PEREMPUAN BERMATA ELANG
Malam sudah agak larut. Embun malam
menyebabkan keadaan semakin dingin. Aku duduk di bawah pohon mangga di belakang
rumahku. Itu biasa kulakukan, ketika mataku tidak bisa diajak berlayar.
Mengarungi samudra mimpi. Maka di atas bangku panjang, di bawah pohon mangga
itulah aku duduk. Hanya sekadar duduk. Memandang malam. Memperhatikan
bintang-bintang.
Sekitar jam 00.30, tiba-tiba ada bintang
jatuh. Spontan aku menyebutakn satu keinginanku. Entah itu benar atau tidak.
Pastinya tidak logis. Tidak masuk akal. Padahal itu bukan bintang jatuh. Kalau
dalam astronomi, itu adalah benda angkasa yang memasuki atmusfer karena adanya
gaya gravitasi, kemudian pijar karena bergesekan dengan udara.
“Aku ingin jodoh!” teriakku di malam
sunyi itu. Tidak ada yang mendengar. Tidak ada yang menghiraukan. Aku tersenyum
sendiri. “Gila!” batinku mengatakan. Bagaimana tidak gila, jika dengan jatuhnya
bintang, segala doa bisa terkabulkan? Logika mana yang membenarkan adat ini?
Tapi, memang demikianlah yang terjadi. Hal yang mustahil pun terkadang bisa
muncul dalam kahidupan.
Aku merapatkan sarung. Berselimut erat,
karena suasana semakin dingin. Orang-orang sudah pada tidur. Berselancar di
alam mimpi masing-masing. Aku semakin gigil. Embun semakin banyak menerkam
tubuhku. Tapi aku tetap bertahan. Berharap masih ada beberapa bintang yang
jatuh. Aku hanya tersenyum mengingat harapan itu.
Sesekali kelepar kelelawar terdengar di
antara daun mangga yang rimbun. Mereka berlomba mencari mangga yang sudah
ranum. Bersama teman-temannya. Bercengkerama. Atau pun bahkan bersama istri
atau kekasihnya. Sementara aku masih sendiri. Menghayal, bersenda, dan
bersanding dengan kekasih. “Just illusion,” hatiku berkata.
Rembulan separuh semakin meninggi. Di
sekitarku semakin terlihat jelas. Bayang-bayang orang atau benda semakin
nampak. Biar bukan purnama. Tapi sinar separuh rembulan itu mampu menerangi
benda-benda di sekitarku.
Di bawah pohon mangga, terdapat jalan
setapak yang biasa dilewati orang. Kalau siang hari, para tetangga di sebrang
rumah sering lewat. Menuju jalan raya yang tidak terlalu jauh dari rumahku.
Bahkan, terkadang ada juga orang lewat sekalipun malam sudah larut. Mungkin
orang yang kemalaman dari sebuah acara atau perjalanan.
“Permisi. Mau lewat.” Tiba-tiba seseorang
berdiri dan lewat di depan tempatku duduk.
“Silakan. Darimana kok larut malam?”
tanyaku dengan keberanian yang dipaksakan. Tapi memang tidak ada yang aneh dari
penampilan perempuan ini. Biasa-biasa saja. Hanya anehnya, ia berjalan
sendirian.
“Kemalaman Mas,” jawabnya pendek.
“Adik mau kemana?” setelah kupastikan
bahwa dia adalah seorang gadis. Kulihat dari geriknya. Dibantu sinar rembulan
yang menerabas di antara daun-daun yang rimbun, aku melihat cahaya kecantikan.
Terlebih lagi, sinar matanya tajam seperti elang. Serta-merta aku jatuh hati.
Padahal, aku termasuk orang yang susah untuk jatuh cinta.
“Aku sering kok, malam-malam begini
lewati jalan ini.”
“Ah, betul kah?”
“Benar Mas!” jawabnya mantap. Wajahnya
yang cantik tertimpa cahaya rembulan semakin nampak. Matanya yang tajam, tapi
menyejukkan, berbinar-binar penuh pesona. Hatiku semakin remuk dibuatnya.
Kemudian ia melanjutkan jalannya. Aku
perhatikan dari belakang. Sungguh, seorang perempuan yang sangat ideal.
Seumpama seleraku. Bidadari jatuh dari langit. Adakah aku jatuh cinta? Mataku
tidak berkedip, hingga ia menghilang di balik tikungan jalan. Masih terasa
dalam benakku. Suaranya. Gemulai tubuhnya. Sinar tajam matanya. Dan gerak-geriknya
yang aduhai.
*****
Hari-hariku jadi gelisah. Hatiku
tertambat di tajam sinar mata perempuan di malam itu. Padahal aku tidak pernah
bertemu sebelumnya. Aku juga tidak punya tetangga perempuan itu. Dimanakah ia
tinggal? Seandainya kutahu rumahnya, pasti telah aku sambangi. Karena rindu.
Juga disebabkan cinta. Ataukah ia tetangga kampung sebelah?
“Aku sering kok, malam-malam begini
lewati jalan ini.” Benarkah? Apa benar ia seringkali lewat di belakang rumahku?
Di bawah pohon mangga yang besar itu? Tapi mengapa aku baru malam itu bisa
berjumpa? Ataukah ia berbohong?
“Tidak mungkin!” Tiba-tiba aku bersuara
lantang. Aku yakin perempuan bermata elang itu tidak berbohong. Aku paham dari
nada suaranya. Aku tau dari gerak-geriknya. Mana mungkin orang secantik dia
berbohong? Tidak ada sedikit pun ruang untuk berdusta dari tutur sapa dan
bahasa tubuhnya.
****
Di kamar aku terlentang sendiri.
Pikiranku terpaku pada perempuan di malam itu. Begitu cantik. Dan matanya itu
yang membuat aku jatuh hati. Aku menghayal. Seandainya perempuan itu jadi
jodohku. Aku juga teringat dengan bintang jatuh di malam itu. Dan aku juga
masih ingat, apa yang kukatakan. “Aku ingin jodoh!” teriakku di malam itu.
Jangan-jangan karena itulah aku dipertemukan dengan perempuan itu. Hemm, aku
tertawa sendiri.
Aku mencoba bertanya ke teman-temanku.
Juga pada tetanggaku. Tapi mereka tidak pernah bertemu dan melihat wanita atau
perempuan dengan ciri-ciri yang kuceritakan. Aku semakin penasaran. Aku semakin
bingung.
“Jangan Kau pergi, perempuanku. Jangan Kau
pergi mata elangku!” selalu kuberharap bahwa perempuan di malam itu adalah
jodohku.
Sudah beberapa malam aku kembali duduk di
bawah pohon mangga. Tempatku bertemu dengan perempuan bermata elang. Tempatku
berbincang-bincang dengan perempuan impian siang dan malam. Tapi nihil. Tak
pernah kembali aku berjumpa dengannya. Entahlah, kemana perempuan itu perginya?
Aku kadang berpikir yang tidak-tidak.
Jangan-jangan di malam itu ada orang yang tidak bertanggung jawab. Ada orang
jahat yang telah memperkosanya, dan sekaligus membunuhnya. Aku semakin gelisah.
Aku tidak rela jika hal itu terjadi. Maka nyawa harus dibalas nyawa. Akulah
sebagai garansinya, jika ternyata ada orang yang mengganggunya.
“Benar Kamu ketemu dengan perempuan di
larut malam seperti itu?” temanku Fajri bertanya kurang percaya.
“Benar Jri. Aku sumpah deh. Aku bahkan
sempat bercakap-cakap dengannya.”
“Tidak ditanya namanya?”
“Itulah bodohnya aku.”
“Ditanya tempat tinggalnya?”
“Itu juga tololnya aku. Aku tidak sempat
bertanya banyak. Aku hanya terpesona dengan kecantikannya. Hatiku luruh dalam
tatap tajam mata elangnya.”
“Hemm, semoga saja Kamu temukan perempuan
itu.” Fajri berkata datar. Tidak bersemangat seperti biasanya. Maklum, mungkin
yang kuceritakan seakan kurang masuk akal. Adakah perempuan keluyuran
malam-malam? Sendirian? Cantik lagi!
*****
Malam ini aku kembali menunggu. Di bawah
pohon mangga. Di atas bangku panjang. Jam sudah menunjuk angka 00.00. Malam
sudah semakin larut. Aku tidak peduli dengan dingin. Seakan dingin tidak pernah
kurasakan. Aku tidak peduli dengan nyamuk. Beberapa kali mencoba mengganggu
konsentrasiku dalam menunggu. Tapi sampai menjelang Shubuh, yang kutunggu tidak
menampakkan batang hidungnya. Aku kecewa. Perempuanku sudah tidak mungkin
kuharap kembali.
Perempuanku di ujung malam. Hilang bagai
ditelan rembulan. Sinar matanya yang tajam, teduh, dan menggairahkan, sirna
bersama kelopak malam. Rinduku berujung kecewa. Kecewaku tertanam di raut gadis
malam. Aku ingin berjumpa. Biar pun hanya sekali saja. Aku ingin mengungkapkan
rasa hatiku, yang tak mungkin kutautkan pada perempuan lain.
Malam masih bergayut. Aku rebah di
pembaringan. Bersama rindu aku terlena. Bersama cinta aku merenda bunga. Dalam
mimpi, perempuanku menjelma. Tersenyum padaku. Di atas singgasana surgawi.
Tatapan matanya tajam. Menghunjam jantungku. Hingga aku tidak berkutik. Dan
tidak tertarik kepada selain dia.
“Mas, kutunggu dirimu di pintu surga!”
sambil melambaikan tangan. Tersenyum. Menghilang di balik rimbun taman surga.
Sumenep, 13 Februari 2014
*****
No comments:
Post a Comment