MANUSKRIP NABI
Sumber gambar: http://alphandi6.wordpress.com/2009/04/03/manuskrip-surat-nabi-kepada-kaisar-heraklius/ |
Tiba-tiba cahaya
hilang, lenyap. Mentari bersembunyi entah di mana. Gelap, keadaan begitu
gulita. Aku meraba dan terus meraba. Mencari cahaya yang hilang. Menemukan
cercah yang mungkin tertinggal. Sia-sia, cahaya itu lenyap begitu saja. Tanpa
jejak. Tanpa pamit. Hilang bak ditelan malam.
Aku menoleh ke
sana ke mari. Ke kanan, kiri, atas, di bawah tempat tidur. Di pojok-pojok
kamar, di atas lemari, di balik tirai selambu. Gelap, masih pekat, halimun
kegelapan mencuri penglihatanku. Aku mulai bingung, mencoba berpikir entah. Hirap
cercah meluruh pekat. Gelap dan calemot[1]!
Aku menengadah.
Langit tak berbintik, bintang tak tampak. Sedetik, kuperhatikan cakrawala,
berderit pintu langit menyingkap tirai. Pintu pun terkuak, kelebat cahaya
berpendar. Melayang, membawa obor keabadian. Mendekat, semakin dekat, dan
hinggap di hadapanku. Begitu saja, sekitar pun benderang, memendar cahaya dari
lontar langit yang turun bersama kelopak senja.
***
“Ini adalah pesan dari Muhammad bin Abdullah, yang
berfungsi sebagai perjanjian dengan mereka yang memeluk agama Kristen, di sini
dan di manapun mereka berada, kami bersama mereka. Bahwasanya aku, para
pembantuku, dan para pengikutku sungguh membela mereka, karena orang Kristen
juga rakyatku; dan demi Allah, aku akan menentang apa pun yang tidak
menyenangkan mereka.
Tidak boleh ada paksa atas mereka. Tidak boleh ada
hakim Kristen yang dicopot dari jabatannya, demikian juga pendeta dan biaranya.
Tidak boleh ada seorang pun yang menghancurkan rumah ibadah mereka, merusaknya,
atau memindahkan apa pun darinya ke rumah kaum muslim. Bila ada yang melakukan
hal-hal tersebut, maka ia melanggar perintah Allah dan Rasul-Nya. Bahwasanya
sesungguhnya mereka adalah sekutuku dan mereka aku jamin untuk tidak mengalami
yang tidak mereka sukai.
Tidak boleh ada yang memaksa mereka pergi atau
mewajibkan mereka berperang. Muslimlah yang harus berperang untuk mereka. Bila
seorang perempuan Kristen menikahi lelaki muslim, pernikahan itu harus
dilakukan atas persetujuannya. Ia tak boleh dilarang untuk mengunjungi gereja
untuk berdoa. Gereja mereka harus dihormati. Mereka tidak boleh dilarang untuk
memperbaiki gereja mereka dan tidak boleh pula ditolak haknya atas perjanjian
ini. Tidak boleh ada umat muslim yang melanggar perjanjian ini hingga hari
penghabisan (kiamat).”[2]
***
"Aku
menemukan manuskrip ini," kataku pada temanku, Zidqi sore itu.
"Apa
itu?" Zidqi penasaran.
"Manuskrip."
"Manuskrip
apaan?" Zidqi mencoba merebut naskah kuno itu dari tanganku. Memegangnya,
takjub, heran. Realitas sosialita dari manusia Agung, Rasulullah saw.
"Ini adalah pesan dari Muhammad bin
Abdullah," kalimat
indah dari serat kata yang berjimat wahyu. Jiwa manusia, rasa peduli sosial
yang beliau kedepankan. Bukan Rasulullah sebagai keagungan purna yang Beliau
ungkapkan, tetapi Muhammad bin Abdullah. Ana
Abdullah[3],
manusia biasa yang berempati luar biasa, dengan kehidupan biasa, tetapi dengan
ruh ikhtiar yang sangat luar biasa.
"yang berfungsi sebagai perjanjian dengan mereka
yang memeluk agama Kristen, di sini dan di manapun mereka berada, kami bersama
mereka." Terjabarkan
sebagai bentuk perjanjian, dengan kewajiban untuk memenuhi janji tersebut
dengan sebenarnya.
"Berjanji
kepada orang Kristen?" Zidqi masih tidak percaya.
"Benar kan?
Manuskrip ini menjelaskan seperti itu." Aku mencoba menarik kesimpulan.
"Bukankah
Kristen itu kafir dalam pandangan Islam?!" Zidqi seolah bertanya dalam
nada pernyataan. Masih kulihat bingung.
Kemudian aku
menjelaskan, bahwa orang kafir ada dua golongan. Kafir harbi[4] dan kafir dzimmi[5].
Kafir harbi adalah orang kafir yang
selalu mengganggu dan menyakiti kaum muslim. Kafir
ini yang harus kita tumpas, hingga mereka menyatakan siap untuk tidak
mengganggu lagi. Sedangkan kafir dzimmi
adalah orang kafir yang hanya tidak mengakui kebenaran Islam. Mereka tidak
mengganggu, hidup dalam sosial kemasyarakatan, juga saling menolong dalam berkehidupan. Darah mereka, harus dilindungi.
Zidqi terdiam.
Mungkin ia mencerna apa yang barusan aku katakan. Dan rupanya ia paham.
Mengerti dengan apa yang berusan aku jelaskan. Meski tentu saja, sedikit banyak masih ada yang
menganjal di benaknya, karena doktrin yang selama ini ia pahami akan memberikan
dampak yang lebih dalam.
Rasulullah saw menyatakan bahwa Beliau bersama mereka. Orang-orang Kristen
itu sebagai saudara. Sahabat yang seiya sekata, dalam urusan sosial kehidupan.
Tentu, tidak dalam urusan aqidah. Maka, dusta apa yang masih disangsikan dalam
pengakuan ini?
Sesaat Zidqi
membolak-balik transkrip kuno yang ada di tangannya. Ada perasaan takjub di
pikirannya. Ketika, dari naskah itu berpendar cahaya yang berkilauan. Cahaya
kebenaran, berkas sinar keabadian.
"Dari mana
Kaudapatkan naskah ini, Di?" Tak kusangka Zidqi menanyakan itu kepadaku.
Aku tergeragap, tidak tahu mesti berkata apa. Kemudian aku menoleh ke arahnya,
tersenyum, dan Zidqi pun turut tersenyum. Aku lega.
"Bahwasanya aku, para pembantuku, dan para
pengikutku sungguh membela mereka, karena orang Kristen juga rakyatku; dan demi
Allah, aku akan menentang apa pun yang tidak menyenangkan mereka."
Zidqi masih
terlihat bingung. Ia memandang ke langit, ke arahku, kemudian ke manuskrip yang
ia pegang. Membaca naskah kuno itu dengan saksama. Sekali lagi, dan sekali lagi, bahkan sudah berkali-kali. Hantinya masih diliputi tanda
tanya yang tidak berkesudahan. Ternyata ada naskah agung yang jauh lebih
menghormati sebuah makna toleransi. Arti dari sebuah ikatan sosial di antara
kehidupan berbangsa, bernegera, dan beragama. Islam begitu toleran, mengakui
hak asasi dari setiap individu, sehingga tidak semuanya dijadikan sebagai objek
sama rata. Baik sebagai pemeluk Islam atau di luar Islam.
Rasulullah
saw berjanji dalam sebuah tekat yang suci untuk membela kehormatan Kristen.
Beliau akan terasa senang jika mereka (Kristiani) senang, dan merasakan susah
jika mereka susah. Darah mereka perlu dibela dengan pertumpahan darah, bahkan
dengan nyawa sekalipun. Subhanallah,
Mahasuci Allah dengan segala kehendaknya!
“Tapi,
bukankah Ibnu Taimiyah menghukumi haram orang yang mengatakan selamat hari
Natal?” Zidqi masih bimbang. Doktrin yang selama ini ia pahami berkecamuk di
dalam pikirannya dengan segala konsekuensinya. Mencoba membalik setiap
persoalan yang logis menjadi samar. Sesamar persoalan mengucapkan “Selamat Hari
Natal.”
“Itulah
perbedaan, Qi. Ada semacam kaidah umum yang menyatakan bahwa di dalam perbedaan
itu terdapat hikmah. Sehingga kita tidak merasa benar sendiri. Merasa menang
sendiri. Orang lain salah, sedangkan ana[6]
yang paling benar. Sebuah persoalan ananiyah[7]
yang berarti egois dan individualis.” Aku mencoba menjabarkan makna khilafiyah[8].
Demikianlah,
jika memang persoalannya adalah ucapan “selamat,” tentu hal ini jauh dari
koridor aqidah, bahkan ada yang berani mengatakan bahwa ucapan itu jauh lebih
dahsyat dan lebih “kafir” daripada orang berzina, korupsi, membunuh, mencuri,
merampok, dan segala bentuk perbuatan dosa besar lainnya. Logika model apa ini?
Sudah jelas terungkap pembelaan yang jauh lebih mendalam daripada hanya sekadar
ucapan “selamat.” Bahwasanya sesungguhnya mereka adalah sekutuku
dan mereka aku jamin untuk tidak mengalami yang tidak mereka sukai. Dusta apalagi yang mereka makarkan dalam keagungan naskah ini?
***
Berlalu
sang waktu.
John
adalah tetangga dekatku. Aku begitu akrab dengannya. Meski keyakinan kita
berbeda, tetapi tidak membuat perbedaan itu sebuah pertentangan, perpecahan.
John menghormati saya sebagai muslim, sebagaimana aku pun menghormati John
sebagai kristian. Betapa indahnya ketika kita saling berbagi. Tanpa melihat
status sosial individu. Tanpa memandang keyakinan dari diri kita masing-masing.
Ada semacam perasaan yang terus memupuk rasa cinta, untuk terus berupaya
memberikan yang terbaik bagi siapa saja. Lingkungan dan alam sekitar.
Masih
terngiang beberapa waktu yang lalu, saat aku dan segenap kaum muslim merayakan
Hari Raya Idul Fitri. Dengan senyum yang begitu indah, ikhlas, dan ikut
bergembira, John datang bertandang ke rumahku.
“Selamat
Hari Raya Idul Fitri, Di!” Ucap John sambil menjabat erat tanganku. Aku pun
membalas jabatan erat tangan John dengan gembira. Aku tidak boleh menolak ucpan
tulus John. Jika tidak, dimanakah timbal balik dan toleransi yang seharusnya
kita berikan sebagai agama yang kaffah[9]
dan berperinsip rasa sosial?
“Terim
kasih John,” itulah jawabanku terhadap rasa kepedulian sesama teman.
Kebetulan
saat itu, Zidqi juga bershilaturrahmi
ke rumahku. Tentu ia juga berjumpa dengan John temanku. Zidqi sudah tahu kalau
aku berteman akrab dengannya. Sebagaimana juga ia tahu, bahwa John adalah Kristiani
yang juga berteman dengannya, meski tidak terlalu akrab.
“Selamat
Idul Fitri, Zid!” John juga menyalami Zidqi pada saat itu. Dengan ucapan, ya
dengan ucapannya yang tulus. Zidqi hanya diam. Terlihat ia agak kikuk, ada
sesuatu yang tidak beres dengan perasaannya. Tapi, John tidak peduli. Kami pun
akrab bercengkerama di beranda rumahku dengan aneka gu’ganggu’[10].
25
Desember
Sebagaimana
biasa setiap tanggal 25 Desember umat Kristiani merayakan Hari Natal. Terlepas
dari kebenaran hari lahir Yesus, Nabi Isa, maka pada tanggal tersebut oleh
sebagian kalangan Nasrani diyakini sebagai hari lahir Yesus. Maka mereka
berupaya untuk menyambut hari lahir tersebut dengan berbagai tradisi upacara
yang mungkin saja, dari waktu ke waktu bisa mengalami perkembangan, atau pun
perubahan.
Tak
terkecuali dengan John. Ia juga tengah mengadakan misa, atau ritual keagamaan
yang ia yakini. Di gereja, ya tempat John melakukan ritual ibadah agamnya. Aku
yang beragam Islam, tentu saja tidak masuk dalam ritual tersebut. Tetapi,
sebagai penganut Agama yang baik, aku tidak pernah mengganggu kegiatan greja
dan lainnya. Biarlah, mereka melakukan ritual keagamaannya, sesuai dengan
keyakinannya. Lakum dinukum waliya din.[11]
Hari
itu, aku duduk-duduk bersama Zidqi di depan masjid Raya. Masjid yang begitu
megah di kotaku. Setelah melakukan sholat Dhuha, aku dan Zidqi ngobrol apa
saja. Termasuk juga manuskrip Nabi yang aku temukan beberapa waktu yang lalu.
“Kemrean
aku membaca sebuah artikel. Irene Subandono, menjelaskan tentang hakikat Hari
Raya Natal. Bahwa Yesus, Nabi Isa, tidak dilahirkan pada tanggal 25 Desember!”
Zidqi dengan berapi-api mengatakan itu kepadaku.
“Terus,
jika begitu?”
“Ya,
tentu mereka salah!”
“Kalau
mereka tidak mau dengan kesalahan yang mereka persalahkan?”
“Itu
juga!”
“Apakah
kita harus paksakan?”
“Tidak
juga!”
***
Manuskrip
Nabi, begitu indah pengakuan dan perlindungan itu untuk kaum siapa saja.
Siapapun mereka, selama masih di dalam perlindungan Nabi, mengikuti aturan
sosial Nabi pada saat itu, maka mereka akan aman, dan darah mereka dalam
perlindungan yang teramat sangat. Ritual keagamaan mereka terlindungi, terpelihara
di bawah pengawasan baginda Rasulullah saw.
Betapa
naif, ketika persoalan sosial dibawa ke persoalan aqidah. Lebih-lebih lagi
dengan segala cara, daya, dan upaya untuk memenangkan apa yang mereka ‘yakini’
kebenarannya. Pemahaman yang dipaksakan, kebenaran yang tidak boleh tiak harus
mereka terima. Meski harus menyakiti hati temannya, tetangganya, saudaranya,
atau pun orang lain yang tidak sekata dengan mereka.
Persoalan
‘selamat Natal’ tidak akan pernah selesai. Selalu ada, dan jika tidak akan
terus diadakan. Dengan sengaja, mengharap adanya kekeruhan dan kekisruhan
suasana. Maka, kekeruhan kondisi yang mereka ciptakan adalah bagian dari sebuah
propaganda untuk menyerang, menindas, dan melukai orang lain. Na’udzubillah min dzalik![12]
Dari
arah seberang, tempat aku dan Zidqi membahas persoalan ‘Selamat Natal’, Johan
melambaikan tangan. Ia dan keluarganya, serta beberapa sahabatnya baru saja
melakukan sembahyang di greja dalam rangka Natal. Dari wajahnya tersungging
senyum kebahagiaan. Dengan ketulusan persahabatan, aku menyalami John.
“Selamat
Hari Natal, John!” Aku berucap dengan senyum tulus. Zidqi yang ada di sisiku
tidak tinggal diam. Ia pun menyalami John.
“Selamat,.....siang
John!” John tersenyum, tertawa dan sedikit terbahak.
“Terima
kasih, Sahabat!” Jawab John mantap, lugas!
Madura, 27 Desember 2013
***
No comments:
Post a Comment