Thursday, February 13, 2014

NEGERI KAYANGAN



NEGERI KAYANGAN

Di ujung senja. Aku ingin keluar. Aku ingin bermain sendirian. Entahlah. Padahal aku sering dimarahi oleh mama, kalau aku main sendiri. Tetapi, di ujung senja itu, keinginan untuk keluar dan bermain sendiri sangat menggebu-gebu.

Dengan mengendap-endap aku keluar dari kamar. Aku tidak ingin mama mengetahui bahwa aku keluar. Aku ingin bermain sepuasnya. Sendiri. Tanpa ada yang mengganggu. Aku begitu menikmati kesendirianku. Aku juga kurang paham, mengapa dengan bermain sendiri aku sungguh merasakan kebahagiaan.

Tidak berapa lama aku sudah keluar dari kamarku. Kamar yang menurutku sangat pengap. Sangat menyiksa. Aku benar-benar mual kalau ada di kamarku. Padahal di kamarku segala mainan ada. Ya boneka, mobil-mobilan, bahkan mainan elektronik pun tersedia. Tapi aku tidak menikmatinya.

Setelah lama berjalan. Entah kemana arah dan tujuannya. Aku tiba di sebuah telaga. Sejuk dan berair jernih. Ada beberapa bunga yang mnghiasi di sekelilingnya. Warna warrni dan semerbak harum baunya. Aku begitu tertarik. Aku ingin memetik kuntum bunga yang belum pernah aku temui sebelumnya. Dengan sangat mudahnya aku pun telah memetik bunga warna merah muda.

“Hai, untuk apa kamu memetik bunga surga itu!” tiba-tiba sebuah suara menegurku. Aku terkejut. Aku tidak mennyangka kalau di telaga itu ada seseorang. Tapi aku tidak melihat sosoknya. Hanya mendengar suaranya.
“Siapa kamu?” hentakku. Karena sepertinya orang itu bersembunyi dari awasku.
“Aku di sini.” Pas di sampingku saat aku celingukan mencari-cari asal suara.
“Lhoo, siapa kamu? Kok tiba-tiba ada di sini?” sapaku heran.
“Ya. Akulah Putri Peri dari kayangan. Diutus untuk menemani kamu di sini.”
“Tapi aku tidak butuh teman.”
“Aku juga tidak memaksa kok!”
“Ya sudah pergi sana!”
“Tidak. Kalau tidak bersama kamu!”

Semula aku dan anak peri itu berseteru. Tapi lama-lama enak juga bermain dengannya. Ia begitu mungil. Seprti boneka dari India. Cantik dan sangat baik. Ia selalu menjawab semua pertanyaanku. Aku semakin heran. Karena dengan mudahnya ia bisa terbang ke sana kemari. Padahal tidak punya sayap. Ketika kutanyakan tentang ini, ia hanya tersenyum.

“Nanti kamu kuajari.” Katanya. Tentu saja aku terkejut.
“Mana mungkin?”
“Tidak ada yang tidak mungkin!”

Entah berapa lama aku dan peri cantik itu bermain-main. Tapi aku tidak jenuh. Lalu aku memetik sekuntum bunga yang berwana putih. Kuperlihatkan kepada Putri Peri cantik, teman baruku.

“Lihat!” kataku. “Begitu cantik dan indah.”
“Tapi kamu tidak boleh memetik bunga itu.”
“Emangnya kenapa?”
“Itu sudah menjadi aturan di negeri kayangan.”
“Negeri kayangan? Tempat apaan tuh?”
“Nanti kamu akan mengetahuinya.”

Aku terus bermain. Ditemani oleh Peri cantik. Lembut dan baik hati. Kemudian aku memetik lagi sekuntum bunga berwarna ungu. Cantik sekali. Aku menciumnya. Semerbak bau wangi surga, bagai banga kayangan.

“Nah, sekarang saatnya!” tiba-tiba si peri berkata kepadaku.
“Saatnya apaan?” aku bertanya heran.
“Saatnya kuajari Kau terbang. Untuk kubawa ke hadapan Ratu Kayangan, mamaku.”
“Tidak. Aku tiak mau!”
“Tapi itu aturan di negeri kayangan. Siapa yang memetik tiga kuntum bunga di taman ini, maka ia harus dihukum.”
“Enggak! Aku gak mau dihukum.”
“Tidak apa-apa kok!”
“Aku nanti dimarahi mama.”
“Itu urusan kamu, karena kamu tidak pamit sama mamamu!”

Si peri kecil memberikan sebuah selendang kepadaku. Bahkan langsung menganakannya di leherku. Dan seketika, tubuhku sangat ringan. Melayang-layang kemana aku mau.

“Ayo, kita berangkat!” Peri kecil menarik lenganku. Terbang menembus langit. Menuju negeri kayangan. Ada banyak pemandangan yang kulihat di sekitar. Pemandangan yang sangat indah. Taman, telaga, sungai-sungai dengan aliran air yang bening. Dan bangunan-bangunan indah yang belum pernah kutemui sebelumnya.

Di sebuah istana aku dan si Peri berhenti. Mengetuk pintu, dan tidak lama kemudian pintu pun terbuka. Semerbak harum menyeruak. Aku dan dan Peri masuk. Kesejukan dan keindahan luar biasa kurasakan. Bunga-bunga indah bermerkaran di sekitar istana. Peralatan pot bunga tertata dengan apik. Berkilau terbuat dari emas dan perak.

Aku dibawa masuk. Menuju sebuah singgasana yang begitu indah. Di sana duduk seorang Ratu Kayangan dengan anggun. Dengan tersenyum ia berkata kepada Peri kecil putrinya.

“Bagaimana anakku? Sudah Kau temukan temanmu?”
“Ya Ma. Ini temanku yang sekarang lagi di sampingku.” Sahut Peri kecil sambil melirik ke arahku. Aku salah tingkah. Tidak tahu apa yang harus kuperbuat.
“Bawa masuk ia ke kamarmu. Dan bermainlah di sana sepuasmu.”
“Ya Ma.” Sahut Peri kecil sambil menyembah. Aku pun ikut-ikut menyembah.

Aku menuju kamar si Peri kecil. Sebuah kamar yang ada di sudut ruangan yang mewah. Ada banyak mainan di sana. Segala macam mainan tersedia. Aku bermain-main sepuasnya. Bagitu juga si Peri kecil, bermain-main denganku. Dan kulihat ia begitu puas. Bahagia. Mungkin karena selama ini ia tidak punya teman bermain.

Setelah puas bermain di kamar, aku dan Peri Kecil bermain ke luar. Ke taman yang penuh dengan bunga. Air bening mengalir dengan derasnya. Ada banyak buah-buahan di sekitar taman itu. Aku bebas mengambil dan memakannya. Sungguh pengalaman yang tidak mungkin aku lupakan. Karena buah di taman itu, tidak pernah akun temukan sebelumnya. Dan rasanya pun begitu lezat. Inikah buah surga? Aku hanya menduga-duga.

Serasa sudah berhari-hari aku ada di tempat itu. Tempat yang sangat menyenangkan. Semula aku tidak ingin kembli pulang. Kalau saja aku tidak ingat mama dan papa di rumah. Tapi, rasanya kerinduan pada mama dan papa mengalahkan segala-galanya. Termasuk keindahan negeri kayangan yang kusinggahi saat ini.

“Aku mau pulang!” kataku pada putri Peri suatu waktu.
“Untuk apa pulang? Kamu tidak kerasan di sini? Atau tempat ini tidak menyenangkan?”
“Bukan itu Putri. Tapi aku kangen mama dan papa.”
“Tapi kamu tidak bisa pulang!” Peri kcil tersenyum.
“Lho, kok.....”
“Karena selendangmu telah hilang.”

Selenangku hilang? Aku bergegas ke kamar Peri. Aku mencari kesana-kemari. Di segala tempat. Seingatku, aku meletakkannya di bawah bantal tempatku tidur. Tapi di sama tidak aku temukan. Apakah disembunyikan oleh Peri Kecil? Aku tidak percaya. Karena hati Peri kecil itu bagitu baik. Tidak mungkin ia akan menyembunyikan selendang itu.

Setelah lama aku mencari. Tidak juga ditemukan. Aku sudah putus asa. Air mata mengalir dengan derasnya. Kulihat si Peri pun terenyuh. Dengan lembut ia berkata kepadaku.

“Sudahlah. Tidak usah menangis. Pakai saja selendangku.”
“Apa? Aku boleh memakai selendang Putri?” dengan spontan aku memeluk tubuh Peri Kecil yang mungi, cantik. Semerbak tubuhnya harum bagai misik. Sebenarnya aku tidak ingin melepaskannya. Pasti ada rindu yang tak tertahankan. Tapi aku manusia biasa. Bukan makhluk peri seperti yang ada di istana itu.

Aku siap untuk pulang. Banyak penghuni kayangan yang melepas kepergianku. Mereka sebenarnya berat hati melepas kepergianku. Tapi tekadku sudah bulat. Pada suatu saat nanti, aku berjanji akan kembali.

Peri Kecilku melambaikan tangan. Dari bola matanya yang indah, mengalir butiran-butiran permata. Aku juga melambaikan tangan. Terbang kesan-kemari mengelilingi istana yang sebentar lagi akan aku tinggalkan. Air mataku pun tak tertahankan. Tapi, rindu mama dan papa tetap yang utama. Aku juga rindu dengan teman-temanku di bumi, yang selama ini kurang aku perhatikan. Aku pun lesap, melesat turun ke negeriku. Negeri bumi yang kurindu.

Seberapa waktu yang kuperlukan. Seberapa masa yang kulalui. Aku tidak terlalu peduli. Aku sudah ada di depan rumahku. Senja masih temaram. Tidak ada siapa-siapa di rumah. Papa biasanya ke musholla waktu-waktu seperti ini. Mama, biasanya sudah siap di musholla rumahku. Tidak ada yang berubah, sejak aku meninggalkan rumah. Semuanya tampak biasa-biasa.

“Dick, ...Dicky....keluar cepat. Papa sudah berangkat ke musholla tuh.” Di balik mukenanya, mama memanggilku dan mengetuk pintu kamarku.
“Ya Ma. Aku sudah siap.” Sahutku di balik pintu rumah depan. Aku langsung menuju musholla, menyusul papa. Kulihat mama heran.

Negeri kayangan. Apakah hanya sebuah illusi? Padahal rasanya, aku sudah berminggu-minggu meninggalkan rumah. Tidak, bahkan berbulan-bulan. Tapi mengapa semuanya biasa-biasa saja. Adakah aku bermimpi? Padahal aku tidak tidur.

Setelah sampai di musholla, aku mengambil air wudhu’. Menyelipkan selendang ke balik baju. Aku pun sholat Magrib berjamaah.

“Ahh, sebuah pengalaman yang tak mungkin terlupakan.” Bisikku di antara jama’ah yang lain. “Peri Kecilku, aku pasti merindukanmu!”

Sumenep, 13 Februari 2014
****

No comments:

Post a Comment