RIMBA
Di belantara itu, pohon-pohon besar menjulang. Rimbun
daun menutupi cahaya mentari. Hanya berkas-berkas kecil yang mampu menerobos
lebatnya daun. Sejauh mata memandang, hijau bertebaran. Bunyi binatang
bersahutan. Kicau burung menambah suasana belantara yang masih tak terjamah.
Masih perawan.
Rimba berdiri kokoh di bawah pohon besar. Matanya yang
tajam, awas. Badannya kekar. Tidak terlalu tinggi. Kulitnya legam, hitam
bersih. Rambutnya gondrong bergelombang. Ikat kain hitam melingkar di
kepalanya.
Rimba adalah anak rimba, hutan belantara. Ia hidup
sebatangkara. Hanya dengan ibunya. Satu-satunya keluarga yang ia ketahui. Dari
ibu ia tahu bagaimana cara memanah. Bagaimana berburu yang baik. Bagaimana
menjaga keseimbangan ekosistem. Tidak boleh sembarangan menebang pohon. Apalagi
merusaknya. Ia tahu bagaimana bersikap dengan alam. Ia paham bagaimana cara
bergaul dengan binatang. Bahkan, binatang buas pun menjadi teman bercengkrama.
Rimba, itulah Rimba. Anak rimba yang paham, bagaimana cara melestarikan hutan
rimba.
Rimba juga diasuh oleh alam. Kerasnya hidup di hutan
menjadi pelajaran yang sangat berharga. Cuaca ekstrem dan lingkungan alam,
adalah guru Rimba yang mengajarkan kekuatan. Kesabaran. Ketabahan. Ketekunan.
Rimba merasa heran. Mengapa ia hanya berdua dengan
ibunya. "Kemana Bapak?" Pikir Rimba suatu hari. Selama ini Rimba
tidak tahu ke mana bapaknya. Ibunya pun tidak pernah memberitahukan tentang
keberadaan bapaknya.
"Ibu, Bapak Rimba di mana?" Suatu hari Rimba
memberanikan diri bertanya pada ibunya.
"Saatnya Engkau tahu Rimba." Kata ibu sambil
memandang kasih kepada anaknya.
"Maksud Ibu?" Tanya Rimba heran.
Kemudian Ibu Rimba berkisah.
"Sungguh aku mencintainya, Bapak! Aku rela
menjadi istrinya, apapun yang akan terjadi."
"Keparat anak durhaka. Enyahlah Engkau dari
rumahku!"
"Sejak itu Ibu dan Bapakmu pergi. Pergi karena
keegoisan adat. Aku tidak direstui menikah dengan bapakmu. Hanya karena bapakmu
seorang rakyat biasa. Sejak itulah, Ibu dan Bapakmu pergi. Pergi sejauh
mungkin. Melintasi belantara. Mengarungi hutan belukar. Kemudian terdampar di
tempat ini." Ibu Rimba mengakhiri kisahnya. Dari sudut matanya, mengalir
telaga bening. Ia terisak, menangis.
"Jangan sedih, Ibu. Kini Rimba sudah besar. Rimba
akan menjaga ibu dengan segenap jiwa."
"Terima kasih anakku!"
"Tapi, Bapak dimana Bu?"
"Bapakmu meninggal saat Kamu masih berumur tiga
bulan." Ibu Rimba mencoba mengingat lagi peristiwa beberapa tahun silam.
Bapak Rimba meninggal ketika ia berusaha menangkap
ikan. Sore itu ia akan memasak ikan untuk istri dan anaknya yang masih kecil.
Tapi, malang. Bapak Rimba terpeleset dan hanyut oleh arus sungai yang deras.
Sejak saat itu, ibu Rimba sendiri. Mengatasi segala masalah tanpa dibantu siapa
pun. Jiwa anaknya, Rimba, yang membuat ia tegar menghadapi beragam bentuk
persoalan. Semula ibu Rimba mau kembali ke kerabatnya. Sanak keluarganya.
Tetapi ia urungkan. Karena ia sadari, bahwa ia dan anaknya akan terus
dihinakan. Dicampakkan. Bahkan, yang lebih tragis lagi akan dihukum pancung.
Waktu pun terus berlalu. Rimba tumbuh menjadi anak
yang sehat. Cerdas. Alam telah membuatnya kuat. Rintangan alam telah dapat ia
lalui. Ia pandai memanah. Berburu.
Menangkap ikan. Melompat dari pohon ke pohon. Kerap kali, ia pun membantu
binatang yang terkena musibah. Ia bersahabat dengan banyak binatang buas.
"Kenapa kamu, Gori?" Suatu hari Rimba
mendapati Gorila tergelatak lemas di pinggir telaga.
"Kena tembak," jawan Gorila pendek.
Meringis, sambil memegang sisi kanan perutnya yang keserempet peluru.
Dengan cekatan Rimba menolong si Gorila. Membersihkan
luka itu dengan air bersih, hangat. Dikompres. Kemudian dengan kepandaian dan
kecerdasannya, Rimba mencari daun obat-obatan. Digerus, kemudian ditempelkan di
tempat luka dan dibebat dengan kain bersih.
"Terima kasih, Rimba," kata Gorila sambil
tersenyum memandang wajah Rimba.
"Sama-sama," jawab Rimba, juga tersenyum.
Bersahabat dengan binatang buas bukan hal yang
mustahil. Nyata, hewan pun punya emosional empati terhadap manusia. Banyak
kasus, manusia bisa beraudiensi dengan singa, macan, buaya, dan lain-lain.
Mengapa? Maluri cinta dan kasih sayang adalah jawabannya.
Pada suatu hari, Rimba dihadapkan pada kenyataan.
Orang-orang yang tidak bertanggung jawab ingin menjarah kayu di hutan. Ini
bukan perkara gampang. Karena yang dihadapi adalah manusia berhati setan.
Menghalalkan segala macam cara, untuk memcapai tujuan.
"Kalau di sini, tidak akan ada seorang pun yang
akan menangkap kita," si jangkung kribo berkata pada teman-tamannya.
Mungkin ia pimpinannya.
"Tidak ada jejak manusia di sini," timpal si
rambut cepak. Ia meraba-raba pohon besar di hadapannya.
Rimba menguping pembicaraan itu dari balik dahan.
Pohon yang sangat besar tidak jauh dari lokasi itu. Rimba memotar otak.
"Ini harus hati-hati," katanya dalam hati.
Ada lima orang dalam rombongan pencurian kayu itu.
Jika Rimba nekat menghadapi mereka, pasti ia akan mati konyol. Mereka punya
senjata. Mereka juga punya hati yang kejam. Tidak pandang siapa kawan, siapa
lawan. Terlihat mereka masih kelelahan. Mungkin karena perjalanan yang sangat
jauh.
Kemudian Rimba memutuskan untuk mengirim pesan melalui
anak panah. Di anak panah tersebut digantungkan secarik kertas dengan catatan:
"Jangan pernah menebang pohon di sekitar ini!
Kalau tidak, pasti Anda celaka!"
Tiba-tiba, "wessss,....plak," anak panah itu
melesat dan tertancap di batang pohon yang disandari oleh si jangkung. Ia
terkejut bukan kepalang.
"Siapa?" Sergahnya sambil awas sekeliling.
Matanya melihat ke sana ke mari. Jelalatan dan terlihat garang. Rimba tetap
dalam persembunyiannya. Keempat kawannya pun ikut panik. Melihat sekeliling.
Heran dengan apa yang terjadi.
Si jangkung mengambil kertas di anak panah.
Membacanya. Ia terlihat takut. Wajahnya pias. "Berarti di sekitar ini ada
penunggunya," gumamnya.
Tiba-tiba lagi sebuah anak panah yang lain melesat.
Tepat mengenai baret yang dipakai salah satu penjarah. Sengaja Rimba hanya
membidik tutup kepalanya saja. Tidak untuk melukai, juga tidak untuk menyakiti.
Hanya ingin agar mereka sadar, bahwa perbuatan mereka akan merusak ekosistem.
Banjir. Dan kepunahan satwa.
"Di sini tidak aman. Kita pergi saja!" Salah
seorang mengusulkan.
"Ya, benar. Seperti ada penunggunya." Timpal
yang lain.
"Ya, kita pergi saja," si jangkung akhirnya
menyetujui, kemudian dengan tergesa mereka mengambil langlah seribu. Dari dahan
yang rimbun, Rimba tersenyum puas, menang.
***
Sekitar umur enam tahun, Rimba pernah masuk ke sebuah
perkampungan. Semula orang-orang sebayanya merasa takut. Tetapi, lama kelamaan
mereka menyambut Rimba dengan tangan terbuka. Mereka bermain, bekejaran. Bahkan
Rimba pun belajar cara membaca dan menulis. Rimba anak yang cerdas. Hanya
beberapa kali ia belajar, dalam waktu singkat pun ia dapat menguasai. Rimba
juga anak yang baik. Ia suka menolong. Sehingga ia disukai oleh orang-orang di
kampung itu.
Salah seorang gadis di kampung itu jatuh hati pada
Rimba. Bukan karena Rimba tampan, lebih dari itu karena ia baik hati dan suka
menolong. Riba tahu diri. Tidak mungkin ia membawa gadis cantik itu ke alamnya.
Meski mereka sama-sama suka, tetapi Rimba menolaknya.
"Jangan Arimbi. Kita berbeda alam. Tetaplah di
sini. Pada saatnya nanti, Engkau akan dipinang oleh lelaki yang setara
denganmu." Rimba berkata sedih kepada Arimbi, sesaat sebelum ia kembali ke
alamnya. Di rimba belantara. Hutan dengan binatang buas yang ada di dalamnya.
"Tapi, aku mencintaimu, Rimba," Arimbi
mencoba memaksa.
"Sekali lagi jangan Arimbi. Engkau tidak akan
kuat bersamaku."
Pada akhirnya mereka pun berpisah. Rimba kembali ke
habitatnya. Menemui ibunya. Menyambut sorak sorai teman-temannya. Hewan,
pepohonan, riak arus sungai, dan tumbuhan belukar. Jiwa Rimba adalah jiwa
mereka. Hidup untuk kelestarian habitat hutan.
***
Waktu semakin meluruh, menghantar masa
pada ujung suasana. Ibu Rimba sudah semakin renta. Ia sudah semakin berumur.
Umur pun sewaktu-waktu bisa menjemputnya.
Suatu hari Ibu Rimba yang sedang
terbaring sakit, memanggil anak semata wayang. Ada sesuatu yang ingin Ibu
ungkapkan.
“Rimba anakku, Ibu sudah semakin tua.
Sebentar lagi Ibu akan pergi. Pergi untuk selama-lamanya. Jaga diri baik-baik,
Nak!” Seakan sebuah firasat jika tidak lama lagi Ibu Rimba akan meninggal
dunia.
“Jangan berkata begitu, Bu. Rimba masih
ingin bersama Ibu.” Kata Rimba di samping ibunya yang terbaring sakit.
“Tapi umur itu terbatas, Nak. Tidak
mungkin Ibu akan hidup kekal selamanya,” tersedak suara ibu dalam kesenyapan
suasana.
“Benar Bu. Tapi Ibu tidak boleh berkata
seperti itu,” Rimba pun terharu dengan air mata mulai menetes dari sudut
matanya.
Rimba tergugu dalam tangis pilu. Ia
memeluk ibunya yang selama ini telah membesarkannya. Kini, ibu itu sudah
terlihat tidak berdaya. Nafasnya sudah tersengal. Dadanya turun naik. Masih ada
tanda-tanda kehidupan. Tetapi, ibu telah melakukan semuanya. Untuk anaknya. Untuk
lingkungannya. Kini, saatnya ia pergi. Istirahat untuk selama-lamanya.
Maka dengan senyum mengembang, Ibu Rimba
pun menghembuskan napas terakhirnya. Inna
lillahi wainna ilaihi roji’un. Kami milik Allah, hanya kepada Allah jua
kami akan kembali.
Rimba menjerit. Menangis atas kepergian
ibunya. Tetapi demikianlah hidup. Pada saatnya nanti yang hidup akan meninggal
dunia. Akan mengalami tidur panjang. Dan menemui Tuhannya.
***
Air mata sudah menyusut. Rimba ikhlas
dengan apa yang terjadi. Ia tegar dalam menghadapi kehidupan selanjutnya. Rimba
melihat ke depan. Jauh ke balik rimba. Di belantara hutan. Untuk memberikan
yang terbaik bagi kelestarian lingkungan.
Rimba akan memberikan hidupnya untuk
rimba. Ia akan terus bekerja, berusaha untuk kebaikan hutan dan segala isinya.
Biar bumi tetap hijau. Biar paru-paru dunia tetap tegap, sehat menuju generasi
ke generasi berikutnya. Menyeimbangkan kehidupan yang harmonis. Demi
kebahagiaan hidup dan berkehidupan bahagia. Sepanjang hayat. Sepanjang masa.
Selamanya.
Madura, 27
November 2013
No comments:
Post a Comment