ANALISIS KONTEKS NASIHAT BIJAK
(Apresiasi terhadap sebuah wacana yang
ditulis oleh Asma Nadia di Repubilka Online)
Tulisan
ini bermula ketika saya membaca sebuah artikel di Republika Online (ROL), yang
ditulis oleh Asma Nadia dengan judul: Nasihat Bijak yang Menyesatkan. Dalam KBBI
saya, kata bijak adalah: selalu menggunakan akal budinya; pandai; mahir. Dengan
demikian, maka nasihat bijak adalah nasihat yang didasarkan pada kebijakan
logika, kepandaian dan kemahiran orang yang memberikan nasihat. Dalam tulisan
Saudari Asma Nadia, nasihat adalah ungkapan dari orang tua terhadap anak. Dari
guru kepada murid, juga dari orang yang lebih tua (senior) kepada orang yang
lebih muda (junior). Maka, jika uangkapan (baca: nasihat) itu menyesatkan, maka
tidak pantas lagi untuk diktatakan sebagai nasihat bijak. Lebih pas, kalau
diungkapkan sebagai nasihat yang seakan-akan bijak, seolah-olah logis, atau
nampaknya baik, tetapi sebenarnya “menyesatkan.”
Lebih
jauh mari kita telaah pembahsana berikutnya. Kalimat “Yang penting kaya jiwa
daripada kaya harta” atau “tidak perlu kaya yang penting bahagia.” Dalam
pemahaman saya, kaya jiwa dan kaya harta adalah sebuah pilihan. Semisal
dikatakan, “Anda suka kaya jiwa atau kaya harta?” Jadi, konteknya dalam hal ini
lebih personal. Betapa banyak orang yang berharta, tetapi dengan harta yang ia
miliki, karena tidak kaya jiwa, maka ia bisa frustasi bahkan yang lebih fatal
bunuh diri (na’udzu biila min hadza). Memang, sebisa-bisanya, kita dapat
memilih kaya jiwa sekaligus kaya harta. Dan ini adalah purna pilihan dari
sebuah konteks penerapan dalam kehidupan. Namun jika tidak, tidak untuk
kedua-duanya, maka kaya jiwa jauh lebih baik dari hanya sekadar kaya harta.
Karena dengan jiwa yang kaya, maka harta masih bisa kita cari dengan usaha.
“Tidak
perlu kaya yang penting bahagia,” ungkapan ini pun saya rasa tidak ada
yang salah. Kebahagiaan dan kekayaan tidak selalu berbanding lurus. Bahkan
Rasulullah saw, merasa kwatir jika ummatnya diuji dengan kekayaan. Dan beliau
tidak merasa kwatir jika ummatnya diuji dengan kemiskinan. Hal ini pun
terbukti, dalam sejarah kemunduran Islam, faktor utamanya adalah berkenaan
dengan masalah harta, kekayaan, dan jabatan. Namun demikian, ikhtiar kita tentu
saja mengacu kepada bahagia dalam kekayaan, atau kaya dalam kebahagiaan.
Rasulullah
saw bukan tidak kaya? Benarkah? Kalau begitu Rasulullah saw kaya? Secara
pemerintahan, Rasulullah saw mempunyai akses keuangan yang sangat luar biasa.
Benar memang. Tetapi, kalau Beliau dikatakan sebagai orang kaya, sebentar dulu.
Dalam sejarah kenabian kita, sudah tidak asing lagi, bagaiman kondisi rumah
tangga Beliau. Bisa jadi hari itu Beliau berpuasa, hanya karena tidak ada
sarapan di pagi harinya. Bahkan suatu ketika, Beliau mengganjal perutnya dengan
bongkahan batu, hanya karena Beliau ingin menahan rasa lapar. Masih pantaskah
Rasulullah saw dianggap kaya? Jika pun pada saat Beliau tidur, bekas pelepah
kurma masih terlihat di tubuhnya. Seorang pemimpin (tertinggi) tidur beralaskan
pelepah kurma? Berbeda jika Beliau berada di pihak rakyat, sebagai pemimpin
pada masanya. Maka, dengan kebijakan ekonomi yang Beliau punya, tidak sedikit
dari orang-orang kaya di sekitar beliau yang rela untuk mentasharrufkan
(membelanjakan) hartanya di jalan fisabilillah. Secara pemerintahan, pada saat
itu Islam berada dipuncak ‘ekonomi’ yang paling mengesankan.
“Rezeki
tidak keman” atau “Memang Belum Rezeki.” Saya memahaminya sebagai ungkapan atau
nasihat agar seseorang tidak tamak. Apa pun harus ia lakukan, dengan beragam
cara, untuk memperolah rezeki. Tentu model karakter personal yang seperti ini
tidak dipandang baik. Setidaknya, sebelumnya terdapat ungkapan pengantar,
“Jangan terlalu berlebihan dalam bekerja. Seimbangkan dengan istirahat, shalat,
dan juga untuk keluarga. ‘Rezeki tidak akan keman, kok!’” Atau juga bisa diberi pengantar,”Jangan
berputus asa. Usahakan lagi dan lagi. Jangan lupa berdoa, karena itu ‘Memang
Belum Rezekimu!’” Ungkapan ini lebih kepada nasihat seseorang kepada orang yang
diberi nasihat agar tidak berputus asa dalam mencari rezeki. Sehingga, ia (yang
diberi nasihat) tetap semangat, berusaha, juga tidak lupa berdoa.
“Kalau
jodoh nggak kemana” atau “Memang bukan jodoh.” Dalam sebuah
keterangan (Hadits?) dijelaskan bahwa ada 3 hal yang telah ditentukan oleh
Allah swt dari sejak azali. Yaitu rezeki, mati, dan jodoh. Maka ungkapan
‘Kalau jodoh nggak kemana’ atau ‘Memang bukan jodoh,’ adalah nasihat kepada
seseorang yang telah berusaha maksimal, dengan segala daya untuk mendapatkan si
dia, akan tetapi pada akhirnya ia gagal. Maka, supaya tidak terjadi hal-hal
yang tidak kita inginkan, semisal frustasi, tekanan batin, atau bahkan bunuh
diri, dan bisa jadi mengeluarkan jurus ‘perdukunan’, maka ungkapan atau nasihat
di atas, rasa-rasanya pantas untuk diberikan. Tentu saja, konteks
permasalahannya bukan kepada keputusasaan, untuk tidak berbuat banyak demi
mendapatkan harapan ‘cinta’ yang ia inginkan.
“Tuhan
saja memaafkan.”
Nasihat ini tidaklah salah. Karena sudah jelas Tuhan itu bersifat Al Ghaffar
(maha pengampun). Tentu saja konteksnya akan lain, jika kalimat bijak
(benar-benar bijak) ini dimaksudkan untuk hanya sekadar alibi terhadap sebuah
kesalahan. Misalnya, seseorang selalu berbuat salah, dan selalu meminta maaf.
Setelah maaf diberikan, lagi-lagi ia berbuat salah. Maka, orang dengan karakter
seperti ini tentu tidak dalam konteks pembahasan maaf memaafkan. Intinya,
memaafkan kesalahan orang lain itu sebuah hak, sedangkan meminta maaf atas
kesalahan diri adalah sebuah kewajiban. Orang tidak akan dikatakan jelek, andai
saja ia menggunakan haknya.
Akhirnya,
tulisan ini tidak dimaksudakan sebagai pembanding dalam sebuah wacana atau
artikel. Hanya sebagai bentuk menemukan korelasi yang benar terhadap sebuah
uangkapan/nasihat. Dan tulisan ini, bukan sebuah kebenaran mutlak, karena
mutlak benar itu adalah tidak mungkin, sedangkan kebenaran mutlak hanya milik
Allah swt. Jabarkan sebuah nasihat bijak, sesuai dengan konteks personal yang
kita hadapi. Insya Allah, wallahu a’lam bisshawab.
Sumenep, 23 Maret 2014