Wednesday, March 5, 2014

RIMBA



RIMBA


Di belantara itu, pohon-pohon besar menjulang. Rimbun daun menutupi cahaya mentari. Hanya berkas-berkas kecil yang mampu menerobos lebatnya daun. Sejauh mata memandang, hijau bertebaran. Bunyi binatang bersahutan. Kicau burung menambah suasana belantara yang masih tak terjamah. Masih perawan.

Rimba berdiri kokoh di bawah pohon besar. Matanya yang tajam, awas. Badannya kekar. Tidak terlalu tinggi. Kulitnya legam, hitam bersih. Rambutnya gondrong bergelombang. Ikat kain hitam melingkar di kepalanya.

Rimba adalah anak rimba, hutan belantara. Ia hidup sebatangkara. Hanya dengan ibunya. Satu-satunya keluarga yang ia ketahui. Dari ibu ia tahu bagaimana cara memanah. Bagaimana berburu yang baik. Bagaimana menjaga keseimbangan ekosistem. Tidak boleh sembarangan menebang pohon. Apalagi merusaknya. Ia tahu bagaimana bersikap dengan alam. Ia paham bagaimana cara bergaul dengan binatang. Bahkan, binatang buas pun menjadi teman bercengkrama. Rimba, itulah Rimba. Anak rimba yang paham, bagaimana cara melestarikan hutan rimba.

Rimba juga diasuh oleh alam. Kerasnya hidup di hutan menjadi pelajaran yang sangat berharga. Cuaca ekstrem dan lingkungan alam, adalah guru Rimba yang mengajarkan kekuatan. Kesabaran. Ketabahan. Ketekunan.

Rimba merasa heran. Mengapa ia hanya berdua dengan ibunya. "Kemana Bapak?" Pikir Rimba suatu hari. Selama ini Rimba tidak tahu ke mana bapaknya. Ibunya pun tidak pernah memberitahukan tentang keberadaan bapaknya.

"Ibu, Bapak Rimba di mana?" Suatu hari Rimba memberanikan diri bertanya pada ibunya.
"Saatnya Engkau tahu Rimba." Kata ibu sambil memandang kasih kepada anaknya.
"Maksud Ibu?" Tanya Rimba heran.

Kemudian Ibu Rimba berkisah.

"Sungguh aku mencintainya, Bapak! Aku rela menjadi istrinya, apapun yang akan terjadi."
"Keparat anak durhaka. Enyahlah Engkau dari rumahku!"

"Sejak itu Ibu dan Bapakmu pergi. Pergi karena keegoisan adat. Aku tidak direstui menikah dengan bapakmu. Hanya karena bapakmu seorang rakyat biasa. Sejak itulah, Ibu dan Bapakmu pergi. Pergi sejauh mungkin. Melintasi belantara. Mengarungi hutan belukar. Kemudian terdampar di tempat ini." Ibu Rimba mengakhiri kisahnya. Dari sudut matanya, mengalir telaga bening. Ia terisak, menangis.
"Jangan sedih, Ibu. Kini Rimba sudah besar. Rimba akan menjaga ibu dengan segenap jiwa."
"Terima kasih anakku!"
"Tapi, Bapak dimana Bu?"
"Bapakmu meninggal saat Kamu masih berumur tiga bulan." Ibu Rimba mencoba mengingat lagi peristiwa beberapa tahun silam.

Bapak Rimba meninggal ketika ia berusaha menangkap ikan. Sore itu ia akan memasak ikan untuk istri dan anaknya yang masih kecil. Tapi, malang. Bapak Rimba terpeleset dan hanyut oleh arus sungai yang deras. Sejak saat itu, ibu Rimba sendiri. Mengatasi segala masalah tanpa dibantu siapa pun. Jiwa anaknya, Rimba, yang membuat ia tegar menghadapi beragam bentuk persoalan. Semula ibu Rimba mau kembali ke kerabatnya. Sanak keluarganya. Tetapi ia urungkan. Karena ia sadari, bahwa ia dan anaknya akan terus dihinakan. Dicampakkan. Bahkan, yang lebih tragis lagi akan dihukum pancung.

Waktu pun terus berlalu. Rimba tumbuh menjadi anak yang sehat. Cerdas. Alam telah membuatnya kuat. Rintangan alam telah dapat ia lalui. Ia  pandai memanah. Berburu. Menangkap ikan. Melompat dari pohon ke pohon. Kerap kali, ia pun membantu binatang yang terkena musibah. Ia bersahabat dengan banyak binatang buas.

"Kenapa kamu, Gori?" Suatu hari Rimba mendapati Gorila tergelatak lemas di pinggir telaga.
"Kena tembak," jawan Gorila pendek. Meringis, sambil memegang sisi kanan perutnya yang keserempet peluru.

Dengan cekatan Rimba menolong si Gorila. Membersihkan luka itu dengan air bersih, hangat. Dikompres. Kemudian dengan kepandaian dan kecerdasannya, Rimba mencari daun obat-obatan. Digerus, kemudian ditempelkan di tempat luka dan dibebat dengan kain bersih.

"Terima kasih, Rimba," kata Gorila sambil tersenyum memandang wajah Rimba.
"Sama-sama," jawab Rimba, juga tersenyum.

Bersahabat dengan binatang buas bukan hal yang mustahil. Nyata, hewan pun punya emosional empati terhadap manusia. Banyak kasus, manusia bisa beraudiensi dengan singa, macan, buaya, dan lain-lain. Mengapa? Maluri cinta dan kasih sayang adalah jawabannya.

Pada suatu hari, Rimba dihadapkan pada kenyataan. Orang-orang yang tidak bertanggung jawab ingin menjarah kayu di hutan. Ini bukan perkara gampang. Karena yang dihadapi adalah manusia berhati setan. Menghalalkan segala macam cara, untuk memcapai tujuan.

"Kalau di sini, tidak akan ada seorang pun yang akan menangkap kita," si jangkung kribo berkata pada teman-tamannya. Mungkin ia pimpinannya.
"Tidak ada jejak manusia di sini," timpal si rambut cepak. Ia meraba-raba pohon besar di hadapannya.

Rimba menguping pembicaraan itu dari balik dahan. Pohon yang sangat besar tidak jauh dari lokasi itu. Rimba memotar otak. "Ini harus hati-hati," katanya dalam hati.

Ada lima orang dalam rombongan pencurian kayu itu. Jika Rimba nekat menghadapi mereka, pasti ia akan mati konyol. Mereka punya senjata. Mereka juga punya hati yang kejam. Tidak pandang siapa kawan, siapa lawan. Terlihat mereka masih kelelahan. Mungkin karena perjalanan yang sangat jauh.

Kemudian Rimba memutuskan untuk mengirim pesan melalui anak panah. Di anak panah tersebut digantungkan secarik kertas dengan catatan:

"Jangan pernah menebang pohon di sekitar ini! Kalau tidak, pasti Anda celaka!"

Tiba-tiba, "wessss,....plak," anak panah itu melesat dan tertancap di batang pohon yang disandari oleh si jangkung. Ia terkejut bukan kepalang.

"Siapa?" Sergahnya sambil awas sekeliling. Matanya melihat ke sana ke mari. Jelalatan dan terlihat garang. Rimba tetap dalam persembunyiannya. Keempat kawannya pun ikut panik. Melihat sekeliling. Heran dengan apa yang terjadi.

Si jangkung mengambil kertas di anak panah. Membacanya. Ia terlihat takut. Wajahnya pias. "Berarti di sekitar ini ada penunggunya," gumamnya.

Tiba-tiba lagi sebuah anak panah yang lain melesat. Tepat mengenai baret yang dipakai salah satu penjarah. Sengaja Rimba hanya membidik tutup kepalanya saja. Tidak untuk melukai, juga tidak untuk menyakiti. Hanya ingin agar mereka sadar, bahwa perbuatan mereka akan merusak ekosistem. Banjir. Dan kepunahan satwa.

"Di sini tidak aman. Kita pergi saja!" Salah seorang mengusulkan.
"Ya, benar. Seperti ada penunggunya." Timpal yang lain.
"Ya, kita pergi saja," si jangkung akhirnya menyetujui, kemudian dengan tergesa mereka mengambil langlah seribu. Dari dahan yang rimbun, Rimba tersenyum puas, menang.
***

Sekitar umur enam tahun, Rimba pernah masuk ke sebuah perkampungan. Semula orang-orang sebayanya merasa takut. Tetapi, lama kelamaan mereka menyambut Rimba dengan tangan terbuka. Mereka bermain, bekejaran. Bahkan Rimba pun belajar cara membaca dan menulis. Rimba anak yang cerdas. Hanya beberapa kali ia belajar, dalam waktu singkat pun ia dapat menguasai. Rimba juga anak yang baik. Ia suka menolong. Sehingga ia disukai oleh orang-orang di kampung itu.

Salah seorang gadis di kampung itu jatuh hati pada Rimba. Bukan karena Rimba tampan, lebih dari itu karena ia baik hati dan suka menolong. Riba tahu diri. Tidak mungkin ia membawa gadis cantik itu ke alamnya. Meski mereka sama-sama suka, tetapi Rimba menolaknya.

"Jangan Arimbi. Kita berbeda alam. Tetaplah di sini. Pada saatnya nanti, Engkau akan dipinang oleh lelaki yang setara denganmu." Rimba berkata sedih kepada Arimbi, sesaat sebelum ia kembali ke alamnya. Di rimba belantara. Hutan dengan binatang buas yang ada di dalamnya.
"Tapi, aku mencintaimu, Rimba," Arimbi mencoba memaksa.
"Sekali lagi jangan Arimbi. Engkau tidak akan kuat bersamaku."

Pada akhirnya mereka pun berpisah. Rimba kembali ke habitatnya. Menemui ibunya. Menyambut sorak sorai teman-temannya. Hewan, pepohonan, riak arus sungai, dan tumbuhan belukar. Jiwa Rimba adalah jiwa mereka. Hidup untuk kelestarian habitat hutan.
***
Waktu semakin meluruh, menghantar masa pada ujung suasana. Ibu Rimba sudah semakin renta. Ia sudah semakin berumur. Umur pun sewaktu-waktu bisa menjemputnya.

Suatu hari Ibu Rimba yang sedang terbaring sakit, memanggil anak semata wayang. Ada sesuatu yang ingin Ibu ungkapkan.

“Rimba anakku, Ibu sudah semakin tua. Sebentar lagi Ibu akan pergi. Pergi untuk selama-lamanya. Jaga diri baik-baik, Nak!” Seakan sebuah firasat jika tidak lama lagi Ibu Rimba akan meninggal dunia.
“Jangan berkata begitu, Bu. Rimba masih ingin bersama Ibu.” Kata Rimba di samping ibunya yang terbaring sakit.
“Tapi umur itu terbatas, Nak. Tidak mungkin Ibu akan hidup kekal selamanya,” tersedak suara ibu dalam kesenyapan suasana.
“Benar Bu. Tapi Ibu tidak boleh berkata seperti itu,” Rimba pun terharu dengan air mata mulai menetes dari sudut matanya.

Rimba tergugu dalam tangis pilu. Ia memeluk ibunya yang selama ini telah membesarkannya. Kini, ibu itu sudah terlihat tidak berdaya. Nafasnya sudah tersengal. Dadanya turun naik. Masih ada tanda-tanda kehidupan. Tetapi, ibu telah melakukan semuanya. Untuk anaknya. Untuk lingkungannya. Kini, saatnya ia pergi. Istirahat untuk selama-lamanya.

Maka dengan senyum mengembang, Ibu Rimba pun menghembuskan napas terakhirnya. Inna lillahi wainna ilaihi roji’un. Kami milik Allah, hanya kepada Allah jua kami akan kembali.

Rimba menjerit. Menangis atas kepergian ibunya. Tetapi demikianlah hidup. Pada saatnya nanti yang hidup akan meninggal dunia. Akan mengalami tidur panjang. Dan menemui Tuhannya.
***

Air mata sudah menyusut. Rimba ikhlas dengan apa yang terjadi. Ia tegar dalam menghadapi kehidupan selanjutnya. Rimba melihat ke depan. Jauh ke balik rimba. Di belantara hutan. Untuk memberikan yang terbaik bagi kelestarian lingkungan.

Rimba akan memberikan hidupnya untuk rimba. Ia akan terus bekerja, berusaha untuk kebaikan hutan dan segala isinya. Biar bumi tetap hijau. Biar paru-paru dunia tetap tegap, sehat menuju generasi ke generasi berikutnya. Menyeimbangkan kehidupan yang harmonis. Demi kebahagiaan hidup dan berkehidupan bahagia. Sepanjang hayat. Sepanjang masa. Selamanya.

Madura, 27 November 2013




No comments:

Post a Comment