SETULUS CINTA MIRNA
Telaga matamu
begitu indah. Berbulu lentik. Beralis daun mimba.
Aku ingin menikmatinya lebih lama lagi. Lebih dalam lagi. Lebih jauh lagi. Ada
cermin merias rindu. Dan cinta pun, bermula.
Bunga melati di
depan rumahku merunduk. Hujan deras semalam, menghempaskan tengadah cantik
putiknya. Pagi ini dibalut kabut. Awan kelabu berarak. Berkelindan di seantero
cakrawala. Gerimis masih terus merinai bumi. Basah. Kubangan air di mana-mama.
***
"Bang,"
teringat sapa Mirna beberapa tahun yang lalu. "Mengapa Abang tidak datang
langsung ke orang tuaku?" Lanjutnya. Membuatku kelabakan. Tidak tahu, apa
yang harus kuutarakan sebagai jawaban.
"Ehm, bukan
Abang tidak mau Mir...," aku diam sejenak. "Tapi,..." Aku tidak
melanjutkan kata-kataku. Menggantung.
"Tapi apa
Bang?" Tanya Mirna. Penasaran.
"Tapi,
...sungguh aku mencintaimu," jawabku. Seperti mengalihkan pembicaraan.
Mirna adalah gadis
desa. Seperti aku, juga bujangan desa. Mirna cantik. Secantik hatinya ketika ia
mencintaiku apa adanya. Seorang pemuda desa. Tidak punya pekerjaan tetap.
Pendidikan hanya sampai di SMA. Mirna tidak mempermasalahkan. Bahkan ia rela
hidup denganku, apa pun yang akan terjadi.
"Aku masih
belum kerja, Mir!" Kataku suatu waktu.
"Kita kerja
sama-sama," jawab Mirna tegas.
"Bukankah
nikah itu butuh biaya?"
"Kita
sederhanakan saja. Yang penting sah di mata agama atau negara."
"Benar?"
"Karena aku
cinta."
"Tidak
menyesal?"
"Insya Allah. Hanya Allah yang tahu kata
suci hatiku."
Aku menyusuri
jalan setapak. Di bawah rimbun bambu aku berhenti. Duduk di atas batu hampar.
Besar dan bersih. Angin sepoi menggugurkan daun bambu yang menguning. Daun-daun
kering berserakan. Dihempaskan angin. Hancur menjadi tanah.
Dari jauh
kuperhatikan, Hadi melangkah tegap. Mendekatiku. Ia dikenal sebagai pemuda
urakan. Sombong. Kedua orang tuanya sebagai pedagang yang sukses.
"Ada yang
ingin aku katakan padamu," setelah di dekatku. Agak judes. Kelihatan
angkuhnya.
"Aii, apaan
tuh? Berita baik kah?" Aku mencoba berseloroh. Menerka-nerka.
"Hemm. Jauhi
Mirna!" Katanya. Matanya tajam menghunjam. Lagaknya preman pasar. Kemudian
pergi tanpa basa-basi.
Aku menghela
napas. Dalam-dalam. "Mirna tidak pantas untuk Hadi. Dia gadis baik-baik.
Hadi pemuda sombong dan urakan," desahku saat itu. Angin masih sepoi. Ada
hela napas Mirna di antaranya. Serasa ia tidak rela. Ia tidak sudi dengan
kata-kata Hadi barusan.
***
Musim hujan. Para
petani tadah hujan sudah menggarap ladangnya. Beberapa tanaman palawija sudah
mulai tumbuh. Di sekitar terlihat segar. Rimbun hijau pepohonan mulai nampak.
Jagung yang ditanam pun mulai memucuk.
Aku dan Mirna
duduk di sebuah dangau depan rumahku. Bangunan sederhana itu sengaja dibuat
untuk tempat duduk-duduk. Bercerita. Bergurau. Bercengkerama. Kadang, tetangga
juga ikut nimbrung.
"Tidak usah
sedih," kataku pada Mirna.
"Ah. Gak juga
kok," jawab Mirna. Tapi raut wajahnya kentara sekali. Ada kesedihan di
sana. Ia sedih karena ada seseorang yang menerornya. Siapa? Entahlah. Ia juga
tidak tahu.
"Setiap yang
hidup pasti mati," aku mencoba memberi nasihat. Pikiranku saat itu tertuju
pada Hadi. Tapi segera kutepis. "Jangan berburuk sangka," pikirku.
"Tapi teror
itu telah menghilangkan hasratku untuk hidup."
"Jadi, kamu
ingin mati?" Kataku berseloroh.
"Tidak
juga," Mirna menjawab sambil tergelak. Mungkin terpikir aneh. Agak lucu.
Senyum Mirna
menggetarkan hatiku. Begitu ranum. Seindah mentari di senja cakrawala.
"Mungkinkah senyum itu tetap ada untukku?" Dalam hati aku bergumam.
Wajahnya begitu teduh. Tak bosan-bosan aku menatapnya. Memandangnya dengan
curi-curi dari sudut mataku. Irama napas Mirna mengalun merdu.
***
"Aku menjadi
tumbal."
"Lho, kok
bisa begitu."
"Kedua orang
tuaku terperangkap utang budi."
"Kepada
siapa?"
"Kepada
Kasman. Bapaknya Hadi"
"Oh. Subhanallah."
Hari-hariku kelabu.
Tambatan hati sudah pergi. Pergi dengan hati yang pilu. Andai pun ia hidup
bahagia, maka aku pun pasti bahagia. Tetapi, Mirna berselimut duka. Berpeluk
nestapa. Menjadi istri Hadi bukan harapannya. Dan ia meringkuk di kubang
neraka.
Aku tidak tahu apa
yang harus aku lakukan. Aku pasrah. Aku menyerah kepada takdir. Aku hanya
berharap, masih ada cahaya cinta di balik mendung duka.
"Sungguh aku
tersiksa," suatu waktu Mirna menemuiku.
"Tapi Hadi
tetap suamimu."
"Aku benci
dengan takdir."
"Jangan
pernah menyalahkan takdir."
"Aku marah
pada nasib."
"Percayalah..."
Aku tergugu pilu. "Semoga masih ada sisa bahagia untukmu,
matahariku." Aku tak kuasa menahan gelombang air mata. Aku menangis.
Perasaan cinta yang telah membawa aku ke lubuk rasa yang paling dalam. Haru
terhadap nuansa pilu.
Mirna bukan orang
yang tempramental. Ia masih berpikir dua kali untuk lari dari kenyataan. Bukan
sifatnya jika ia menghindar dari Hadi, suaminya. Ia tidak berkarakter sadis.
Membiarkan orang tuanya sendiri menyelesaikan masalahnya. Tidak! Sekali lagi
tidak. Ia bukan anak durhaka.
Aku berdiri di
atas telaga. Orang-orang menyebutnya cekdam.
Sebuah bendungan yang sengaja dibuat untuk menampung air hujan. Pada musim
kemarau bendungan ini dimanfaatkan sebagai irigasi. Atau untuk persediaan
menyiram tembakau. Atau pun tanaman yang lainnya. Tidak hanya itu, bendungan
ini pun dimanfaatkan untuk mandi, mencuci, dan kebutuhan lainnya. Hanya saja,
air cekdam ini tidak layak untuk
dikonsumsi.
Telaga itu begitu
bening. Aku berharap ada bayang Mirna di sana. Menceritakan keresahannya.
Mengadukan dukanya. Menumpahkan air matanya di dadaku. Aku berharap. Sungguh
sebuah harapan cinta. Kasih yang tak tersampaikan.
Di sekitar telaga
ada rimbun daun. Di sela-sela rimbun tersembul bunga ga'longga'an. Putih bersela ungu, mekar segar diterpa cahaya senja.
"Bunga itu
sangat indah," Mirna berkata pelan. Lirih, seakan bergumam pada hatinya
sendiri. Aku mendengar kata yang hampir berupa desahan itu.
"Ya. Memang
indah. Meski bunga itu liar. Dan tak akan kita temukan di toko bunga."
"Aku ingin
memetiknya."
"Kau akan
merusak keindahannya."
"Ingin
memeluknya."
"Jangan.
Nanti malah rusak karenanya."
"Seindah
cinta kita," seakan desahan lagi.
"Itu benar.
Benar sekali!"
***
Senja baru saja
beranjak. Siang sudah bermetamorfoses. Malam pun berselimut bintang. Samar,
rembulan menyembul di balik awan. Purnama ini seakan malu menampakkan sinar
wajahnya.
Tiba-tiba temanku
datang. Ia membawa kabar duka. Hadi, suami Mirna meninggal. Karena minuman
keras, tadi siang di sudut pasar.
"Ya, benar.
Hadi tewas karena minuman oplosan." Kata Farid memastikan.
"Kau tahu
dari mana?"
"Aku lihat
sendiri tadi. Waktu dibawa ke kantor polisi untuk diotopsi."
Aku tidak tahu apa
yang mesti aku katakan. Antara senang dan sedih. Aku teringat dengan Mirna.
Pasti ia sangat terpukul. Atau pun mungkin ia bersorak gembira dalam hatinya.
Entahlah.
Aku masih ingat.
Ketika Mirna mengatakan padaku. Bahwa ia sering disiksa. Dipukul. Dicampakkan.
Ditendang. Bahkan ditampar, dan lain-lain bentuk siksaan. Itu terjadi saat
Hadi, suaminya lagi mabok. Teler oleh minuman keras. Atau pun saat ia lagi
kesal. Tanpa suatu sebab yang pasti.
***
Waktu pun berlalu.
Aku rela menjadi suami kedua Mirna. Tidak peduli dengan status janda Mirna.
Biarlah. Cinta suci tidak akan memandang sifat lahir kekasihnya.
"Mas, aku
tidak pernah tersentuh oleh siapa pun," kata Mirna di malam zafaf. Aku
tertegun. Heran. "Bahkan oleh Hadi, suami pertamaku," lanjutnya
dengan air mata bahagia.
"Kok
bisa?" Heranku berbuah tanya.
"Hadi
bermasalah dengan kelelakiannya."
Aku paham.
Mengerti apa yang dimaksud Mirna. Jadi, selama ini Mirna menjalin keluarga
palsu. Aku takjub dengan kesabarannya. Hingga dua belas tahun lebih ia
mendampingi Hadi. Suami yang tidak bisa berbuat apa-apa.
Aku teringat
dengan kisah Siti Sulailha. Istri Kifzir Aziz di zaman Nani Yusuf. Ternyata,
Kifzir Aziz seorang raja yang impoten. Kemudian Siti Sulaikha bersuamikan Nabi
Yusuf dan hidup bahagia dengan cinta karena Allah.
"Ya Allah,
jadikan cinta kami, aku dan Mirna, cinta karena-Mu. Amin."
Sumenep, 24
November 2013
No comments:
Post a Comment