KUTUNGGU CINTAMU
DI PINTU SURGA
Pagi itu angin
berhembus lirih. Matahari tidak begitu terik. Awan tipis bergelayut di
cakrawala. Ada banyak cerita yang harus kulalui dalam hidup ini. Dan di pagi
ini, begitu kuat impianku menjelma bayangan-banyangn masa lalu. Illustrasi
wajah Andin, melukis seluruh ingatanku. Di masa lalu.
“Din, sudah lama
menunggu?”
“Gak juga kok.
Baru saja datang.” Jawab Andin lembut. Bagai derai pesona bidadari di taman
firdaus.
Di taman itu. Di
sudut kampus tempat aku dan Andin menimba ilmu. Aku berdua dengan Andin
menikmati suasana asri. Indah di antara bunga-bunga yang bermekaran. Di antara
gemercik air taman yang mengalir perlahan. Ikan-ikan kecil berenang ke sana ke
mari, seakan merayakan kometmen kami berdua. Kesepakatan untuk saling mencinta.
Merindu, saling memberi dan meminta.
“Aku ingin
ikatan yang sempurna.” Dalam hening beberapa saat.
“Maksud Mas?”
“Aku berharap
ikatan kita sempurna di sisi Allah.” Andin hanya diam. Menunggu kelanjutan
bicaraku. “Begitu juga di mata orang-orang sekitar kita.” Lanjutku.
“Aku juga
berharap begitu Mas. Agar kita tidak berdosa dengan khalwat seperti ini.”
“Aku setuju
Din.”
Andin adalah
gadis sederhana. Kesederhanaan itu melahirkan inner bauty. Pesona aura
tingkah lakunya, melahirkan decak kagum orang-orang di sekitarnya. Bukan
kecantikan membiaskan nafsu. Tapi sebuah kecantikan yang menebarkan kharisma.
Anggun jiwa dan raganya menebarkan sinar Islam yang memesona.
Waktu terus
berlalu. Meninggalkan banyak cerita. Tentang hidup dan cinta. Rindu dan
kesempurnaan bunga surga.
“Besok aku ke
rumahmu Din.” Smsku pada Andin.
“Ada apa Mas?”
“Untuk melamar
Kamu, Din.”
“Sudah yakin
dengan keputusanmu, Mas?”
“Tidak ada yang
perlu aku ragukan.”
“Ya sudah, kalau
itu keputusan Mas.”
Hari Jum’at.
Aku, ayah dan ibu bersiap-siap. Pagi-pai sekali kami berangkat ke rumah Andin.
Untuk menemui kedua orang tuanya. Waktu yang aku tunggu. Untuk mewujudkan cinta
aku dan Andin. Dalam sebuah ikatan yang diridhai Allah swt.
Di dalam mobil
aku membayangkan wajah Andin. Wajah yang selalu aku rindu. Wajah yang
melahirkan larik-larik cinta. Senantiasa menjadi bunga di dalam hari-hariku.
Karena jiwaku dalam jelma jiwa Andin. Dan cinta Andin berpadu dalam cintaku.
Sampai di rumah
Andin. Ada banyak orang yang keluar masuk di rumah sederhana tersebut. Aku
mengira itu bagian dari kedatangan aku dan rombongan. Untuk melamar Andin.
Sebagai bagian dari tulang rusukku. Yang telah ditetapkan di lauhul mahfudz. Allahu
akbar. Jadikan Andin sebagai hiasan dalam hidup dan matiku.
“Ada apa ini?
Kok banyak sekali orang?” tanyaku pada seseorang yang tidak aku kenal.
“Andin telah
tiada Dik.”
“Apa? Andin
tiada? Maksudnya apa?” tanyaku beruntun. Tersekat dalam tanya yang gamang.
“Ya Dik. Andin
telah dipanggil yang Mahakuasa.”
Remuk hatiku melihat
keadaan itu. Aku masuk menyeruak di antara kerumunan. Aku tidak peduli. Walau
banyak orang yang merasa heran dengan kedatanganku. Hanya kedua orang tua Andin
yang memaklumi keadaanku.
“Andin, jangan
tinggalkan Mas,...” hanya itu kata keluh yang keluar dari mulutku. Aku melihat
lipatan kertas di tangan Andin. Kuambil kertas itu. Dan lentik tulisan cantik
tertera di sana.
“Mas Umar, Allah telah mengambil hakku. Hak untuk
hidup bersama dirimu di dunia. Tapi aku tunggu dirimu di sana. Di pintu surga.
Cintaku selalu ada untukmu.”
Sumenep, 12 Februari 2014
Biodata :
Rusdi el Umar
tinggal di Sumenep Madura. Alamat
surat SMP Negeri 1 Masalembu, Jl. Raya
Masalima Masalembu Kode Pos 69492. Bisa berkomunikasi melalui FB; Rusdi el Umar
atau twiter; umar_rusdi. Alamat email rusdiumar@gmail.com.
No comments:
Post a Comment