ROBOT NAFSU IBLIS
Sungguh, aku tidak
tahu apa yang harus aku lakukan. Aku tidak bisa. Aku tidak kuasa. Semua yang
aku lakukan di luar kontrol. Aku terperangkap oleh nafsu, angkara, dan
ketidak-pastian.
"Aku tidak
mau," teriakku keras.
"Cepat
lakukan," gema itu menghalilintar.
"Itu
perbuatan dosa," alasanku.
"Persetan
dengan dosa. Lakukan, atau Kau yang akan celaka," ancam suara itu.
"Tidaaaa...k,"
jeritku bersikeras menolak.
Tapi, apa yang
terjadi. Orang itu pun terkapar. Bersimbah darah. Leher nyaris putus, ia pun
meregang nyawa. Jiwa tak berdosa itu pun lenyap.
Malam sepi.
Sendiri aku merenung. Menghitung dosa. Berapa banyak jiwa yang telah aku
binasakan. Hati kecilku berontak, tapi nafsuku berkilah.
"Sudah berapa
dosa yang aku perbuat," desahku di malam itu.
"Itu bukan
dosa," jawab amarahku.
"Menghilangkan
nyawa orang tak bersalah, bukan dosa?" Teriakku.
"Bukan. Itu
adalah bentuk pembelaan dan eksistensi diri," masih dengan jawaban angkuh.
"Dasar gak
punya nurani."
"Percayalah
padaku."
"Hanya orang
bodoh yang mau percaya padamu."
"Kamu akan
menyadari pada waktunya nanti."
***
Hari-hari masih
terus berjalan. Seiring dengan dosa-dosa yang terus bertambah. Aku bagaikan
robot. Tak mampu berpaling dari perbuatan yang tidak aku inginkan. Aku muak
dengan diriku sendiri. Aku benci pada jiwaku yang lemah. Aku dikuasai nafsu
angkara.
Sungguh. Aku ingin
kembali. Aku ingin jujur. Aku ingin berpaling dari kebobrokan perbuatanku.
"Hantam
dia!"
"Tidaa...k."
"Pukul
dia!"
Dengan sangat
tiba-tiba gadis cantik itu pun bersimbah darah. Tewas oleh sabetan-sabetan
belatiku. Aku sigap mengambil apa saja miliknya. Ada handphone, uang, cincin,
dan sebagainya. Aku menyeringai. Puas. Nafsuku terus menggerogoti nuraniku. Aku
pasrah.
"Aku ingin
kembali," anganku bergumam. Menembus langit ke tujuh. Ya, benar. Aku
sebenarnya ingin kembali ke pangkuan-Nya. Berada dalam kasih-Nya. Aku sudah
bosan dengan darah. Aku sudah muak dengan perbuatan sadis. Jijik dengan lelaku
murkaku. Aku tidak ingin menjadi robot oleh nafsu-angkaraku sendiri.
Di sudut jalan
sepi. Aku duduk bermenung seorang diri. Masih jelas terngiang mereka yang
menjerit, meregang nyawa, dan bersimbah darah.
Bahkan, untuk menghilangkan jejak, aku memotilasi mereka. Aku tidak
tahu. Siapa sebenarnya diriku. Diperbudak oleh nafsu. Berteman setan,
bersahabat iblis.
Tiba-tiba
seseorang melintas di depanku. Seorang perempuan paruh baya. Dilihat dari
penampilannya, ia bukan orang biasa-biasa saja. Tasnya saja bermerek. Modis dan
parlente.
"Mangsamu
telah datang!" Teriak nafsuku lantang.
"Tidaa...k!"
Aku mencoba menantang.
"Cepat
bertindak!" Lebih lantang dan lebih keras lagi.
"Aku bilang
tidak," jawabku melemah. "Tolong kali ini saja!"
"Keparat.
Atau Kau yang akan binasa!"
"Jangaaa.....n!"
Tiba-tiba saja,
"dorr..dorr..dorr.." Bunyi tembakan menyalak tidak karuan. Benar
saja, perempuan sosialita itu pun rebah. Darah mengucur dari luka tembak di
dadanya. Saat itu juga ia meregang nyawa. Secepat kilat aku melucuti
barang-barang mewahnya. Dan aku segera menghilang di antara kerumunan
orang-orang yang terus berdatangan.
***
Sungguh, aku tidak
tahu apa yang harus aku lakukan. Aku tidak bisa. Aku tidak kuasa. Aku hanyalah
robot. Robot dari nafsu. Kehendak dari suatu angkara. Aku terus bergelimang
dosa. Berbuat keji dan kemungkaran.
Tetapi, itu semua
bukan hati dan nuraniku. Itu semua kehendak nafsuku. Aku tidak mampu
menolaknya. Aku tidak kuasa. Aku terperangkap dalam pusara pengaruhnya.
"Jangan
pernah Kau merasa kasihan," katanya pada suatu waktu. "Karena
Engkaulah orang yang paling baik," lanjutnya.
"Paling baik
katamu?" Aku mencibir. "Dengan membunuh? Dengan merampok? Dengan
menyakiti?" Lanjutku dengan semangat berapi-api.
"Itu
kan,..." diam sejenak, "untuk membela diri?"
"Membela
diri? Dari mana?"
"Dari
laparmu. Dari harga dirimu. Dari harapan keluarga jauhmu."
"Benarkah?
Tidak! Ini semua hanyalah perangkap!" Cetusku geram.
***
Aku jauh dari
keluarga. Istri dan anak-anakku sangat berharap padaku. Berharap untuk hidup
layak. Berharap untuk makan. Berharap untuk hidup setara dengan orang lain.
Dalam kemiskinan
aku merantau. Memcari penghidupan yang lebih baik. Mencari uang yang halal.
Tetapi, aku terperosok pada dunia hitam.
"Ini bukan
tujuanku," jeritku sekencang-kencangnya. Pada sekeliling. Pada segala yang
ada. Meski mereka hanya diam. Membisu dengan segala ulahku.
Aku ingin bekerja
yang halal. Bukan diperbudak nafsu. Bukan dengan cara merampok, membunuh, dan
bahkan menghilangkan nyawa. Nyawa orang yang tidak bersalah.
***
Dari sebuah kantor
bank, seorang pria keluar sambil menenteng tas penuh dolar. Aku terkesiap
melihatnya. Antara ya dan tidak. Antara dorongan nafsu dan halangan perasaan.
Aku berada di persimpangan. Meraba senjata api yang terselip di pinggang. Tapi,
hati suciku menghalangi.
"Jangan Kau
lakukan lagi!"
"Lakukan
saja!" Jiwa amarahku bergaung.
"Jangan!"
"Lakukan!"
"Jangan!"
"Lakukan!"
Seketika aku
mengeluarkan pistolku. Dorrr,...sebuah tembakan tepat di dadanya. Ia pun
terkapar. Secepat kilat, aku menyambar koper yang penuh dengan dolar. Mengambil
langkah seribu.
"Selamatkan
dirimu!"
Tetapi, sebuah
tembakan dari arah entah dari mana datangnya, menghantam kakiku. Aku lemas
seketika. Tapi masih terus berusaha kabur. Seorang polisi tepat di hadapanku.
Menodongkan senjata laras panjang. Aku pun tidak berkutik.
"Angkat
tangan," serunya. Aku hanya pasrah. Menuruti. Seorang anggota yang lain
meringkusku. Memborgol kedua tanganku.
Aku dijebloskan ke
dalam penjara. Pengap dan bau apek. Terkadang juga bau anyer. Aku teringat
dengan istri dan anak-anakku. Tentu mereka kecewa, jika tahu kalau aku adalah
perampok. Pembunuh. Tapi, aku sayang mereka.
"Maafkan aku
istriku, anakku!" Lirih kataku di balik sel penjara.
Di penjara aku
lebih banyak merenung. Aku lebih banyak menyebut nama Tuhan. Tapi aku sangsi,
apakah Tuhan masih sudi melihatku. Aku menyesal dengan segala yang aku perbuat.
Aku menyesal telah membunuh, merampok, menyakiti orang lain. Besar penyesalanku
tidak sebasar dosa-dosaku. Aku pesimis dengan tobatku sendiri.
Palu telah
diketuk. Keputusan telah diambil. Aku dihukum mati. Kembali aku teringat anak
dan istriku.
"Mas, rizki
yang halal jauh lebih baik daripada rizki yang haram, meski lebih banyak,"
kata istriku sesaat sebelum aku berangkat.
"Aku paham
Dik. Percayalah padaku," jawabku mantap.
"Pasti. Aku percaya
Kamu Mas!" Jawab istriku penuh pengharapan.
Sejenak aku
melihat anak-anakku. Wajah mereka begitu tulus. Bersinar indah. Kukecup mereka
satu persatu. Terakhir istriku. Aku pun berangkat dengan tujuan mengais rizki
yang halal.
Kerasnya kehidupan
kota telah merampas niat suciku. Aku terperosok pada jurang kehinaan.
Lingkungan gelap telah menghancurkan segalanya. Aku bisa jadi apa saja.
Pembunuh, perampok, penjambret, dan lain sebagainya. Yang penting aku dapat
uang. Aku dapat harta yang harus kukirim ke kampung. Ke istri dan anak-anakku.
Mereka tidak tahu.
Bahwa uang yang aku kirim adalah uang haram. Uang hasil merampok dan
menjambret. Mereka tidak tahu. Mereka tidak sadar, kalau uang yang mereka
terima adalah uang neraka. Uang jahanam.
"Mas, kapan pulang?"
Istriku suatu hari berkirim surat.
"Sebentar
lagi Dik. Tunggu aja ya?" Jawabku tanpa alasan yang pasti. Aku tidak
memberitahukan kalau aku sudah dipenjara. Dan sebentar lagi menghadapi hukuman
mati. Aku tidak mau, kalau istriku menderita karenaku. Anak-anakku tidak ingin
kecewa karena ulahku. Tapi, sampai detik ini, aku masih ragu menyebut nama
Tuhan. Adakah Ia akan mengampuniku?
Waktu telah
ditentukan. Kematianku tinggal menghitung waktu. Detik melaju begitu cepat. Dan
aku pun siap di depan para penembak jitu. Detik berikutnya,
"dorr..dorr..dorr.." tembakan itu pun menghantam jiwaku. Aku masih
sempat berpekik, "Allahu Akbar," dunia pun gelap gulita. Tubuhku
terkulai, bersimbah darah. Jiwaku melayang menuju ke hadirat-Nya.
***
Dalam sebuah
pengajian.
"Hadirin
sekalian. Ingatlah, bahwa kita hidup bersaudara. Kita hidup harus saling
menolong. Saling menghormati. Jangan saling menyakiti, apalagi saling
membunuh."
Ustadz itu adalah
anakku yang tertua. Setelah lulus dari sebuah pondok pesantren, ia menjadi
seorang ustadz. Seorang penceramah.
Sementara, anakku
yang kedua menjadi penghafal al Quran. Ia sekarang masih belajar di Al Azhar
Kairo Mesir. Anakku yang ketiga, masih tengah belajar di Universitas Negeri
Islam ternama. Pada saatnya nanti, ia akan menyandang gelar Sarjana Agama.
Mereka, semua anak-anakku belajar dengan beasiswa. Aku bangga kepada mereka.
Berprestasi dan bernilai positif.
Tentu saja,
banggaku yang utama adalah kepada istriku. Sepeninggalku, ia mendidik
anak-anaku dengan jerih payahnya. Ia berusaha untuk memberikan pendidikan yang
paling baik. Dengan cara yang baik, halal, dan dirdhai oleh Allah swt.
Dari balik tirai
langit ketujuh, aku berucap, "Alhamdulillahi
robbil 'alamain."
(Sumenep, 15
November 2013)
No comments:
Post a Comment