Wednesday, February 12, 2014

HANTU DI SIANG BOLONG



HANTU DI SIANG BOLONG

Sungguh aku tidak percaya. Bagaimana mungkin ada hantu di siang bolong. Tapi, Doni mengatakan dengan sungguh-sungguh. Tidak terlihat adanya dusta dalam kata-katanya. Benar-benar sangat menciderai logika berpikirku. Sampai  detik ini, aku tidak pernah ketemu, berpapasan, atau bahkan berbincang-bincang dengan yang namanya hantu. Demit pun,  juga tidak. Apalagi kuntilanak, pocong, baung, dindadin, zombie, lychan, dan sejenisnya. Aku tidak pernah percaya setiap kali ada teman-temanku yang bercerita tentang makhluk non-materi tersebut.

“Yang benar Don. Apa ya, ada pocong di siang bolong?” Kiki terlihat penasaran. Bergidik mendengar cerita Doni.
“Kapan aku pernah berdusta?” Jawab Doni tetap dengan mimik serius.
“Tapi kan gak masuk akal, kalau di terik matahari ada pocong?” sergahku.
“Buktinya aku melihatnya. Sungguh apa yang kukatakan benar. Tidak dusta.”

Masih penasaran. Bahkan aku dengan teman-teman ingin membuktikan. Tentu saja tidak serta-merta pocong itu menampakkan diri. Tapi paling tidak, kita ingin memastikan bahwa di persimpangan jalan itu ada atau tidak ada pocong dan sejenisnya.

Siang itu hari Minggu. Aku, Doni, dan Kiki merencanakan sesuatu. Ingin melihat secara langsung demit di persimpangan jalan itu. Di sana, terdapat pohon waringin yang cukup besar. Orang-orang bilang, bahwa pohon itu disenangi sebagai rumah jin. Cerita dari mulut ke mulut, di pohon beringain itu ada penunggunya. Sampai saat ini, aku belum bisa memastikan. Karena belum pernah bertemu dengan penunggu pohon itu.

Di bawah pohon besar itu ada dangau. Bangunan kecil, terbuka, seperti warung. Bangunan itu diperuntukkan sebagai tempat beristirahat bagi orang-orang yang menginginkanya. Atau juga sebagai tempat ngobrol bagi anak-anak muda. Tapi dengan desas-desus ‘penunggu’ tidak banyak orang yang beristirahat di tempat itu.

“Don, ayo berangkat!” ajakku pada Doni.
“Ok. Ayo!” jawab Doni.
“Jam berpa kamu ketemu saat itu?” Kiki yang bertanya.
“Sekitar jam dua belas lebih!” jawab Doni sambil mengayuh sepedanya.

Aku, Doni, dan Kiki berangkat dengan mengendarai sepeda masing-masing. Kami melewati jalan yang tidak biasa. Menembus semak-semak yang tidak pernah orang lewati. Atau jarang sekali orang lewat di tempat tersebut. Hal ini kami lakukan untuk sampai ke tempat persimpangan itu, dari balik rimbun semak. Dari sana aku dan tema-temanku leluasa mengawasi bangunan warung terbuka tersebut.

Tidak berapa lama aku, Doni, dan Kiki sampai di tempat yang dituju. Tidak ada siapa-siapa. Sepi, hanya sepoi angin yang melambai di antara daun beringin yang rimbun. Sudah sekitar sepuluh menit kami tidak mendapatkan siapa-siapa. Apalagi kuntilanak atau pocong yang memang kita incar.

Tiba-tiba seekor burung gagak menyaup. Hinggap di antara dahan dan ranting pohon beringin itu. Pohon besar yang dianggap angker.

“Haarrr......haarrr.....” tiba-tiba si gagak hitam kelam itu berkoar-koar. Orang-rang mengatakan bahwa kalau ada gagak ribut berbunyi itu pertanda ada malapetaka. Aku beringsud mendekati Doni dan Kiki. Di wajah mereka juga nampak ketakutan. Terlihat ketegangan. Mereka juga merasa sangat kwatir.

“Tanang aja!” bisikku pelan dalam ketakutan yang termat sangat. Tapi aku berusaha menutupi. Karena dalam logika sehatku apa yang dikatakan orang-orang tidak benar. Tidak ada yang namanya hantu. Kuntilanak, sundal bolong, dedemit, dan sebagainya.

“Pulang yuk!” Kiki berbisik dengan suara gemetar. Aku berusaha tersenyum.
“Sebentar lagi pasti kunti itu datang.” Doni memastikan. “Soalnya, kemaren yang kulihat pas waktu seperti ini.”

Dalam ketegangan dan ketakutan, tiba-ada sepeda motor meraung-raung datang. Motor itu berhenti pas di bawah pohon besar itu. Aku, Doni, dan Kiki terpekur. Melihat ke arah yang sama. Sundal bolongkah?

Seorang laki-laki turun dari boncengan motor. Setelah menyerahkan lembaran uang, ia berterima kasih. Masuk ke dalam dangau. Motor pun berhambur pergi dengan meninggalkan raungan yang dahsyat.

Sangat jelas terlihat. Siang bolong melompong. Laki-laki itu ternyata Sukirman. Seorang pemuda di desa sebelah. Anehnya, Sukirman mengambil sesuatu dari dari dalam tasnya. Sebuah pakaian wanita. Sebuah wig. Serta peralatan make up yang lumayan banyak. Dengan sangat cekatan ia merubah penampilannya, menjadi seorang waria. Hah,...jadi yang dilihat Doni itu waria?

“Hahaha........” Aku, Doni, dan Kiki ngakak, tertawa terbahak-bahak. Kemudian kami mengambil sepeda masing-masing kabur dari tempat yang katanya angker itu.

No comments:

Post a Comment