Saturday, February 15, 2014

CINTA BERLABUH RINDU



CINTA BERLABUH RINDU


Cakrawala merinai gerimis
Mentari meringkuk di balik jendela

Tengadah berharap cinta
Berlabuh di bantaran rindu
Engkau, gadis bermata gerimis
Menabuh altar tergores api

Menunggumu,
Di daun berkeriput pintu
Menengadah, tangan-tangan buntung
Mengepak sayap terpatah, memoir
Rindu ini berkesiur bunga layu

Diorama berkaca rembulan
Setiaku, melepas penat
Berdiri kokoh, berpijak karang
Menjemput riak mimpi

Aku dalam purba cintamu
Tetap, menopang langit
Memijak bumi, berselimut bara
Api cintaku terus berpijar

Sumenep, 121213

Puisi itu akan terus menjadi mercusuar hidupku. Terus, mendera kehidupan cintaku untuk selalu menggolakkan rasa rindu. Di penghujung waktu, aku kalah. Rebah, terhempas di dasar jurang keangkuhan.
***

"Dik, sudah kubilang. Apa yang kaudengar dari orang-orang, itu tidak benar. Sungguh, aku tidak bohong!"

Wanita mana yang tidak sakit hatinya, terbakar dadanya. Bila mendengar suaminya ada cinta di balik cinta. Terdapat rindu di balik rindu. Ada tempat berlabuh, selain dirinya. Maka, api pun sudah dinyala.

Bermula ketika aku bertemu dengan teman lamaku. Reni adalah temanku saat aku dan dia masih duduk di bangku SMA. Aku dan Reni berteman akrab. Dari kedekatan yang begitu lesak, hingga teman-teman yang lain mengira kami pacaran. Atau, jangan-jangan benar-benar telah terjadi sebuah ikatan. Konsensus tanpa ikrar. Begitulah!

Hampir bisa dipastikan, jika ada aku maka ada Reni. Dan sebaliknya, Reni dan aku selalu bersama-sama. Sebenarnya, aku dan Reni tidak ada ikatan apa-apa. Jelasnya, kami tidak pacaran. Hanya teman saja. Teman tapi mesra? Hem, entahlah!

Reni anak yang manis, periang dan cantik. Bibirnya tipis, matanya gelimis. Kalau tersenyum tahi lalat di dagu kirinya sedikit terangkat. Jika tertawa, lesung pipitnya begitu kentara, menambah aroma kecantikannya.

Aku bertubuh jangkung, tegap. Kata teman-teman sih, tampan. Kumis sudah mulai tumbuh. Bermata agak sipit, berhidung mancung. Masih kata teman-teman, aku sangat serasi jika berjalan beriringan dengan Reni.

Itu dulu. Beberapa tahun yang lalu. Waktu terus berpacu dengan geliat masa. Zaman menggoreskan takdirnya. Hingga pada akhirnya, aku dan Reni harus berpisah karena pilihan hidup masing-masing. Aku dan Reni hanya menyisakan kenangan-kenangan indah masa-masa SMA. Selebihnya, jodoh di tangan Allah swt.

Hingga pada suatu waktu, tanpa sengaja aku dan Reni bertemu di sebuah rumah makan.

"Mas Umar,..." Suara Reni bagai tercekat.
"Reni,..." Begitu pun aku, tidak kalah kagetnya.

Bermula dari pertemuan itulah, kuantitas pertemuanku dengan Reni semakin intens. Bertukar nomor hape, akun twitter dan facebook. Bahkan juga alamat email. Episode luar koridor pun dimulai. Tidak sampai terjerumus pada hal-hal di luar batas. Namun, curahan hati yang paling pribadi pun terkuak, melebar, dan semakin transparan.

"Mas, aku tidak bahagia!"
"Kenapa Ren?"
"Terperangkap cinta."
"Kamu dijodohkan?"
"Gak Mas," suara Reni serupa desah.
"Lalu?" Reni diam. Ada mendung menggantung di pelupuk matanya. Sedih. Aku turut berduka. Terluka, jika hati Reni nestapa.

Kemudian Reni bercerita panjang lebar. Di rumah makan sederhana itu, Reni mengungkapkan segala masalahnya. Hingga saat ini Reni belum memiliki momongan. Suaminya sudah tidak peduli. Kesenjangan ini, ia yang dipersalahkan. Padahal belum tentu Reni yang bermasalah. Bisa saja suaminya. Tetapi, suami dan keluarganya, bahkan juga tetangga beranggapan kalau masalah yang timbul adalah karena Reni. Sungguh, sebuah keadaan yang menyiksanya.

Seperti yang sudah-sudah, Sandi, suami Reni berkubang dengan dosa. Minum-minuman keras, judi, dan bermain perempuan. Semula Reni tidak percaya, tetapi akhirnya nyata, bahwa Sandi memang laki-laki bajingan yang tidak peduli dengan perasaan perempuan. Sungguh sangat keterlaluan.

"Mas, apa yang harus aku perbuat?" Air mata Reni tak tertahan, tumpah meruah. Dan dengan tiba-tiba Reni merengkuh tanganku, meremas. Seakan ingin menumpahkan masalahnya melalui tanganku.

Sebenarnya aku tidak enak. Tetapi menarik tanganku juga lebih tidak enak. Bagaimana perasaan Reni kalau itu aku lakukan. Aku berharap ini bukan sebuah dosa. Menolong Reni, temanku, semoga tidak apa-apa. Dan tidak akan berbuah masalah.

"Sudahlah Ren, yang sabar. Coba bicarakan secara baik-baik dengan suamimu." Aku berkata sambil mengelus kepala Reni. Aku merasakan getar-getar aneh saat melakukannya. Aku tidak tahu, apa arti semua itu.
***

Sebaik-baik menyimpan bangkai, maka busuknya akan menyebar. Bahkan bisa menebar bencana. Begitu pun dengan aku. Entah darimana, istriku tahu hubunganku dengan Reni. Tapi aku yakinkan, bahwa hubungan ini hanya pertemanan. Tidak lebih.

"Ya sudah," kata istriku akhirnya. Meskipun begitu, aku tahu perasaannya. Tentu hatinya terluka. Namun, ia masih mempercayai aku, suaminya. Bahwa sampai detik ini, aku adalah satu-satunya. Tiada duanya. Mendung masih terus bergelayut. Langit masih ingin menangis.

Demikianlah. Diam-diam aku masih menemui Reni. Diam-diam aku respek kepadanya. Diam-diam aku pun mekarkan bunga. Bunga cinta, di taman yang tidak seharusnya. Aku dan Reni mulai bermain api. Menjalar, menabarkan bau gosong yang dapat didengar oleh siapa saja.

Api cinta pun membara. Panasnya mulai membubung, menyeruak di antara reranting rindu. Aku tak kuasa menolak, meski tetap kupertahankan hubungan yang tidak kebablasan. Tetapi, gosong api cinta itu menyebar ke mana-mana. Juga ke pikiran suami Reni. Ia pun berang. Ancaman dan teror mulai terlontar. Bahkan lebih dari sekadar ancaman dan teror.

Benar saja. Hari itu, aku baru pulang dari kantor. Mengendarai motor. Tiba-tiba ada motor lain yang memepetku. Terpaksa aku minggir, dan berhenti.

"Rasakan nih!" Suara yang tidak kukenal tiba-tiba menghantamkan sebuah belati. Tepat di rusuk bagian kanan. Aku jatuh, terpental dan tak sadarkan diri. Begitu saja sekeliling gelap. Darah mengucur deras dari luka tusuk yang dilakukan oleh, entah siapa. Jlep, hilang ingatan, tak kudengar apa pun jua. Hening.
***

Entah sudah berapa lama aku tak sadarkan diri. Ketika kesadaranku pulih, aku berada di sebuah rumah sakit. Bau obat menyengat. Selang infus terpasang di lengan kiriku. Aku mencoba lebih memahami keadaan. Tapi mataku terasa perih. Silau oleh cahaya lampu ruang yang serba putih ini.

"Di mana aku?" Aku berkata, entah kepada siapa.
"Di rumah sakit, Mas," Reni menjawab dari sisi pembaringanku. Kulihat mata reni begitu sembab. Menunjukkan betapa air mata itu tumpah begitu banyak dari matanya yang bening. Aku iba melihatnya.
"Apa yang terjadi?"
"Jangan banyak bergerak dulu, Mas!"
"Ya. Tapi apa yang terjadi denganku?" Reni hanya bisa terdiam. Ia berpaling ke pojok ruangan. Entah apa yang ia pikirkan. "Kemana istriku?" Aku terus nyerocos melihat ketidak-beresan ini. "Anakku, Raffi, dimana?"
***

Takdir telah melepaskan segalanya. Setelah suami Reni menusukku dengan belati, ia tidak puas. Ia lalu mendatangi istriku di rumah. Sesampainya di rumah ia tidak menjumpai istriku. Kata tetangga, ia pergi ke rumah sakit setelah mendengar suaminya, aku, kecelakaan. Ya, istriku mendengar kalau aku kecelakaan. Bukan ditusuk seseorang.

Suami Reni, Sandi, pun memburu istriku. Dengan amarah yang meluap. Kalap, karena pengaruh menuman keras. Di tengah perjalanan ia melihat istriku tengah melaju. Serta merta Sandi menghantamkan motornya dari belakang. Istriku terpental. Melayang di udara, menghantam aspal. Sebuah bus yang melaju kencang dari arah berlawanan menghantam istriku, dan ia pun terkapar. Seketika nyawa istriku melayang.

"Allahu Akbar," hanya kalimat itu yang terucap sesaat sebelum istriku menghantam aspal, dan diseruduk bus. Inna lillah, wainna ilaihi roji'un.

Pada saat itu, kebetulan sekali ada patroli polisi. Sandi berusaha kabur. Bahkan ia mengacung-acungkan belati, menantang polisi. Pengaruh fly, minuman racun yang memabukkan. Akhirnya, tidak ada jalan lain. Ia pun di-dor, dari dadanya darah mengucur deras. Sandi tewas di perjalanan menuju rumah sakit.

Reni menghapus air matanya. Setelah semuanya ia ceritakan padaku, serasa sesak itu sedikit longgar. Ia menarik napas dalam-dalam. Berpaling ke arahku. Gelimis matanya, bergerimis butiran-butiran kesedihan yang teramat sangat.

Aku meraih tangan Reni. Dengan sisa-sisa tenaga, aku meremasnya.

"Anakku dimana?"

Tanpa berkata-kata, Reni pergi keluar. Tidak berapa lama, ia kembali masuk sambil menggendong Raffi, anakku. Anak umur tiga tahun itu belum paham, apa yang sebenarnya terjadi. Aku pun memeluknya, menangis sejadi-jadinya. Raffi menatapku tidak mengerti.

Reni kemudian mengeluarkan secarik kertas dari tas coklat milik istriku.

Mas Umar
Aku sudah tahu segalanya. Engkau adalah suamiku satu-satunya. Namun, dari sebuah surat yang kutemukan di balik lembaran novel "Di Bawah Lindungan Ka'bah," ada seseorang yang mencintaimu dengan tulus. Dia adalah Reni, temanmu di masa SMA dulu.

Maka jika nanti aku pergi, pulang ke hadapan Allah swt, yang paling pantas mendampingimu adalah Reni. Aku rela Engkau hidup bersamanya. Aku juga rela Raffi di bawah pengasuhannya.

Mas Umar
Aku tidak tahu, mengapa tiba-tiba tanganku ingin menulis ini. Apakah ini sebuah firasat, bahwa aku akan pergi? Aku juga tidak tahu. Biarlah takdir yang akan menentukan segalanya.

Istrimu
Vita Roesady

Surat Reni yang tidak pernah aku baca. Karena aku tidak tahu, kalau ia pernah pinjam buku novelku, dan menyelipkan sepucuk surat di dalamnya. Ternyata keduluan terbaca oleh istriku.

Mas Umar
Begitulah cinta, berpadu selaksa rindu. Siang dan malam aku selalu terbayang rautmu. Engkaulah purna purnama cinta. Mengisi hari-hariku dengan mimpi-mimpi bersamamu.

Mas,
Maaf, aku tidak bisa ungkapkan rasa ini langsung kepadamu. Karena hakikat cinta bukan diucapkan, tetapi sebenar-benar cinta adalah dibuktikan. Pada saatnya nanti, akan aku buktikan bahwa aku mencintaimu setulus hatiku.

Cinta Berlabuh Rindu.

Cakrawala merinai gerimis
Mentari meringkuk di balik jendela

Tengadah berharap cinta
Berlabuh di bantaran rindu
Engkau, gadis bermata gerimis
Menabuh altar tergores api

Menunggumu,
Di daun berkeriput pintu
Menengadah, tangan-tangan buntung
Mengepak sayap terpatah, memoir
Rindu ini berkesiur bunga layu

Diorama berkaca rembulan
Setiaku, melepas penat
Berdiri kokoh, berpijak karang
Menjemput riak mimpi

Aku dalam purba cintamu
Tetap, menopang langit
Memijak bumi, berselimut bara
Api cintaku terus berpijar

Sumenep, 121213

Reni Anggita
***

Senja di atas bukit. Aku dan Reni pergi ke area pemakaman. Di sana, istriku, telah berbaring damai menemui Tuhan, Robbul ‘Izzati. Raffi berceloteh di gendongan Reni.

"Ayah, Raffi kangen Mama."
"Kita kan mau menemui Mama?"
"Ayah, Mama kok tidur terus?"
"Mama sudah meninggal, Sayang!" Reni yang menjawab. Kemudian ia merengkuh Raffi ke dalam pelukannya. Raffi terdiam, dan serasa damai dalam pelukan Reni. Begitulah, cinta berlabuh rindu.


Sumenep, 14122013
***

No comments:

Post a Comment