Thursday, February 13, 2014

SETULUS CINTA MIRNA



SETULUS CINTA MIRNA

Telaga matamu begitu indah. Berbulu lentik. Beralis daun mimba. Aku ingin menikmatinya lebih lama lagi. Lebih dalam lagi. Lebih jauh lagi. Ada cermin merias rindu. Dan cinta pun, bermula.

Bunga melati di depan rumahku merunduk. Hujan deras semalam, menghempaskan tengadah cantik putiknya. Pagi ini dibalut kabut. Awan kelabu berarak. Berkelindan di seantero cakrawala. Gerimis masih terus merinai bumi. Basah. Kubangan air di mana-mama.
***

"Bang," teringat sapa Mirna beberapa tahun yang lalu. "Mengapa Abang tidak datang langsung ke orang tuaku?" Lanjutnya. Membuatku kelabakan. Tidak tahu, apa yang harus kuutarakan sebagai jawaban.
"Ehm, bukan Abang tidak mau Mir...," aku diam sejenak. "Tapi,..." Aku tidak melanjutkan kata-kataku. Menggantung.
"Tapi apa Bang?" Tanya Mirna. Penasaran.
"Tapi, ...sungguh aku mencintaimu," jawabku. Seperti mengalihkan pembicaraan.

Mirna adalah gadis desa. Seperti aku, juga bujangan desa. Mirna cantik. Secantik hatinya ketika ia mencintaiku apa adanya. Seorang pemuda desa. Tidak punya pekerjaan tetap. Pendidikan hanya sampai di SMA. Mirna tidak mempermasalahkan. Bahkan ia rela hidup denganku, apa pun yang akan terjadi.

"Aku masih belum kerja, Mir!" Kataku suatu waktu.
"Kita kerja sama-sama," jawab Mirna tegas.
"Bukankah nikah itu butuh biaya?"
"Kita sederhanakan saja. Yang penting sah di mata agama atau negara."
"Benar?"
"Karena aku cinta."
"Tidak menyesal?"
"Insya Allah. Hanya Allah yang tahu kata suci hatiku."

Aku menyusuri jalan setapak. Di bawah rimbun bambu aku berhenti. Duduk di atas batu hampar. Besar dan bersih. Angin sepoi menggugurkan daun bambu yang menguning. Daun-daun kering berserakan. Dihempaskan angin. Hancur menjadi tanah.

Dari jauh kuperhatikan, Hadi melangkah tegap. Mendekatiku. Ia dikenal sebagai pemuda urakan. Sombong. Kedua orang tuanya sebagai pedagang yang sukses.

"Ada yang ingin aku katakan padamu," setelah di dekatku. Agak judes. Kelihatan angkuhnya.
"Aii, apaan tuh? Berita baik kah?" Aku mencoba berseloroh. Menerka-nerka.
"Hemm. Jauhi Mirna!" Katanya. Matanya tajam menghunjam. Lagaknya preman pasar. Kemudian pergi tanpa basa-basi.

Aku menghela napas. Dalam-dalam. "Mirna tidak pantas untuk Hadi. Dia gadis baik-baik. Hadi pemuda sombong dan urakan," desahku saat itu. Angin masih sepoi. Ada hela napas Mirna di antaranya. Serasa ia tidak rela. Ia tidak sudi dengan kata-kata Hadi barusan.
***

Musim hujan. Para petani tadah hujan sudah menggarap ladangnya. Beberapa tanaman palawija sudah mulai tumbuh. Di sekitar terlihat segar. Rimbun hijau pepohonan mulai nampak. Jagung yang ditanam pun mulai memucuk.

Aku dan Mirna duduk di sebuah dangau depan rumahku. Bangunan sederhana itu sengaja dibuat untuk tempat duduk-duduk. Bercerita. Bergurau. Bercengkerama. Kadang, tetangga juga ikut nimbrung.

"Tidak usah sedih," kataku pada Mirna.
"Ah. Gak juga kok," jawab Mirna. Tapi raut wajahnya kentara sekali. Ada kesedihan di sana. Ia sedih karena ada seseorang yang menerornya. Siapa? Entahlah. Ia juga tidak tahu.
"Setiap yang hidup pasti mati," aku mencoba memberi nasihat. Pikiranku saat itu tertuju pada Hadi. Tapi segera kutepis. "Jangan berburuk sangka," pikirku.
"Tapi teror itu telah menghilangkan hasratku untuk hidup."
"Jadi, kamu ingin mati?" Kataku berseloroh.
"Tidak juga," Mirna menjawab sambil tergelak. Mungkin terpikir aneh. Agak lucu.

Senyum Mirna menggetarkan hatiku. Begitu ranum. Seindah mentari di senja cakrawala. "Mungkinkah senyum itu tetap ada untukku?" Dalam hati aku bergumam. Wajahnya begitu teduh. Tak bosan-bosan aku menatapnya. Memandangnya dengan curi-curi dari sudut mataku. Irama napas Mirna mengalun merdu.
***

"Aku menjadi tumbal."
"Lho, kok bisa begitu."
"Kedua orang tuaku terperangkap utang budi."
"Kepada siapa?"
"Kepada Kasman. Bapaknya Hadi"
"Oh. Subhanallah."

Hari-hariku kelabu. Tambatan hati sudah pergi. Pergi dengan hati yang pilu. Andai pun ia hidup bahagia, maka aku pun pasti bahagia. Tetapi, Mirna berselimut duka. Berpeluk nestapa. Menjadi istri Hadi bukan harapannya. Dan ia meringkuk di kubang neraka.

Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku pasrah. Aku menyerah kepada takdir. Aku hanya berharap, masih ada cahaya cinta di balik mendung duka.

"Sungguh aku tersiksa," suatu waktu Mirna menemuiku.
"Tapi Hadi tetap suamimu."
"Aku benci dengan takdir."
"Jangan pernah menyalahkan takdir."
"Aku marah pada nasib."
"Percayalah..." Aku tergugu pilu. "Semoga masih ada sisa bahagia untukmu, matahariku." Aku tak kuasa menahan gelombang air mata. Aku menangis. Perasaan cinta yang telah membawa aku ke lubuk rasa yang paling dalam. Haru terhadap nuansa pilu.

Mirna bukan orang yang tempramental. Ia masih berpikir dua kali untuk lari dari kenyataan. Bukan sifatnya jika ia menghindar dari Hadi, suaminya. Ia tidak berkarakter sadis. Membiarkan orang tuanya sendiri menyelesaikan masalahnya. Tidak! Sekali lagi tidak. Ia bukan anak durhaka.

Aku berdiri di atas telaga. Orang-orang menyebutnya cekdam. Sebuah bendungan yang sengaja dibuat untuk menampung air hujan. Pada musim kemarau bendungan ini dimanfaatkan sebagai irigasi. Atau untuk persediaan menyiram tembakau. Atau pun tanaman yang lainnya. Tidak hanya itu, bendungan ini pun dimanfaatkan untuk mandi, mencuci, dan kebutuhan lainnya. Hanya saja, air cekdam ini tidak layak untuk dikonsumsi.

Telaga itu begitu bening. Aku berharap ada bayang Mirna di sana. Menceritakan keresahannya. Mengadukan dukanya. Menumpahkan air matanya di dadaku. Aku berharap. Sungguh sebuah harapan cinta. Kasih yang tak tersampaikan.

Di sekitar telaga ada rimbun daun. Di sela-sela rimbun tersembul bunga ga'longga'an. Putih bersela ungu, mekar segar diterpa cahaya senja.

"Bunga itu sangat indah," Mirna berkata pelan. Lirih, seakan bergumam pada hatinya sendiri. Aku mendengar kata yang hampir berupa desahan itu.
"Ya. Memang indah. Meski bunga itu liar. Dan tak akan kita temukan di toko bunga."
"Aku ingin memetiknya."
"Kau akan merusak keindahannya."
"Ingin memeluknya."
"Jangan. Nanti malah rusak karenanya."
"Seindah cinta kita," seakan desahan lagi.
"Itu benar. Benar sekali!"
***

Senja baru saja beranjak. Siang sudah bermetamorfoses. Malam pun berselimut bintang. Samar, rembulan menyembul di balik awan. Purnama ini seakan malu menampakkan sinar wajahnya.

Tiba-tiba temanku datang. Ia membawa kabar duka. Hadi, suami Mirna meninggal. Karena minuman keras, tadi siang di sudut pasar.

"Ya, benar. Hadi tewas karena minuman oplosan." Kata Farid memastikan.
"Kau tahu dari mana?"
"Aku lihat sendiri tadi. Waktu dibawa ke kantor polisi untuk diotopsi."

Aku tidak tahu apa yang mesti aku katakan. Antara senang dan sedih. Aku teringat dengan Mirna. Pasti ia sangat terpukul. Atau pun mungkin ia bersorak gembira dalam hatinya. Entahlah.

Aku masih ingat. Ketika Mirna mengatakan padaku. Bahwa ia sering disiksa. Dipukul. Dicampakkan. Ditendang. Bahkan ditampar, dan lain-lain bentuk siksaan. Itu terjadi saat Hadi, suaminya lagi mabok. Teler oleh minuman keras. Atau pun saat ia lagi kesal. Tanpa suatu sebab yang pasti.
***

Waktu pun berlalu. Aku rela menjadi suami kedua Mirna. Tidak peduli dengan status janda Mirna. Biarlah. Cinta suci tidak akan memandang sifat lahir kekasihnya.

"Mas, aku tidak pernah tersentuh oleh siapa pun," kata Mirna di malam zafaf. Aku tertegun. Heran. "Bahkan oleh Hadi, suami pertamaku," lanjutnya dengan air mata bahagia.
"Kok bisa?" Heranku berbuah tanya.
"Hadi bermasalah dengan kelelakiannya."

Aku paham. Mengerti apa yang dimaksud Mirna. Jadi, selama ini Mirna menjalin keluarga palsu. Aku takjub dengan kesabarannya. Hingga dua belas tahun lebih ia mendampingi Hadi. Suami yang tidak bisa berbuat apa-apa.

Aku teringat dengan kisah Siti Sulailha. Istri Kifzir Aziz di zaman Nani Yusuf. Ternyata, Kifzir Aziz seorang raja yang impoten. Kemudian Siti Sulaikha bersuamikan Nabi Yusuf dan hidup bahagia dengan cinta karena Allah.

"Ya Allah, jadikan cinta kami, aku dan Mirna, cinta karena-Mu. Amin."

Sumenep, 24 November 2013

No comments:

Post a Comment