ini, sebenarnya aku sangat terpukul. Aku tidak ingin masalah ini terjadi pada Amel dan suaminya. Sekalipun Amel adalah bagian dari cintaku yang pupus di tengah jalan. Tapi semua itu tidak akan membuat aku dendam atau sakit hati yang berkepanjangan. Aku ingin Amel dan suaminya membangun mahligai rumah tangga yang sempurna.

Entahlah, apa himah di balik ini semua. Pada akhirnya suami Amel berkeputusan untuk menceraikannya. Ia tidak rela Amel bersuami orang yang tidak normal. Ia tidak ingin memberikan kekecewaan yang lebih mendalam. Biarlah Amel menemukan orang lain yang lebih sepadan dan mampu membina rumah tangga dengan sebenar-benarnya.

“Biarlah kita berpisah saja Dik”, pada suatu ketika suami Amel berkata. Ada telaga bening di air matanya. Karena sesungguhnya ia masih mencintainya.
“Tidak adakah jalan lain selain perceraian Mas”, jawab Amel juga dengan nada sendu penuh penyesalan.
“Kita sudah berusaha sekian lama waktunya. Tapi Allah tidak memberikan jalan itu kepada kita. Mungkin inilah takdir. Semoga ada hikmah yang lebih besar di balik ini semua”.

Akhirnya Amel pun bercerai dengan suaminya. Aku tidak tahu apa yang mesti aku katakan. Kebahagiaan ataukah kesedihan. Bahagia jika akulah pendamping Amel selanjutnya, dan sedih jika ternyata aku tidak mampu menjadi suami yang baik. Kesempurnaan hanya milik Allah, tapi aku ingin sekali menajadi suami yang baik di sisi Allah swt.

Setelah kira-kira tiga bulan lamanya Amel bercerai dengan suaminya, sesuai dengan kaidah fiqih tiga kali suci, maka aku pun melamar Amel dan sekaligus dilangsungkan pernikahan. Sebuah perjalanan yang penuh dengan badai. Penuh dengan tantangan. Ada air mata. Ada susah yang selalu membayang sebelum pernikahan ini. Bahkan ada tebing yang tidak mungkin dilalui karena bagian dari kaidah syariat Islam.

Kami melangsungkan ijab kabul di sebuah masjid. Masjid itu kira-kira empat kilometer jaraknya dari rumahku. Aku naik mobil. Dan tidak berselang lama aku pun sudah tiba di sana. Akad pun dilangsungkan. Aku sangat bahagia. Karena satu hati satu cinta menyatu dalam ikatan suci, halal, dan disaksikan oleh kerabat dan para tetangga.

“Saya terima nikahnya Amelia binti Fahri dengan maskawin ayat-ayat suci al-Quran”. Begitu aku melaksanakan ijab kabul di masjid yang megah tersebut. Dan acara ijab kabul atau akad pernikahan pun usai.

Aku dan Amel pun pulang. Ada banyak cerita di hati masing-masing yang tidak terungkapkan. Ternyata kami masih dipersatukan dengan satu cinta, meskipun banyak badai yang harus kami lalui. Apa yang akan kami lakukan? Ada first night, malam pertama yang tidak mungkin terlupakan begitu saja.

Tetapi Allah punya rencana. Di tengah perjalanan kami pulang, tiba-tiba dari arah depan melaju tak terkendali sebuah bus, dan dengan kerasnya menghantam mobil yang kami tumpangi. Semuanya gelap. Masih terdengar Amel, istriku, menjerit menyebut nama Allah.
“Allaa....h”, teriak Amel dan aku berbarengan.

Setelah itu entah apa yang terjadi. Gelap, kemudian dari arah yang tidak diketahui sumbernya, kulihat sebuah taman yang begitu indah. Aku dan Amel menuju ke sana. Berpegangan tangan. Menyatukan hati dalam cinta yang damai. Di taman firdaus. Allahu Akbar. Lailaha Illallahu Allahu Akbar. Allahu Akbar Walillahilhamd.
****