PURNAMA SURGA BERTAUT
Senja di ujung kisah
Menjaring pelangi, runcing mentari
Mendawai mahligai purnama
di telaga maghfirah Ilahi
Sirah sebening istighfar
dendang nafiri berlabuh rindu
pucuk cintanya-Nya, redam angkara
di ruas sang waktu, di bibir malam
Ramadhan!
Bias dendang kelana jiwa
menyuluh kasturi, di rimba kasih
bertaut Rahmat-Mu, menebar cakrawala
melarung keabadian berhulur kasih
Bulanku, purna!
Purnama bergurat syahadat
Gemerlap dedaun, berpadu ampunan
berderai meneriak kawah rindu, melebur jiwa
lelangkah berselip lidah retak
berpucuk tirai sekerat ‘istighfar’
Rmadhan!
Marhaban ya cahaya surga
Tarian bidadari, jamah malaikat
Munajat shalawat, di mihrab cinta
Berkidung nyanyian mahligai rindu
Tirai ampunan, bertalu doa
Bertakbir salam, ya Allah!
Taut rinduku sebening hasrat
Di lembar pucuk ramadhan
‘Pintu ridha-Mu, surga berdawai
siluet tirai maaf, dari kobar nyala api-Mu’
BTP 28072014
Pagi di musim kemarau. Angin sepoi, semilir
menggigilkan tubuh ringkihku. Setelah sholat subuh, Mbak mengajakku untuk pergi
ke bawah pohon asam (nyandha' accem; Madura). Mengharap ada beberapa buah asam
yang jatuh. Tentu, buah asam yang sudah masak, menjadi bagian dari rejeki kami
saat itu. Dikumpulkan untuk beberapa hari lamanya. Kemudian dibawa ke pasar
untuk dijual ke pedagang.
Embun musim kemarau masih menetes. Aku masih
terlalu kecil saat itu, untuk merasakan makna hidup. Maka, ketika kudapatkan
sebuah asam, buah kecut itu menggugah seleraku. Aku pun memakannya. Di pagi
itu, kala mentari masih belum menampakkan diri.
"Lho, kok dimakan?" Kata Mbakku
sambil menggendong adikku yang masih kecil.
"Kenapa?" Aku tidak mengerti.
"Kan kamu puasa?"
"Kan masih malam, Mbak!"
"Tidak boleh!" Jawab Mbakku sambil
menjelaskan batasan-batasan puasa.
Ya, benar. Saat itu bulan Ramadhan. Semua orang
Islam sedang melaksanakan ibadah puasa. Dalam benakku, puasa hanya tidak boleh
makan pada waktu siang. Maksudku, saat matahari pagi belum nampak, aku kira,
masih bisa makan dan minum. Maklum, aku masih begitu kecil, belum sekolah. Tapi
sudah diajari untuk melaksanakan puasa.
Pada saat musim asam berbuah, di dekat rumahku
ada sebuah pohon asam yang sangat besar. Kami, aku dan teman-teman sebayaku,
biasa nongkrong di bawah pohon asam besar itu. Menunggu angin lewat, dan
beberapa buah asam yang sudah matang berguguran. Dan kami berebutan. Gembira.
Meski terkadang buah asam itu hancur karena diperebutkan. Kebahagiaan masa
kanak-kanak kami begitu membekas. Tetap terbayang hingga waktu yang tak
berhingga.
***
Hari Raya Idul Fitri tinggal beberapa hari
lagi. Seharusnya, kebahagiaan datang menghampiriku. Berangan baju baru, celana
baru, songkok baru, dan lain-lain yang serba baru.
Namun, lebaran kali ini kebahagiaan itu harus
kupendam. Pasalnya, sampai detik ini, hari raya tinggal dua hari lagi, orang
tuaku belum membelikanku pakaian baru. Ingin rasanya aku menangis, bila
mendengar teman-temanku membicarakan baju barunya masing-masing dengan rasa
bangga. Ya, dengan rasa bangga.
"Bajuku warna merah. Ada garis-garis hitam
di depannya." Kata Fudali.
"Kalau bajuku warba hijau. Kerahnya
hitam." Arifin menimpali.
Aku hanya jadi pendengar. Aku sudah yakin,
lebaran tahun ini tanpa baju baru. Ingin rasanya aku menangis. Berteriak minta
dibelikan baju baru. Namun, aku tahu kondisi ayah dan ibuku. Bukan mereka tidak
mau membelikan baju baru untukku. Tetapi, uangnya yang tidak memungkinkan.
Kemiskinan telah merajai kondusi keluargaku.
Malam hari raya.
Hari Raya Idul Fitri tinggal beberapa hari
lagi. Seharusnya, kebahagiaan datang menghampiriku. Berangan baju baru, celana
baru, songkok baru, dan lain-lain yang serba baru.
Namun, lebaran kali ini kebahagiaan itu harus
kupendam. Pasalnya, sampai detik ini, hari raya tinggal dua hari lagi, orang
tuaku belum membelikanku pakaian baru. Ingin rasanya aku menangis, bila
mendengar teman-temanku membicarakan baju barunya masing-masing dengan rasa
bangga. Ya, dengan rasa bangga.
"Bajuku warna merah. Ada garis-garis hitam
di depannya." Kata Fudali.
"Kalau bajuku warba hijau. Kerahnya
hitam." Arifin menimpali.
Aku hanya jadi pendengar. Aku sudah yakin,
lebaran tahun ini tanpa baju baru. Ingin rasanya aku menangis. Berteriak minta
dibelikan baju baru. Namun, aku tahu kondisi ayah dan ibuku. Bukan mereka tidak
mau membelikan baju baru untukku. Tetapi, uangnya yang tidak memungkinkan.
Kemiskinan telah merajai kondusi keluargaku.
Malam hari raya.
Aku pasrah tanpa baju baru. Meski hati ini
menangis. Meski perasaan begitu membuncah. Harapan sekali dalam setahun. Tak
berwujud. Biarlah. Sudahlah.
Di beranda rumah. Aku duduk bersama ibu dan
adikku. Ibu dengan cinta mengelus keningku. Kulihat telaga matanya mengembang.
Tidak, ibu bukan menangis. Aku tahu, ibu adalah orang yang tegar.
"Sabar Nak!" Kata ibu sambil membelai
rambutku. Aku hanya diam. Adikku yang belum bisa bicara bermain mobil-mobilan
di lantai. Ya, lantai tanah yang penuh debu. Siang tadi aku buatkan
mobil-mobilan untuknya dari buah 'nyamplong'. Dan kulihat adikku menyukainya.
Allahu Akbar...Allahu Akbar...
Walillahil hamd!
Takbir berkumandang di malam lebaran. Di
menara-menara masjid. Di surau dan langgar. Juga di lapangan. Besok, semua
orang Islam merayakan kemenangan. Kebahagiaan telah lulus melaksanakan ibadah
puasa. Sukses menahan godaan iblis dan setan. Aku pun begitu. Tidak sehari pun
aku lepas dari puasa Ramadhan. Alhamdulillah.
Saat semua teman-temanku bergembira. Aku hanya
termangu. Ah, tidak. Aku pun bahagia. Aku tetap gembira meski tidak harus
berbaju baru. Tidak mengapa. Aku tetap bahagia. Aku tunjukkan kebahagiaanku
pada ibu. Dengan menyalakan kembang api yang dibelikan Paman, beberapa hari
yang lalu. Oh, ternyata bahagia itu tidak harus berpakaian baru.
"Bu, Ayah kemana?" Dari siang tadi
aku tidak melihat Ayah. Aku tidak tahu kemana Ayah seharian, hingga malam
lebaran ini pun belum datang.
"Gak tahu," jawab ibu menggeleng.
Senyum seakan dipaksakan dari raut bibir ibu.
Belum lama kami membincang Ayah, ia tiba-tiba
muncul dari balik gelap malam. Cahaya patromak meyakinkan itu adalah Ayah.
"Ayah,..." Aku berteriak pada pada
ibu. Antara gembira dan kegetiran yang tidak menentu.
Dengan wajah sumbringah, ayah membuka bungkusan
plastik yang dibawanya. Allahu Akbar, pekikku dalam hati ketika kulihat apa
yang dibawa ayah. Baju baru, sarung baru, songkok baru, dan juga sandal jepit
baru. Untukku, untuk adikku, juga untuk ibu.
"Alhamdulillah. Ya Allah, terima kasih,
telah Engkau berikan padaku Ayah dan Ibu yang menyayangiku tanpa batas!"
Jauh setelah aku besar, baru aku tahu bahwa
Ayah mendapat uang untuk lebaran saat itu dengan cara menggadaikan barang
berharga milik Ayah. Terima kasih Ayah!
Sumenep, Juli 2014
No comments:
Post a Comment