Tadi malam, aku
dan teman-teman kantor menonton reality show, Hitam Putih, dengan host Dedy Corbuzer
dan bintang tamu Nurman Kamaru. Nurman Kamaru adalah mantan anggota brimob dari
Gorontalu yang fenomenal lewat aksinya di youtube, dengan goyang India,
Caiya-caiya.
Nurman Kamaru
sempat menjadi tranding topick. Terkenal menjadi artis dadakan, dan
diperbincangkan diberbagai media, baik cetak ataupun elektronik. Namun, seiring
berjalannya waktu, popularitas spontanitas (edonom) itu meredup, dan tiba-tiba
menghilang bagai tak berbekas. Bahkan, hingga terdengar kabar, bahwa Nurman
Kamaru dipecat dari kesatuannya karena dianggap tidak disiplin dan membawa
pengaruh jelek atas institusinya. Maka, berakhirlah sudah!
Hingga beberapa
hari yang lalu, aku membaca berita di detik.com, kalau Nurman Kamaru, kini
telah menjadi tukang bubur. Berjualan 'bubur Manado' bersama istri tercintanya.
Mungkin saja banyak orang beranggapan, kalau Nurman salah langkah. Keliru dalam
mengambil sebuah keputusan. Bagiku, Nurman Kamaru telah sukses membawa dirinya
lepas dan bebas dari lingkaran yang serba 'terbatas'. Harus begini dan harus
begitu. Mesti kerjakan ini, dan jangan kerjakan itu. Jiwa Nurman telah
benar-benar merdeka.
Kembali ke Hitam
Putih.
Mungkin tersebab
oleh kondisi Nurman Kamaru mengubah haluan menjadi penjual bubur, maka
terbersit dalam benakku untuk membuat bubur. Bukan bubur ala Nurman Kamaru,
tetapi bubur ala aku sendiri.
Selepas dari
shalat Jum'at, aku istirahat. Tidur. Melepas lelah setelah seharian
beraktifitas. Aku beranjak dari pembaringan, dari atas kasur sederhana,
satu-satunya. Tujuannya, untuk membuat bubur.
Pertama (tanpa kedua dan seterusnya).
Aku ambil segelas
kecil beras. Mendekati penuh. Aku cuci, kemudian menjerangnya di atas kompor
listrik, eh kompor gas. Hakikatnya, aku tidak tahu membuat bubur. Dalam
pikiranku, yang penting airnya diperbanyak. Tidak lama, kemudian beras tersebut
sudah terjerang di atas kompor. Api, aku nyalahin yang terkecil saja.
Tidak berapa lama,
air plus beras itu sudah mendidih. Aku aduk terus, dan terus. Hingga akhirnya
menggumpal, serupa bubur. Ah,...emang buat bubur kok. Jlep!
Setelah beberapa
lama, dan dirasa sudah mateng, aku kemudian membuat rempahnya. Beberapa butir
bawang putih, bawang merah, pala, garam, serta penyedap masakan. Kesemua bumbu
diulek, kemudian digoreng. Ehmmm,...bau harum terasa di tenggorokan(?).
Setelah itu, aku
jerang lagi bubur yang sudah masak. Benar gak ya, caranya. Bumbu goreng aku
masukkan semuanya. Dirasa kurang air, aku tambah lagi air. Aiiihh, aneh ya cara
masaknya? Hihihhh, kelihatan kalau bukan koki.
Jrenggg...
Setelah diaduk
rata, bubur ala Nurman Kamaru, eh maksudku, bubur ala masakanku sendiri sudah
siap. Terhidang di depan hidung.
Kalau bubur Nurman
Kamaru, kata Dedy Corbuzer enak, maka bubur buatanku, kataku sendiri, jauh
lebih enak. Wek, enak sendiri aja!
"Enak,"
kata Bung Dedy saat mencicipi bubur Nurman Kamaru. "Hanya ada yang
kurang,..." lanjutnya mandek.
"Kurang
apa?" Jawab Nurman.
"Kurang asin
dan kurang banyak," disambut tawa penonton Hitam Putih.
Terus, menurut
Anda, bubur buatanku enak gak ya? Jika yang mencicipi teman-teman pondokku
dulu, maka jawaban 'enak' sudah pasti. Lho, apa hubungannya? Tanyakan pada
rumput yang bergoyang!
Sumenep,
11092014
No comments:
Post a Comment