Friday, September 12, 2014

BUBUR 'BUKAN' ALA NURMAN KAMARU



Tadi malam, aku dan teman-teman kantor menonton reality show, Hitam Putih, dengan host Dedy Corbuzer dan bintang tamu Nurman Kamaru. Nurman Kamaru adalah mantan anggota brimob dari Gorontalu yang fenomenal lewat aksinya di youtube, dengan goyang India, Caiya-caiya.

Nurman Kamaru sempat menjadi tranding topick. Terkenal menjadi artis dadakan, dan diperbincangkan diberbagai media, baik cetak ataupun elektronik. Namun, seiring berjalannya waktu, popularitas spontanitas (edonom) itu meredup, dan tiba-tiba menghilang bagai tak berbekas. Bahkan, hingga terdengar kabar, bahwa Nurman Kamaru dipecat dari kesatuannya karena dianggap tidak disiplin dan membawa pengaruh jelek atas institusinya. Maka, berakhirlah sudah!

Hingga beberapa hari yang lalu, aku membaca berita di detik.com, kalau Nurman Kamaru, kini telah menjadi tukang bubur. Berjualan 'bubur Manado' bersama istri tercintanya. Mungkin saja banyak orang beranggapan, kalau Nurman salah langkah. Keliru dalam mengambil sebuah keputusan. Bagiku, Nurman Kamaru telah sukses membawa dirinya lepas dan bebas dari lingkaran yang serba 'terbatas'. Harus begini dan harus begitu. Mesti kerjakan ini, dan jangan kerjakan itu. Jiwa Nurman telah benar-benar merdeka.

Kembali ke Hitam Putih.

Mungkin tersebab oleh kondisi Nurman Kamaru mengubah haluan menjadi penjual bubur, maka terbersit dalam benakku untuk membuat bubur. Bukan bubur ala Nurman Kamaru, tetapi bubur ala aku sendiri.

Selepas dari shalat Jum'at, aku istirahat. Tidur. Melepas lelah setelah seharian beraktifitas. Aku beranjak dari pembaringan, dari atas kasur sederhana, satu-satunya. Tujuannya, untuk membuat bubur.

Pertama (tanpa kedua dan seterusnya).
Aku ambil segelas kecil beras. Mendekati penuh. Aku cuci, kemudian menjerangnya di atas kompor listrik, eh kompor gas. Hakikatnya, aku tidak tahu membuat bubur. Dalam pikiranku, yang penting airnya diperbanyak. Tidak lama, kemudian beras tersebut sudah terjerang di atas kompor. Api, aku nyalahin yang terkecil saja.

Tidak berapa lama, air plus beras itu sudah mendidih. Aku aduk terus, dan terus. Hingga akhirnya menggumpal, serupa bubur. Ah,...emang buat bubur kok. Jlep!

Setelah beberapa lama, dan dirasa sudah mateng, aku kemudian membuat rempahnya. Beberapa butir bawang putih, bawang merah, pala, garam, serta penyedap masakan. Kesemua bumbu diulek, kemudian digoreng. Ehmmm,...bau harum terasa di tenggorokan(?).

Setelah itu, aku jerang lagi bubur yang sudah masak. Benar gak ya, caranya. Bumbu goreng aku masukkan semuanya. Dirasa kurang air, aku tambah lagi air. Aiiihh, aneh ya cara masaknya? Hihihhh, kelihatan kalau bukan koki.

Jrenggg...
Setelah diaduk rata, bubur ala Nurman Kamaru, eh maksudku, bubur ala masakanku sendiri sudah siap. Terhidang di depan hidung.

Kalau bubur Nurman Kamaru, kata Dedy Corbuzer enak, maka bubur buatanku, kataku sendiri, jauh lebih enak. Wek, enak sendiri aja!

"Enak," kata Bung Dedy saat mencicipi bubur Nurman Kamaru. "Hanya ada yang kurang,..." lanjutnya mandek.

"Kurang apa?" Jawab Nurman.
"Kurang asin dan kurang banyak," disambut tawa penonton Hitam Putih.

Terus, menurut Anda, bubur buatanku enak gak ya? Jika yang mencicipi teman-teman pondokku dulu, maka jawaban 'enak' sudah pasti. Lho, apa hubungannya? Tanyakan pada rumput yang bergoyang!

Sumenep, 11092014

No comments:

Post a Comment