NYANYIAN KEMATIAN
Aku memagut-magut
diriku di depan cermin. Pantulan bayang itu pun begitu sempurna. "Aku
memang cantik," kataku dalam hati. Ada rasa percaya diri yang berlebih.
Hingga rasa sombong pun membuncah, memenuhi relung hatiku. Maka, korban pun berjatuhan.
Malam itu,
rembulan begitu sempurna. Purnama. Sinarnya menembus pekatnya malam. Aku
menyusuri jalan setapak, di taman itu. Taman kota yang begitu ramai di malam
purnama seperti ini. Meski sinar bulan itu berpacu dengan gemerlap cahaya lampu
listrik. Tapi, sebagian orang masih menikmatinya. Apa lagi, di tempat remang
ini.
Seorang laki-laki
gagah menghampiriku. Rupanya ia sudah paham siapa aku. Kupu-kupu malam. Tawar
menawar pun terjadi.
"Bayar di
muka," aku berbisik kepadanya. Wajahnya lumayan tampan. Masih muda. Sudah
terlihat buru nafasnya mulai meruah.
"Tidakkah
seharusnya pasca main?"
"Tidak,"
jawabku tegas. Ia pun mengeluarkan dompetnya yang lecek.
***
Malam itu purnama
ikut tersenyum. Bukan, bukan hanya tersenyum, tapi malah terbahak. Permainan
pun sudah dimulai. Gerimis kematian menghunjam jantung bumi. Anyer darahnya
menembus cakrawala malam.
Malam itu pun
geger. Ketika beberapa orang menemukan
tubuh tak bernyawa. Tewas entah sebab apa. Matanya mendelik. Seperti menahan
siksa yang luar biasa. Tidak ada luka. Tidak ada bekas apa pun yang dapat
dijadikan indikasi sebagai siksaan, sebelum kematian. Di balik bayang rumpun
bunga taman, aku tersenyum lebar.
***
"Mati dengan
tiba-tiba?" Kata seseorang sambil sendekap memperhatikan mayat yang
dimasukkan ke ambulan.
"Ya.
Kenyataannya demikian," jawan yang lain.
"Kok bisa
ya?"
"Entahlah.
Emang aneh kok," jawabnya lagi.
Korban terus saja
berjatuhan. Dimana-mana dan kapan saja. Malam, siang, sore, atau dini hari.
Baik lelaki remaja, dewasa, setengah umur, atau pun sudah lanjut usia. Korban
terus berjatuhan. Satu-satu nyawa bergelimpangan. Masih berupa misteri. Tidak
dipahami mengapa bisa terjadi.
Aku masih terus
saja dengan permainan ini. Permainan maut. Dengan modal cantik. Dan sedikit
pasang aksi. Banyak sudah lelaki yang terpikat. Terjebak dalam pelukan
kematian. Tiap detik adalah nyawa yang mungkin bisa melayang.
"Kemana
Sri?" Rina tetanggaku menyapa saat aku keluar rumah. Mencari mangsa,
korban. Atau hanya sekadar jalan-jalan.
"Hanya
jalan-jalan kok," jawabku sekenanya. Tentu dengan senyum mautku. Senyum,
yang sudah banyak meminta korban.
Menjelang malam.
Senja mulai bertabur bintang. Aku duduk di depan rumah. Dua orang lelaki lewat.
Lelaki hidung belang, penjaja cinta. Atau lelaki di gelap malam.
"Haii,..."
Aku menggoda. Dengan segala pikat yang aku punya. Nampaknya, mereka masuk dalam
perangkapku.
"Haii juga.
Lagi ngapain?" Basa-basinya.
"Menunggu
kalian," manja jawabku.
Mereka pun
terjebak pada geliat kupu-kupu malam. Terperangkap di antara kepingan cinta
yang gelap, palsu, dan menjaring kematian. Di depan rumahku, ada sebuah rumah
tua. Kosong. Dan terlihat angker. Di sanalah tragedi berikutnya terjadi.
Pagi-pagi sekali,
di rumah tua itu geger dengan kematian dua pemuda. Matanya terbuka lebar. Yang
satunya lagi, lidahnya menjulur. Tidak ada tanda-tanda kekerasan. Misteri
kematian.
Dari balik
jendela, aku melihat kerumunan orang. Aku tersenyum. Senyum kemenangan. Tawa
kegirangan. Korban pun berjatuhan. Entah sampai kapan.
Aku adalah Sri.
Ya, hanya Sri. Orang-orang pun hanya memanggilku dengan nama Sri. Aku sebatang
kara. Keluargaku meninggal semua. Dengan cara yang tidak wajar. Sangat
mengenaskan.
Ayahku diketemukan
di dalam sumur tua. Kedua tangannya terikat. Ada banyak bekas luka. Bekas
siksaan. Entahlah. Sampai detik ini tidak dikatahui pelakunya. Polisi pun
menyerah. Tidak mampu menemukan orang yang telah berbuat jahat terhadap ayahku.
Ayah orang baik.
Tidak pernah berbuat salah terhadap orang lain. Rupanya, sang pembunuh mengincar
uang di saku ayah. Terbukti uang sebesar lima juta, hasil menjual sapi, lenyap
tak berbekas.
Berbeda dengan
ibu. Ibu mengalami kekerasan seksual. Kecantikan ibu telah mendorong beberapa
orang untuk berbuat senonoh. Mereka, para durjana itu membawa paksa ibuku ke
sebuah kebun sunyi. Ibu mencoba berontak. Tetapi tenaga ibu tidak ada
apa-apanya. Mereka memperkosa ibu hingga ibu tewas. Kali ini polisi berhasil
menangkap seluruh pelakunya, sebanyak tujuh orang, dan menjebloskan mereka ke
dalam penjara.
Adikku, yang baru
berumur 6 tahun, juga tak luput dari kematian tragis. Untuk adikku ini, aku
tidak dapat menceritakannya. Terlalu gamang dan sadis untuk kuceritakan. Aku
bahkan selalu berbanjir air mata, tiap kali teringat tragedi tragis adikku.
Biarlah menjadi kemelut hatiku, yang akan kujadikan lecut amarahku.
Ilmu hitam pun
menjadi sasaranku. Aku berteman iblis. Memuja jamah jemari setan. Sihir dan
guna-guna telah mendarah dan mendaging. Maka korban pun terus berjatuhan.
"Meninggal?
Siapa yang meninggal?" Kasak kusuk orang-orang membicarakan tragedi maut.
Semalam.
"Tetangga
desa sebelah," jawab yang ditanya.
"Kenapa
emangnya?"
"Gak tahu
juga. Sudah tidak bernyawa saat diketemukan orang-orang."
"Ada bekas
aniaya?"
"Gak
ada."
"Aneh!"
Di antara
kerumunan, hatiku tertawa lepas. Lega dan puas. Itulah yang aku harapkan.
Melampiaskan kekesalanku pada para hidung belang. Biar aku lepas dari
bayang-bayang tragis hidupku. Aku ingin mencari mangsa sebanyak-banyaknya.
Mencampakkan mereka ke jurang kebinasaan. Biar luka hati ini terpecah, untuk
mereka yang merelakan segala macam cara. Menghalakan yang haram, atau
mengharamkan yang halal. Binasalah Engkau, wahai para penjahat kelamin.
Aku ingin tetap
tegak. Dengan ilmu hitamku. Dengan segala dosa-dosaku. Aku tetap setia. Kepada
iblis. Kepada setan. Kepada maksiat dan kemungkaran.
"Inilah
aku," ucapku keras-keras. Sang pemuja kematian. Bagi mereka yang berhati
belang. "Tunggulah kedatanganku," masih dengan api kebencian. Masih
dengan derap sombong dan keangkuhan. Sebagai balasan, dendam, dan gemuruh hati
yang tercampakkan.
Nyanyian kematian.
Terus saja berdendang. Bergemuruh di antara gelap malam. Di bawah terang bulan.
Bahkan di siang bolong. Mereka menjerit, melolong, mengaduh, menghembuskan
nafas terakhirnya, dan merobek kafan kematian.
***
Sumenep, 17112013
No comments:
Post a Comment