Thursday, February 13, 2014

PUTRI KAYANGAN



PUTRI KAYANGAN

Liburan sudah tiba. Itu artinya saatnya bersantai. Menikmati masa-masa bebas. Lepas dari aktivitas harian yang membosankan. Liburan adalah yang aku tunggu. Tentu orang lain pun demikian. Menunggu hari libur. Menanti saat-saat santai. Bersama teman, kekasih, keluarga, dan atau pun malah sendiri saja.

“Ma, aku mau berlibur.” Pamitku pada mama.
“Berlibur kemana?” tanya mama.
“Maunya sih ke pantai.”
“Bersama siapa?”
“Sendiri aja Ma.” Jawabku pada mama. Aku mau berlibur sendiri saja. Bukannya aku tidak suka berlibur bersama teman-teman. Tapi saat ini, aku ingin berlibur sendiri. Hanya sehari saja. Tidak lebih. Maka pantai Cemara adalah tempat yang kutuju. Ke sanalah aku menuju.

Pagi-pagi sekali aku berangkat. Dengan segala persiapan yang telah dibantu oleh mamaku. Aku memang anak mama. Aku kelas sepuluh di SMA vaforit di kotaku. Masih benar-benar dijaga oleh mama. Segalanya masih dalam pantauan mama. Padahal, kalau anak yang lain mungkin sudah bisa berdikari. Tidak lagi terlalu didekap mama. Tapi beda dengan diriku.

“Hati-hati di jalan. Juga waspada kalau berenang di pantai.” Nasihat mama sebelum aku berangkat.
“Ya Ma.” Jawabku mantap. Agar mama tidak terlalu merisaukan aku. “Di sana aku pasti ketemu dengan teman-temanku kok.” Kataku berbohong. Karena aku tidak tahu, apakah ada teman-temanku yang mau berlibur di pantai Cemara. Hanya saja agar mamaku tidak terlalu was-was.

Sekitar jam setengah delapan, aku sampai di pantai Cemara. Disebut pantai Cemara, karena di sekitar pantai ditumbuhi pohon cemara. Begitu indah terlihat. Jauh di tengah lautan, perahu layar terlihat putih berkilau. Diterpa sinar mentari pagi.

Beberapa lama kemudian, aku mengeluarkan bekalku. Aku benar-benar sendiri di pantai itu. Tidak ada orang lain. Sehingga terkesan sepi. Hanya riak ombak kecil yang menyisiri tepian pantai. Dan sepoi angin yang mendesh di antara rernting cemara dan nyiur yang melambai. Sepi yang begitu indah.

“Mas, boleh duduk di sini?” tiba-tiba seseorang menghampiriku. Aku tidak melihat dari mana gadis cantik ini datangnya. Sendirian lagi. Pesona senyum dan tawanya begitu renyah. Begitu kesan awal aku melihatnya.
“Bo..boleh.” aku tergagap. Seakan tercekat menjawab permintaan gadis misteri ini. Siapakah ia sebenarnya? Mengapa tiba-tiba ada di sini? “Adik siapa? Dan dari mana?” tanyaku penasaran. Kulihat ia hanya tersenyum. Begitu manis. The sweet smile deh pokoknya.

Ia menyebut dirinya Putri Kayangan. Apa benar di zaman seperti ini masih ada legenda seperti ini? Putri Kayangan? Benarkah kayangan itu ada? Aku semakin penasaran. Tapi kenyataan di depan mata. Seorang Putri dengan rambut terurai panjang. Hitam bergelombang. Matanya teduh bagai aketeb mella’ ta’ mare. Dipandang bagai bersinar, dipaling menyisakan rindu. Aku terbuai dalam cinta yang terdalam. Tak lepas mataku menembus detak jantugnya. Semoga saja bukan one side love. Aku ingin membangun mahligai cinta bersamanya.

Putri memberikan sebuah gelang kepadaku. Setelah aku dan dia puas bermain di sekitar pantai. Hanya berdua. Tak nampak seorang pun di sepanjang pantai itu. Sungguh suasana yang luar biasa. Umumnya, liburan seperti ini, di pantai yang sudah termahsyur ini selalu ramai dikunjungi muda-mudi. Saat ini, pantai Cemara hanya milik kita berdua.

“Pakai Mas, gelangnya.” Tanpa disuruh dua kali aku pun memakai gelang mutiara jamrut pemberian Putri. Berkilau indah di tepas sinar mentari. Anehnya, setelah memakai gelang itu, tubuhku terasa ringan. Aku bisa terbang ke sana ke mari. Putri tertawa renyah melihatku. Tersenyum sumringah.

Tanpa basa-basi, Putri menggandeng lenganku. Terbang ke angkasa. Berpegangan, berpelukan. Aku dapat melihat bintang-bintang dari tempat yang lebih dekat. Entah mengapa, tiba-tiba senja pun berlalu. Dan gemintang muncul di sekitar aku dan putri. Indah berkilau. Aku semakin betah dalam  

Sampailah pada suatu tempat. Tempat yang begitu indah. Penuh dengan taman-taman bunga. Sebuah kerajaan Negeri Kayangan di angkasa. Aku berseri-seri menyaksikan beragam keindahan ini.

“Tempat apa ini?” bisikku.
“Ini negeri kayangan,” Putri menjawab seakan tahu kata hatiku.
“Negeri Kayangan?” masih dalam batin.
“Ya benar. Ini adalah Negeri Kayangan, tempat para bidadari mengurai kehidupan.”

Aku dan Putri berjalan dari satu tempat ke tampat yang lain. Menyusuri taman dan telaga yang dihiasi beragam bunga. Semerbak harum, dan pesona warna begitu menggoda. Aku memetik beberapa kuntum di antaranya. Aku juga melewati kebun buah-buahan. Beragam buah-buahan tersedia. Dan aku bebas memetik dan memakannya. Lezat dan begitu enak. Tidak pernah aku rasakan sebelumnya.

Aku dibawa masuk ke istana. Beberapa bidadari menyambut kedatanganku. Senyumnya manis. Dan bahasa tubuhnya begitu gemulai. Tak ingin rasanya aku pergi dari tempat ini. Aku ingin selamanya di sini. Putri adalah satu-satunya alasan aku kerasan di sini. Aku telah jatuh cinta. Aku ingin berumah tangga dengan Putri Kayangan. Semoga Putri bagian tulang rusukku yang hilang.

“Jangan sekali-kali Kau lepas gelang itu.” Kata Putri suatu hari. Di sebuah pohon besar rindang. Buahnya ranum. Dan aku santai di bawahnya sambil menikmati buah surga itu.
“Emangnya kenapa?”
“Tidak apa-apa. Ingat saja pesanku ini!”

Aku berusaha untuk selalu ingat akan pesan Putri. Walaupun aku sendiri jadi penasaran, mengapa gelang ini tidak boleh aku lepas. Hari berganti hari. Bulan berganti tahun. Entah sudah berapa lama aku berada di Negeri Kayangan. Dengan segala keindahannya. Dengan fasilitas yang selalu tersedia. Apapun yang aku inginkan, maka barang itu tib-tiba ada di dekatku. Sebuah pemandangan yang tidak masuk di akal. Tapi, begitu nyata di depan mata.

Suatu hari, aku duduk di sebuah taman. Bersama Putri Kayangan, kekasihku. Menikmati gemercik air yang mengalir jernih. Bening dan sejuk. Tiba-tiba saja aku ingin membuka gelang yang selama ini kupakai. Aku hanya ingin menimang saja. Tidak lebih.

Tanpa prasangka yang tidak-tidak, aku membuka gelangku. Putri yang melihat apa yang aku perbuat berteriak histeris.

“Jangaaa.....n, Mas!” Sambile berusaha meraih lenganku. Tapi terlambat. Seketika, aku terjatuh. Meluncur bebas dari cakrawala. Menghempas bumi, jatuh di antara pasir di pantai Cemara. Anehnya lagi, aku tidak mengalmi cidera sedikit pun. Aku hanya bagai terbangun dari mimpi. Aku menggapai-gapai. Ingin meraih tangan halus Putri Kayangan.

“Putri,... jangan tinggalkan aku sendiri!” hanya itu bisik hatiku yang melara, karena Putri kekasihku hilang entah kemana. 

Sumenep, 13 Februari 2014
***

No comments:

Post a Comment