Pipiet
yang cerdas. Cantik dan tidak manja. Seorang anak berumur dua belas tahun. Sekarang
masih duduk di bangku SMP. Dengan rajin ia bangun pagi. Mengerjakan pekerjaan
harian tanpa pamrih. Ia melakukannya dengan ikhlas. Menyapu halaman, mengisi
air bak mandi. Membersihkan kamar. Dan melayani adiknya, Andika, yang masih
berumur empat tahun.
Pipiet
kini hidup sendirian. Ibunya telah pergi dua tahun yang lalu. Pergi untuk
selamanya. Karena suatu penyakit yang tidak diketahui. Karena ia tidak pernah
memeriksakan diri, baik ke Puskesmas atau Rumah Sakit. Masih sering teringat
pesan ibunya, selagi beliau masih hidup.
“Piet,
gunakan waktumu dengan sebaik-baiknya,” suatu ketika, saat Pipiet dan ibunya
serta adiknya lagi duduk-duduk di beranda rumahnya yang sangat sederhana. “Jangan
lupa untuk selalu belajar. Karena kalau kamu pinter akan menjadikan derajatmu terangkat.” Lanjut ibunya dengan
lembut. Sambil menyitir sebuah ayat yang ia dengar di suatu pengajian.
“Allah mengangkat orang-orang yang
beriman di antara kalian, dan orang-orang yang memilki ilmu (pengetahuan),
dengan beberapa derajat.”
“Iya
Bu. Pipiet akan selalu ingat nasihat ibu.” Jawab Pipiet saat itu.
Suatu
pagi di hari Minggu. Ayah Pipiet tiba-tiba mengatakan padanya bahwa dia akan
pergi. Pergi untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Untuk mencari uang demi
sekolah Pipiet dengan adiknya.
“Ya
Nak. Ayah akan pergi untuk mencari penghidupan yang lebih baik.”
“Jadi
aku akan hidup sebatangkara?”
“Tapi
ini juga demi kamu, Nak!”
“Pipiet
mengerti Ayah. Tapi ....”
“Ayah
yakin, Pipiet dapat menjaga diri dan adiknya,” potong ayah saat itu.
Pipiet
tidak bisa berkata-kata lagi. Ia menyadari keadaan ayahnya jika ia terus
tinggal di kampungnya. Tidak ada yang bisa diharapkan. Akhirnya ia merelakan
kepergian ayahnya. Harapannya, ayahnya akan mendapat rizki yang diinginkan.
Kini
sudah enam bulan lamanya ayahnya pergi. Pipeit tidak tau, dimana ayahnya saat
ini. Tidak ada kabar. Tidak ada pesan. Ayahnya pergi bagai ditelan bumi. Tapi untunglah,
Pipiet bukan anak yang cengeng. Ia dapat melakukan apa saja untuk menghidupi
dirinya dan adiknya. Andika, adik Pipiet juga anak yang penurut. Tidak pernah berbuat
yang tidak-tidak. Bahkan anak empat tahun itu kadang membantu kakaknya, semampunya.
“Dika
sudah belajar?” suatu malam Pipiet bertanya kepada adiknya.
“Sudah
Mbak. Nih lihat Dika menggambar ayam.” Jawab Dika sambil memperihatkan buku
kumal di tangannya.
“Wah,
bagus sekali gambar ini. Kok tidak diwarnai?”
“Gak
Mbak. Besok aja!” Kata Dika yang sudah kelihatan mengantuk.
“Ya
sudah. Tidur saja sana!” Pipiet membujuk adiknya.
“Baik
Mbak. Dika mau tidur aja. Mbak gak tidur juga?”
“Entar
lagi. Dika tidur duluan gih,” lembut Pipiet berkata pada adiknya. Satu-satunya
kepunyaannya. Satu-sastunya harapannya. Yang selalu menjadikan ia bergairah
dalam setiap kerjanya.
Semenjak
ayah Pipiet pergi, ia bekerja mencari uang sendiri. Bekerja apa saja. Yang penting
halal dan tidak melanggar aturan. Baik aturan agama maupun aturan etika dalam
kehidupan bermasyarakat. Menjadi pencuci baju tetangga. Membantu menanam di sawah.
Atau sekadar bersih-bersih rumah orang lain. Dari pekerjaan itu, pipiet
mendapatkan upah dan dapat menghidupi diri dan adiknya.
Di
sekolah, Pipiet termasuk anak yang rajin. Ia anak yang cerdas. Dari kecerdasan
dan kerajinannya, ia mendapatkan bantuan beasiswa. Tidak perlu lagi memikirkan
uang untuk keperluan sekolah. Semua sudah ditanggung sekolah, termasuk juga
pakaian seragamnya. Bahkan pipiet mendaptkan uang saku karena kemampuan
logikanya.
Seringkali
Pipiet mewakili sekolahnya dalam berbagai lomba. Beberapa hari yang lalu ia
mewakili sekolahnya dalam lomba cerdas cermat mata pelajaran. Dan bahagiaanya,
ia mendapatkan juara pertama dalam lomba tersebut. Tentu saja Pipiet meresa
bahagia. Sayang sekali kebahagiaan itu tidak disaksikan oleh kedua orang
tuanya.
“Ibu,
Pipiet dapat juara lagi Bu.” Suatau senja saat ia nyekar ke makam ibunya. Dari
kedua matanya membanjir air mata. Tak terbendung. Membuncah karena suatu
perasaan yang begitu mendalam. Adiknya bergelayut di pangkuannya. Dika belum
terlalu paham apa yang terjadi pada dirinya.
“Mbak
Pipiet kok nangis?” Dika kecil menghapus air mata Mbaknya. Pipiet sepontan
memeluk adiknya, dan dalam perasaan gamang ada rasa damai ketika memeluk adik
semata wayang.
Malam
itu gerimis turun. Suasana begitu sepi, mencekam. Pipiet dan adiknya sudah dari
tadi tidur. Musibah tidak ada yang bisa memprediksi. Pipiet yang cantik,
cerdas, dan lembut ternyata ada orang bejat yang mengintai. Gerimis malam yang
mencekam dijadikan kesempatan untuk melampiaskan bejatnya.
Dengan
mengendap-endap, orang yang tidak diketahui identitasnya itu mencoba memasuki
rumah Pipiet. Tidak terlalu sulit, karena rumah Pipiet hanya terdiri dari gedek
yang mulai melapuk karena dimakan usia. Dan tanpa memberikan kesempatan lagi
kepada Pipiet, ia mencoba untuk menindih tubuh mungil Pipiet. Tentu saja Pipiet
terkejut. Ia berteriak, meronta, dan mencoba mempertahankan diri. Tapi tenaganya
terlalu lemah untuk melawan tenaga lelaki biadap tersebut.
“Tolooo....ng!”
Pipiet berharap kalau-kalau ada orang yang mendengarnya dan menolongnya. Tapi serasa
sudah putus asa.
Dengan
kekuatan yang tersisa, Pipiet meronta. Menerjang. Menendang dan mencakar orang
jalang di hadapannya. Entah kekautan darimana? Sepertinya kekuatan luar biasa
itu datang begitu saja.
“Allahu
Akbar,....” Pipiet menerjang orang itu, dan ia terjengkang dan membentur tangga
kayu di pojokan. Dan dalam sekejab, orang itu terkulai. Semaput, tak sadarkan
diri karena benturan itu.
Di
luar rumah. Tiba-tiba banyak tetangga yang berdatangan. Mereka membawa golok,
celurit, pentungan, dan lain sebagainya. Pipiet tidak mengerti, dari mana
orang-orang ini tau apa yang terjadi terhadap dirinya. Tiba-tiba adiknya, Dika,
menyeruak di antara orang-orang yang berkerumun. Ternyata Andika-lah yang
mengabarkan kejadian ini kepada para tetangga. Pipiet memeluk adiknya. Dan ia
menagis bahagia. Lepas dari percobaan pemerkosaan oleh orang yang tidak
bertanggung jawab.
Akhirnya
orang yang mencoba memperkosa Pipiet itu digelandang ke kantor polisi. Setelah sebelumnya,
tentu menjadi bulan-bulanan orang-orang marah atas perbuatannya.
“Terima
kasih Dika. Engkau telah menyelamatkan Mbak!”
“Tapi
Mbak kok bisa melawan orang itu?”
“Allah
yang telah menolong Mbak!” jawab Pipiet sambil ber-hamdalah.
Tiga
hari setelah kejadian itu ayah Pipiet datang. Ia membawa banyak oleh-oleh. Juga
membawa cukup uang. Mendengar kejadian yang menimpa Pipiet, ayah berjanji tidak
akan lagi meninggalkan Pipiet dan adiknya.
“Maafkan
Ayah Nak. Ayah bukan tidak sayang padamu. Tapi keadaanyalah yang mengharuskan
Ayah harus pergi.”
“Gak
apa-apa Ayah. Pipiet dan Dika tetap mencintai ayah. Pipiet paham dengan keadaan
Ayah yang pergi untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik.”
“Ayah
berjanji, tidak akan lagi meninggalkan kalian!” akhirnya ayah Pipiet memutuskan
yang terbaik untuk dirinya dan kedua anaknya.
Awan
kelabu telah sirna. Dengan uang yang diperoleh, ayah Pipiet memperbaiki
rumahnya. Di depannya dibangun sebuah ruang untuk tempat berjualan. Toko kecil-kecilan.
Agar kehidupan selanjutnya lebih memungkinkan untuk kelanjutan pendidikan
Pipiet dan adiknya. Pelan tapi pasti, kebahagiaan keluarga Pipiet semakin
megemuka. Insya Allah.
Sumenep,
06 Mei 2013