Thursday, February 13, 2014

LORONG GELAP



LORONG GELAP

Apa yang akan Anda lakukan, jika tiba-tiba lorong yang kau lalui begitu gelap?

Aku menyusuri lorong gelap. Penuh kerikil-kerikil tajam. Penuh onak dan duri. Bergerimis pecahan kaca. Berudara api. Keringat bercucur deras, panas. Membasahi tubuhku. Membanjiri bumi.

Aku berlari. Dikejar sapi-sapi. Bertaring, bertanduk. Mengibaskan lecutan-lecutan bara. Aku kepanasan. Aku kehausan, kelaparan. Menarik sengal napas, satu-satu, satu-satu. Seakan mau terlepas, terhempas di kubang api neraka.

"Ada apa, Fi?" Tiba-tiba sebuah suara terjerembab di benakku.
"Tidak ada apa-apa kok," aku melengus. Berusaha menghindar dari suara aneh itu.
"Itu ulahmu sendiri kan?"
"Benar sekali. Tapi aku benci keadaan ini."
"Setelah segalanya terjadi?"
"Ya. Setelah semuanya terjadi."
"Salahmu sendiri!"

Suara itu menggema. Menghantam dinding jiwaku. Menghentakkan lubuk hatiku. Aku terkapar di lorong gelap. Tak bercahaya. Kelam menyelimuti sekelilingku. Terkubur di alam-duniaku sendiri.
***

Semula aku orang yang dihormati. Aku biasa duduk di antara halaqah ta'lim. Menyampaikan faidah-faidah. Menyitir hadits dan ayat. Aku juga biasa berdiri di atas mimbar. Memberikan ceramah. Membaca khotbah. Menjadi muballigh yang disambut antusias oleh masyarakat.

Aku biasa mengutip Heraklitus atau Konfusius, Isutzu dan Lao Tzu, Charles atau Jean Fourier, Ibnu ‘Arabi dan Hammurabi, Novalis, dan sejumlah novelis. Juga Rilke dan Roethke, atau penyair Cina dinasti T’ang dan penyair Polandia pascaperang.

Itu dulu. Saat diriku masih di bantaran sang waktu. Ketika ideologi masih lurus, suci, dan murni. Sewaktu aku masih menyuarakan kebenaran dengan kesucian hati. Tapi, kini semua telah berubah. Berbalik menyerang diriku sendiri. Aku berlari, mencari tempat sembunyi.

Telah menyatu, antara haq dan bathil. Berkelindan, menyuarakan hitam putih dengan dalil abu-abu. Aku sekarat. Menggelepar di antara puing-puing kekhilafanku. Cahaya itu menghilang, datanglah kegelapan. Sabda dan firman telah lenyap, diganti dengan desas-desus suara iblis.

Sapi-sapi berkeliaran. Mendesis, mengaum dengan mata menyala. Api menyembur dari mulut dan hidungnya. Aku mencoba berlari. Tapi, sia-sia. Terperangkap di antara tanduk baja sapi yang tajam. Meruncing, dan menerkam garang.

"Tolong, jangan bunuh aku," aku bersimpuh di antara sapi-sapi yang kalap.
"Dasar manusia iblis. Sekarang Kau baru menyesal!?"
"Tidak, sungguh aku mau bertobat," aku masih terus menjura.
"Mustahil, terlambat!" Bersamaan dengan itu tanduk sapi itu menyeruduk. Menghantam tubuhkku. Aku terpental, di antara reranting kegelapan. Hancur seluruh persendian tulangku. Terhempas kembali di lorong gelap.

Mentari, ah, entah bersembunyi di mana. Cahaya menghilang lenyap. Bau bangkai, dan anyir darah menyatu. Aku mencoba menutup hidung dengan tanganku. Tapi, rupa-rupanya tanganku juga berubah menjadi bangkai. Perutku juga menjadi bangkai. Kepalaku, dadaku, paha dan kakiku, semua menjadi bangkai. Aku menjerit, melolong, menghentak-hentak di dalam kubangan darah. Meraba-raba dalam gelap. Hilang arah, dan aku terkulai meraup nestapa.
***

"Fi, itu dapat uang dari mana?"
"Biasa. Kolega!"
"Bukan hakmu, kan?"
"Siapa bilang?"
"Itu bukan hakmu, Fi!"
"Untuk disumbangkan kok."
"Bukan begitu caranya."
"Hem, peduli amat!"

Aku terperangkap oleh tipu daya setan. Bermain di pusara Fir'aun. Menyikut kawan, menelikung lawan. Segala cara kulakukan, untuk mencapai tujuan. Tak peduli halal dan haram. Semua aku lakukan. Menggunting dalam lipatan. Menyelam di riak bara api dan tarian keangkaramurkaan. Hatiku berubah hitam, legam. Hilang sudah firman Tuhan, lesap bersama sabda Nabi. Tuhan pun kutipu dengan ayat-ayat palsu.

Menu makanku berubah bangkai. Bangkai daging sapi yang berbau busuk, buruk, beraroma borok. Aku mencoba berpaling, tapi tidak bisa. Aku dipaksa. Dipaksa oleh nafsuku sendiri. Dipaksa oleh keserakahanku sendiri.

"Makan tuh bangkai, Laknat!" Gema suara berpendar. Memekakkan gendang telingaku.
"Tidaaa....k!"
"Makan!"
"Tidaaa....k!"
"Makan, Keparat!"

Aku mencoba berpaling. Tapi tanganku terus saja terhulur. Dengan sendirinya. Dan mengambil bangkai daging sapi busuk. Dengan sendirinya. Menyuapi mulutku sendiri. Dengan sendirinya. Aku melolong, tersedak oleh busuk daging sapi. Aku meratap, merasakan getirnya makanan neraka. Pahit, panas, dan hampa. Memutuskan leher dan kerongkonganku. Aku pun melolong.

"Tolooooo.....ng!" Perut pun hancur, usus terburai. Gelap.
***

Siluet perjalanan memoles kanvas hayalku. Saat masih duduk damai di kursi singgasana. Dayang-dayang berseleweran di sekitarku. Gundik dan pelacur memanjakan hasrat dan nafsuku. Diiringi nyanyian para sapi. Yang berdendang, berjoget untuk 'kemenangan'ku. Para pelayan tersungkur karena uangku. Mereka tidak tahu, atau pura-pura tidak tahu, kalau uang itu adalah api. Bangkai daging sapi. Busuk, busuk, busuk!

Aku menikmati uang hasil haram. Korupsi. Untuk aku, keluargaku, organisasiku, untuk kolega-kolegaku, untuk gundikku, dan untuk pelacurku. Aku benar-benar berada di puncak surga duniaku. Apa pun yang aku inginkan, pasti terkabulkan. Karena, sapi-sapi itu berbulu rupiah. Berberak dolar, dan melahirkan bongkahan-bongkahan emas.

Berbalik. Ketika sapi-sapi itu marah. Kawan yang bermalih lawan. Pengawal berwajah jagal. Aku pun terkapar, di kubang bara api. Aku mencari lorong sembunyi. Berkelit dari dosa.

Hem, mana bisa. Tak ada tokungan jalan. Terperangkap oleh canggihnya teknologi. Tersadap, terhisap, terjerembab di balik sel gelap. Penjara!

Aku tersentak.

"Benarkah ini penjara?"
"Bukan. Ini bui!"
"Apa bedanya?!"
"Tempat untuk para pengerat uang rakyat."
"Aku ingin pulang."
"Sampai waktunya nanti."
"Kapan?"
"Di akhir hayat."
"Haaa...."

Lorong semakin gelap. Mentari menyembunyikan cahayanya. Entah dimana. Aku mengais sisa-sisa bangkai sapi. Meneguk comberan. Meraup kotoran. Aku bergugu dengan sengal napas yang semakin memburu. Aku penghuni lorong gelap. Aku Fi.

Madura, 26 Desember 2013
***
Biodata:
Rusdi El Umar lahir dan tinggal di Sumenep Madura. Suka membaca dan menulis. Tulisannya pernah dimuat di Majalah MPA, Jawa Pos, Surabaya Pos, Banjarmasin Pos, Jurnal Edukasi, dan telah menerbitkan solo maupun antologi. Sering memenangkan event di media sosial Facebook. Bisa disapa lewat FB: Rusdi El Umar, Twitter: @rusdi_elumar, dan Email: rusdiumar@gmail.com. Alamat rumah: Jl. Tronojoy Gg. X Rt. 03 Rw. II Nomor 12E Kolor Timur Sumenep 69417.

No comments:

Post a Comment