Mendung
masih bergelayut di ufuk. Menampakkan warna merah saga, karena pancaran sinar
mentari senja. Aku menatap langit merah jingga, di bawah lambaian pohon kelapa,
di tepian pantai yang berpasir putih.
Saat
itu, Amalia, yang biasa dipanggil Amel, duduk di atas pasir putih dan lembut
ketika air laut lagi surut. Wajahnya yang cantik bersembunyi di balik balutan
jilbab warna hitam. Senyum selalu menghias di bibir tipis merah delima. Alami
tanpa polesan lipstik. Pesona kharisma seorang gadis beretika, memancar dari
raut wajah dan sapa tingkah seorang Amel.
“Assalamu’alaikum,”
sapaku pada senja itu.
“Wa’alaikum
salam,” jawab Amel dan terlihat agak terkejut dan terkesima.
“Amel
sendirian?”, selanjutnya aku berbasa-basi.
“Ya
Mas. Lagi menikmati pesona sunset di pantai ini”. Amel menjelaskan.
“Ya.
Tapi kok sendiri?” lagi-lagi aku mencoba berbasa-basi.
“Hemm....
Emangnya harus sama siapa?”. Jawab Amel sambil sedikit memalingkan wajahnya ke
arahku. Diiringi sebaris tipis senyum bibir yang teramat manis.
Sungguh
sebuah pemandangan yang sangat indah. Wajah itu menghunjam jantungku. Begitu teduh, dan aku mahsyuk dalam sakau
cinta yang tiba-tiba lahir di balik hati yang paling dalam. Ada sebentuk
purnama dari wajah cantiknya. Aku hampir-hampir tidak percaya.
Tidak
terlalu banyak yang bisa dibicarakan saat itu. Karena aku dan Amel masih
terhalang oleh syari’at keyakinan. Bahwa dua insan yang berlain jenis tidak
boleh berdua-duan dalam satu tempat. Yang ketiga adalah setan. Paradigma
berpikirku masih berlaku, sekalipun gejolak cinta begitu menggebu.
Ya,
hanya sebatas itulah aku dan Amel berbicara. Tidak lebih dan tidak terlalu
jauh. Tapi sebentuk cinta sudah melekat kuat karena pertemuan itu. Dan di
kemudian hari melahirkan sari-sari kerinduan.
“Apa
pendapatmu jika seseorang jatuh hati padamu Mel?”. SMSku suatu ketika pada
Amel. Dari pertemuan di senja itu, hari-hariku diliputi kerinduan terhadap
wajah Amel. Entahlah, apakah Amel juga begitu? Aku tidak peduli.
“Tentu
Amel lihat dulu orangnya. Agamanya, akhlaknya, dan pastinya juga kometmennya”.
Balas Amel, juga melalui SMS.
“Kalau
aku, menurutmu seperti apa?”
“Apakah
orang itu Mas sendiri?” Amel balik bertanya.
“Insya
Allah, kalau Amel adalah tulang rusukku yang hilang itu”.
“Semoga
Allah merestui”, balas Amel di akhir SMSnya.
Amel
adalah gadis sederhana yang saat ini masih belajar di sebuah pondok pesantren.
Ia termasuk anak yang rajin. Banyak prestasi yang sudah ia raih. Tapi semua
keunggulan yang ia miliki tidak menjadikan ia tinggi hati atau sombong. Bahkan
banyak prestasi yang ia peroleh, menjadikan dirinya semakin tawadhu’ dan rendah
hati.
Ta’aruf
atau khitbah (pertunangan) akan segera aku lakukan. Itu karena Amel telah
membuka pintu hatinya untukku. Aku tidak bertepuk sebelah tangan. Amel ingin
berlabuh di belahan hatiku yang terurai kasih hanya kepada Amel.
Maka
pada suatu hari yang telah ditentukan, kedua orang tuaku menemui orag tua Amel.
Pertunangan atau khitbah. Ya, untuk lebih merapatkan rindu dan cinta di real
yang telah digariskan. Selangkah menuju sebentuk halal hubungan antara aku dan
Amel.
Namun
apa yang terjadi?
“Maaf
Bapak, Ibu. Kami bukan tidak menerima lamaran anak Bapak dan Ibu. Tetapi kami
telah menerima lamaran dari orang lain”. Orang tua Amel akhirnya menjelaskan
kepada kedua orang tuaku. Tentu saja aku kecewa. Aku marah pada diriku sendiri.
Mengapa harus terlambat?
Badai
begitu keras menghantam kehidupanku. Aku menggeliat menggapai asa. Tapi
segalanya telah begitu kelam. Hidupku gelap. Cintaku, kini bertahta di atas
badai.
“Ya
Allah, jangan Kau tinggalkan aku sendiri”, desahku saat mendengar semua yang
dikatakan kedua orang tuaku.
Sendiri
aku mengurung diri. Aku tidak tahu apa yang mesti aku lakukan. Tapi, semua
telah terjadi. Itu artinya aku harus menerima keadaan. Aku yakin, Amel juga
tidak mau hal ini terjadi. Aku harus lebih mendekat lagi ke hadirat-Nya. Agar
hidayah itu ada dan menjadi pegangan untuk kehidupan selanjutnya.
Malam
jam setengah tiga. Adalah malam yang sangat mustajabah untuk menghatur doa. Aku
bersimpuh kepada-Nya. Agar Amel, aku, dan keluarga Amel serta keluargaku diberi
kesabaran dan ketabahan. Diberi kebahagiaan, baik di dunia dan di akhirat.
Sesaat
setelah sujud terakhirku dalam tahajudku, tiba-tiba handphone bergetar. Dan
nama Amel terbaca di screen Hpku.
“Mas,
maafkan Amel”.
“Tidak
apa-apa Amel,” jawabku. Tentu dengan gejolak emosional yang tidak karuan. Demi
sebuah cinta, apapun yang terjadi, Amel harus dalam keadaan bahagia dan
sempurna.
“Sehari
sebelum orang tua Mas ke rumah, ayah dan ibuku telah menerima lamaran
seseorang,” lanjut SMS Amel.
“Tidak
apa-apa. Cintai dia apa adanya. Kasihi dia dengan segenap cinta sucimu. Karena
dialah pangeranmu”. Entah dari mana kata itu bisa terucap. Tapi aku harus
menyadari bahwa cinta itu tidak harus saling memiliki. Biarlah Amel bahagia
dengan pengerannya. Dan aku sudah begitu bahagia jika Amel hidup dalam
kebahagiaan.
Memang
hatiku sakit. Dan semua orang normal pasti akan mengalami hati yang pedih
ketika cintanya harus pupus di tengah jalan. Tapi aku yakin bahwa Allah punya
rencana lain di balik itu semua.
Akhirnya
Amel pun melangsungkan pernikahan. Sebuah pernikahan yang sederhana. Tidak
berfoya-foya dengan pesta yang meriah seperti yang terjadi kebanyakan saat ini.
Sebuah acara yang hanya memberikan i’lan (petanda halal) bagi pasangan. Aku pun
pasrah dengan ini semua. Semuanya aku kembalikan pada yang di atas.
Sudah
hampar enam bulan, Amel telah mengarungi rumah tangga. Aku tidak tahu keadaan
Amel selama ini. Hanya saja harapan dan doaku semoga dia dan suaminya dalam
lindungan Allah swt. Hingga pada suatu waktu Amel mengirim SMS padaku.
“Mas
Umar, Amel tidak bahagia dengan pernikahan ini”. Aku terkejut menerima SMS
seperti itu dari Amel. Padahal, sesungguhnya kebahagiaan Amel yang aku
inginkan. Aku tidak ingin Amel menderita dalam setiap tarikan nafasnya. Itukah
yang dinamakan cinta? Ataukah aku ini termasuk orang yang bodoh? Aku tidak
peduli apapun namanya. Yang pasti Amel harus bahagia.
“Maksud
Amel apa kok bilang seperti itu?”. Aku membalas pesan Amel.
“Ya,
Amel tidak bahagia dalam rumah tangga Amel”.
“Amel
bertengkar dengan suami?”.
“Tidak
Mas”.
“Lalu
kenapa?”
Akhirnya
Amel menceritakan prihal rumah tangganya. Bahwa selama ini ia tidak pernah
melakukan layaknya hubungan suami istri. Bahwa suaminya ternyata, maaf, tidak
laki-laki alias impoten. Amel dan suaminya sudah membicarakan hal ini. Tapi
usaha yang mereka lakukan tidak membuahkan hasil.
Mendengar
masalah ini, sebenarnya aku sangat terpukul. Aku tidak ingin masalah ini
terjadi pada Amel dan suaminya. Sekalipun Amel adalah bagian dari cintaku yang
pupus di tengah jalan. Tapi semua itu tidak akan membuat aku dendam atau sakit
hati yang berkepanjangan. Aku ingin Amel dan suaminya membangun mahligai rumah
tangga yang sempurna.
Entahlah,
apa himah di balik ini semua. Pada akhirnya suami Amel berkeputusan untuk
menceraikannya. Ia tidak rela Amel bersuami orang yang tidak normal. Ia tidak
ingin memberikan kekecewaan yang lebih mendalam. Biarlah Amel menemukan orang
lain yang lebih sepadan dan mampu membina rumah tangga dengan sebenar-benarnya.
“Biarlah
kita berpisah saja Dik”, pada suatu ketika suami Amel berkata. Ada telaga
bening di air matanya. Karena sesungguhnya ia masih mencintainya.
“Tidak
adakah jalan lain selain perceraian Mas”, jawab Amel juga dengan nada sendu
penuh penyesalan.
“Kita
sudah berusaha sekian lama waktunya. Tapi Allah tidak memberikan jalan itu
kepada kita. Mungkin inilah takdir. Semoga ada hikmah yang lebih besar di balik
ini semua”.
Akhirnya
Amel pun bercerai dengan suaminya. Aku tidak tahu apa yang mesti aku katakan.
Kebahagiaan ataukah kesedihan. Bahagia jika akulah pendamping Amel selanjutnya,
dan sedih jika ternyata aku tidak mampu menjadi suami yang baik. Kesempurnaan
hanya milik Allah, tapi aku ingin sekali menajadi suami yang baik di sisi Allah
swt.
Setelah
kira-kira tiga bulan lamanya Amel bercerai dengan suaminya, sesuai dengan kaidah
fiqih tiga kali suci, maka aku pun melamar Amel dan sekaligus dilangsungkan
pernikahan. Sebuah perjalanan yang penuh dengan badai. Penuh dengan tantangan.
Ada air mata. Ada susah yang selalu membayang sebelum pernikahan ini. Bahkan
ada tebing yang tidak mungkin dilalui karena bagian dari kaidah syariat Islam.
Kami
melangsungkan ijab kabul di sebuah masjid. Masjid itu kira-kira empat kilometer
jaraknya dari rumahku. Aku naik mobil. Dan tidak berselang lama aku pun sudah
tiba di sana. Akad pun dilangsungkan. Aku sangat bahagia. Karena satu hati satu
cinta menyatu dalam ikatan suci, halal, dan disaksikan oleh kerabat dan para
tetangga.
“Saya
terima nikahnya Amelia binti Fahri dengan maskawin ayat-ayat suci al-Quran”.
Begitu aku melaksanakan ijab kabul di masjid yang megah tersebut. Dan acara
ijab kabul atau akad pernikahan pun usai.
Aku
dan Amel pun pulang. Ada banyak cerita di hati masing-masing yang tidak
terungkapkan. Ternyata kami masih dipersatukan dengan satu cinta, meskipun
banyak badai yang harus kami lalui. Apa yang akan kami lakukan? Ada first
night, malam pertama yang tidak mungkin terlupakan begitu saja.
Tetapi
Allah punya rencana. Di tengah perjalanan kami pulang, tiba-tiba dari arah
depan melaju tak terkendali sebuah bus, dan dengan kerasnya menghantam mobil
yang kami tumpangi. Semuanya gelap. Masih terdengar Amel, istriku, menjerit
menyebut nama Allah.
“Allaa....h”,
teriak Amel dan aku berbarengan.
Setelah
itu entah apa yang terjadi. Gelap, kemudian dari arah yang tidak diketahui
sumbernya, kulihat sebuah taman yang begitu indah. Aku dan Amel menuju ke sana.
Berpegangan tangan. Menyatukan hati dalam cinta yang damai. Di taman firdaus. Allahu
Akbar. Lailaha Illallahu Allahu Akbar. Allahu Akbar Walillahilhamd.
****
No comments:
Post a Comment