Thursday, February 13, 2014

PEREMPUAN BERMATA ELANG



PEREMPUAN BERMATA ELANG

Malam sudah agak larut. Embun malam menyebabkan keadaan semakin dingin. Aku duduk di bawah pohon mangga di belakang rumahku. Itu biasa kulakukan, ketika mataku tidak bisa diajak berlayar. Mengarungi samudra mimpi. Maka di atas bangku panjang, di bawah pohon mangga itulah aku duduk. Hanya sekadar duduk. Memandang malam. Memperhatikan bintang-bintang.

Sekitar jam 00.30, tiba-tiba ada bintang jatuh. Spontan aku menyebutakn satu keinginanku. Entah itu benar atau tidak. Pastinya tidak logis. Tidak masuk akal. Padahal itu bukan bintang jatuh. Kalau dalam astronomi, itu adalah benda angkasa yang memasuki atmusfer karena adanya gaya gravitasi, kemudian pijar karena bergesekan dengan udara.

“Aku ingin jodoh!” teriakku di malam sunyi itu. Tidak ada yang mendengar. Tidak ada yang menghiraukan. Aku tersenyum sendiri. “Gila!” batinku mengatakan. Bagaimana tidak gila, jika dengan jatuhnya bintang, segala doa bisa terkabulkan? Logika mana yang membenarkan adat ini? Tapi, memang demikianlah yang terjadi. Hal yang mustahil pun terkadang bisa muncul dalam kahidupan.

Aku merapatkan sarung. Berselimut erat, karena suasana semakin dingin. Orang-orang sudah pada tidur. Berselancar di alam mimpi masing-masing. Aku semakin gigil. Embun semakin banyak menerkam tubuhku. Tapi aku tetap bertahan. Berharap masih ada beberapa bintang yang jatuh. Aku hanya tersenyum mengingat harapan itu.

Sesekali kelepar kelelawar terdengar di antara daun mangga yang rimbun. Mereka berlomba mencari mangga yang sudah ranum. Bersama teman-temannya. Bercengkerama. Atau pun bahkan bersama istri atau kekasihnya. Sementara aku masih sendiri. Menghayal, bersenda, dan bersanding dengan kekasih. “Just illusion,” hatiku berkata.

Rembulan separuh semakin meninggi. Di sekitarku semakin terlihat jelas. Bayang-bayang orang atau benda semakin nampak. Biar bukan purnama. Tapi sinar separuh rembulan itu mampu menerangi benda-benda di sekitarku.

Di bawah pohon mangga, terdapat jalan setapak yang biasa dilewati orang. Kalau siang hari, para tetangga di sebrang rumah sering lewat. Menuju jalan raya yang tidak terlalu jauh dari rumahku. Bahkan, terkadang ada juga orang lewat sekalipun malam sudah larut. Mungkin orang yang kemalaman dari sebuah acara atau perjalanan.

“Permisi. Mau lewat.” Tiba-tiba seseorang berdiri dan lewat di depan tempatku duduk.
“Silakan. Darimana kok larut malam?” tanyaku dengan keberanian yang dipaksakan. Tapi memang tidak ada yang aneh dari penampilan perempuan ini. Biasa-biasa saja. Hanya anehnya, ia berjalan sendirian.
“Kemalaman Mas,” jawabnya pendek.
“Adik mau kemana?” setelah kupastikan bahwa dia adalah seorang gadis. Kulihat dari geriknya. Dibantu sinar rembulan yang menerabas di antara daun-daun yang rimbun, aku melihat cahaya kecantikan. Terlebih lagi, sinar matanya tajam seperti elang. Serta-merta aku jatuh hati. Padahal, aku termasuk orang yang susah untuk jatuh cinta.
“Aku sering kok, malam-malam begini lewati jalan ini.”
“Ah, betul kah?”
“Benar Mas!” jawabnya mantap. Wajahnya yang cantik tertimpa cahaya rembulan semakin nampak. Matanya yang tajam, tapi menyejukkan, berbinar-binar penuh pesona. Hatiku semakin remuk dibuatnya.

Kemudian ia melanjutkan jalannya. Aku perhatikan dari belakang. Sungguh, seorang perempuan yang sangat ideal. Seumpama seleraku. Bidadari jatuh dari langit. Adakah aku jatuh cinta? Mataku tidak berkedip, hingga ia menghilang di balik tikungan jalan. Masih terasa dalam benakku. Suaranya. Gemulai tubuhnya. Sinar tajam matanya. Dan gerak-geriknya yang aduhai.
*****
Hari-hariku jadi gelisah. Hatiku tertambat di tajam sinar mata perempuan di malam itu. Padahal aku tidak pernah bertemu sebelumnya. Aku juga tidak punya tetangga perempuan itu. Dimanakah ia tinggal? Seandainya kutahu rumahnya, pasti telah aku sambangi. Karena rindu. Juga disebabkan cinta. Ataukah ia tetangga kampung sebelah?

“Aku sering kok, malam-malam begini lewati jalan ini.” Benarkah? Apa benar ia seringkali lewat di belakang rumahku? Di bawah pohon mangga yang besar itu? Tapi mengapa aku baru malam itu bisa berjumpa? Ataukah ia berbohong?

“Tidak mungkin!” Tiba-tiba aku bersuara lantang. Aku yakin perempuan bermata elang itu tidak berbohong. Aku paham dari nada suaranya. Aku tau dari gerak-geriknya. Mana mungkin orang secantik dia berbohong? Tidak ada sedikit pun ruang untuk berdusta dari tutur sapa dan bahasa tubuhnya.
****

Di kamar aku terlentang sendiri. Pikiranku terpaku pada perempuan di malam itu. Begitu cantik. Dan matanya itu yang membuat aku jatuh hati. Aku menghayal. Seandainya perempuan itu jadi jodohku. Aku juga teringat dengan bintang jatuh di malam itu. Dan aku juga masih ingat, apa yang kukatakan. “Aku ingin jodoh!” teriakku di malam itu. Jangan-jangan karena itulah aku dipertemukan dengan perempuan itu. Hemm, aku tertawa sendiri.

Aku mencoba bertanya ke teman-temanku. Juga pada tetanggaku. Tapi mereka tidak pernah bertemu dan melihat wanita atau perempuan dengan ciri-ciri yang kuceritakan. Aku semakin penasaran. Aku semakin bingung.

“Jangan Kau pergi, perempuanku. Jangan Kau pergi mata elangku!” selalu kuberharap bahwa perempuan di malam itu adalah jodohku.

Sudah beberapa malam aku kembali duduk di bawah pohon mangga. Tempatku bertemu dengan perempuan bermata elang. Tempatku berbincang-bincang dengan perempuan impian siang dan malam. Tapi nihil. Tak pernah kembali aku berjumpa dengannya. Entahlah, kemana perempuan itu perginya?

Aku kadang berpikir yang tidak-tidak. Jangan-jangan di malam itu ada orang yang tidak bertanggung jawab. Ada orang jahat yang telah memperkosanya, dan sekaligus membunuhnya. Aku semakin gelisah. Aku tidak rela jika hal itu terjadi. Maka nyawa harus dibalas nyawa. Akulah sebagai garansinya, jika ternyata ada orang yang mengganggunya.

“Benar Kamu ketemu dengan perempuan di larut malam seperti itu?” temanku Fajri bertanya kurang percaya.
“Benar Jri. Aku sumpah deh. Aku bahkan sempat bercakap-cakap dengannya.”
“Tidak ditanya namanya?”
“Itulah bodohnya aku.”
“Ditanya tempat tinggalnya?”
“Itu juga tololnya aku. Aku tidak sempat bertanya banyak. Aku hanya terpesona dengan kecantikannya. Hatiku luruh dalam tatap tajam mata elangnya.”
“Hemm, semoga saja Kamu temukan perempuan itu.” Fajri berkata datar. Tidak bersemangat seperti biasanya. Maklum, mungkin yang kuceritakan seakan kurang masuk akal. Adakah perempuan keluyuran malam-malam? Sendirian? Cantik lagi!
*****

Malam ini aku kembali menunggu. Di bawah pohon mangga. Di atas bangku panjang. Jam sudah menunjuk angka 00.00. Malam sudah semakin larut. Aku tidak peduli dengan dingin. Seakan dingin tidak pernah kurasakan. Aku tidak peduli dengan nyamuk. Beberapa kali mencoba mengganggu konsentrasiku dalam menunggu. Tapi sampai menjelang Shubuh, yang kutunggu tidak menampakkan batang hidungnya. Aku kecewa. Perempuanku sudah tidak mungkin kuharap kembali.

Perempuanku di ujung malam. Hilang bagai ditelan rembulan. Sinar matanya yang tajam, teduh, dan menggairahkan, sirna bersama kelopak malam. Rinduku berujung kecewa. Kecewaku tertanam di raut gadis malam. Aku ingin berjumpa. Biar pun hanya sekali saja. Aku ingin mengungkapkan rasa hatiku, yang tak mungkin kutautkan pada perempuan lain.

Malam masih bergayut. Aku rebah di pembaringan. Bersama rindu aku terlena. Bersama cinta aku merenda bunga. Dalam mimpi, perempuanku menjelma. Tersenyum padaku. Di atas singgasana surgawi. Tatapan matanya tajam. Menghunjam jantungku. Hingga aku tidak berkutik. Dan tidak tertarik kepada selain dia.

“Mas, kutunggu dirimu di pintu surga!” sambil melambaikan tangan. Tersenyum. Menghilang di balik rimbun taman surga.

Sumenep, 13 Februari 2014
*****






No comments:

Post a Comment