Wednesday, February 19, 2014

MANUSKRIP NABI



MANUSKRIP NABI
 
Sumber gambar: http://alphandi6.wordpress.com/2009/04/03/manuskrip-surat-nabi-kepada-kaisar-heraklius/
Tiba-tiba cahaya hilang, lenyap. Mentari bersembunyi entah di mana. Gelap, keadaan begitu gulita. Aku meraba dan terus meraba. Mencari cahaya yang hilang. Menemukan cercah yang mungkin tertinggal. Sia-sia, cahaya itu lenyap begitu saja. Tanpa jejak. Tanpa pamit. Hilang bak ditelan malam.

Aku menoleh ke sana ke mari. Ke kanan, kiri, atas, di bawah tempat tidur. Di pojok-pojok kamar, di atas lemari, di balik tirai selambu. Gelap, masih pekat, halimun kegelapan mencuri penglihatanku. Aku mulai bingung, mencoba berpikir entah. Hirap cercah meluruh pekat. Gelap dan calemot[1]!

Aku menengadah. Langit tak berbintik, bintang tak tampak. Sedetik, kuperhatikan cakrawala, berderit pintu langit menyingkap tirai. Pintu pun terkuak, kelebat cahaya berpendar. Melayang, membawa obor keabadian. Mendekat, semakin dekat, dan hinggap di hadapanku. Begitu saja, sekitar pun benderang, memendar cahaya dari lontar langit yang turun bersama kelopak senja.
***

“Ini adalah pesan dari Muhammad bin Abdullah, yang berfungsi sebagai perjanjian dengan mereka yang memeluk agama Kristen, di sini dan di manapun mereka berada, kami bersama mereka. Bahwasanya aku, para pembantuku, dan para pengikutku sungguh membela mereka, karena orang Kristen juga rakyatku; dan demi Allah, aku akan menentang apa pun yang tidak menyenangkan mereka.

Tidak boleh ada paksa atas mereka. Tidak boleh ada hakim Kristen yang dicopot dari jabatannya, demikian juga pendeta dan biaranya. Tidak boleh ada seorang pun yang menghancurkan rumah ibadah mereka, merusaknya, atau memindahkan apa pun darinya ke rumah kaum muslim. Bila ada yang melakukan hal-hal tersebut, maka ia melanggar perintah Allah dan Rasul-Nya. Bahwasanya sesungguhnya mereka adalah sekutuku dan mereka aku jamin untuk tidak mengalami yang tidak mereka sukai.

Tidak boleh ada yang memaksa mereka pergi atau mewajibkan mereka berperang. Muslimlah yang harus berperang untuk mereka. Bila seorang perempuan Kristen menikahi lelaki muslim, pernikahan itu harus dilakukan atas persetujuannya. Ia tak boleh dilarang untuk mengunjungi gereja untuk berdoa. Gereja mereka harus dihormati. Mereka tidak boleh dilarang untuk memperbaiki gereja mereka dan tidak boleh pula ditolak haknya atas perjanjian ini. Tidak boleh ada umat muslim yang melanggar perjanjian ini hingga hari penghabisan (kiamat).”[2]
***

"Aku menemukan manuskrip ini," kataku pada temanku, Zidqi sore itu.
"Apa itu?" Zidqi penasaran.
"Manuskrip."
"Manuskrip apaan?" Zidqi mencoba merebut naskah kuno itu dari tanganku. Memegangnya, takjub, heran. Realitas sosialita dari manusia Agung, Rasulullah saw.

"Ini adalah pesan dari Muhammad bin Abdullah," kalimat indah dari serat kata yang berjimat wahyu. Jiwa manusia, rasa peduli sosial yang beliau kedepankan. Bukan Rasulullah sebagai keagungan purna yang Beliau ungkapkan, tetapi Muhammad bin Abdullah. Ana Abdullah[3], manusia biasa yang berempati luar biasa, dengan kehidupan biasa, tetapi dengan ruh ikhtiar yang sangat luar biasa.

"yang berfungsi sebagai perjanjian dengan mereka yang memeluk agama Kristen, di sini dan di manapun mereka berada, kami bersama mereka." Terjabarkan sebagai bentuk perjanjian, dengan kewajiban untuk memenuhi janji tersebut dengan sebenarnya.

"Berjanji kepada orang Kristen?" Zidqi masih tidak percaya.
"Benar kan? Manuskrip ini menjelaskan seperti itu." Aku mencoba menarik kesimpulan.
"Bukankah Kristen itu kafir dalam pandangan Islam?!" Zidqi seolah bertanya dalam nada pernyataan. Masih kulihat bingung.

Kemudian aku menjelaskan, bahwa orang kafir ada dua golongan. Kafir harbi[4] dan kafir dzimmi[5]. Kafir harbi adalah orang kafir yang selalu mengganggu dan menyakiti kaum muslim. Kafir ini yang harus kita tumpas, hingga mereka menyatakan siap untuk tidak mengganggu lagi. Sedangkan kafir dzimmi adalah orang kafir yang hanya tidak mengakui kebenaran Islam. Mereka tidak mengganggu, hidup dalam sosial kemasyarakatan, juga saling menolong dalam berkehidupan. Darah mereka, harus dilindungi.

Zidqi terdiam. Mungkin ia mencerna apa yang barusan aku katakan. Dan rupanya ia paham. Mengerti dengan apa yang berusan aku jelaskan. Meski tentu saja, sedikit banyak masih ada yang menganjal di benaknya, karena doktrin yang selama ini ia pahami akan memberikan dampak yang lebih dalam.

Rasulullah saw menyatakan bahwa Beliau bersama mereka. Orang-orang Kristen itu sebagai saudara. Sahabat yang seiya sekata, dalam urusan sosial kehidupan. Tentu, tidak dalam urusan aqidah. Maka, dusta apa yang masih disangsikan dalam pengakuan ini?

Sesaat Zidqi membolak-balik transkrip kuno yang ada di tangannya. Ada perasaan takjub di pikirannya. Ketika, dari naskah itu berpendar cahaya yang berkilauan. Cahaya kebenaran, berkas sinar keabadian.

"Dari mana Kaudapatkan naskah ini, Di?" Tak kusangka Zidqi menanyakan itu kepadaku. Aku tergeragap, tidak tahu mesti berkata apa. Kemudian aku menoleh ke arahnya, tersenyum, dan Zidqi pun turut tersenyum. Aku lega.

"Bahwasanya aku, para pembantuku, dan para pengikutku sungguh membela mereka, karena orang Kristen juga rakyatku; dan demi Allah, aku akan menentang apa pun yang tidak menyenangkan mereka."

Zidqi masih terlihat bingung. Ia memandang ke langit, ke arahku, kemudian ke manuskrip yang ia pegang. Membaca naskah kuno itu dengan saksama. Sekali lagi, dan sekali lagi, bahkan sudah berkali-kali. Hantinya masih diliputi tanda tanya yang tidak berkesudahan. Ternyata ada naskah agung yang jauh lebih menghormati sebuah makna toleransi. Arti dari sebuah ikatan sosial di antara kehidupan berbangsa, bernegera, dan beragama. Islam begitu toleran, mengakui hak asasi dari setiap individu, sehingga tidak semuanya dijadikan sebagai objek sama rata. Baik sebagai pemeluk Islam atau di luar Islam.

Rasulullah saw berjanji dalam sebuah tekat yang suci untuk membela kehormatan Kristen. Beliau akan terasa senang jika mereka (Kristiani) senang, dan merasakan susah jika mereka susah. Darah mereka perlu dibela dengan pertumpahan darah, bahkan dengan nyawa sekalipun. Subhanallah, Mahasuci Allah dengan segala kehendaknya!

“Tapi, bukankah Ibnu Taimiyah menghukumi haram orang yang mengatakan selamat hari Natal?” Zidqi masih bimbang. Doktrin yang selama ini ia pahami berkecamuk di dalam pikirannya dengan segala konsekuensinya. Mencoba membalik setiap persoalan yang logis menjadi samar. Sesamar persoalan mengucapkan “Selamat Hari Natal.”

“Itulah perbedaan, Qi. Ada semacam kaidah umum yang menyatakan bahwa di dalam perbedaan itu terdapat hikmah. Sehingga kita tidak merasa benar sendiri. Merasa menang sendiri. Orang lain salah, sedangkan ana[6] yang paling benar. Sebuah persoalan ananiyah[7] yang berarti egois dan individualis.” Aku mencoba menjabarkan makna khilafiyah[8].

Demikianlah, jika memang persoalannya adalah ucapan “selamat,” tentu hal ini jauh dari koridor aqidah, bahkan ada yang berani mengatakan bahwa ucapan itu jauh lebih dahsyat dan lebih “kafir” daripada orang berzina, korupsi, membunuh, mencuri, merampok, dan segala bentuk perbuatan dosa besar lainnya. Logika model apa ini? Sudah jelas terungkap pembelaan yang jauh lebih mendalam daripada hanya sekadar ucapan “selamat.” Bahwasanya sesungguhnya mereka adalah sekutuku dan mereka aku jamin untuk tidak mengalami yang tidak mereka sukai. Dusta apalagi yang mereka makarkan dalam keagungan naskah ini?
***

Berlalu sang waktu.
John adalah tetangga dekatku. Aku begitu akrab dengannya. Meski keyakinan kita berbeda, tetapi tidak membuat perbedaan itu sebuah pertentangan, perpecahan. John menghormati saya sebagai muslim, sebagaimana aku pun menghormati John sebagai kristian. Betapa indahnya ketika kita saling berbagi. Tanpa melihat status sosial individu. Tanpa memandang keyakinan dari diri kita masing-masing. Ada semacam perasaan yang terus memupuk rasa cinta, untuk terus berupaya memberikan yang terbaik bagi siapa saja. Lingkungan dan alam sekitar.

Masih terngiang beberapa waktu yang lalu, saat aku dan segenap kaum muslim merayakan Hari Raya Idul Fitri. Dengan senyum yang begitu indah, ikhlas, dan ikut bergembira, John datang bertandang ke rumahku.

“Selamat Hari Raya Idul Fitri, Di!” Ucap John sambil menjabat erat tanganku. Aku pun membalas jabatan erat tangan John dengan gembira. Aku tidak boleh menolak ucpan tulus John. Jika tidak, dimanakah timbal balik dan toleransi yang seharusnya kita berikan sebagai agama yang kaffah[9] dan berperinsip rasa sosial?

“Terim kasih John,” itulah jawabanku terhadap rasa kepedulian sesama teman.

Kebetulan saat itu, Zidqi juga bershilaturrahmi ke rumahku. Tentu ia juga berjumpa dengan John temanku. Zidqi sudah tahu kalau aku berteman akrab dengannya. Sebagaimana juga ia tahu, bahwa John adalah Kristiani yang juga berteman dengannya, meski tidak terlalu akrab.

“Selamat Idul Fitri, Zid!” John juga menyalami Zidqi pada saat itu. Dengan ucapan, ya dengan ucapannya yang tulus. Zidqi hanya diam. Terlihat ia agak kikuk, ada sesuatu yang tidak beres dengan perasaannya. Tapi, John tidak peduli. Kami pun akrab bercengkerama di beranda rumahku dengan aneka gu’ganggu’[10].

25 Desember
Sebagaimana biasa setiap tanggal 25 Desember umat Kristiani merayakan Hari Natal. Terlepas dari kebenaran hari lahir Yesus, Nabi Isa, maka pada tanggal tersebut oleh sebagian kalangan Nasrani diyakini sebagai hari lahir Yesus. Maka mereka berupaya untuk menyambut hari lahir tersebut dengan berbagai tradisi upacara yang mungkin saja, dari waktu ke waktu bisa mengalami perkembangan, atau pun perubahan.

Tak terkecuali dengan John. Ia juga tengah mengadakan misa, atau ritual keagamaan yang ia yakini. Di gereja, ya tempat John melakukan ritual ibadah agamnya. Aku yang beragam Islam, tentu saja tidak masuk dalam ritual tersebut. Tetapi, sebagai penganut Agama yang baik, aku tidak pernah mengganggu kegiatan greja dan lainnya. Biarlah, mereka melakukan ritual keagamaannya, sesuai dengan keyakinannya. Lakum dinukum waliya din.[11]

Hari itu, aku duduk-duduk bersama Zidqi di depan masjid Raya. Masjid yang begitu megah di kotaku. Setelah melakukan sholat Dhuha, aku dan Zidqi ngobrol apa saja. Termasuk juga manuskrip Nabi yang aku temukan beberapa waktu yang lalu.

“Kemrean aku membaca sebuah artikel. Irene Subandono, menjelaskan tentang hakikat Hari Raya Natal. Bahwa Yesus, Nabi Isa, tidak dilahirkan pada tanggal 25 Desember!” Zidqi dengan berapi-api mengatakan itu kepadaku.
“Terus, jika begitu?”
“Ya, tentu mereka salah!”
“Kalau mereka tidak mau dengan kesalahan yang mereka persalahkan?”
“Itu juga!”
“Apakah kita harus paksakan?”
“Tidak juga!”
***

Manuskrip Nabi, begitu indah pengakuan dan perlindungan itu untuk kaum siapa saja. Siapapun mereka, selama masih di dalam perlindungan Nabi, mengikuti aturan sosial Nabi pada saat itu, maka mereka akan aman, dan darah mereka dalam perlindungan yang teramat sangat. Ritual keagamaan mereka terlindungi, terpelihara di bawah pengawasan baginda Rasulullah saw.

Betapa naif, ketika persoalan sosial dibawa ke persoalan aqidah. Lebih-lebih lagi dengan segala cara, daya, dan upaya untuk memenangkan apa yang mereka ‘yakini’ kebenarannya. Pemahaman yang dipaksakan, kebenaran yang tidak boleh tiak harus mereka terima. Meski harus menyakiti hati temannya, tetangganya, saudaranya, atau pun orang lain yang tidak sekata dengan mereka.

Persoalan ‘selamat Natal’ tidak akan pernah selesai. Selalu ada, dan jika tidak akan terus diadakan. Dengan sengaja, mengharap adanya kekeruhan dan kekisruhan suasana. Maka, kekeruhan kondisi yang mereka ciptakan adalah bagian dari sebuah propaganda untuk menyerang, menindas, dan melukai orang lain. Na’udzubillah min dzalik![12]

Dari arah seberang, tempat aku dan Zidqi membahas persoalan ‘Selamat Natal’, Johan melambaikan tangan. Ia dan keluarganya, serta beberapa sahabatnya baru saja melakukan sembahyang di greja dalam rangka Natal. Dari wajahnya tersungging senyum kebahagiaan. Dengan ketulusan persahabatan, aku menyalami John.

“Selamat Hari Natal, John!” Aku berucap dengan senyum tulus. Zidqi yang ada di sisiku tidak tinggal diam. Ia pun menyalami John.
“Selamat,.....siang John!” John tersenyum, tertawa dan sedikit terbahak.
“Terima kasih, Sahabat!” Jawab John mantap, lugas!

Madura, 27 Desember 2013
***


[1] Bahasa Madura; gelap yang teramat sangat.
[2] Transkip ini saya salin dari sebuah artikel di blognya Mas Edi Akhiles
[3] Aku hamba Allah
[4] Keras, garis keras, yaitu orang kafir yang memerangi kaum muslimin.
[5] Perlindungan, orang kafir yang wajib dilindungi.
[6] Bahasa Arab; saya
[7] Egoisme, mementingkan diri sendiri
[8] Perbedaan pendapat di kalangan ulama Islam
[9] Meliputi seluruh alam, menyeluruh
[10] Bahasa Madura; camelan
[11] Bagimu agamu dan bagiku agamaku (QS. al-Kafirun)
[12] Aku berlindung kepada Allah dari hal tersebut.

No comments:

Post a Comment