Tuesday, September 30, 2014

CERITA GUNUNG

Cerita Motivasi dan Inspirasi Nomor 1 - CERITA GUNUNGSeorang anak dan ayahnya sedang berjalan diatas gunung. Tiba tiba, anaknya terjatuh, Dia terluka dan berteriak : "AAAhhhhhhhhhhhhhh!!!!!!!." Tetapi Ia sangat kaget mendengar ada suara pantulan dari gunung sebelah."AAhhhhhhhhhhhhhhh!!!!!!!." Dengan penuh rasa penasaran, diapun kembali berteriak : "Siapa kamu?" Diapun menerima kembali jawaban yang sama : Siapa kamu?" dan kemudian dia berteriak ke gunung itu: "Saya mengagumimu!" dan suara itupun kembali : "Saya mengagumimu!." Dengan muka marah pada jawaban itu, dia berteriak : "Penakut" Dia masih menerima jawaban yang sama, "Penakut!." Dia menatap ayahnya dan bertanya : "Apa yang sedang terjadi?" Ayahnya sembari tersenyum dan berkata : "Sayang, perhatikan." Kembali ayah akan berteriak : "Kamu Juara." Diapun menerima jawaban yang sama : "Kamu Juara." Anak ini kembali kaget dan tidak mengerti mengapa itu bisa terjadi, kemudian Ayahnya menjelaskan bahwa itulah yang disebut dengan ECHO (Gema suara), tetapi itulah sesungguhnya hidup. Segalanya akan kembali kepada kita, apa yang kita katakan, apa yang kita lakukan. Hidup kita secara sederhana adalah gambaran dari kelakuan yang kita perbuat. Jika kamu ingin lebih banyak cinta dalam dunia, maka ciptakanlah Cinta dalam Hatimu. Jika Kamu ingin lebih berkemampuan dalam timmu, maka tingkatkanlah kemampuanmu. "Hidup akan memberikan kembali kepadamu, apa yang telah kamu berikan kepadanya. Dalam segala hal." ....
... baca selengkapnya di Cerita Motivasi dan Inspirasi Nomor 1

SI KELINCI YANG PENAKUT

Cerita Motivasi dan Inspirasi Nomor 1 - SI KELINCI YANG PENAKUTManusia adalah mahluk sosial yang hidup saling bergantung satu sama lain. Walaupun ide hidup saling tolong menolong ini menyenangkan, namun sesungguhnya banyak konflik terjadi disana jika pengharapan kita tidak terpenuhi oleh lingkungan kita. Setiap manusia mempunyai masalah. Masalah ini akan semakin besar kala kita mulai membandingkajn diri kita dengan hal yang jauh lebih besar. Kita istimewa dan berhak mendapatkan kesuksesan apapun yang terjadi. Untuk itu mari kita simak ilustrasi cerita di bawah ini, agar kita tetap semangat menghadapi segala kemungkinan yang ada. Sejak dulu kelinci dikenal sebagai hewan bernyali kecil. Mereka sering ketakutan tanpa sebab jelas. Seringkali mereka menyingkir sesegera mungkin jika keamanannya terancam. Suatu hari nampaklah sekelompok kelinci tengah berkumpul di tepian sungai. Mereka berkeluh kesah meratapi nyali mereka yang kecil, mengeluh kehidupan mereka yang selalu dibayangi marabahaya. Semakin dalam mereka mengobrol, mereka pun semakin sedih dan ketakutan memikirkan nasib mereka sendiri. Alangkah malangnya terlahir sebagai kelinci. Mau lebih kuat tidak punya tenaga, ingin terbang tidak punya sayap. Setiap hari selalu ketakutan karena terganggu oleh telinga panjang mereka yang tajam pendengarannya. Sehingga matanya yang berwarna merahpun semakin merah saja. Mereka merasa hidup ini tidak ada artinya. Daripada hidup menderita dan terus menerus dihantui ketakutan mereka pun berpikir untuk mati saja. Keputusan bunuh diri masal pun diambi....
... baca selengkapnya di Cerita Motivasi dan Inspirasi Nomor 1

Sunday, September 28, 2014

KISAH PITA KUNING

Cerita Motivasi dan Inspirasi Nomor 1 - KISAH PITA KUNINGPada tahun 1971 surat kabar New York Post menulis kisah nyata tentang seorang pria yang hidup di sebuah kota kecil di White Oak, Georgia, Amerika. Pria ini menikahi seorang wanita yang cantik dan baik, sayangnya dia tidak pernah menghargai istrinya. Dia tidak menjadi seorang suami dan ayah yang baik. Dia sering pulang malam- malam dalam keadaan mabuk, lalu memukuli anak dan isterinya. Satu malam dia memutuskan untuk mengadu nasib ke kota besar, New York. Dia mencuri uang tabungan isterinya, lalu dia naik bis menuju ke utara, ke kota besar, ke kehidupan yang baru. Bersama-sama beberapa temannya dia memulai bisnis baru. Untuk beberapa saat dia menikmati hidupnya. Sex, gambling, drug. Dia menikmati semuanya. Bulan berlalu. Tahun berlalu. Bisnisnya gagal, dan ia mulai kekurangan uang. Lalu dia mulai terlibat dalam perbuatan kriminal. Ia menulis cek palsu dan menggunakannya untuk menipu uang orang. Akhirnya pada suatu saat naas, dia tertangkap. Polisi menjebloskannya ke dalam penjara, dan pengadilan menghukum dia tiga tahun penjara. Menjelang akhir masa penjaranya, dia mulai merindukan rumahnya. Dia merindukan istrinya. Dia rindu keluarganya. Akhirnya dia memutuskan untuk menulis surat kepada istrinya, untuk menceritakan betapa menyesalnya dia. Bahwa dia masih mencintai isteri dan anak-anaknya. Dia berharap dia masih boleh kembali. Namun dia juga mengerti bahwa mungkin sekarang sudah terlambat, oleh karena itu ia mengakhiri suratnya dengan menulis, "Sayang, engkau tidak perlu m....
... baca selengkapnya di Cerita Motivasi dan Inspirasi Nomor 1

GADIS DI UJUNG KISAH





Aku berusaha mengingat kembali masa lalu. Masa yang begitu rapuh. Pada sebuah zaman yang ingin aku lupakan. Meski berat untuk kuabaikan. Waktu yang meruntuhkan segala asa dan harapanku.

"Mas, tolonglah aku," suara itu terus memburu pikiranku. Jelas terngiang di gendang telingaku. Suara itu, aku paham betul. Mengapa ia minta tolong padaku? Apa yang terjadi dengannya? Adakah ia membutuhkan pertolonganku?

Senja di musim kemarau. Aku duduk di pematang sawah. Panen baru saja usai. Burung pipit beterbangan menghiasi senja. Beberapa tahun yang lalu. Ya, di sini. Tepatnya di area pematang ini. Saat padi di sawah mulai menguning. Panen hampir tiba. Senyum petani rekah, melihat hasil panen yang, mungkin, melimpah.

"Pastinya para petani gembira saat ini," suara Raisah mendayu.
"Ya, pastinya," aku mengiyakan. Setuju.

Itu terjadi sepuluh tahun yang lalu. Ah, gak, lebih dari itu. Tepatnya duabelas tahun, dua bulan, dan duabelas hari. Begitu ingat, begitu membekas. Saat cinta itu berpadu. Dalam kehangatan rindu, pada setiap desahan napasku dan napas Raisah.

Maka, waktu pun berlalu. Melewati setiap masa, dan waktu yang terus berpacu. Maka Raisah pun pergi. Berlalu di hadapanku. Entah kemana. Aku hanya mengadu pada keadaan. Aku bersimpuh pada malam. Bermunajat, mengangkat tangan. Semoga Raisah damai dalam kehidupan yang tidak kutahu rimbanya.

Pagi itu Raisah datang padaku. Tergesa dan tergopoh. Apa yang terjadi, aku tidak paham. Air mata Raisah menganak sungai.

"Ada apa Raisah?" Aku terpana di antara rerumputan yang masih mengembun. Raisah diam. Tubuhnya terguncang. Aku semakin tidak mengerti. Sekian lamanya, Raisah tetap diam. Tidak bergeming.

"Aku akan pergi, Mas," tiba-tiba Raisah terbata. Meski sebagai gumam, kalimat itu begitu jelas di gendang telingaku. Aku bagaikan dihantam halilintar. Tidak percaya dengan apa yang dikatakannya.

Maka, Raisah pun lesap. Hilang bagai tak berbekas. Aku tidak tahu, kemana ia pergi. Dengan siapa ia berlabuh. Bersama siapa ia merapat. Pulau apa yang ia tuju. Sungguh, Raisah, hanya ada di ujung kisah.
***


"Mas, tolonglah aku!" Suara itu seperti pernah aku dengar. Warna suaranya, mimbran bunyi yang tidak lekang oleh perpisahan waktu. Ya, itu suara Raisah. Suara yang tidak mungkin aku lupa. Suara yang selalu terngiang di saat siang dan malamku.

Apakah ini hanya sebuah ilusi? Mimpi? Bukankah Raisah telah pergi? Sekian lamanya aku tidak mendengar nama Raisah. Ia telah pergi. Pergi dengan laki-laki pilihan orang tuanya. Pergi untuk tidak kembali lagi. Dan aku di sini, sendiri. Mendendangkan lagu untuk Raisah yang tak mungkin kumiliki.
***

Nun jauh di seberang!
Raisah termenung sendiri. Di beranda rumah yang begitu besar, indah, dan mewah. Hatinya serasa dirajam. Ia merasa bersalah. Meninggalkan cinta yang sebenarnya. Cinta yang tulus, suci oleh kemurnian hati. Jiwanya menjerit. Melolong, memanggil-manggil nama kekasih yang sebenarnya.

Tapi, semua sudah musnah. Nuraninya telah direnggut paksa oleh keadaan. Cintanya digadaikan oleh orang tuanya. Meski demikian, ia tidak pernah menyalahkan orang tuanya. Nasib telah membuat segalanya ada. Ada untuk tiada, atau tiada untuk ada. Ada, apa adanya, dan apa, ada apanya.

Semula berjalan begitu indah. Sebuah rumah tangga yang memang ia inginkan. Dan cinta itu, lambat laun mulai bersula. Menaut dengan tiba-tiba. Hingga, mala petaka itu datang tanpa diduga.
***

Suami Raisah meninggal. Hanya itu yang Raisah tahu. Tiba-tiba dan begitu saja. Tidak diketahui sebabnya. Raisah hanya pasrah. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia hanya menangis, di atas pusara suami yang masih basah. Air matanya membanjir. Maka, sejak saat itu Raisah kehilangan pegangan. Dan ia pun jatuh ke kubang neraka. Di dalam pelukan lelaki yang tidak ia suka. Hati busuk suami keduanya, hanya untuk memanfaatkan dirinya. Musnah sudah segalanya.
***


Aku mencoba menata ingatan. Saat Raisah cantik, berlari-lari di antara pematang. Sawah yang mulai menghijau, angin sepoi mempermainkan anak rambutnya.

"Haaiiii,....Mas Dadi. Tungguuu....," teriak Raisah dari jauh.
"Cepaaa....t, kejar aku..." Permainan kejar-kejaran pun dimulai. Aku dan Raisah. Antara cinta dan rindu yang kian menyatu.

Hingga pada suatu saat, Raisah terpeleset. Dengan cepat aku menyangga tubuhnya. Celakanya, aku yang jatuh. Dan lumpur sawah mengotori bajuku. Raisah tertawa, dan aku pun tergelak.

Di dangau bambu ini, aku tersentak, saat aku terjatuh karena tertidur.

"Raisah mana? Mana?" Aku mendesah pada angin, pada pematang sawah. Kepada rumpun padi yang mulai menguning.

Sumenep, 28092014

NYANYIAN HUJAN





Anak itu mendekap tubuhnya yang ringkih. Terlihat raut wajahnya, gigil menahan hempasan dingin yang membakar. Di tangannya, dalam bungkusan plastik kecil hitam, ia menggenggam uang tiga ribu perak. Sesiang ini, hanya satu orang yang menggunakan jasanya. Sewa payung.

Hujan masih terus mengguyur. Di sudut peron ia berdiri gelisah. Bukan! Bukan karena rezeki di hari itu terasa seret. Tetapi, jauh dalam pikirannya, ia gundah. Resah terus bergelayut dalam benaknya.

"Dik! Payung, Dik!" Tanpa disangka seorang ibu muda memanggilnya. Tergesa ia menghampirinya. Ibu muda itu ingin menyeberang, dan menaiki taxi di seberang stasiun.

"Berapa, Dik?"
"Dua ribu," jawabnya sambil mengacungkan dua jari tangan kanannya. Ibu itu menyerahkan uang lima puluhan ribu. Ia terperanjat.
"Tidak ada kembaliannya, Bu!" Ia berkata sambil menelan ludah. Kerongkongannya terasa kering, di antara gerimis yang terus merinai.
"Ambil saja. Gak usah dikembaliin," jawab ibu itu sambil tersenyum. Cantiknya menghilang setelah pintu taxi rapat tertutup.

Tanpa sengaja air matanya meleleh. Tidak ada yang tahu, karena gerimis masih menghempas saat itu. Ia pun berbenah. Disaksikan kursi-kursi yang diam di peron. Tiang besar atap stasiun yang juga terlihat kuyup. Lelah, berselimut dingin di siang menjelang sore itu.

Sejak pagi ia belum makan. Tapi ia tidak merasa lapar. Tepatnya, ia sanggup menahan lapar. Bukan hanya sehari. Tapi juga bisa lebih dari itu. Tubuhnya, semakin terlihat kurus. Tapi ia tetap lincah di antara derai dan gerimis hujan.
***

"Assalamu'alaikum. Ibu, Adi pulang," suaranya lantang. Ada semacam daya dalam ungkapan katanya.
"Wa'alaikum salam. Tumben siang-siang udah datang?" Parau suara ibu terdengar di balik pintu rumahnya. Bukan rumah ding! Tapi gubuk.
"Ya, Bu. Adi bawa obat untuk ibu. Juga membeli nasi bungkus. Ada ayam goreng kesukaan Fani."

Fani yang masih berumur lima tahun itu mengambil handuk untuk kakaknya. Ia pun menyiapkan air panas untuk sang kakak. Selepas mandi, Adi menceritakan kisahnya di hari itu. Bahwa dari pagi hingga menjelang siang, baru mendapatkan satu pelanggan. Bahwa setelah itu, ada ibu muda yang menggunakan jasanya. Bahwa, ibu muda itu memberikan uang lima puluh ribu dan tidak minta kembalian.

"Alhamdulillah," ibu yang sudah agak sehat itu mengucap syukur. Selama dua hari lamanya ia tidak bisa bekerja. Maka, anaknya, Adi, yang masih duduk di kelas lima itulah yang pontang panting mencari kehidupan.

"Besok, Insya Allah, ibu sudah bisa bekerja. Mari kita nikmati dan kita syukuri rezeki Allah hari ini." Nasihat ibu sambil membuka bungkus nasi hasil kerja anaknya. Adi dan Fina pun makan bersama-sama di sore itu. Gerimis masih terus menghempas. Payung Adi menggantung di balik pintu gubuknya. Hujan masih terus menyanyi.
***

Ah, anak itu membuat aku rindu. Ya, rindu akan celoteh manja seorang anak. Sekian lamanya aku berumah tangga, namun si buah hati belum kunjung ada. Terkadang, gerimis air mata bercucuran di saat malam melanglang.

"Sudahlah Rifka, Tuhan masih belum berkenan," begitulah suamiku selalu membujukku. Untunglah aku punya suami yang sabar. Mengayomi, sekaligus mencintaiku apa adanya.

Hujan mulai reda.
Dari dalam taksi aku melihat gumpalan awan putih. Tetapi gerimis sudah pergi. Mentari masih tertunduk malu di balik sisa awan hujan seharian. Tiba-tiba air mataku menderas. Entahlah!

Beberapa menit kemudian aku sudah sampai di depan rumahku. Ya, rumah yang terbilang mewah. Rumah yang selalu kurindu. Karena pada setiap senja, suamiku datang untuk sebuah cinta yang tulus. Tetapi, masih ada yang kurang. Ya, di rumah besar itu tidak terdengar tangisan anakku.
***

"Ibu,....Adi pulang!" Dari jauh Adi sudah memanggil-ibunya. Ia ingin memperlihatkan nilai rapotnya akhir tahun ini. Ya, Adi masih terus sekolah. Ia pantang menyerah. Ditinggal bapaknya, memang kehidupan Adi berubah. Ia yang sekarang menjadi tumpuan ibu dan adiknya.

"Ada apa, Nak. Kok teriak-teriak dari jauh," jawab ibu saat Adi sudah berada di dekat ibunya.
"Adi dapat juara lagi, Bu. Nih lihat, nilai Adi bagus semua," jelas Adi begitu sumbringah. Terlihat dari sinar matanya yang memancar.

"Syukurlah, Anakku!" Jawab ibu parau. Terharu dengan prestasi anak lelakinya ini. "Andai bapakmu masih hidup," pikir ibu sambil menengadah. Tak kuasa air matanya meruah oleh keadaan yang tidak ingin ia jalani. Tetapi nasib telah menyeret mereka ke dalam penderitaan hidup.
***

Selepas dari sekolah.
Adi bersiap menuju stasiun. Hari begitu gelap. Tumpahan curah hujan mulai meruah satu demi satu.

"Bismillah," langkah Adi menyusuri jalanan becek. Menuju stasiun. "Semoga banyak rejeki hari ini," doanya dalam hati. Adi berjalan kaki menyusuri jalan raya yang tidak begitu ramai. Mungkin karena hari hujan. Hanya sesekali motor dan mobil melintas. Derunya ditingkahi gemuruh hujan yang semakin menderas. Di tangannya, dua payung hitam ia genggam.

Sesaat sebelum menyebrang ke arah stasiun, tiba-tiba sebuah mobil berhenti di sampingnya. Adi heran. Ia tidak punya keluarga kaya. Tepatnya, ia tidak tahu. Ibunya tidak pernah menceritakan siapa-siapa. Kecuali bapaknya, yang selalu dibanggakan oleh ibunya.

Pintu mobil itu terbuka. Pas di depan matanya. Adi semakin bingung. Seorang ibu muda, tersenyum ke arahnya.

"Masuklah, Nak!" Ibu muda itu berkata lembut. Tapi Adi bingung. Bahkan mulai timbul kecurigaan.

"Maaf, Bu. Saya harus bekerja," jawab Adi apa adanya. Herannya, Adi tidak kuasa menolak, melihat ibu itu berlinang air mata. Adi semakin bingung, dan menuruti keinginannya.
***

Kupandangi anak itu dengan saksama. Aku merasa ada darahku yang turut mengalir di nadinya. Aku tidak tahu, mengapa hal ini bisa terjadi. Aku melihat kecerdasan pada sinar matanya. Dan itu pulalah yang membuat aku semakin terharu. Aku ingin mendekapnya, bagai anakku sendiri. Tetapi, apakah anak ini suka? Tuhan, pengaruh anak begitu menghunjam nuraniku.

"Makanlah, Nak," kataku bergetar, haru tiba-tiba kembali menyeruak. Adi hanya mengangguk, kemudian.berpaling kepada bapak di sebelahnya. Bapak itu pun tersenyum. Terasa tulus di sudut hati Adi.

"Makanlah, di luar masih hujan," jawab bapak itu tak kalah lembut. Adi semakin salah tingkah. Seakan hari ini ia bersua dengan dua malaikat. Ia pun teringat dengan ibu dan adiknya.

"Tapi,...." Kata Adi tidak melanjutkan.
"Tapi apa? Katakanlah pada ibu." Adi kelihatan ragu. Tapi kemudian ia mengatakannya.
"Saya teringat ibu dan adik di rumah," Adi terlihat menarik napas.
"Oh, itu. Tidak usah kwatir. Nanti adik dan ibumu, kamu bawakan makanan dari sini."

Adi pun tidak ragu. Ia makan dengan lahapnya. Dari pagi, ia memang belum makan. Hanya beberapa jajanan kering saat ia di sekolah.

Aku kembali memperhatikan anak di depanku. Aku tidak berselera makan. Kulihat suamiku juga demikian. Kami terbiasa makan di rumah.

Kembali terngiang celoteh anakku yang tak kunjung datang. Maka, Adi yang sekarang ada di depanku telah menjelma buah hatiku. Meski sampai detik ini, aku tidak tahu siapa dia sebenarnya. Tetapi benang kasih itu telah berurai di setiap tarikan napas Adi.

Kini aku semakin paham, kalau ternyata Adi tinggal bersama adik dan ibunya. Dari cerita Adi, bapaknya telah tiada. Maka, Adi kecil harus mencari uang sendiri. Dengan cara apa saja, yang penting halal. Juga dengan menyewakan payung di musim penghujan.

Hujan di luar restoran mulai reda. Tinggal titik-titik gerimis yang semakin lesap. Adi pun pamit pulang. Karena hari sebentar lagi akan malam. Aku hanya mengangguk, saat Adi ijin pulang. Kuselipkan uang dua ratus ribu di saku bajunya. Kulihat Adi terkejut. Tidak percaya. Tapi, bagiku uang itu tidak seberapa.

Aku lihat Adi berjalan riang. Di antara gerimis yang masih mengundang. Aku dan suamiku saling pandang.

"Bagaiman kalau kita antarkan saja anak itu?" Usul suamiku. Tidak menunggu lama, aku pun mengiyakan.

Tidak berapa lama, karena memang rumah Adi tidak jauh dari tempat itu, akhirnya kami pun sampai. Hujan tak lagi bernyanyi. Benar-benar senja yang indah.

"Ibu,...." Adi berteriak memanggil ibunya sebelum turun dari mobil. Dan seseorang separuh usia beserta seorang putrinya, terpaku heran di ambang pintu. Aku pun turun. Mendekati seseorang yang tidak mungkin aku lupa. Aku pun menghambur, menangis, memeluk embakku sendiri.

"Embaaaa....k,"
*** 

Sumenep, 28092014

Saturday, September 27, 2014

PAKAIAN KEBAHAGIAAN

Cerita Motivasi dan Inspirasi Nomor 1 - PAKAIAN KEBAHAGIAANSuatu ketika, tersebutlah seorang raja yang kaya raya. Kekayaannya sangat melimpah. Emas, permata, berlian, dan semua batu berharga telah menjadi miliknya. Tanah kekuasaannya, meluas hingga sejauh mata memandang. Puluhan istana, dan ratusan pelayan siap menjadi hambanya. Karena ia memerintah dengan tangan besi, apapun yang diinginkannya hampir selalu diraihnya. Namun, semua itu tak membuatnya merasa cukup. Ia selalu merasa kekurangan. Tidurnya tak nyenyak, hatinya selalu merasa tak bahagia. Hidupnya, dirasa sangatlah menyedihkan. Suatu hari, dipanggillah salah seorang prajurit tebaiknya. Sang Raja lalu berkata, “Aku telah punya banyak harta. Namun, aku tak pernah merasa bahagia. Karena itu, ujar sang raja, “aku akan memerintahkanmu untuk memenuhi keinginanku. Pergilah kau ke seluruh penjuru negeri, dari pelosok ke pelosok, dan temukan orang yang paling berbahagia di negeri ini. Lalu, bawakan pakaiannya kepadaku.” “Carilah hingga ujung-ujung cakrawala dan buana. Jika aku bisa mendapatkan pakaian itu, tentu, aku akan dapat merasa bahagia setiap hari. Aku tentu akan dapat membahagiakan diriku dengan pakaian itu. Temukan sampai dapat! ” perintah sang Raja kepada prajuritnya. “Dan aku tidak mau kau kembali tanpa pakaian itu. Atau, kepalamu akan kupenggal !! Mendengar titah sang Raja, prajurit itupun segera beranjak. Disiapkannya ratusan pasukan untuk menunaikan tugas. Berangkatlah mereka mencari benda itu. Mereka pergi selama berbulan-bulan, menyusuri setiap penjur....
... baca selengkapnya di Cerita Motivasi dan Inspirasi Nomor 1

MATEMATIKA LOGIKA

Cerita Motivasi dan Inspirasi Nomor 1 - MATEMATIKA LOGIKADalam sebuah kelas, Guru sedang memberikan soal cerita matematika. GURU: "Anda pergi ke pasar swalayan untuk membeli tepung. Di sana ada kemasan tepung 1 kg dengan harga Rp. 5.000,- Juga ada kemasan tepung 5 kg dengan harga Rp.20.000,- Kemasan mana yang sebaiknya Anda beli agar Anda bisa hemat dan untung?" ROBERT: "Kita sebaiknya membeli kemasan 1 kg dengan harga Rp. 5.000,-" GURU: "Wah, sayang sekali. Jawabanmu salah Robert. Seharusnya kita membeli tepung dengan kemasan 5 kg seharga Rp. 20.000,-" ROBERT: "Tapi Bu Guru … bukankah di rumah Ibu hanya membutuhkan sedikit tepung? Saya kira 1 kg saja sudah cukup. Malah barusan Ibu saya membuang 1 sak tepung yang sudah rusak karena lama tidak terpakai. Bukankah ini malah lebih boros dan “membuang-buang uang” saja?" GURU: "Tidak Robert. Jawaban yang benar adalah kita harus membeli tepung dengan kemasan 5 kg seharga Rp. 20.000,- karena itulah jawaban yang seharusnya." ROBERT: "Tapi Bu … untuk apa membeli tepung sebanyak itu bila toh nantinya tidak terpakai?" GURU: "Robert … memang itulah jawaban yang benar. Kamu jangan membantah." ROBERT: "Tapi Bu … menurut saya jawaban yang benar adalah …" GURU: "SUDAHLAH Robert! Ayo sekarang ikut Ibu Guru menghadap Kepala Sekolah. Kelakuanmu sangat buruk hari ini! Tidak seharusnya kamu membangkang di kelas." (Si Robert dalam kisah di atas adalah ROBERT T. KIYOSAKI, seperti yang dialaminya sendiri. Angka-angka telah di....
... baca selengkapnya di Cerita Motivasi dan Inspirasi Nomor 1

Tuesday, September 23, 2014

SHI SHANG ZHI YOU MAMA HAO “世上只有妈妈好”

Cerita Motivasi dan Inspirasi Nomor 1 - SHI SHANG ZHI YOU MAMA HAO “世上只有妈妈好”Alkisah, ada sepasang kekasih yang saling mencintai. Sang pria berasal dari keluarga kaya, dan merupakan orang yang terpandang di kota tersebut. Sedangkan sang wanita adalah seorang yatim piatu, hidup serba kekurangan, tetapi cantik, lemah lembut, dan baik hati. Kelebihan inilah yang membuat sang pria jatuh hati. Sang wanita hamil di luar nikah. Sang pria lalu mengajaknya menikah, dengan membawa sang wanita ke rumahnya. Seperti yang sudah mereka duga, orang tua sang pria tidak menyukai wanita tsb. Sebagai orang yang terpandang di kota tsb, latar belakang wanita tsb akan merusak reputasi keluarga. Sebaliknya, mereka bahkan telah mencarikan jodoh yang sepadan untuk anaknya. Sang pria berusaha menyakinkan orang tuanya, bahwa ia sudah menetapkan keputusannya, apapun resikonya bagi dia. Sang wanita merasa tak berdaya, tetapi sang pria menyakinkan wanita tsb bahwa tidak ada yang bisa memisahkan mereka. Sang pria terus berargumen dengan orang tuanya, bahkan membantah perkataan orangtuanya, sesuatu yang belum pernah dilakukannya selama hidupnya (di zaman dulu, umumnya seorang anak sangat tunduk pada orang tuanya). Sebulan telah berlalu, sang pria gagal untuk membujuk orang tuanya agar menerima calon istrinya. Sang orang tua juga stress karena gagal membujuk anak satu-satunya, agar berpisah dengan wanita tsb, yang menurut mereka akan sangat merugikan masa depannya. Sang pria akhirnya menetapkan pilihan untuk kawin lari. Ia memutuskan untuk meninggalkan semuanya demi sang kekasih. ....
... baca selengkapnya di Cerita Motivasi dan Inspirasi Nomor 1

Saturday, September 20, 2014

SEBUAH BENIH

Cerita Motivasi dan Inspirasi Nomor 1 - SEBUAH BENIHSuatu ketika, ada sebuah pohon yang rindang. Dibawahnya, tampak dua orang yang sedang beristirahat. Rupanya, ada seorang pedagang bersama anaknya yang berteduh disana. Tampaknya mereka kelelahan sehabis berdagang di kota. Dengan menggelar sehelai tikar, duduklah mereka dibawah pohon yang besar itu. Angin semilir membuat sang pedagang mengantuk. Namun, tidak demikian dengan anaknya yang masih belia. "Ayah, aku ingin bertanya..." terdengar suara yang mengusik ambang sadar si pedagang. "Kapan aku besar, Ayah? Kapan aku bisa kuat seperti Ayah, dan bisa membawa dagangan kita ke kota? "Sepertinya, lanjut sang bocah, "aku tak akan bisa besar. Tubuhku ramping seperti Ibu, berbeda dengan Ayah yang tegap dan berbadan besar. Kupikir, aku tak akan sanggup memikul dagangan kita jika aku tetap seperti ini." Jari tangannya tampak mengores-gores sesuatu di atas tanah. Lalu, ia kembali melanjutkan, "bilakah aku bisa punya tubuh besar sepertimu, Ayah? Sang Ayah yang awalnya mengantuk, kini tampak siaga. Diambilnya sebuah benih, di atas tanah yang sebelumnya di kais-kais oleh anaknya. Diangkatnya benih itu dengan ujung jari telunjuk. Benda itu terlihat seperti kacang yang kecil, dengan ukuran yang tak sebanding dengan tangan pedagang yang besar-besar. Kemudian, ia pun mulai berbicara. "Nak, jangan pernah malu dengan tubuhmu yang kecil. Pandanglah pohon besar tempat kita berteduh ini. Tahukah kamu, batangnya yang kokoh ini, dulu berasal dari benih yang sekecil ini. Dahan, ranting dan daunnya....
... baca selengkapnya di Cerita Motivasi dan Inspirasi Nomor 1

Saturday, September 13, 2014

KADO CINTA BUAT BAPAK



KADO CINTA BUAT BAPAK
(Bagian 1)
 
Pemakaman Bapak
MENTARI BERPELUK RINDU
(Kado Cinta Buat Bapak)

Di ceruk matamu, pelangi meruam
Bulan disanggul kuburan
Memeras batu-batu, jadi rindu
Cinta, amarah, tawa, dan air mata

Serak retak belulang
Prasasti cinta, menghela jiwa
Di palung kehidupan kepulangan
Ujung hari Jumat, terlipat malaikat

Derai rinai cakrawala
Memantik hujan kepagian
Dan tanah pun meremas asa
Di antara doa-doa

Allahumaghfirlahu,..
Kelebat ampun-Mu, merajang dosa
Pada hamparan firdaus

Warhamhu,..
Menagih kasih, kesiur cinta
Di pintu rindumu, berkalang peluk rembulan

Wa'afihi, wa'fu 'anhu,..
Beriring kidung maaf-Mu
Di pelukan bumi, indah
Bertaman kembang surgawi

Sungguh!
Cintamu terus membara
Membakar api kerinduanku!

Sumenep, 11 April 2014

Puisi ini aku dedikasikan kepada Bapak, riak rindu cinta di setiap helai napasnya, yang pada hari Jumat, 4 April 2014 lalu, beliau telah meninggalkan kami, anak-anaknya, generasi penerus gennya, untuk selama-lamanya. Semoga, Bapak dalam limpahan Rahmat-Nya di alam sana. Bahagia, di antara bidadari-bidadari surga-Nya. Amin!

Bapak, ah! Aku masih belum berbuat banyak kepadanya. Palung cintanya telah mewariskan sebentuk fisik dan jiwa yang terus mengalir di detak nadiku. Bapak! Duh, betapa aku rindu, kini ia tidur dalam pangkuan bumi. Tidak ada kata yang sempat terucap. Tetapi ceruk matanya menyiratkan laksa rindu yang begitu mendalam. Air mataku membuncah, mengiringi kelebat roh di langit cakrawala. Lesap bersama rasa cintaku yang tak kesampaian. Aku bersama rindu yang terus menggebu.

Bapak adalah bukti sebuah cinta. Ketika aku, generasi penerusnya terlahir dari titisan kelopak mayang. Mayang cinta, rindu, dan riak cahaya menabur geliat asa di sisi setiap kehidupanku. Menampung tangis kealpaanku, saat Bapak telah pergi. Aku kasip, tidak mampu menjentikkan gebu rindu dan cinta. Hanya doa,.. ya, hanya lirik doa yang bisa kubangkitkan bersama urukan tanah yang berkalang air mata.

RINDU KELOPAK MAYANG
(Kado Cinta Buat Bapak)

Nyanyi keriput tulang
di renta tua, waktu melibas segala

Di rimba cinta, rindumu
adalah aku, menyibak tirai cakrawala
di ujung tarikan napas, masih
memuja kelopak mayang, lamur
awasmu terus menghunjam cermin jiwaku

Lerah!
Suluh waktu melindap, kerap
sabana meliris sepoi angin sagara

Bersama rinduku,
cintamu menaut desah lahat
di mulut bumi, raga berkalang
tanah memeluk keriap rinai surga
ambang diam di reranting kamboja

Ranau bergurat!
Aku dalam dekap cintamu.

Sumenep, 24042014

Bapak adalah segalanya. Bapaklah yang telah menunjukkan aku birunya langit. Juga hamparan bumi yang penuh dengan cadas. Bapak, dengan cintanya yang lebur di palung hatiku, telah merekam jejak kesatria untuk bertarung di hamparan bumi-Nya. Lekuk keras didikannya, menghantam ganasnya lembah kehidupan. Dan aku ada, benar,... aku ada dari titisan keringat darah Bapak yang terus bertalu.

Jumat itu, aku baru saja datang dari masjid. Ketika meniba, sebuah panggilan mengabarkan duka. Dan aku terbang bersama kelindan perasaan bersalah. Tidak sempat berseucap dengan Bapak.

“Ya Allah, ampunilah Bapak!”

Bapak adalah bilur keangkuhanku. Ketika pada setiap rakaat shalatnya, gemetar tangannya terangkat untuk sebentuk cinta. Terhadapku, ya kepadaku. Doa-doa liris, serta alunan kalam Ilahi, selalu dan selalu terucap dari relung hati dan ucap fasih ayat-ayat Alquran. Cinta Bapak adalah cinta abadi. Membakar seluruh keangkuhan dan keakuanku. Aku luruh dalam rindu padu. Di atas pusara, yang basah oleh air mata.

Mengurai laksa kerinduan. Dalam tatapan mata Bapak yang tajam. Kesiur tembang cintanya luruh. Di tepian hati yang paling dalam. Akulah anaknya, emasnya, yang selalu menjadi luhur digdaya, pada setiap nurani jiwanya. Entahlah! Mengapa rinai kepak sayap rindunya, bermuara di keping nuansaku.

PULANG
(Kado Cinta Buat Bapak)

Laut asa terbelah
menusuk pasang gelombang, pulang

Harum ruam rinduku
Mengentak jiwa-hasrat-hati
Selagi desah bermuara cinta
Bergurat labuh dermaga, liris
Terjerat keriput hati

Pulang!
Mengepul dermaga asa
Menyemai api rindu, berselimut luka
Telah berbalut dahaga jiwa
Pada jeritan asa, untuk bersua

Aku datang!
Membelah hari, memanggul api
Tapi cahaya itu redup
Kepul kepulangan, asap membubung

Air mataku!
Menderas jatuh menghunjam
Melarung waktu, berbaris doa
Allahummaghfir lahu!

Sumenep, 03042014

Aku pulang. Ya, aku pulang setelah dapat SMS dari orang rumah bahwa Bapak sudah kritis. Aku pulang bersama tetesan air mata. Hati yang kusut. Perasaan yang tidak karuan. Aku lagi di tempat tugas. Jauh di seberang pulau, saat Bapak dalam keadaan sakit yang membawa kepergiannya untuk selamanya.

Di atas Kapal Laut (KM Sabuk Nusantara 27), di atas gelombang, dan di antara badai. Tetapi perasaanku tertuju pada Bapak. Pada wajah Bapak. Pada cinta dan rindu Bapak. Untukku, ya hanya untukku. Karena, Bapak begitu cinta, selaksa sayang, yang selalu ia lontarkan di setiap kesempatan. Pada saat aku tidak ada. Ketika aku jauh di rantau. Atau, saat aku tidak di sisinya. Bapak selalu mengatakan, kalau aku adalah anaknya yang hebat. Anak yang selalu dalam sanjungan. Entahlah!

Bapak! Maafkan anakmu ini, yang tidak mampu memberikan yang terbaik untukmu. Hanya doa yang bisa aku haturkan untukmu. Untuk cinta yang terus mengalun merdu. Untuk sebuah kepastian rindu yang terus menyatu. Dalam rindu dan cintamu. Di antara memoria nasihat-nasihatmu. Tentu, tidak akan pernah aku lupa, bahwa langit adalah atap kehidupan dan bumi adalah hamparan perjuangan.

Ah! Bapak bukan seorang pencerita yang baik. Tetapi, suatu hari Beliau berkisah tentang sebuah perjuangan. Saat beliau masih muda. Di saat Bapak masih mampu berpetualang. Pergi dari rumah untuk sebuah kehidupan yang lebih baik. Untuk kehidupan aku, anaknya. Untuk mencari makan kesemua putra-putrinya. Bahwa hidup adalah perjuangan. Bahwa hidup adalah pengorbanan.

“Jangan jadi orang sombong, Nak!” Begitu pesanmu padaku.  Aku akan terus ingat dalam kehidupan ini. Sampai akhir hayatku.

DUKA KECIPAK LARA
(Kado Cinta Buat Bapak)

Memintal benang kawat
Pada langit rinai telaga duka

Luruh!
Sekeruh sendang air mata
Menusuk luka, beriak tak terkata
Sehantar kelebat masa
Terlibas pada pusara jarak

Rutukku!
Padku kelu dalam gugu
Setilas tapakmu, suci
Berkubang debu asaku, duh!

Lara kepulangan,
Sekepulan waktu meruncing
Menghentak jiwaku, diam
dalam gamang, angan mengawang
di balik batu nisan

Kecipak dukaku
runtuh di derai air mata

Sumenep, 24042014

Jasad Bapak telah berpulang. Tetapi, cinta dan kasihnya terus mengalir di detak nadiku. Di degup jantungku. Terus, selamanya. Begitu bertalu, begitu berpadu. Terpaku di aliran darah kehidupanku. Cinta Bapak masih ada. Meski Beliau pergi dari kehidupan ini, untuk selamanya. Untuk tidak kembali lagi.

Maka sisa kepedihan masih terus menghantui hari-hariku. Aku masih belum bisa menerima keadaan ini. Meski takdir ini telah menjadikan perasaan harus berkata “Idza jaa’a ajalukum...” tentu saja aku hanya mempu menghadirkan serangkum doa. Doa yang akan menghantar Bapak menemui Tuhannya. Allah swt. Semoga Bapak bahagia di sisi-Nya. (continued)
***