NEGERI
KAYANGAN
Di
ujung senja. Aku ingin keluar. Aku ingin bermain sendirian. Entahlah. Padahal
aku sering dimarahi oleh mama, kalau aku main sendiri. Tetapi, di ujung senja
itu, keinginan untuk keluar dan bermain sendiri sangat menggebu-gebu.
Dengan
mengendap-endap aku keluar dari kamar. Aku tidak ingin mama mengetahui bahwa
aku keluar. Aku ingin bermain sepuasnya. Sendiri. Tanpa ada yang mengganggu.
Aku begitu menikmati kesendirianku. Aku juga kurang paham, mengapa dengan
bermain sendiri aku sungguh merasakan kebahagiaan.
Tidak
berapa lama aku sudah keluar dari kamarku. Kamar yang menurutku sangat pengap.
Sangat menyiksa. Aku benar-benar mual kalau ada di kamarku. Padahal di kamarku
segala mainan ada. Ya boneka, mobil-mobilan, bahkan mainan elektronik pun
tersedia. Tapi aku tidak menikmatinya.
Setelah
lama berjalan. Entah kemana arah dan tujuannya. Aku tiba di sebuah telaga.
Sejuk dan berair jernih. Ada beberapa bunga yang mnghiasi di sekelilingnya.
Warna warrni dan semerbak harum baunya. Aku begitu tertarik. Aku ingin memetik
kuntum bunga yang belum pernah aku temui sebelumnya. Dengan sangat mudahnya aku
pun telah memetik bunga warna merah muda.
“Hai,
untuk apa kamu memetik bunga surga itu!” tiba-tiba sebuah suara menegurku. Aku
terkejut. Aku tidak mennyangka kalau di telaga itu ada seseorang. Tapi aku
tidak melihat sosoknya. Hanya mendengar suaranya.
“Siapa
kamu?” hentakku. Karena sepertinya orang itu bersembunyi dari awasku.
“Aku
di sini.” Pas di sampingku saat aku celingukan mencari-cari asal suara.
“Lhoo,
siapa kamu? Kok tiba-tiba ada di sini?” sapaku heran.
“Ya.
Akulah Putri Peri dari kayangan. Diutus untuk menemani kamu di sini.”
“Tapi
aku tidak butuh teman.”
“Aku
juga tidak memaksa kok!”
“Ya
sudah pergi sana!”
“Tidak.
Kalau tidak bersama kamu!”
Semula
aku dan anak peri itu berseteru. Tapi lama-lama enak juga bermain dengannya. Ia
begitu mungil. Seprti boneka dari India. Cantik dan sangat baik. Ia selalu
menjawab semua pertanyaanku. Aku semakin heran. Karena dengan mudahnya ia bisa
terbang ke sana kemari. Padahal tidak punya sayap. Ketika kutanyakan tentang
ini, ia hanya tersenyum.
“Nanti
kamu kuajari.” Katanya. Tentu saja aku terkejut.
“Mana
mungkin?”
“Tidak
ada yang tidak mungkin!”
Entah
berapa lama aku dan peri cantik itu bermain-main. Tapi aku tidak jenuh. Lalu
aku memetik sekuntum bunga yang berwana putih. Kuperlihatkan kepada Putri Peri cantik,
teman baruku.
“Lihat!”
kataku. “Begitu cantik dan indah.”
“Tapi
kamu tidak boleh memetik bunga itu.”
“Emangnya
kenapa?”
“Itu
sudah menjadi aturan di negeri kayangan.”
“Negeri
kayangan? Tempat apaan tuh?”
“Nanti
kamu akan mengetahuinya.”
Aku
terus bermain. Ditemani oleh Peri cantik. Lembut dan baik hati. Kemudian aku
memetik lagi sekuntum bunga berwarna ungu. Cantik sekali. Aku menciumnya.
Semerbak bau wangi surga, bagai banga kayangan.
“Nah,
sekarang saatnya!” tiba-tiba si peri berkata kepadaku.
“Saatnya
apaan?” aku bertanya heran.
“Saatnya
kuajari Kau terbang. Untuk kubawa ke hadapan Ratu Kayangan, mamaku.”
“Tidak.
Aku tiak mau!”
“Tapi
itu aturan di negeri kayangan. Siapa yang memetik tiga kuntum bunga di taman
ini, maka ia harus dihukum.”
“Enggak!
Aku gak mau dihukum.”
“Tidak
apa-apa kok!”
“Aku
nanti dimarahi mama.”
“Itu
urusan kamu, karena kamu tidak pamit sama mamamu!”
Si
peri kecil memberikan sebuah selendang kepadaku. Bahkan langsung menganakannya
di leherku. Dan seketika, tubuhku sangat ringan. Melayang-layang kemana aku
mau.
“Ayo,
kita berangkat!” Peri kecil menarik lenganku. Terbang menembus langit. Menuju
negeri kayangan. Ada banyak pemandangan yang kulihat di sekitar. Pemandangan
yang sangat indah. Taman, telaga, sungai-sungai dengan aliran air yang bening.
Dan bangunan-bangunan indah yang belum pernah kutemui sebelumnya.
Di
sebuah istana aku dan si Peri berhenti. Mengetuk pintu, dan tidak lama kemudian
pintu pun terbuka. Semerbak harum menyeruak. Aku dan dan Peri masuk. Kesejukan
dan keindahan luar biasa kurasakan. Bunga-bunga indah bermerkaran di sekitar
istana. Peralatan pot bunga tertata dengan apik. Berkilau terbuat dari emas dan
perak.
Aku
dibawa masuk. Menuju sebuah singgasana yang begitu indah. Di sana duduk seorang
Ratu Kayangan dengan anggun. Dengan tersenyum ia berkata kepada Peri kecil
putrinya.
“Bagaimana
anakku? Sudah Kau temukan temanmu?”
“Ya
Ma. Ini temanku yang sekarang lagi di sampingku.” Sahut Peri kecil sambil
melirik ke arahku. Aku salah tingkah. Tidak tahu apa yang harus kuperbuat.
“Bawa
masuk ia ke kamarmu. Dan bermainlah di sana sepuasmu.”
“Ya
Ma.” Sahut Peri kecil sambil menyembah. Aku pun ikut-ikut menyembah.
Aku
menuju kamar si Peri kecil. Sebuah kamar yang ada di sudut ruangan yang mewah.
Ada banyak mainan di sana. Segala macam mainan tersedia. Aku bermain-main
sepuasnya. Bagitu juga si Peri kecil, bermain-main denganku. Dan kulihat ia
begitu puas. Bahagia. Mungkin karena selama ini ia tidak punya teman bermain.
Setelah
puas bermain di kamar, aku dan Peri Kecil bermain ke luar. Ke taman yang penuh
dengan bunga. Air bening mengalir dengan derasnya. Ada banyak buah-buahan di
sekitar taman itu. Aku bebas mengambil dan memakannya. Sungguh pengalaman yang
tidak mungkin aku lupakan. Karena buah di taman itu, tidak pernah akun temukan
sebelumnya. Dan rasanya pun begitu lezat. Inikah buah surga? Aku hanya
menduga-duga.
Serasa
sudah berhari-hari aku ada di tempat itu. Tempat yang sangat menyenangkan.
Semula aku tidak ingin kembli pulang. Kalau saja aku tidak ingat mama dan papa
di rumah. Tapi, rasanya kerinduan pada mama dan papa mengalahkan
segala-galanya. Termasuk keindahan negeri kayangan yang kusinggahi saat ini.
“Aku
mau pulang!” kataku pada putri Peri suatu waktu.
“Untuk
apa pulang? Kamu tidak kerasan di sini? Atau tempat ini tidak menyenangkan?”
“Bukan
itu Putri. Tapi aku kangen mama dan papa.”
“Tapi
kamu tidak bisa pulang!” Peri kcil tersenyum.
“Lho,
kok.....”
“Karena
selendangmu telah hilang.”
Selenangku
hilang? Aku bergegas ke kamar Peri. Aku mencari kesana-kemari. Di segala
tempat. Seingatku, aku meletakkannya di bawah bantal tempatku tidur. Tapi di
sama tidak aku temukan. Apakah disembunyikan oleh Peri Kecil? Aku tidak
percaya. Karena hati Peri kecil itu bagitu baik. Tidak mungkin ia akan
menyembunyikan selendang itu.
Setelah
lama aku mencari. Tidak juga ditemukan. Aku sudah putus asa. Air mata mengalir
dengan derasnya. Kulihat si Peri pun terenyuh. Dengan lembut ia berkata
kepadaku.
“Sudahlah.
Tidak usah menangis. Pakai saja selendangku.”
“Apa?
Aku boleh memakai selendang Putri?” dengan spontan aku memeluk tubuh Peri Kecil
yang mungi, cantik. Semerbak tubuhnya harum bagai misik. Sebenarnya aku tidak
ingin melepaskannya. Pasti ada rindu yang tak tertahankan. Tapi aku manusia
biasa. Bukan makhluk peri seperti yang ada di istana itu.
Aku
siap untuk pulang. Banyak penghuni kayangan yang melepas kepergianku. Mereka
sebenarnya berat hati melepas kepergianku. Tapi tekadku sudah bulat. Pada suatu
saat nanti, aku berjanji akan kembali.
Peri
Kecilku melambaikan tangan. Dari bola matanya yang indah, mengalir
butiran-butiran permata. Aku juga melambaikan tangan. Terbang kesan-kemari
mengelilingi istana yang sebentar lagi akan aku tinggalkan. Air mataku pun tak
tertahankan. Tapi, rindu mama dan papa tetap yang utama. Aku juga rindu dengan
teman-temanku di bumi, yang selama ini kurang aku perhatikan. Aku pun lesap,
melesat turun ke negeriku. Negeri bumi yang kurindu.
Seberapa
waktu yang kuperlukan. Seberapa masa yang kulalui. Aku tidak terlalu peduli.
Aku sudah ada di depan rumahku. Senja masih temaram. Tidak ada siapa-siapa di
rumah. Papa biasanya ke musholla waktu-waktu seperti ini. Mama, biasanya sudah
siap di musholla rumahku. Tidak ada yang berubah, sejak aku meninggalkan rumah.
Semuanya tampak biasa-biasa.
“Dick,
...Dicky....keluar cepat. Papa sudah berangkat ke musholla tuh.” Di balik
mukenanya, mama memanggilku dan mengetuk pintu kamarku.
“Ya
Ma. Aku sudah siap.” Sahutku di balik pintu rumah depan. Aku langsung menuju
musholla, menyusul papa. Kulihat mama heran.
Negeri
kayangan. Apakah hanya sebuah illusi? Padahal rasanya, aku sudah
berminggu-minggu meninggalkan rumah. Tidak, bahkan berbulan-bulan. Tapi mengapa
semuanya biasa-biasa saja. Adakah aku bermimpi? Padahal aku tidak tidur.
Setelah
sampai di musholla, aku mengambil air wudhu’. Menyelipkan selendang ke balik
baju. Aku pun sholat Magrib berjamaah.
“Ahh,
sebuah pengalaman yang tak mungkin terlupakan.” Bisikku di antara jama’ah yang
lain. “Peri Kecilku, aku pasti merindukanmu!”
Sumenep, 13 Februari 2014
****
No comments:
Post a Comment