Wednesday, May 1, 2013

CINTA DI ATAS BADAI




Aku baru tahu bahwa cinta itu buta. Aku baru memahami bahwa bahwa cinta itu segalanya. Aku baru menyadari bahwa cinta adalah sebuah pengorbanan. Cinta adalah memberi. Cinta adalah berkorban. Cinta adalah atas nama cinta, yang tulus untuk memberikan kasih tanpa diminta.

Mendung masih bergelayut di ufuk. Menampakkan warna merah saga, karena pancaran sinar mentari senja. Aku menatap langit merah jingga, di bawah lambaian pohon kelapa, di tepian pantai yang berpasir putih.

Saat itu, Amalia, yang biasa dipanggil Amel, duduk di atas pasir putih dan lembut ketika air laut lagi surut. Wajahnya yang cantik bersembunyi di balik balutan jilbab warna hitam. Senyum selalu menghias di bibir tipis merah delima. Alami tanpa polesan lipstik. Pesona kharisma seorang gadis beretika, memancar dari raut wajah dan sapa tingkah seorang Amel.

“Assalamu’alaikum,” sapaku pada senja itu.
“Wa’alaikum salam,” jawab Amel dan terlihat agak terkejut dan terkesima.
“Amel sendirian?”, selanjutnya aku berbasa-basi.
“Ya Mas. Lagi menikmati pesona sunset di pantai ini”. Amel menjelaskan.
“Ya. Tapi kok sendiri?” lagi-lagi aku mencoba berbasa-basi.
“Hemm.... Emangnya harus sama siapa?”. Jawab Amel sambil sedikit memalingkan wajahnya ke arahku. Diiringi sebaris tipis senyum bibir yang teramat manis.

Sungguh sebuah pemandangan yang sangat indah. Wajah itu menghunjam jantungku.  Begitu teduh, dan aku mahsyuk dalam sakau cinta yang tiba-tiba lahir di balik hati yang paling dalam. Ada sebentuk purnama dari wajah cantiknya. Aku hampir-hampir tidak percaya.

Tidak terlalu banyak yang bisa dibicarakan saat itu. Karena aku dan Amel masih terhalang oleh syari’at keyakinan. Bahwa dua insan yang berlain jenis tidak boleh berdua-duan dalam satu tempat. Yang ketiga adalah setan. Paradigma berpikirku masih berlaku, sekalipun gejolak cinta begitu menggebu.

Ya, hanya sebatas itulah aku dan Amel berbicara. Tidak lebih dan tidak terlalu jauh. Tapi sebentuk cinta sudah melekat kuat karena pertemuan itu. Dan di kemudian hari melahirkan sari-sari kerinduan.

“Apa pendapatmu jika seseorang jatuh hati padamu Mel?”. SMSku suatu ketika pada Amel. Dari pertemuan di senja itu, hari-hariku diliputi kerinduan terhadap wajah Amel. Entahlah, apakah Amel juga begitu? Aku tidak peduli.
“Tentu Amel lihat dulu orangnya. Agamanya, akhlaknya, dan pastinya juga kometmennya”. Balas Amel, juga melalui SMS.
“Kalau aku, menurutmu seperti apa?”
“Apakah orang itu Mas sendiri?” Amel balik bertanya.
“Insya Allah, kalau Amel adalah tulang rusukku yang hilang itu”.
“Semoga Allah merestui”, balas Amel di akhir SMSnya.

Amel adalah gadis sederhana yang saat ini masih belajar di sebuah pondok pesantren. Ia termasuk anak yang rajin. Banyak prestasi yang sudah ia raih. Tapi semua keunggulan yang ia miliki tidak menjadikan ia tinggi hati atau sombong. Bahkan banyak prestasi yang ia peroleh, menjadikan dirinya semakin tawadhu’ dan rendah hati.

Ta’aruf atau khitbah (pertunangan) akan segera aku lakukan. Itu karena Amel telah membuka pintu hatinya untukku. Aku tidak bertepuk sebelah tangan. Amel ingin berlabuh di belahan hatiku yang terurai kasih hanya kepada Amel.

Maka pada suatu hari yang telah ditentukan, kedua orang tuaku menemui orag tua Amel. Pertunangan atau khitbah. Ya, untuk lebih merapatkan rindu dan cinta di real yang telah digariskan. Selangkah menuju sebentuk halal hubungan antara aku dan Amel.

Namun apa yang terjadi?

“Maaf Bapak, Ibu. Kami bukan tidak menerima lamaran anak Bapak dan Ibu. Tetapi kami telah menerima lamaran dari orang lain”. Orang tua Amel akhirnya menjelaskan kepada kedua orang tuaku. Tentu saja aku kecewa. Aku marah pada diriku sendiri. Mengapa harus terlambat?

Badai begitu keras menghantam kehidupanku. Aku menggeliat menggapai asa. Tapi segalanya telah begitu kelam. Hidupku gelap. Cintaku, kini bertahta di atas badai.

“Ya Allah, jangan Kau tinggalkan aku sendiri”, desahku saat mendengar semua yang dikatakan kedua orang tuaku.

Sendiri aku mengurung diri. Aku tidak tahu apa yang mesti aku lakukan. Tapi, semua telah terjadi. Itu artinya aku harus menerima keadaan. Aku yakin, Amel juga tidak mau hal ini terjadi. Aku harus lebih mendekat lagi ke hadirat-Nya. Agar hidayah itu ada dan menjadi pegangan untuk kehidupan selanjutnya.

Malam jam setengah tiga. Adalah malam yang sangat mustajabah untuk menghatur doa. Aku bersimpuh kepada-Nya. Agar Amel, aku, dan keluarga Amel serta keluargaku diberi kesabaran dan ketabahan. Diberi kebahagiaan, baik di dunia dan di akhirat.

Sesaat setelah sujud terakhirku dalam tahajudku, tiba-tiba handphone bergetar. Dan nama Amel terbaca di screen Hpku.

“Mas, maafkan Amel”.
“Tidak apa-apa Amel,” jawabku. Tentu dengan gejolak emosional yang tidak karuan. Demi sebuah cinta, apapun yang terjadi, Amel harus dalam keadaan bahagia dan sempurna.
“Sehari sebelum orang tua Mas ke rumah, ayah dan ibuku telah menerima lamaran seseorang,” lanjut SMS Amel.
“Tidak apa-apa. Cintai dia apa adanya. Kasihi dia dengan segenap cinta sucimu. Karena dialah pangeranmu”. Entah dari mana kata itu bisa terucap. Tapi aku harus menyadari bahwa cinta itu tidak harus saling memiliki. Biarlah Amel bahagia dengan pengerannya. Dan aku sudah begitu bahagia jika Amel hidup dalam kebahagiaan.

Memang hatiku sakit. Dan semua orang normal pasti akan mengalami hati yang pedih ketika cintanya harus pupus di tengah jalan. Tapi aku yakin bahwa Allah punya rencana lain di balik itu semua.

Akhirnya Amel pun melangsungkan pernikahan. Sebuah pernikahan yang sederhana. Tidak berfoya-foya dengan pesta yang meriah seperti yang terjadi kebanyakan saat ini. Sebuah acara yang hanya memberikan i’lan (petanda halal) bagi pasangan. Aku pun pasrah dengan ini semua. Semuanya aku kembalikan pada yang di atas.

Sudah hampar enam bulan, Amel telah mengarungi rumah tangga. Aku tidak tahu keadaan Amel selama ini. Hanya saja harapan dan doaku semoga dia dan suaminya dalam lindungan Allah swt. Hingga pada suatu waktu Amel mengirim SMS padaku.

“Mas Umar, Amel tidak bahagia dengan pernikahan ini”. Aku terkejut menerima SMS seperti itu dari Amel. Padahal, sesungguhnya kebahagiaan Amel yang aku inginkan. Aku tidak ingin Amel menderita dalam setiap tarikan nafasnya. Itukah yang dinamakan cinta? Ataukah aku ini termasuk orang yang bodoh? Aku tidak peduli apapun namanya. Yang pasti Amel harus bahagia.
“Maksud Amel apa kok bilang seperti itu?”. Aku membalas pesan Amel.
“Ya, Amel tidak bahagia dalam rumah tangga Amel”.
“Amel bertengkar dengan suami?”.
“Tidak Mas”.
“Lalu kenapa?”

Akhirnya Amel menceritakan prihal rumah tangganya. Bahwa selama ini ia tidak pernah melakukan layaknya hubungan suami istri. Bahwa suaminya ternyata, maaf, tidak laki-laki alias impoten. Amel dan suaminya sudah membicarakan hal ini. Tapi usaha yang mereka lakukan tidak membuahkan hasil.

Mendengar masalah ini, sebenarnya aku sangat terpukul. Aku tidak ingin masalah ini terjadi pada Amel dan suaminya. Sekalipun Amel adalah bagian dari cintaku yang pupus di tengah jalan. Tapi semua itu tidak akan membuat aku dendam atau sakit hati yang berkepanjangan. Aku ingin Amel dan suaminya membangun mahligai rumah tangga yang sempurna.

Entahlah, apa himah di balik ini semua. Pada akhirnya suami Amel berkeputusan untuk menceraikannya. Ia tidak rela Amel bersuami orang yang tidak normal. Ia tidak ingin memberikan kekecewaan yang lebih mendalam. Biarlah Amel menemukan orang lain yang lebih sepadan dan mampu membina rumah tangga dengan sebenar-benarnya.

“Biarlah kita berpisah saja Dik”, pada suatu ketika suami Amel berkata. Ada telaga bening di air matanya. Karena sesungguhnya ia masih mencintainya.
“Tidak adakah jalan lain selain perceraian Mas”, jawab Amel juga dengan nada sendu penuh penyesalan.
“Kita sudah berusaha sekian lama waktunya. Tapi Allah tidak memberikan jalan itu kepada kita. Mungkin inilah takdir. Semoga ada hikmah yang lebih besar di balik ini semua”.

Akhirnya Amel pun bercerai dengan suaminya. Aku tidak tahu apa yang mesti aku katakan. Kebahagiaan ataukah kesedihan. Bahagia jika akulah pendamping Amel selanjutnya, dan sedih jika ternyata aku tidak mampu menjadi suami yang baik. Kesempurnaan hanya milik Allah, tapi aku ingin sekali menajadi suami yang baik di sisi Allah swt.

Setelah kira-kira tiga bulan lamanya Amel bercerai dengan suaminya, sesuai dengan kaidah fiqih tiga kali suci, maka aku pun melamar Amel dan sekaligus dilangsungkan pernikahan. Sebuah perjalanan yang penuh dengan badai. Penuh dengan tantangan. Ada air mata. Ada susah yang selalu membayang sebelum pernikahan ini. Bahkan ada tebing yang tidak mungkin dilalui karena bagian dari kaidah syariat Islam.

Kami melangsungkan ijab kabul di sebuah masjid. Masjid itu kira-kira empat kilometer jaraknya dari rumahku. Aku naik mobil. Dan tidak berselang lama aku pun sudah tiba di sana. Akad pun dilangsungkan. Aku sangat bahagia. Karena satu hati satu cinta menyatu dalam ikatan suci, halal, dan disaksikan oleh kerabat dan para tetangga.

“Saya terima nikahnya Amelia binti Fahri dengan maskawin ayat-ayat suci al-Quran”. Begitu aku melaksanakan ijab kabul di masjid yang megah tersebut. Dan acara ijab kabul atau akad pernikahan pun usai.

Aku dan Amel pun pulang. Ada banyak cerita di hati masing-masing yang tidak terungkapkan. Ternyata kami masih dipersatukan dengan satu cinta, meskipun banyak badai yang harus kami lalui. Apa yang akan kami lakukan? Ada first night, malam pertama yang tidak mungkin terlupakan begitu saja.

Tetapi Allah punya rencana. Di tengah perjalanan kami pulang, tiba-tiba dari arah depan melaju tak terkendali sebuah bus, dan dengan kerasnya menghantam mobil yang kami tumpangi. Semuanya gelap. Masih terdengar Amel, istriku, menjerit menyebut nama Allah.
“Allaa....h”, teriak Amel dan aku berbarengan.

Setelah itu entah apa yang terjadi. Gelap, kemudian dari arah yang tidak diketahui sumbernya, kulihat sebuah taman yang begitu indah. Aku dan Amel menuju ke sana. Berpegangan tangan. Menyatukan hati dalam cinta yang damai. Di taman firdaus. Allahu Akbar. Lailaha Illallahu Allahu Akbar. Allahu Akbar Walillahilhamd.
****

No comments:

Post a Comment