Monday, February 17, 2014

13 MALAM PURNAMA



13 MALAM PURNAMA
 
Sumber gambar: http://darknessandy.blogspot.com/2012/02/legenda-werewo.html
“Mustahil dan tidak masuk akal.”
“Tapi ini nyata, Sri!”
“Mana mungkin manusia bisa jadi binatang?”
“Ini terjadi pada diriku sendiri. Apa kamu tidak percaya padaku?”
“Bukan tidak percaya, tapi aneh saja!”

Lycanthropy adalah proses transformasi manusia ke binatang. Dan itu terjadi pada diriku sendiri. Aku tidak mengerti dengan kejadian ini. Pasti orang yang mendengar akan mencemooh. Mengatakan bahwa aku bohong. Orang munafik yang tidak bisa dipercaya.

Sudah menjadi rahasia umum, bahwa angka 13 adalah angka sial. Angka yang tidak diinginkan dalam kehidupan ini. Bahkan dalam kehidupan nyata, di negera-negara maju pun, angka 13 menjadi angka monster. Sehingga hotel berbintang pun enggan meletakkan angka 13 di kamarnya. Solusinya menjadi 12A dan 12B (ganti dari angka 13).

Begitu juga denganku. Setiap tanggal 13 bulan purnama aku akan berubah menjadi seekor serigala. Seekor lycan liar atau kata orang Madura menjadi macan remrem. Ada juga yang mengatakan anjing hutan. Apakah karena tanggal 13?

Malam ini purnama. Begitu juga pas tanggal 13. Itu artinya sebuah kekuatan yang luar biasa akan terjadi dalam diriku. Kekuatan yang tidak bisa kukendalikan. Aku tidak kuasa terhadap transformasi diri menjadi seekor serigala liar. Serigala jadi-jadian yang akan mencari mangsa. Bergidik tubuhku jika ingat apa yang akan terjadi pada diriku malam ini.

“Sri, malam ini malam purnama tanggal 13”.
“Ya, kenapa?” kata Sri santai. Tidak peduli dengan kecamuk hatiku saat ini.
“Kamu tidak percaya kan, bahwa aku bisa berubah menjadi seekor serigala saat malam seperti ini?”
“He eh....”. Sri masih acuh tak acuh.
“Ikut aku malam ini!”
“Boleh....”.

Aku dan Sri, kekasihku menuju ke tanah lapang di hutan. Jauh dari keramaian. Aku akan membuktikan pada Sri, bahwa apa yang kukatakan bukan dusta. Tapi kisah nyata yang akan menjungkir-balikkan ideologi. Akan kutunjukkan pada Sri, bahwa yang mustahil menjadi nyata.

Tengah malam aku dan Sri  sampai di tempat yang dituju. Purnama begitu gagah memancarkan sinarnya. Jam menunjuk 12 malam. Sebuah kekuatan luar biasa telah menyerangku. Tiba-tiba badanku panas luar biasa. Aku menggeliat. Sri jadi bingung melihat aku demikian.

Ketika purnama bertahta di langit dengan gagahnya. Saat itu pula bulu-bulu kasar tumbuh di sekujur tubuhku. Kuku-kuku tajam dan taring juga muncul dengan sendirinya. Entah kekuatan apa yang merasuk dalam tubuhku. Aku meraung, menjerit, mengaum, dan aku sudah bertransformasi menjadi seekor srigala. Sri kaget, tidak menyangka hal yang tidak ia yakini bisa terjadi.

“Auuu..........ghhhhh”.  Aku serigala, macam remrem, dan anjing hutan mengaum. Melolong di tengah hutan, malam purnama tanggal 13.

Sri mulai ketakutan. Dan aku pun mulai menyerangnya. Sri berusaha berkelit. Tapi tenaga perempuan Sri tidak seberapa. Tidak begitu lama aku telah mencabik tengkuknya, dan mengisap darahnya. Sri pun lambat laun tubuhnya menggeliat, mulutnya melolong, menjerit, dan mengaum di kesepian hutan belantara. Transformasi Lycan yang kedua terjadi.

“Auuuu........gghhhhhh”. Aku melolong.
“Auuuu........gghhhhhh”. Sri menempali.

Di tengah hutan dan di bawah sinar penuh purnama, aku dan Sri melolong untuk mencari mangsa yang lain. Berhati-hatilah kepada semua warga di setiap malam purnama tanggal 13. Aku dan Sri serigala haus darah siap menerkam Anda.

Malam semakin larut. Aku dan Sri, dua serigala jadi-jadian berkeliling di tengah hutan. Di bawah sinar purnama. Dari satu bayang kegelapan pohon ke pohon lainnya. Mencari mangsa. Dan haus darah. Lapar, ingin menerkam setiap sisi kehidupan amnusia. Sebuah aspek sosial yang tergadai oleh gendam atau ilmu hitam. Aku dan Sri terus mengaum.

Bulan sudah tinggal separuh. Sebentar lagi fajar akan menyingsing. Aku dan Sri mengibas-ngibaskan ekor. Tidak ada yang bisa dijadikan mangsa lain di malam purnama tanggal 13 ini. Aku dan Sri merasakan sakit yang luar biasa. Bulu-buluk kasar pada tubuhku dan tubuh Sri, sedikit demi sedikit berlepas. Kuku-kuku tajam juga tanggal satu persatu dengan iringan aum yang menyisakan kepedihan. Kesakitan yang luar biasa.

Seiring dengan terbenamnya purnama, dan fajar di arah timur menyingsing, aku dan Sri tergolek lemas di bawah pohon besar di tengah hutan.

“Mas, apa yang terjadi dengan kita semalam?” dengan sisa-sisa tenaganya, Sri berkata heran kepadaku. Aku yang juga tergeletak lemas hanya mampu menggeleng. Tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Jelasnya, aku seperti yang dikendalikan oleh kekuatan di luar kehendakku. Aku mendesah.
“Aku juga bingung. Apa sebenarnya yang terjadi pada diriku, dan juga dirimu.” Aku bergumam. Entah kepada siapa kata itu aku tujukan. Kepadaku, atau kepada Sri kekasihku. Gara-gara aku, Sri juga telah menjadi serigala jadi-jadian. Ia terkontaminasi oleh transformasi gelapku.

Matahari sudah meninggi. Aku dan Sri melangkah pulang. Dengan perasaan yang tidak karuan. Tidak menentu. Bahwa dalam tubuh kami telah mengalir darah hitam serigala. Benar-benar sebuah keadaan yang tidak biasa. Tidak seorang pun yang menginginkan hal ini terjadi pada diri mereka.

Waktu terus berlalu. Tentu dengan warna kehidupan yang terjadi di dalamnya. Sesekali masih mewujud dalam pikiranku akan hakikat transformasi. Mengapa hal ini harus terjadi? Aku hanya bertanya kepada hari-hariku yang terus berlalu. Menghitung detak detik ke menit. Dari hari ke minggu. Dan dari bulan ke tahun. Maka, tanggal 13 bulan purnama pun kembali terulang. Malam yang merasuk tubuhku, dan juga tubuh Sri akan kembali ditayangkan. Aku hanya mampu menghela nafas.

“Mas, apa yang harus kita perbuat?” sehari sebelum 13 bulan purnama Sri berkata sedih kepadaku. Aku hanya mampu menggeleng, mendesah dan memandang cakrawala. Awan hitam bergelantung di ufuk. Kelam, seresah pikiranku yang tidak menentu. Entah apa yang harus aku pernuat agar terlepas dari belenggu manusia serigala.
“Aku juga tidak tahu Sri. Apa yang harus aku perbuat. Aku dan Kamu Sri, tidak bisa lepas dari belenggu manusia serigala ini.”
“Apakah ini sebuah kutukan Mas?”
“Aku tidak mengerti. Kalau memang kutukan,...” aku menarik nafas dalam-dalam, “Kutukan dari mana?”
“Mungkin dari salah satu orang tua kita Mas?”
“Tidak logis, jika kutukan itu harus aku dan Kamu Sri yang harus menanggung akibatnya.”
“Hem, sebuah misteri yang paling mistis,” Sri seperti berkata pada dirinya sendiri. Sebuah gumam yang tidak jelas ke mana arah dan tujuannya.

Senja merona. Membiaskan awan merah yang cerah. Secerah bulan purnama yang sebentar lagi, tanggal 13 akan segera bertahta. Aku dab Sri duduk di sebuah batu besar. Di belakang rumah. Jauh dari pandang, di sana, di bagiab jauh ke dalam, rimbun hutan menyisakan sebuah misteri. Ragam sakral, dan dunia astra begitu kuat eksistensinya. Begitu yang terjadi dan sedang bergayut di alam pikirku saat ini. Begitu juga pikiran Sri. Berkecamuk dunia lycan, di luar alam sadar manusia. Mistis, sekaligus miris.

Senja terus merambat. Tanpa sadar aku dan Sri menuju tanah lapang di dalam hutan. Sungguh begitu saja. Tanpa sadar. Dan tanpa disengaja. Naluri manusia serigala mulai menjalar.

Purnama mulai merayap. Malam tanggal 13 kali ini begitu resah. Resah oleh keadaan yang sebenarnya tidak diinginkan. Keadaan yang sesungguhnya tidak disadari. Begitu saja, dan seketika.

Aku memandaang wajah Sri yang bukan wajahnya. Memperhatikan tubuh Sri yang bukan tubuhnya. Membaca alam pikir Sri yang bukan logikanya. Sri adalah cermin diriku sendiri. Ketika pelan tapi pasti, tubuhnya mulai berubah. Bulu-bulu kasar mulai tumbuh. Semakin lama semakin banyak. Kuku-kuku tajam mulai bermunculan, dan taring yang siap menerkam tiba-tiba saja mengaum.

“Aauuu.....gghhhhhh,” Sri mengaum keras. Berdiri bulu kuduk bagi yang mendegarnya.
“Auuuu....gghhhhhh, “ aku yang juga sudah menjadi pejantan menimpali. Bersahutan, di dalam hutan yang semakin kelam.

Malam ini naluri manusia serigala mengajak mencari mangsa. Tentu di dalam hutan yang lebat ini tidak ada seorang manusia pun. Hanya binatang-binatang kecil, melata yang tidak menjadi target mangsaku dan Sri. Naluri serigalaku mengajak ke luar hutan. Mencari manusia sebanyak-banyaknya. Menjadikan mereka manusia serigala. Semuanya, tanpa kecuali.

“Sri, ayo kita ke luar hutan,” ajakku pada Sri.
“Ayo Mas. Kita cari mangsa sebanyak-banyaknya. Kita jadikan teman semuanya,” seringai Sri. “Aaauuuuu......gghhhhh,” kemudian Sri mengaum keras di antara sepi hutan yang menakutkan.

Tanpa komando, aku dan Sri meloncat. Berlari di antara cerah purnama yang bersinar terang. Dengan mata yang begitu tajam, merah menyala, mencari mangsa di perkampungan. Jeritan dan erangan terjadi dimana-mana. Dari satu mangsa ke mangsa yang lainnya. Dari satu orang ke orang yang lain pula. Dengan sekali gigit, mereka pun seketika berubah menjadi manusia serigala. Dan mereka pun siap mencari mangsa yang lainnya.

Begitulah rantai mangsa memangsa pun terjadi di malam itu. Di malam purnama tanggal 13. Tidak ada seorang pun yang terlepas dari serangan si manusia serigala. Maka malam itu juga, manusia sekampung telah menjadi serigala. Manusia-manusia serigala yang hau darah. Tumpahan dan ceceran darah di mana-mana. Anyir dan bau amis darah telah menjadi keasyikan tersendiri bagi manusia-manusia serigala ini.

Sri menghilang entah dimana. Aku mencoba mencarinya ke sana-ke mari. Tapi aku tetap tidak bisa menemukannya. Ia hilang bagai ditelan bumi. Aku mencoba bertanya dari satu serigala ke serigala yang lainnya. Tapi mereka tidak menmukannya.

“Aauuuuu........ggghhhhh!” aku mencoba memanggil nama Sri. Tetapi yang dipanggil tak kunjung menyahut. Tiak ada sahutan sama sekali. Kecuali jerit dan lolongan serigala lain yang tidak aku pedulikan. Sekali lagi,
“Aauuuuuu.......ggghhhh, (Sri, kemarilah. Jangan tinggalkan aku),” aku mengaum, melolong di bawah cahaya purnama yang semakin berpendar.

Puluhan manusia serigala berpesta. Tidak, bukan hanya puluhan, tapi ratusan atau bahkan ribuan serigala sedang berpesta. Minum darah, atau mencabik daging yang entah daging apa. Menyeringai, mengaum, melolong di antara malam yang semakin larut.

Malam itu dunia telah berubah. Manusia telah menjadi serigala. Tidak tahu teman tidak tahu lawan. Yang kuat yang menang. Yang sadis yang menjadi pimpinan. Tidak ada lagi pertolongan. Tidak ada lagi bantuan. Yang kalah harus tunduk dan mengabdi. Dan yang menang, dengan sendirinya diangkat menjadi raja rimba. Raja manusia serigala.

Hem. Sampai saat ini, detik ini juga, di muka bumi ini masih bertahta nafsu serigala. Manusia berhati serigala begitu banyak memenuhi tanah ini.


No comments:

Post a Comment