Thursday, February 13, 2014

ROBOT NAFSU IBLIS



ROBOT NAFSU IBLIS

Sungguh, aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku tidak bisa. Aku tidak kuasa. Semua yang aku lakukan di luar kontrol. Aku terperangkap oleh nafsu, angkara, dan ketidak-pastian.

"Aku tidak mau," teriakku keras.
"Cepat lakukan," gema itu menghalilintar.
"Itu perbuatan dosa," alasanku.
"Persetan dengan dosa. Lakukan, atau Kau yang akan celaka," ancam suara itu.
"Tidaaaa...k," jeritku bersikeras menolak.

Tapi, apa yang terjadi. Orang itu pun terkapar. Bersimbah darah. Leher nyaris putus, ia pun meregang nyawa. Jiwa tak berdosa itu pun lenyap.

Malam sepi. Sendiri aku merenung. Menghitung dosa. Berapa banyak jiwa yang telah aku binasakan. Hati kecilku berontak, tapi nafsuku berkilah.

"Sudah berapa dosa yang aku perbuat," desahku di malam itu.
"Itu bukan dosa," jawab amarahku.
"Menghilangkan nyawa orang tak bersalah, bukan dosa?" Teriakku.
"Bukan. Itu adalah bentuk pembelaan dan eksistensi diri," masih dengan jawaban angkuh.
"Dasar gak punya nurani."
"Percayalah padaku."
"Hanya orang bodoh yang mau percaya padamu."
"Kamu akan menyadari pada waktunya nanti."
***

Hari-hari masih terus berjalan. Seiring dengan dosa-dosa yang terus bertambah. Aku bagaikan robot. Tak mampu berpaling dari perbuatan yang tidak aku inginkan. Aku muak dengan diriku sendiri. Aku benci pada jiwaku yang lemah. Aku dikuasai nafsu angkara.

Sungguh. Aku ingin kembali. Aku ingin jujur. Aku ingin berpaling dari kebobrokan perbuatanku.

"Hantam dia!"
"Tidaa...k."
"Pukul dia!"

Dengan sangat tiba-tiba gadis cantik itu pun bersimbah darah. Tewas oleh sabetan-sabetan belatiku. Aku sigap mengambil apa saja miliknya. Ada handphone, uang, cincin, dan sebagainya. Aku menyeringai. Puas. Nafsuku terus menggerogoti nuraniku. Aku pasrah.

"Aku ingin kembali," anganku bergumam. Menembus langit ke tujuh. Ya, benar. Aku sebenarnya ingin kembali ke pangkuan-Nya. Berada dalam kasih-Nya. Aku sudah bosan dengan darah. Aku sudah muak dengan perbuatan sadis. Jijik dengan lelaku murkaku. Aku tidak ingin menjadi robot oleh nafsu-angkaraku sendiri.

Di sudut jalan sepi. Aku duduk bermenung seorang diri. Masih jelas terngiang mereka yang menjerit, meregang nyawa, dan bersimbah darah.  Bahkan, untuk menghilangkan jejak, aku memotilasi mereka. Aku tidak tahu. Siapa sebenarnya diriku. Diperbudak oleh nafsu. Berteman setan, bersahabat iblis.

Tiba-tiba seseorang melintas di depanku. Seorang perempuan paruh baya. Dilihat dari penampilannya, ia bukan orang biasa-biasa saja. Tasnya saja bermerek. Modis dan parlente.

"Mangsamu telah datang!" Teriak nafsuku lantang.
"Tidaa...k!" Aku mencoba menantang.
"Cepat bertindak!" Lebih lantang dan lebih keras lagi.
"Aku bilang tidak," jawabku melemah. "Tolong kali ini saja!"
"Keparat. Atau Kau yang akan binasa!"
"Jangaaa.....n!"

Tiba-tiba saja, "dorr..dorr..dorr.." Bunyi tembakan menyalak tidak karuan. Benar saja, perempuan sosialita itu pun rebah. Darah mengucur dari luka tembak di dadanya. Saat itu juga ia meregang nyawa. Secepat kilat aku melucuti barang-barang mewahnya. Dan aku segera menghilang di antara kerumunan orang-orang yang terus berdatangan.
***

Sungguh, aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku tidak bisa. Aku tidak kuasa. Aku hanyalah robot. Robot dari nafsu. Kehendak dari suatu angkara. Aku terus bergelimang dosa. Berbuat keji dan kemungkaran.

Tetapi, itu semua bukan hati dan nuraniku. Itu semua kehendak nafsuku. Aku tidak mampu menolaknya. Aku tidak kuasa. Aku terperangkap dalam pusara pengaruhnya.

"Jangan pernah Kau merasa kasihan," katanya pada suatu waktu. "Karena Engkaulah orang yang paling baik," lanjutnya.
"Paling baik katamu?" Aku mencibir. "Dengan membunuh? Dengan merampok? Dengan menyakiti?" Lanjutku dengan semangat berapi-api.
"Itu kan,..." diam sejenak, "untuk membela diri?"
"Membela diri? Dari mana?"
"Dari laparmu. Dari harga dirimu. Dari harapan keluarga jauhmu."
"Benarkah? Tidak! Ini semua hanyalah perangkap!" Cetusku geram.
***

Aku jauh dari keluarga. Istri dan anak-anakku sangat berharap padaku. Berharap untuk hidup layak. Berharap untuk makan. Berharap untuk hidup setara dengan orang lain.

Dalam kemiskinan aku merantau. Memcari penghidupan yang lebih baik. Mencari uang yang halal. Tetapi, aku terperosok pada dunia hitam.

"Ini bukan tujuanku," jeritku sekencang-kencangnya. Pada sekeliling. Pada segala yang ada. Meski mereka hanya diam. Membisu dengan segala ulahku.

Aku ingin bekerja yang halal. Bukan diperbudak nafsu. Bukan dengan cara merampok, membunuh, dan bahkan menghilangkan nyawa. Nyawa orang yang tidak bersalah.
***

Dari sebuah kantor bank, seorang pria keluar sambil menenteng tas penuh dolar. Aku terkesiap melihatnya. Antara ya dan tidak. Antara dorongan nafsu dan halangan perasaan. Aku berada di persimpangan. Meraba senjata api yang terselip di pinggang. Tapi, hati suciku menghalangi.

"Jangan Kau lakukan lagi!"
"Lakukan saja!" Jiwa amarahku bergaung.
"Jangan!"
"Lakukan!"
"Jangan!"
"Lakukan!"

Seketika aku mengeluarkan pistolku. Dorrr,...sebuah tembakan tepat di dadanya. Ia pun terkapar. Secepat kilat, aku menyambar koper yang penuh dengan dolar. Mengambil langkah seribu.

"Selamatkan dirimu!"

Tetapi, sebuah tembakan dari arah entah dari mana datangnya, menghantam kakiku. Aku lemas seketika. Tapi masih terus berusaha kabur. Seorang polisi tepat di hadapanku. Menodongkan senjata laras panjang. Aku pun tidak berkutik.

"Angkat tangan," serunya. Aku hanya pasrah. Menuruti. Seorang anggota yang lain meringkusku. Memborgol kedua tanganku.

Aku dijebloskan ke dalam penjara. Pengap dan bau apek. Terkadang juga bau anyer. Aku teringat dengan istri dan anak-anakku. Tentu mereka kecewa, jika tahu kalau aku adalah perampok. Pembunuh. Tapi, aku sayang mereka.

"Maafkan aku istriku, anakku!" Lirih kataku di balik sel penjara.

Di penjara aku lebih banyak merenung. Aku lebih banyak menyebut nama Tuhan. Tapi aku sangsi, apakah Tuhan masih sudi melihatku. Aku menyesal dengan segala yang aku perbuat. Aku menyesal telah membunuh, merampok, menyakiti orang lain. Besar penyesalanku tidak sebasar dosa-dosaku. Aku pesimis dengan tobatku sendiri.

Palu telah diketuk. Keputusan telah diambil. Aku dihukum mati. Kembali aku teringat anak dan istriku.

"Mas, rizki yang halal jauh lebih baik daripada rizki yang haram, meski lebih banyak," kata istriku sesaat sebelum aku berangkat.
"Aku paham Dik. Percayalah padaku," jawabku mantap.
"Pasti. Aku percaya Kamu Mas!" Jawab istriku penuh pengharapan.

Sejenak aku melihat anak-anakku. Wajah mereka begitu tulus. Bersinar indah. Kukecup mereka satu persatu. Terakhir istriku. Aku pun berangkat dengan tujuan mengais rizki yang halal.

Kerasnya kehidupan kota telah merampas niat suciku. Aku terperosok pada jurang kehinaan. Lingkungan gelap telah menghancurkan segalanya. Aku bisa jadi apa saja. Pembunuh, perampok, penjambret, dan lain sebagainya. Yang penting aku dapat uang. Aku dapat harta yang harus kukirim ke kampung. Ke istri dan anak-anakku.

Mereka tidak tahu. Bahwa uang yang aku kirim adalah uang haram. Uang hasil merampok dan menjambret. Mereka tidak tahu. Mereka tidak sadar, kalau uang yang mereka terima adalah uang neraka. Uang jahanam.

"Mas, kapan pulang?" Istriku suatu hari berkirim surat.
"Sebentar lagi Dik. Tunggu aja ya?" Jawabku tanpa alasan yang pasti. Aku tidak memberitahukan kalau aku sudah dipenjara. Dan sebentar lagi menghadapi hukuman mati. Aku tidak mau, kalau istriku menderita karenaku. Anak-anakku tidak ingin kecewa karena ulahku. Tapi, sampai detik ini, aku masih ragu menyebut nama Tuhan. Adakah Ia akan mengampuniku?

Waktu telah ditentukan. Kematianku tinggal menghitung waktu. Detik melaju begitu cepat. Dan aku pun siap di depan para penembak jitu. Detik berikutnya, "dorr..dorr..dorr.." tembakan itu pun menghantam jiwaku. Aku masih sempat berpekik, "Allahu Akbar," dunia pun gelap gulita. Tubuhku terkulai, bersimbah darah. Jiwaku melayang menuju ke hadirat-Nya.
***

Dalam sebuah pengajian.

"Hadirin sekalian. Ingatlah, bahwa kita hidup bersaudara. Kita hidup harus saling menolong. Saling menghormati. Jangan saling menyakiti, apalagi saling membunuh."

Ustadz itu adalah anakku yang tertua. Setelah lulus dari sebuah pondok pesantren, ia menjadi seorang ustadz. Seorang penceramah.

Sementara, anakku yang kedua menjadi penghafal al Quran. Ia sekarang masih belajar di Al Azhar Kairo Mesir. Anakku yang ketiga, masih tengah belajar di Universitas Negeri Islam ternama. Pada saatnya nanti, ia akan menyandang gelar Sarjana Agama. Mereka, semua anak-anakku belajar dengan beasiswa. Aku bangga kepada mereka. Berprestasi dan bernilai positif.

Tentu saja, banggaku yang utama adalah kepada istriku. Sepeninggalku, ia mendidik anak-anaku dengan jerih payahnya. Ia berusaha untuk memberikan pendidikan yang paling baik. Dengan cara yang baik, halal, dan dirdhai oleh Allah swt.

Dari balik tirai langit ketujuh, aku berucap, "Alhamdulillahi robbil 'alamain."

(Sumenep, 15 November 2013)

No comments:

Post a Comment