HANTU DI SIANG BOLONG
Sungguh aku tidak percaya.
Bagaimana mungkin ada hantu di siang bolong. Tapi, Doni mengatakan dengan
sungguh-sungguh. Tidak terlihat adanya dusta dalam kata-katanya. Benar-benar
sangat menciderai logika berpikirku. Sampai
detik ini, aku tidak pernah ketemu, berpapasan, atau bahkan
berbincang-bincang dengan yang namanya hantu. Demit pun, juga tidak. Apalagi kuntilanak, pocong,
baung, dindadin, zombie, lychan, dan sejenisnya. Aku tidak pernah percaya
setiap kali ada teman-temanku yang bercerita tentang makhluk non-materi
tersebut.
“Yang benar Don. Apa ya, ada
pocong di siang bolong?” Kiki terlihat penasaran. Bergidik mendengar cerita
Doni.
“Kapan aku pernah berdusta?”
Jawab Doni tetap dengan mimik serius.
“Tapi kan gak masuk akal, kalau
di terik matahari ada pocong?” sergahku.
“Buktinya aku melihatnya. Sungguh
apa yang kukatakan benar. Tidak dusta.”
Masih penasaran. Bahkan aku
dengan teman-teman ingin membuktikan. Tentu saja tidak serta-merta pocong itu
menampakkan diri. Tapi paling tidak, kita ingin memastikan bahwa di
persimpangan jalan itu ada atau tidak ada pocong dan sejenisnya.
Siang itu hari Minggu. Aku, Doni,
dan Kiki merencanakan sesuatu. Ingin melihat secara langsung demit di
persimpangan jalan itu. Di sana, terdapat pohon waringin yang cukup besar.
Orang-orang bilang, bahwa pohon itu disenangi sebagai rumah jin. Cerita dari
mulut ke mulut, di pohon beringain itu ada penunggunya. Sampai saat ini, aku
belum bisa memastikan. Karena belum pernah bertemu dengan penunggu pohon itu.
Di bawah pohon besar itu ada
dangau. Bangunan kecil, terbuka, seperti warung. Bangunan itu diperuntukkan
sebagai tempat beristirahat bagi orang-orang yang menginginkanya. Atau juga
sebagai tempat ngobrol bagi anak-anak muda. Tapi dengan desas-desus ‘penunggu’
tidak banyak orang yang beristirahat di tempat itu.
“Don, ayo berangkat!” ajakku pada
Doni.
“Ok. Ayo!” jawab Doni.
“Jam berpa kamu ketemu saat itu?”
Kiki yang bertanya.
“Sekitar jam dua belas lebih!”
jawab Doni sambil mengayuh sepedanya.
Aku, Doni, dan Kiki berangkat
dengan mengendarai sepeda masing-masing. Kami melewati jalan yang tidak biasa.
Menembus semak-semak yang tidak pernah orang lewati. Atau jarang sekali orang
lewat di tempat tersebut. Hal ini kami lakukan untuk sampai ke tempat
persimpangan itu, dari balik rimbun semak. Dari sana aku dan tema-temanku
leluasa mengawasi bangunan warung terbuka tersebut.
Tidak berapa lama aku, Doni, dan
Kiki sampai di tempat yang dituju. Tidak ada siapa-siapa. Sepi, hanya sepoi
angin yang melambai di antara daun beringin yang rimbun. Sudah sekitar sepuluh
menit kami tidak mendapatkan siapa-siapa. Apalagi kuntilanak atau pocong yang
memang kita incar.
Tiba-tiba seekor burung gagak
menyaup. Hinggap di antara dahan dan ranting pohon beringin itu. Pohon besar
yang dianggap angker.
“Haarrr......haarrr.....”
tiba-tiba si gagak hitam kelam itu berkoar-koar. Orang-rang mengatakan bahwa
kalau ada gagak ribut berbunyi itu pertanda ada malapetaka. Aku beringsud
mendekati Doni dan Kiki. Di wajah mereka juga nampak ketakutan. Terlihat
ketegangan. Mereka juga merasa sangat kwatir.
“Tanang aja!” bisikku pelan dalam
ketakutan yang termat sangat. Tapi aku berusaha menutupi. Karena dalam logika
sehatku apa yang dikatakan orang-orang tidak benar. Tidak ada yang namanya
hantu. Kuntilanak, sundal bolong, dedemit, dan sebagainya.
“Pulang yuk!” Kiki berbisik
dengan suara gemetar. Aku berusaha tersenyum.
“Sebentar lagi pasti kunti itu
datang.” Doni memastikan. “Soalnya, kemaren yang kulihat pas waktu seperti
ini.”
Dalam ketegangan dan ketakutan,
tiba-ada sepeda motor meraung-raung datang. Motor itu berhenti pas di bawah
pohon besar itu. Aku, Doni, dan Kiki terpekur. Melihat ke arah yang sama.
Sundal bolongkah?
Seorang laki-laki turun dari
boncengan motor. Setelah menyerahkan lembaran uang, ia berterima kasih. Masuk
ke dalam dangau. Motor pun berhambur pergi dengan meninggalkan raungan yang
dahsyat.
Sangat jelas terlihat. Siang
bolong melompong. Laki-laki itu ternyata Sukirman. Seorang pemuda di desa
sebelah. Anehnya, Sukirman mengambil sesuatu dari dari dalam tasnya. Sebuah
pakaian wanita. Sebuah wig. Serta peralatan make up yang lumayan banyak. Dengan
sangat cekatan ia merubah penampilannya, menjadi seorang waria. Hah,...jadi
yang dilihat Doni itu waria?
“Hahaha........” Aku, Doni, dan
Kiki ngakak, tertawa terbahak-bahak. Kemudian kami mengambil sepeda
masing-masing kabur dari tempat yang katanya angker itu.
No comments:
Post a Comment