CINTA BERLABUH RINDU
Cakrawala merinai gerimis
Mentari meringkuk di balik
jendela
Tengadah berharap cinta
Berlabuh di bantaran rindu
Engkau, gadis bermata gerimis
Menabuh altar tergores api
Menunggumu,
Di daun berkeriput pintu
Menengadah, tangan-tangan
buntung
Mengepak sayap terpatah,
memoir
Rindu ini berkesiur bunga
layu
Diorama berkaca rembulan
Setiaku, melepas penat
Berdiri kokoh, berpijak
karang
Menjemput riak mimpi
Aku dalam purba cintamu
Tetap, menopang langit
Memijak bumi, berselimut bara
Api cintaku terus berpijar
Sumenep, 121213
Puisi itu akan
terus menjadi mercusuar hidupku. Terus, mendera kehidupan cintaku untuk selalu
menggolakkan rasa rindu. Di penghujung waktu, aku kalah. Rebah, terhempas di
dasar jurang keangkuhan.
***
"Dik, sudah kubilang.
Apa yang kaudengar dari orang-orang, itu tidak benar. Sungguh, aku tidak
bohong!"
Wanita mana yang
tidak sakit hatinya, terbakar dadanya. Bila mendengar suaminya ada cinta di
balik cinta. Terdapat rindu di balik rindu. Ada tempat berlabuh, selain
dirinya. Maka, api pun sudah dinyala.
Bermula ketika aku
bertemu dengan teman lamaku. Reni adalah temanku saat aku dan dia masih duduk di bangku SMA. Aku dan Reni berteman akrab. Dari
kedekatan yang begitu lesak, hingga teman-teman yang lain mengira kami pacaran.
Atau, jangan-jangan benar-benar telah terjadi sebuah ikatan. Konsensus tanpa
ikrar. Begitulah!
Hampir bisa
dipastikan, jika ada aku maka ada Reni. Dan sebaliknya, Reni dan aku selalu
bersama-sama. Sebenarnya, aku dan Reni tidak ada ikatan apa-apa. Jelasnya, kami
tidak pacaran. Hanya teman saja. Teman tapi mesra? Hem, entahlah!
Reni anak yang
manis, periang dan cantik. Bibirnya tipis, matanya gelimis. Kalau tersenyum
tahi lalat di dagu kirinya sedikit terangkat. Jika tertawa, lesung pipitnya begitu
kentara, menambah aroma kecantikannya.
Aku bertubuh
jangkung, tegap. Kata teman-teman sih, tampan. Kumis sudah mulai tumbuh.
Bermata agak sipit, berhidung mancung. Masih kata teman-teman, aku sangat
serasi jika berjalan beriringan dengan Reni.
Itu dulu. Beberapa
tahun yang lalu. Waktu terus berpacu dengan geliat masa. Zaman menggoreskan
takdirnya. Hingga pada akhirnya, aku dan Reni harus berpisah karena pilihan
hidup masing-masing. Aku dan Reni hanya menyisakan kenangan-kenangan indah
masa-masa SMA. Selebihnya, jodoh di tangan Allah swt.
Hingga pada suatu
waktu, tanpa sengaja aku dan Reni bertemu di sebuah rumah makan.
"Mas
Umar,..." Suara Reni bagai tercekat.
"Reni,..."
Begitu pun aku, tidak kalah kagetnya.
Bermula dari
pertemuan itulah, kuantitas pertemuanku dengan Reni semakin intens. Bertukar
nomor hape, akun twitter dan facebook. Bahkan juga alamat email. Episode luar koridor pun dimulai. Tidak sampai terjerumus pada hal-hal di
luar batas. Namun, curahan hati yang paling pribadi pun terkuak, melebar, dan
semakin transparan.
"Mas, aku
tidak bahagia!"
"Kenapa
Ren?"
"Terperangkap
cinta."
"Kamu
dijodohkan?"
"Gak
Mas," suara Reni serupa desah.
"Lalu?"
Reni diam. Ada mendung menggantung di pelupuk matanya. Sedih. Aku turut
berduka. Terluka, jika hati Reni nestapa.
Kemudian Reni
bercerita panjang lebar. Di rumah makan sederhana itu, Reni mengungkapkan
segala masalahnya. Hingga saat ini Reni belum memiliki momongan. Suaminya sudah
tidak peduli. Kesenjangan ini, ia yang dipersalahkan. Padahal belum tentu Reni
yang bermasalah. Bisa saja suaminya. Tetapi, suami dan keluarganya, bahkan juga
tetangga beranggapan kalau masalah yang timbul adalah karena Reni. Sungguh, sebuah
keadaan yang menyiksanya.
Seperti yang
sudah-sudah, Sandi, suami Reni berkubang dengan dosa. Minum-minuman keras,
judi, dan bermain perempuan. Semula Reni tidak percaya, tetapi akhirnya nyata,
bahwa Sandi memang laki-laki bajingan yang tidak peduli dengan perasaan
perempuan. Sungguh sangat keterlaluan.
"Mas, apa
yang harus aku perbuat?" Air mata Reni tak tertahan, tumpah meruah. Dan
dengan tiba-tiba Reni merengkuh tanganku, meremas. Seakan ingin menumpahkan
masalahnya melalui tanganku.
Sebenarnya aku
tidak enak. Tetapi menarik tanganku juga lebih tidak enak. Bagaimana perasaan
Reni kalau itu aku lakukan. Aku berharap ini bukan sebuah dosa. Menolong Reni,
temanku, semoga tidak apa-apa. Dan tidak akan berbuah masalah.
"Sudahlah
Ren, yang sabar. Coba bicarakan secara baik-baik dengan suamimu." Aku
berkata sambil mengelus kepala Reni. Aku merasakan getar-getar aneh saat
melakukannya. Aku tidak tahu, apa arti semua itu.
***
Sebaik-baik
menyimpan bangkai, maka busuknya akan menyebar. Bahkan bisa menebar bencana.
Begitu pun dengan aku. Entah darimana, istriku tahu hubunganku dengan Reni. Tapi
aku yakinkan, bahwa hubungan ini hanya pertemanan. Tidak lebih.
"Ya
sudah," kata istriku akhirnya. Meskipun begitu, aku tahu perasaannya.
Tentu hatinya terluka. Namun, ia masih mempercayai aku, suaminya. Bahwa sampai
detik ini, aku adalah satu-satunya. Tiada duanya. Mendung
masih terus bergelayut. Langit masih ingin menangis.
Demikianlah.
Diam-diam aku masih menemui Reni. Diam-diam aku respek kepadanya. Diam-diam aku
pun mekarkan bunga. Bunga cinta, di taman yang tidak seharusnya. Aku dan Reni
mulai bermain api. Menjalar,
menabarkan bau gosong yang dapat didengar oleh siapa saja.
Api cinta pun
membara. Panasnya mulai membubung, menyeruak di antara reranting rindu. Aku tak
kuasa menolak, meski tetap kupertahankan hubungan yang tidak kebablasan.
Tetapi, gosong api cinta itu menyebar ke mana-mana. Juga ke pikiran suami Reni.
Ia pun berang. Ancaman dan teror mulai
terlontar. Bahkan
lebih dari sekadar ancaman dan teror.
Benar saja. Hari
itu, aku baru pulang dari kantor. Mengendarai motor. Tiba-tiba ada motor lain
yang memepetku. Terpaksa aku minggir, dan berhenti.
"Rasakan
nih!" Suara yang tidak kukenal tiba-tiba menghantamkan sebuah belati.
Tepat di rusuk bagian kanan. Aku jatuh, terpental dan tak sadarkan diri. Begitu
saja sekeliling gelap. Darah mengucur deras dari luka tusuk yang dilakukan
oleh, entah siapa. Jlep, hilang ingatan, tak kudengar apa pun jua. Hening.
***
Entah sudah berapa
lama aku tak sadarkan diri. Ketika kesadaranku pulih, aku berada di sebuah
rumah sakit. Bau obat menyengat. Selang infus terpasang di lengan kiriku. Aku
mencoba lebih memahami keadaan. Tapi mataku terasa perih. Silau oleh cahaya
lampu ruang yang serba putih ini.
"Di mana
aku?" Aku berkata, entah kepada siapa.
"Di rumah
sakit, Mas," Reni menjawab dari sisi pembaringanku. Kulihat mata reni
begitu sembab. Menunjukkan betapa air mata itu tumpah begitu banyak dari
matanya yang bening. Aku iba melihatnya.
"Apa yang
terjadi?"
"Jangan
banyak bergerak dulu, Mas!"
"Ya. Tapi apa
yang terjadi denganku?" Reni hanya bisa terdiam. Ia berpaling ke pojok
ruangan. Entah apa yang ia pikirkan. "Kemana istriku?" Aku terus
nyerocos melihat ketidak-beresan ini. "Anakku, Raffi, dimana?"
***
Takdir telah
melepaskan segalanya. Setelah suami Reni menusukku dengan belati, ia tidak
puas. Ia lalu mendatangi istriku di rumah. Sesampainya di rumah ia tidak
menjumpai istriku. Kata tetangga, ia pergi ke rumah sakit setelah mendengar
suaminya, aku, kecelakaan. Ya, istriku mendengar
kalau aku kecelakaan. Bukan ditusuk
seseorang.
Suami Reni, Sandi,
pun memburu istriku. Dengan amarah yang meluap. Kalap, karena pengaruh menuman keras. Di tengah perjalanan ia melihat istriku
tengah melaju. Serta merta Sandi menghantamkan motornya dari belakang. Istriku
terpental. Melayang di udara, menghantam aspal. Sebuah bus yang melaju kencang
dari arah berlawanan menghantam istriku, dan ia pun terkapar. Seketika nyawa istriku melayang.
"Allahu Akbar," hanya kalimat itu yang terucap sesaat sebelum istriku
menghantam aspal, dan diseruduk bus. Inna
lillah, wainna ilaihi roji'un.
Pada saat itu,
kebetulan sekali ada patroli polisi. Sandi berusaha kabur. Bahkan ia
mengacung-acungkan belati, menantang polisi. Pengaruh fly,
minuman racun yang memabukkan.
Akhirnya, tidak ada jalan lain. Ia pun di-dor,
dari dadanya darah mengucur deras. Sandi
tewas di perjalanan menuju rumah sakit.
Reni menghapus air
matanya. Setelah semuanya ia ceritakan padaku, serasa sesak itu sedikit
longgar. Ia menarik napas dalam-dalam. Berpaling ke
arahku. Gelimis matanya, bergerimis butiran-butiran kesedihan yang teramat
sangat.
Aku meraih tangan
Reni. Dengan sisa-sisa tenaga, aku meremasnya.
"Anakku
dimana?"
Tanpa
berkata-kata, Reni pergi keluar. Tidak berapa lama, ia kembali masuk sambil
menggendong Raffi, anakku. Anak umur tiga tahun itu belum paham, apa yang
sebenarnya terjadi. Aku pun memeluknya, menangis sejadi-jadinya. Raffi
menatapku tidak mengerti.
Reni kemudian
mengeluarkan secarik kertas dari tas coklat milik istriku.
Mas Umar
Aku sudah tahu segalanya. Engkau adalah suamiku
satu-satunya. Namun, dari sebuah surat yang kutemukan di balik lembaran novel
"Di Bawah Lindungan Ka'bah," ada seseorang yang mencintaimu dengan
tulus. Dia adalah Reni, temanmu di masa SMA dulu.
Maka jika nanti aku pergi, pulang ke hadapan Allah
swt, yang paling pantas mendampingimu adalah Reni. Aku rela Engkau hidup
bersamanya. Aku juga rela Raffi di bawah pengasuhannya.
Mas Umar
Aku tidak tahu, mengapa tiba-tiba tanganku ingin
menulis ini. Apakah ini sebuah firasat, bahwa aku akan pergi? Aku juga tidak
tahu. Biarlah takdir yang akan menentukan segalanya.
Istrimu
Vita Roesady
Surat Reni yang
tidak pernah aku baca. Karena aku tidak tahu, kalau ia pernah pinjam buku
novelku, dan menyelipkan sepucuk surat di dalamnya. Ternyata keduluan terbaca
oleh istriku.
Mas Umar
Begitulah cinta, berpadu selaksa rindu. Siang dan
malam aku selalu terbayang rautmu. Engkaulah purna purnama cinta. Mengisi
hari-hariku dengan mimpi-mimpi bersamamu.
Mas,
Maaf, aku tidak bisa ungkapkan rasa ini langsung
kepadamu. Karena hakikat cinta bukan diucapkan, tetapi sebenar-benar cinta
adalah dibuktikan. Pada saatnya nanti, akan aku buktikan bahwa aku mencintaimu
setulus hatiku.
Cinta Berlabuh Rindu.
Cakrawala merinai gerimis
Mentari meringkuk di balik jendela
Tengadah berharap cinta
Berlabuh di bantaran rindu
Engkau, gadis bermata gerimis
Menabuh altar tergores api
Menunggumu,
Di daun berkeriput pintu
Menengadah, tangan-tangan buntung
Mengepak sayap terpatah, memoir
Rindu ini berkesiur bunga layu
Diorama berkaca rembulan
Setiaku, melepas penat
Berdiri kokoh, berpijak karang
Menjemput riak mimpi
Aku dalam purba cintamu
Tetap, menopang langit
Memijak bumi, berselimut bara
Api cintaku terus berpijar
Sumenep, 121213
Reni Anggita
***
Senja di atas
bukit. Aku dan Reni pergi ke area pemakaman. Di sana, istriku, telah berbaring
damai menemui Tuhan,
Robbul ‘Izzati. Raffi berceloteh di gendongan Reni.
"Ayah, Raffi
kangen Mama."
"Kita kan mau
menemui Mama?"
"Ayah, Mama
kok tidur terus?"
"Mama sudah
meninggal, Sayang!" Reni yang menjawab. Kemudian ia merengkuh Raffi ke
dalam pelukannya. Raffi terdiam, dan serasa damai dalam pelukan Reni.
Begitulah, cinta berlabuh rindu.
Sumenep, 14122013
***
No comments:
Post a Comment