KORLAP DEMONSTRAN
Rapat
memutuskan bahwa yang menjadi Koordinator Lapangan (KORLAP) saat demonstrasi
besok adalah Nisa. Nisa adalah aku. Aku tidak tahu mengapa teman-teman
memilihku sebagai korlap demonstrasi. Aku juga heran, apa sebenarnya yang lebih
dari diri aku?
Aku,
Nisa adalah mahasiswi pada fakultas FISIP jurusan public relations. Sebagian
teman-teman mahasiswaku mengatakan bahwa aku ini tomboy. Padahal menurut aku
sendiri tidak ada yang berbeda antara aku dan teman-teman mahasiswi yang lain.
Memang, dari sisi penampilan aku kurang perhatian. Aku tidak pernah berias
terlalu berlebihan. Biasa-biasa saja. Pakek bedak tipis-tipis, dan jarang
sekali memakai lipstik. Menurutku, warna bibir alamiku sudah pas.
Aku juga
sekali-kali pakek rok panjang. Benar sich, aku paling sering pakek celana. Itu
pun celana longgar dan proporsional. Aku tidak pernah memakai celana ketat yang
memperlihatkan lekuk-lekuk tubuhku. Aku rasa tidak ada yang aneh dalam
penampilan diriku.
Apakah
karena aku tidak pernah pacaran? Nah, kalau ini alasannya, tentu saja bagiku
itu adalah sebuah prinsip. Aku punya alasan sendiri mengapa aku tidak pacaran.
Aku punya keyakinan yang mengatur hubungan antar lain jenis. Jadi jelas,
prinsipku tiak pacaran karena etika agamaku yang mengatur harus seperti itu.
“Jadi
Nisa adalah korlap demonstrasi besok” kata pimpinan rapat akhirnya.
Bergemuruhlan para peserta rapat.
“Setuju....setuju....”,
membahana suara peserta rapat di auditorium yang cukup besar ini.
Semula
aku mencoba untuk protes. Bahwa masih ada teman-teman mahasiswa lain yang lebih
pas dalam Korlap demonstrasi ini. Tetapi semua peserta yang hadir tetap aku
yang harus jadi koordinator, jadi pimpinan. Akhirnya, aku pun tidak dapat
berkutik.
“Sudahlah
Nis. Teman-teman lebih percaya kepadamu”, Vivi teman kosku berbisik dari
sebelah kiri tempat aku duduk. Aku hanya tersenyum dan mengangguk perlahan.
Vivi juga tersenyum dan sedikit mengedipkan mata. Seperti mengisyratkan bahwa
aku bisa.
Akhirnya
aku maju untuk memimpin rapat lanjutan. Bagaimana pola dan strategi besok di
depan istana. Tema yang diusung dalam demonstrasi kali ini adalah masalah
KORUPSI. Memang, korupsi sudah tidak bisa ditolerir lagi. Dengan kemampuan
retorikaku, aku mencoba mengatur, mempersiapkan dan tentu saja me-remark formula demonstrasi yang akan
berlangsung besok. Masalah perijinan beres. Teman-teman mahasiswa yang punya
akses ke kepolisian sudah mengurusnya.
“Mudah-mudahan
besok demonstrasi berjalan seperti yang kita inginkan” desahku setelah hampir
dua jam lamanya aku memimpin rapat. Sekitar jam 21.00 malam, akhirnya rapat pun
usai. Dengan segala sesuatunya beres. Tinggal kita menjalankannya besok. Ya,
besok pada saat pelaksanaan demonstrasi. Di depan gedung istana yang megah itu.
Akhirnya
aku kembali ke tempat kos. Tentu dengan segala kelelahan yang menyergap. Tapi,
dalam hati aku merasa bangga, karena apa yang akan kami lakukan demi tegaknya
kredibilitas bangsa. Demi bersihnya negara dari para pejabat yang licik, para koruptor yang minum darah rakyatnya
sendiri.
Betapa
masih banyak rakyat kita yang kelaparan. Masih banyak masyarakat yang tidak
mampu untuk berobat. Masih banyak di sekitar kita orang-orang yang hidupnya
memprihatinkan. Sementara, di sana, di berbagai lembaga negara banyak pejabat
yang dengan seenaknya meng-korup harta negara. Maka model pejabat yang seperti
ini harus kita berantas, harus kita musnahkan sampai ke akar-akarnya.
Jam
masih menunjukkan 21.30. Sejak pulang dari rapat tadi, aku merebahkan diri.
Hanya tidur-tiduran untuk melepas penat. Mata masih belum mau diajak tidur. Itu
mungkin karena aku pertama kalinya menjadi Korlap demonstrasi.
Aku
bangkit dari tempat tidurku. Kulihat Vivi teman kosku juga belum tidur. Mungkin
ia juga memikirkan apa yang akan terjadi besok. Dari tadi aku dan Vivi hanya
diam membisu. Berbicara hanya dengan alam pikir masing-masing.
Aku
bangkit menuju cermin. Aku bercermin dan memagut-magutkan wajahku di sana.
Kuperhatikan raut wajahku. Tidak ada yang istimewa. Cantik sich tentunya, tapi
tidak cantik-cantik amat juga kok.
“Vi,
megapa teman-temanku memilihku menjadi Korlap besok?”, basa-basi aku memecahkan
kesunyian. Padahal sebelumnya aku dan Vivi biasa rancak. Apa saja dibicarakan.
Baik masalah kuliah, keluarga, tugas-tugas, dan bahkan acara-acara di stasiun
TV. Pokoknya semua pasti aku dan Vivi bicarakan.
Aku dan
Vivi sudah seperti saudara. Memang kami dari satu kampung. Tapi rumah Vivi agak
jauh dari rumahku. Kalau aku mau ke rumah Vivi, aku masih harus naik taksi yang
lumayan lama. Kira-kira dua setengahjaman baru nyampek. Tapi aku dan Vivi sudah
sangat dekat.
“Itu
artinya Nis, kamu itu tagas. Dan tidak hanya ketegasan yang diperlukan dalam
sebuah kepemimpinan. Tapi juga harus punya prinsip. Makanya jangan kecewakan
teman-teman kita besok!” jelas Vivi panjang lebar.
Aku
tidak terlalu menanggapi apa yang dikatakan Vivi. Aku sudah lelah. Aku mau
tidur saja. Takut besok terlambat. Aku dan Vivi pun memutuskan untuk tidur
setelah kami melaksanakan sholat isya’ berjamaah.
****
Waktu
pun tiba. Banjir gelombang manusia dari beragam perguruan tinggi pun
berdatangan. Tumpah ruah menuju depan istana. Berbagai macam atribut dibawa
sebagai pendorong dalam wacana demonstrasi. Ciri khas mahasiswa pun dari masing-masing
perguruan tinggi berbaur dalam kesatuan aksi. Beragam slogan dan spanduk
bertuliskan kecaman dan cacian terhadap koruptor, dan kinerja pemerintah saat
ini nampak begitu jelas terpampang di berbagai tempat. Dibawa oleh mahasiswa
maupun mahasiswi dari beragam kampus di Jakarta.
Aku pun
siap berorasi di atas kap mobil yang sudah disediakan oleh teman-temanku. Aku
tampil dengan baju panjang dan jilbab yang dililitkan seperti cadar. Padahal
sebenarnya itu bukan cadar. Tapi jilbab biasa yang komodel sedemikian rupa
sehingga nampak seperti cadar. Vivi pun
sampat berkomentar,
“Nis,
kok seperti teroris saja?!” Vivi nampak heran. Aku hanya tertawa saja mendengar
komentar Vivi. Tapi kemudian aku berbisik,
“Biar
tidak hitam Vi. Kena sinar mentari” kataku menjelaskan kepada Vivi. Ia terbahak
mendengar bisikanku.
Dengan
penuh semangat aku dan teman-teman para demonstran berjalan, merayap, menuju
depan istana. Di sanalah puncak dan pusara demonstrasi itu, dan aku akan
memimpin teman-temanku sambil berorasi. Misi pun dimulai.
Dari
atas kap mobil, aku begitu leluasa melihat teman-teman yang begitu antusias.
Bersemangat dengan suara tegas, tegar membahana, aku terus memompa semangat
teman-teman untuk terus melangkah. Menyuarakan visi dan misi mahasiswa agar korupsi,
kolusi, dan nepotisme diberantas dari tiap sisi instansi pemerintah.
“Mari
kita suarakan kebenaran ini. Jangan pernah surut selangkah pun untuk terus berjuang
mengikis habis para koruptor. Jangan biarkan KPK bersujud di bawah ketiak
penguasa....”, dengan semangat dan berapi-api, suaraku membahana ke seantero
jagat. Menggelegar membelah dinding-dinding istana, menyusuri telinga-telinga
para pejabat yang ada di sana.
Dari atas
kap mobil terlihat jelas suasana dan keadaan para demonstran. Ratusan bahkan
ribuan aparat keamanan berbaris rapi. Menjaga suasana agar tetap kondusif.
Tetap dengan semangat yang manyala-nyala, aku memperingatkan teman-temanku
untuk tidak berbuat anarkis. Kita sampaikan aspirasi ini dengan santun dan
damai.
Semula
memang keadaan dapat berjalan dengan baik. Suasana benar-benar kondusif. Tapi,
lama-kelamaan keadaan pun semakin memanas. Terjadi dorong-mendorong antara
mahasiswa dan aparat. Semakin lama semakin kacau. Lempar melempar pun terjadi.
“Hai
teman-teman sekalian. Sekali-kali jangan kita anarkis. Jaga suasana kondusif.
Jangan terprofokasi. Ingat, di sekitar kita banyak profokator yang mengambil
kesempatan ini”. Suaraku kembali membahana. Mengingatkan teman-temanku agar
tidak anarkis. Dengan nada suaraku yang tegas, akhirnya keadaan pun kembali
normal. Kondusif seperti sedia kala. Slogan, dan nyanyi-nyanyi protes
dikumandangkan dengan tertib.
Terik
matahari begitu garang. Menampar ubun-ubunku dan juga teman-teman demonstran
yang lain. Gesekan-gesekan kecil terjadi lagi. Semakin lama semakin bertambah
besar. Kekacauan pun terjadi lagi. Tiba-tiba di sekitarku gelap. Entah apa yang
terjadi. Gelap...gelap...dan akupun tidak ingat apa-apa lagi.
Dengan
sekuat tenaga aku bangkit. Melihat suasana. Memperhatikan keadaan teman-temanku.
Keadaan sudah sangat kacau. Botol-botol meneral melayang tidak karuan. Suasana
kali ini benar-benar kisruh. Retorika suaraku sudah tidak mempan lagi untuk
mengembalikan suasana.
Tepat di
ujung kiri istana, segerombolan mahasiswa mencoba mendobrak pagar. Dengan
segala emosi, pintu pagar dirusak dan dijebol. Aparat keamaan pun tidak
berkutik. Tembakan peringatan membahana dari senjata aparat. Benar-benar
suasana yang mencemaskan.
Tiba-tiba,
aparat keamanan menembakkan senjatanya dengan membabi buta. Beberapa mahasiswa
rebah bersimbah darah. Raungan dan erangan terdengar dimana-mana. Sungguh
sebuah keadaan yang teramat mengerikan.
Tepat di
hadapanku, seorang mahasiswi yang memakai jilbab, membawa panji almamaternya
tertembak di dada. Dan darah pun tertumpah dan menyemburkan bau anyer dari dada
yang tertembus peluru. Aku pun menjerit, melolong, dan meminta tolong.
“Toloo..ng...
toloo..ng...”. Aku melompat dari kap mobil untuk menolong temanku itu.
“Nis...Nis...bangun!
Kamu sudah sadar?”, Vivi dan beberapa teman yang lain terlihat kuyu dan lesu di
sampingku. Bukan suasana demonstrasi, tapi suasana RS. Aku bingung.
“Aku ada
dimana Vi?” tanyaku pada Vivi. Aku menoleh ke sana ke mari. Memperhatikan
suasana yang sebenarnya.
“Kamu
lagi di RS. Di akhir demo tadi kamu semaput. Maka kami pun membawa kamu ke
sini”, Vivi menjelaskan yang sebenarnya terjadi.
“Tidak
terjadi bentrokan?” Vivi menggeleng.
“Tidak
terjadi tembakan aparat?” lagi-lagi Vivi menggeleng.
“Jadi
kekisruhan itu hanya dalam illusiku saat aku kolap?” bisikku lirih. Vivi pun
mengiyakan mendengar apa yang aku alami. Akhirnya Vivi dan teman-tamanku yang
lain menjelaskan bahwa demonstrasi yang aku pimpin berjalan dengan sukses. Tak
kurang suatu apa. Dan teman-teman pun menjabatku dan mengucapkan selamat.
“Alhamdulillahi
robbil alamin” sukurku dalam hati.
Tidak
berapa lama kemudian aku sudah merasa sehat. Kuajak teman-temanku untuk segara
cekout dari RS ini. Ketika tiba-tiba beberapa orang berseragam garang datang ke
arahku.
“Saudari
kami tangkap!” kata salah satu orang tersebut, yang ternyata dari satuan densus
88. Aku terperangah. Teman-temanku juga terperangah, heran.
“Apa-apaan
ini?” Aku mencoba menolak dan bertahan. Teman-temanku juga berusaha
menghalang-halangi.
“Saudari
ditangkap karena tuduhan terorisme!” Aku dan teman-teman terkejut, heran. Tidak
masuk di akal. Dengan alasan apa mereka menuduh saya sebagai jaringan
terorisme?
Aku
hanya pasrah, ketika kedua tanganku diborgol. Tapi dalam hati aku tersenyum,
karena hakikatnya aku sama sekali tidak percaya dengan kejadian ini. Sebelum
masuk ke dalam mobil aparat, aku menoleh kepada teman-temanku dan berusaha
tersenyum. Dengan lantang aku berteriak,
“Lanjutkan
perjuangan!” tersenyum, mengedipkan mata kepada Vivi dan teman-teman yang lain.
Kemudian aku masuk ke mobil densus 88 warna hitam. Subhanallah lahaula wala quwwata illa billah.
BIODATA :
Rusdi el
Umar tinggal di Sumenep Madura. Membantu mengajar di SMPN 1 Masalembu Sumenep.
Pernah menjadi team Redaksi NUANSA di PP. Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep Madura.
Bisa menjalin komunikasi lewat FB (Rusdi
el Umar), Twiter (umar_rusdi), Email (rusdiumar@gmail.com) , dan nomor HP. 081234775969.
Tulisan-tulisan
pernah dimuat di majalah Ananda, harian Surabaya Pos, harian Jawa Pos, Harian
Banjarmasin Pos, majalah MPA, dan Jurnal Edukasi disdik Sumenep.
No comments:
Post a Comment