LORONG GELAP
Apa yang akan Anda lakukan, jika
tiba-tiba lorong yang kau lalui begitu gelap?
Aku menyusuri
lorong gelap. Penuh kerikil-kerikil tajam. Penuh onak dan duri. Bergerimis
pecahan kaca. Berudara api. Keringat bercucur deras, panas. Membasahi tubuhku.
Membanjiri bumi.
Aku berlari.
Dikejar sapi-sapi. Bertaring, bertanduk. Mengibaskan lecutan-lecutan bara. Aku
kepanasan. Aku kehausan, kelaparan. Menarik sengal napas, satu-satu, satu-satu.
Seakan mau terlepas, terhempas di kubang api neraka.
"Ada apa,
Fi?" Tiba-tiba sebuah suara terjerembab di benakku.
"Tidak ada
apa-apa kok," aku melengus. Berusaha menghindar dari suara aneh itu.
"Itu ulahmu
sendiri kan?"
"Benar
sekali. Tapi aku benci keadaan ini."
"Setelah
segalanya terjadi?"
"Ya. Setelah
semuanya terjadi."
"Salahmu
sendiri!"
Suara itu
menggema. Menghantam dinding jiwaku. Menghentakkan lubuk hatiku. Aku terkapar
di lorong gelap. Tak bercahaya. Kelam menyelimuti sekelilingku. Terkubur di
alam-duniaku sendiri.
***
Semula aku orang
yang dihormati. Aku biasa duduk di antara halaqah ta'lim. Menyampaikan
faidah-faidah. Menyitir hadits dan ayat. Aku juga biasa berdiri di atas mimbar.
Memberikan ceramah. Membaca khotbah. Menjadi muballigh yang disambut antusias
oleh masyarakat.
Aku biasa mengutip
Heraklitus atau Konfusius, Isutzu dan Lao Tzu, Charles atau Jean Fourier, Ibnu
‘Arabi dan Hammurabi, Novalis, dan sejumlah novelis. Juga Rilke dan Roethke,
atau penyair Cina dinasti T’ang dan penyair Polandia pascaperang.
Itu dulu. Saat
diriku masih di bantaran sang waktu. Ketika ideologi masih lurus, suci, dan
murni. Sewaktu aku masih menyuarakan kebenaran dengan kesucian hati. Tapi, kini
semua telah berubah. Berbalik menyerang diriku sendiri. Aku berlari, mencari
tempat sembunyi.
Telah menyatu,
antara haq dan bathil. Berkelindan, menyuarakan hitam putih dengan dalil
abu-abu. Aku sekarat. Menggelepar di antara puing-puing kekhilafanku. Cahaya
itu menghilang, datanglah kegelapan. Sabda dan firman telah lenyap, diganti
dengan desas-desus suara iblis.
Sapi-sapi
berkeliaran. Mendesis, mengaum dengan mata menyala. Api menyembur dari mulut
dan hidungnya. Aku mencoba berlari. Tapi, sia-sia. Terperangkap di antara
tanduk baja sapi yang tajam. Meruncing, dan menerkam garang.
"Tolong,
jangan bunuh aku," aku bersimpuh di antara sapi-sapi yang kalap.
"Dasar
manusia iblis. Sekarang Kau baru menyesal!?"
"Tidak,
sungguh aku mau bertobat," aku masih terus menjura.
"Mustahil,
terlambat!" Bersamaan dengan itu tanduk sapi itu menyeruduk. Menghantam
tubuhkku. Aku terpental, di antara reranting kegelapan. Hancur seluruh
persendian tulangku. Terhempas kembali di lorong gelap.
Mentari, ah, entah
bersembunyi di mana. Cahaya menghilang lenyap. Bau bangkai, dan anyir darah
menyatu. Aku mencoba menutup hidung dengan tanganku. Tapi, rupa-rupanya
tanganku juga berubah menjadi bangkai. Perutku juga menjadi bangkai. Kepalaku,
dadaku, paha dan kakiku, semua menjadi bangkai. Aku menjerit, melolong,
menghentak-hentak di dalam kubangan darah. Meraba-raba dalam gelap. Hilang
arah, dan aku terkulai meraup nestapa.
***
"Fi, itu
dapat uang dari mana?"
"Biasa.
Kolega!"
"Bukan hakmu,
kan?"
"Siapa
bilang?"
"Itu bukan
hakmu, Fi!"
"Untuk
disumbangkan kok."
"Bukan begitu
caranya."
"Hem, peduli
amat!"
Aku terperangkap
oleh tipu daya setan. Bermain di pusara Fir'aun. Menyikut kawan, menelikung
lawan. Segala cara kulakukan, untuk mencapai tujuan. Tak peduli halal dan
haram. Semua aku lakukan. Menggunting dalam lipatan. Menyelam di riak bara api
dan tarian keangkaramurkaan. Hatiku berubah hitam, legam. Hilang sudah firman
Tuhan, lesap bersama sabda Nabi. Tuhan pun kutipu dengan ayat-ayat palsu.
Menu makanku
berubah bangkai. Bangkai daging sapi yang berbau busuk, buruk, beraroma borok.
Aku mencoba berpaling, tapi tidak bisa. Aku dipaksa. Dipaksa oleh nafsuku
sendiri. Dipaksa oleh keserakahanku sendiri.
"Makan tuh
bangkai, Laknat!" Gema suara berpendar. Memekakkan gendang telingaku.
"Tidaaa....k!"
"Makan!"
"Tidaaa....k!"
"Makan,
Keparat!"
Aku mencoba
berpaling. Tapi tanganku terus saja terhulur. Dengan sendirinya. Dan mengambil
bangkai daging sapi busuk. Dengan sendirinya. Menyuapi mulutku sendiri. Dengan
sendirinya. Aku melolong, tersedak oleh busuk daging sapi. Aku meratap,
merasakan getirnya makanan neraka. Pahit, panas, dan hampa. Memutuskan leher
dan kerongkonganku. Aku pun melolong.
"Tolooooo.....ng!"
Perut pun hancur, usus terburai. Gelap.
***
Siluet perjalanan
memoles kanvas hayalku. Saat masih duduk damai di kursi singgasana.
Dayang-dayang berseleweran di sekitarku. Gundik dan pelacur memanjakan hasrat
dan nafsuku. Diiringi nyanyian para sapi. Yang berdendang, berjoget untuk
'kemenangan'ku. Para pelayan tersungkur karena uangku. Mereka tidak tahu, atau
pura-pura tidak tahu, kalau uang itu adalah api. Bangkai daging sapi. Busuk,
busuk, busuk!
Aku menikmati uang
hasil haram. Korupsi. Untuk aku, keluargaku, organisasiku, untuk
kolega-kolegaku, untuk gundikku, dan untuk pelacurku. Aku benar-benar berada di
puncak surga duniaku. Apa pun yang aku inginkan, pasti terkabulkan. Karena,
sapi-sapi itu berbulu rupiah. Berberak dolar, dan melahirkan
bongkahan-bongkahan emas.
Berbalik. Ketika
sapi-sapi itu marah. Kawan yang bermalih lawan. Pengawal berwajah jagal. Aku
pun terkapar, di kubang bara api. Aku mencari lorong sembunyi. Berkelit dari
dosa.
Hem, mana bisa.
Tak ada tokungan jalan. Terperangkap oleh canggihnya teknologi. Tersadap,
terhisap, terjerembab di balik sel gelap. Penjara!
Aku tersentak.
"Benarkah ini
penjara?"
"Bukan. Ini
bui!"
"Apa
bedanya?!"
"Tempat untuk
para pengerat uang rakyat."
"Aku ingin
pulang."
"Sampai
waktunya nanti."
"Kapan?"
"Di akhir
hayat."
"Haaa...."
Lorong semakin
gelap. Mentari menyembunyikan cahayanya. Entah dimana. Aku mengais sisa-sisa
bangkai sapi. Meneguk comberan. Meraup kotoran. Aku bergugu dengan sengal napas
yang semakin memburu. Aku penghuni lorong gelap. Aku Fi.
Madura,
26 Desember 2013
***
Biodata:
Rusdi El Umar
lahir dan tinggal di Sumenep Madura. Suka membaca dan menulis. Tulisannya
pernah dimuat di Majalah MPA, Jawa Pos, Surabaya Pos, Banjarmasin Pos, Jurnal
Edukasi, dan telah menerbitkan solo maupun antologi. Sering memenangkan event
di media sosial Facebook. Bisa disapa lewat FB: Rusdi El Umar, Twitter:
@rusdi_elumar, dan Email: rusdiumar@gmail.com. Alamat rumah: Jl. Tronojoy Gg. X
Rt. 03 Rw. II Nomor 12E Kolor Timur Sumenep 69417.
No comments:
Post a Comment