... baca selengkapnya di Cerita Motivasi dan Inspirasi Nomor 1
Tuesday, September 30, 2014
CERITA GUNUNG
... baca selengkapnya di Cerita Motivasi dan Inspirasi Nomor 1
SI KELINCI YANG PENAKUT
... baca selengkapnya di Cerita Motivasi dan Inspirasi Nomor 1
Sunday, September 28, 2014
KISAH PITA KUNING
... baca selengkapnya di Cerita Motivasi dan Inspirasi Nomor 1
GADIS DI UJUNG KISAH
Aku berusaha mengingat kembali masa lalu. Masa
yang begitu rapuh. Pada sebuah zaman yang ingin aku lupakan. Meski berat untuk
kuabaikan. Waktu yang meruntuhkan segala asa dan harapanku.
"Mas, tolonglah aku," suara itu terus
memburu pikiranku. Jelas terngiang di gendang telingaku. Suara itu, aku paham
betul. Mengapa ia minta tolong padaku? Apa yang terjadi dengannya? Adakah ia
membutuhkan pertolonganku?
Senja di musim kemarau. Aku duduk di pematang
sawah. Panen baru saja usai. Burung pipit beterbangan menghiasi senja. Beberapa
tahun yang lalu. Ya, di sini. Tepatnya di area pematang ini. Saat padi di sawah
mulai menguning. Panen hampir tiba. Senyum petani rekah, melihat hasil panen
yang, mungkin, melimpah.
"Pastinya para petani gembira saat
ini," suara Raisah mendayu.
"Ya, pastinya," aku mengiyakan.
Setuju.
Itu terjadi sepuluh tahun yang lalu. Ah, gak,
lebih dari itu. Tepatnya duabelas tahun, dua bulan, dan duabelas hari. Begitu
ingat, begitu membekas. Saat cinta itu berpadu. Dalam kehangatan rindu, pada
setiap desahan napasku dan napas Raisah.
Maka, waktu pun berlalu. Melewati setiap masa,
dan waktu yang terus berpacu. Maka Raisah pun pergi. Berlalu di hadapanku.
Entah kemana. Aku hanya mengadu pada keadaan. Aku bersimpuh pada malam.
Bermunajat, mengangkat tangan. Semoga Raisah damai dalam kehidupan yang tidak
kutahu rimbanya.
Pagi itu Raisah datang padaku. Tergesa dan
tergopoh. Apa yang terjadi, aku tidak paham. Air mata Raisah menganak sungai.
"Ada apa Raisah?" Aku terpana di antara
rerumputan yang masih mengembun. Raisah diam. Tubuhnya terguncang. Aku semakin
tidak mengerti. Sekian lamanya, Raisah tetap diam. Tidak bergeming.
"Aku akan pergi, Mas," tiba-tiba
Raisah terbata. Meski sebagai gumam, kalimat itu begitu jelas di gendang
telingaku. Aku bagaikan dihantam halilintar. Tidak percaya dengan apa yang
dikatakannya.
Maka, Raisah pun lesap. Hilang bagai tak
berbekas. Aku tidak tahu, kemana ia pergi. Dengan siapa ia berlabuh. Bersama
siapa ia merapat. Pulau apa yang ia tuju. Sungguh, Raisah, hanya ada di ujung
kisah.
***
"Mas, tolonglah aku!" Suara itu
seperti pernah aku dengar. Warna suaranya, mimbran bunyi yang tidak lekang oleh
perpisahan waktu. Ya, itu suara Raisah. Suara yang tidak mungkin aku lupa.
Suara yang selalu terngiang di saat siang dan malamku.
Apakah ini hanya sebuah ilusi? Mimpi? Bukankah
Raisah telah pergi? Sekian lamanya aku tidak mendengar nama Raisah. Ia telah
pergi. Pergi dengan laki-laki pilihan orang tuanya. Pergi untuk tidak kembali
lagi. Dan aku di sini, sendiri. Mendendangkan lagu untuk Raisah yang tak
mungkin kumiliki.
***
Nun jauh di seberang!
Raisah termenung sendiri. Di beranda rumah yang
begitu besar, indah, dan mewah. Hatinya serasa dirajam. Ia merasa bersalah.
Meninggalkan cinta yang sebenarnya. Cinta yang tulus, suci oleh kemurnian hati.
Jiwanya menjerit. Melolong, memanggil-manggil nama kekasih yang sebenarnya.
Tapi, semua sudah musnah. Nuraninya telah
direnggut paksa oleh keadaan. Cintanya digadaikan oleh orang tuanya. Meski
demikian, ia tidak pernah menyalahkan orang tuanya. Nasib telah membuat
segalanya ada. Ada untuk tiada, atau tiada untuk ada. Ada, apa adanya, dan apa,
ada apanya.
Semula berjalan begitu indah. Sebuah rumah
tangga yang memang ia inginkan. Dan cinta itu, lambat laun mulai bersula.
Menaut dengan tiba-tiba. Hingga, mala petaka itu datang tanpa diduga.
***
Suami Raisah meninggal. Hanya itu yang Raisah
tahu. Tiba-tiba dan begitu saja. Tidak diketahui sebabnya. Raisah hanya pasrah.
Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia hanya menangis, di atas pusara
suami yang masih basah. Air matanya membanjir. Maka, sejak saat itu Raisah
kehilangan pegangan. Dan ia pun jatuh ke kubang neraka. Di dalam pelukan lelaki
yang tidak ia suka. Hati busuk suami keduanya, hanya untuk memanfaatkan dirinya.
Musnah sudah segalanya.
***
Aku mencoba menata ingatan. Saat Raisah cantik,
berlari-lari di antara pematang. Sawah yang mulai menghijau, angin sepoi
mempermainkan anak rambutnya.
"Haaiiii,....Mas Dadi. Tungguuu....,"
teriak Raisah dari jauh.
"Cepaaa....t, kejar aku..." Permainan
kejar-kejaran pun dimulai. Aku dan Raisah. Antara cinta dan rindu yang kian
menyatu.
Hingga pada suatu saat, Raisah terpeleset.
Dengan cepat aku menyangga tubuhnya. Celakanya, aku yang jatuh. Dan lumpur
sawah mengotori bajuku. Raisah tertawa, dan aku pun tergelak.
Di dangau bambu ini, aku tersentak, saat aku
terjatuh karena tertidur.
"Raisah mana? Mana?" Aku mendesah
pada angin, pada pematang sawah. Kepada rumpun padi yang mulai menguning.
Sumenep, 28092014
NYANYIAN HUJAN
Anak itu mendekap
tubuhnya yang ringkih. Terlihat raut wajahnya, gigil menahan hempasan dingin
yang membakar. Di tangannya, dalam bungkusan plastik kecil hitam, ia
menggenggam uang tiga ribu perak. Sesiang ini, hanya satu orang yang menggunakan
jasanya. Sewa payung.
Hujan masih terus
mengguyur. Di sudut peron ia berdiri gelisah. Bukan! Bukan karena rezeki di
hari itu terasa seret. Tetapi, jauh dalam pikirannya, ia gundah. Resah terus
bergelayut dalam benaknya.
"Dik! Payung,
Dik!" Tanpa disangka seorang ibu muda memanggilnya. Tergesa ia
menghampirinya. Ibu muda itu ingin menyeberang, dan menaiki taxi di seberang
stasiun.
"Berapa,
Dik?"
"Dua
ribu," jawabnya sambil mengacungkan dua jari tangan kanannya. Ibu itu
menyerahkan uang lima puluhan ribu. Ia terperanjat.
"Tidak ada
kembaliannya, Bu!" Ia berkata sambil menelan ludah. Kerongkongannya terasa
kering, di antara gerimis yang terus merinai.
"Ambil saja.
Gak usah dikembaliin," jawab ibu itu sambil tersenyum. Cantiknya
menghilang setelah pintu taxi rapat tertutup.
Tanpa sengaja air
matanya meleleh. Tidak ada yang tahu, karena gerimis masih menghempas saat itu.
Ia pun berbenah. Disaksikan kursi-kursi yang diam di peron. Tiang besar atap
stasiun yang juga terlihat kuyup. Lelah, berselimut dingin di siang menjelang
sore itu.
Sejak pagi ia
belum makan. Tapi ia tidak merasa lapar. Tepatnya, ia sanggup menahan lapar.
Bukan hanya sehari. Tapi juga bisa lebih dari itu. Tubuhnya, semakin terlihat
kurus. Tapi ia tetap lincah di antara derai dan gerimis hujan.
***
"Assalamu'alaikum.
Ibu, Adi pulang," suaranya lantang. Ada semacam daya dalam ungkapan
katanya.
"Wa'alaikum
salam. Tumben siang-siang udah datang?" Parau suara ibu terdengar di balik
pintu rumahnya. Bukan rumah ding! Tapi gubuk.
"Ya, Bu. Adi
bawa obat untuk ibu. Juga membeli nasi bungkus. Ada ayam goreng kesukaan
Fani."
Fani yang masih
berumur lima tahun itu mengambil handuk untuk kakaknya. Ia pun menyiapkan air
panas untuk sang kakak. Selepas mandi, Adi menceritakan kisahnya di hari itu.
Bahwa dari pagi hingga menjelang siang, baru mendapatkan satu pelanggan. Bahwa
setelah itu, ada ibu muda yang menggunakan jasanya. Bahwa, ibu muda itu
memberikan uang lima puluh ribu dan tidak minta kembalian.
"Alhamdulillah,"
ibu yang sudah agak sehat itu mengucap syukur. Selama dua hari lamanya ia tidak
bisa bekerja. Maka, anaknya, Adi, yang masih duduk di kelas lima itulah yang
pontang panting mencari kehidupan.
"Besok, Insya
Allah, ibu sudah bisa bekerja. Mari kita nikmati dan kita syukuri rezeki Allah
hari ini." Nasihat ibu sambil membuka bungkus nasi hasil kerja anaknya.
Adi dan Fina pun makan bersama-sama di sore itu. Gerimis masih terus
menghempas. Payung Adi menggantung di balik pintu gubuknya. Hujan masih terus
menyanyi.
***
Ah, anak itu
membuat aku rindu. Ya, rindu akan celoteh manja seorang anak. Sekian lamanya
aku berumah tangga, namun si buah hati belum kunjung ada. Terkadang, gerimis
air mata bercucuran di saat malam melanglang.
"Sudahlah
Rifka, Tuhan masih belum berkenan," begitulah suamiku selalu membujukku.
Untunglah aku punya suami yang sabar. Mengayomi, sekaligus mencintaiku apa
adanya.
Hujan mulai reda.
Dari dalam taksi
aku melihat gumpalan awan putih. Tetapi gerimis sudah pergi. Mentari masih
tertunduk malu di balik sisa awan hujan seharian. Tiba-tiba air mataku
menderas. Entahlah!
Beberapa menit
kemudian aku sudah sampai di depan rumahku. Ya, rumah yang terbilang mewah.
Rumah yang selalu kurindu. Karena pada setiap senja, suamiku datang untuk
sebuah cinta yang tulus. Tetapi, masih ada yang kurang. Ya, di rumah besar itu
tidak terdengar tangisan anakku.
***
"Ibu,....Adi
pulang!" Dari jauh Adi sudah memanggil-ibunya. Ia ingin memperlihatkan
nilai rapotnya akhir tahun ini. Ya, Adi masih terus sekolah. Ia pantang
menyerah. Ditinggal bapaknya, memang kehidupan Adi berubah. Ia yang sekarang
menjadi tumpuan ibu dan adiknya.
"Ada apa,
Nak. Kok teriak-teriak dari jauh," jawab ibu saat Adi sudah berada di
dekat ibunya.
"Adi dapat
juara lagi, Bu. Nih lihat, nilai Adi bagus semua," jelas Adi begitu
sumbringah. Terlihat dari sinar matanya yang memancar.
"Syukurlah,
Anakku!" Jawab ibu parau. Terharu dengan prestasi anak lelakinya ini.
"Andai bapakmu masih hidup," pikir ibu sambil menengadah. Tak kuasa
air matanya meruah oleh keadaan yang tidak ingin ia jalani. Tetapi nasib telah
menyeret mereka ke dalam penderitaan hidup.
***
Selepas dari
sekolah.
Adi bersiap menuju
stasiun. Hari begitu gelap. Tumpahan curah hujan mulai meruah satu demi satu.
"Bismillah,"
langkah Adi menyusuri jalanan becek. Menuju stasiun. "Semoga banyak rejeki
hari ini," doanya dalam hati. Adi berjalan kaki menyusuri jalan raya yang
tidak begitu ramai. Mungkin karena hari hujan. Hanya sesekali motor dan mobil
melintas. Derunya ditingkahi gemuruh hujan yang semakin menderas. Di tangannya,
dua payung hitam ia genggam.
Sesaat sebelum
menyebrang ke arah stasiun, tiba-tiba sebuah mobil berhenti di sampingnya. Adi
heran. Ia tidak punya keluarga kaya. Tepatnya, ia tidak tahu. Ibunya tidak
pernah menceritakan siapa-siapa. Kecuali bapaknya, yang selalu dibanggakan oleh
ibunya.
Pintu mobil itu
terbuka. Pas di depan matanya. Adi semakin bingung. Seorang ibu muda, tersenyum
ke arahnya.
"Masuklah,
Nak!" Ibu muda itu berkata lembut. Tapi Adi bingung. Bahkan mulai timbul kecurigaan.
"Maaf, Bu.
Saya harus bekerja," jawab Adi apa adanya. Herannya, Adi tidak kuasa
menolak, melihat ibu itu berlinang air mata. Adi semakin bingung, dan menuruti
keinginannya.
***
Kupandangi anak
itu dengan saksama. Aku merasa ada darahku yang turut mengalir di nadinya. Aku
tidak tahu, mengapa hal ini bisa terjadi. Aku melihat kecerdasan pada sinar
matanya. Dan itu pulalah yang membuat aku semakin terharu. Aku ingin
mendekapnya, bagai anakku sendiri. Tetapi, apakah anak ini suka? Tuhan,
pengaruh anak begitu menghunjam nuraniku.
"Makanlah,
Nak," kataku bergetar, haru tiba-tiba kembali menyeruak. Adi hanya
mengangguk, kemudian.berpaling kepada bapak di sebelahnya. Bapak itu pun
tersenyum. Terasa tulus di sudut hati Adi.
"Makanlah, di
luar masih hujan," jawab bapak itu tak kalah lembut. Adi semakin salah
tingkah. Seakan hari ini ia bersua dengan dua malaikat. Ia pun teringat dengan
ibu dan adiknya.
"Tapi,...."
Kata Adi tidak melanjutkan.
"Tapi apa?
Katakanlah pada ibu." Adi kelihatan ragu. Tapi kemudian ia mengatakannya.
"Saya
teringat ibu dan adik di rumah," Adi terlihat menarik napas.
"Oh, itu.
Tidak usah kwatir. Nanti adik dan ibumu, kamu bawakan makanan dari sini."
Adi pun tidak
ragu. Ia makan dengan lahapnya. Dari pagi, ia memang belum makan. Hanya
beberapa jajanan kering saat ia di sekolah.
Aku kembali
memperhatikan anak di depanku. Aku tidak berselera makan. Kulihat suamiku juga
demikian. Kami terbiasa makan di rumah.
Kembali terngiang
celoteh anakku yang tak kunjung datang. Maka, Adi yang sekarang ada di depanku
telah menjelma buah hatiku. Meski sampai detik ini, aku tidak tahu siapa dia
sebenarnya. Tetapi benang kasih itu telah berurai di setiap tarikan napas Adi.
Kini aku semakin
paham, kalau ternyata Adi tinggal bersama adik dan ibunya. Dari cerita Adi, bapaknya
telah tiada. Maka, Adi kecil harus mencari uang sendiri. Dengan cara apa saja,
yang penting halal. Juga dengan menyewakan payung di musim penghujan.
Hujan di luar
restoran mulai reda. Tinggal titik-titik gerimis yang semakin lesap. Adi pun
pamit pulang. Karena hari sebentar lagi akan malam. Aku hanya mengangguk, saat
Adi ijin pulang. Kuselipkan uang dua ratus ribu di saku bajunya. Kulihat Adi
terkejut. Tidak percaya. Tapi, bagiku uang itu tidak seberapa.
Aku lihat Adi
berjalan riang. Di antara gerimis yang masih mengundang. Aku dan suamiku saling
pandang.
"Bagaiman
kalau kita antarkan saja anak itu?" Usul suamiku. Tidak menunggu lama, aku
pun mengiyakan.
Tidak berapa lama,
karena memang rumah Adi tidak jauh dari tempat itu, akhirnya kami pun sampai.
Hujan tak lagi bernyanyi. Benar-benar senja yang indah.
"Ibu,...."
Adi berteriak memanggil ibunya sebelum turun dari mobil. Dan seseorang separuh
usia beserta seorang putrinya, terpaku heran di ambang pintu. Aku pun turun.
Mendekati seseorang yang tidak mungkin aku lupa. Aku pun menghambur, menangis,
memeluk embakku sendiri.
"Embaaaa....k,"
***
Sumenep, 28092014
Saturday, September 27, 2014
PAKAIAN KEBAHAGIAAN
... baca selengkapnya di Cerita Motivasi dan Inspirasi Nomor 1
MATEMATIKA LOGIKA
... baca selengkapnya di Cerita Motivasi dan Inspirasi Nomor 1
Tuesday, September 23, 2014
SHI SHANG ZHI YOU MAMA HAO “世上只有妈妈好”
... baca selengkapnya di Cerita Motivasi dan Inspirasi Nomor 1
Saturday, September 20, 2014
SEBUAH BENIH
... baca selengkapnya di Cerita Motivasi dan Inspirasi Nomor 1
Saturday, September 13, 2014
KADO CINTA BUAT BAPAK
KADO CINTA BUAT BAPAK
(Bagian 1)
MENTARI
BERPELUK RINDU
(Kado
Cinta Buat Bapak)
Di ceruk matamu,
pelangi meruam
Bulan disanggul
kuburan
Memeras batu-batu,
jadi rindu
Cinta, amarah,
tawa, dan air mata
Serak retak
belulang
Prasasti cinta,
menghela jiwa
Di palung
kehidupan kepulangan
Ujung hari Jumat,
terlipat malaikat
Derai rinai
cakrawala
Memantik hujan
kepagian
Dan tanah pun
meremas asa
Di antara doa-doa
Allahumaghfirlahu,..
Kelebat ampun-Mu,
merajang dosa
Pada hamparan
firdaus
Warhamhu,..
Menagih kasih,
kesiur cinta
Di pintu rindumu,
berkalang peluk rembulan
Wa'afihi, wa'fu
'anhu,..
Beriring kidung
maaf-Mu
Di pelukan bumi,
indah
Bertaman kembang
surgawi
Sungguh!
Cintamu terus
membara
Membakar api
kerinduanku!
Sumenep, 11 April
2014
Puisi
ini aku dedikasikan kepada Bapak, riak rindu cinta di setiap helai napasnya,
yang pada hari Jumat, 4 April 2014 lalu, beliau telah meninggalkan kami,
anak-anaknya, generasi penerus gennya, untuk selama-lamanya. Semoga, Bapak
dalam limpahan Rahmat-Nya di alam sana. Bahagia, di antara bidadari-bidadari
surga-Nya. Amin!
Bapak,
ah! Aku masih belum berbuat banyak kepadanya. Palung cintanya telah mewariskan
sebentuk fisik dan jiwa yang terus mengalir di detak nadiku. Bapak! Duh, betapa
aku rindu, kini ia tidur dalam pangkuan bumi. Tidak ada kata yang sempat
terucap. Tetapi ceruk matanya menyiratkan laksa rindu yang begitu mendalam. Air
mataku membuncah, mengiringi kelebat roh di langit cakrawala. Lesap bersama
rasa cintaku yang tak kesampaian. Aku bersama rindu yang terus menggebu.
Bapak
adalah bukti sebuah cinta. Ketika aku, generasi penerusnya terlahir dari titisan
kelopak mayang. Mayang cinta, rindu, dan riak cahaya menabur geliat asa di sisi
setiap kehidupanku. Menampung tangis kealpaanku, saat Bapak telah pergi. Aku kasip,
tidak mampu menjentikkan gebu rindu dan cinta. Hanya doa,.. ya, hanya lirik doa
yang bisa kubangkitkan bersama urukan tanah yang berkalang air mata.
RINDU KELOPAK MAYANG
(Kado Cinta Buat Bapak)
Nyanyi keriput tulang
di renta tua, waktu melibas segala
Di rimba cinta, rindumu
adalah aku, menyibak tirai cakrawala
di ujung tarikan napas, masih
memuja kelopak mayang, lamur
awasmu terus menghunjam cermin jiwaku
Lerah!
Suluh waktu melindap, kerap
sabana meliris sepoi angin sagara
Bersama rinduku,
cintamu menaut desah lahat
di mulut bumi, raga berkalang
tanah memeluk keriap rinai surga
ambang diam di reranting kamboja
Ranau bergurat!
Aku dalam dekap cintamu.
Sumenep, 24042014
(Kado Cinta Buat Bapak)
Nyanyi keriput tulang
di renta tua, waktu melibas segala
Di rimba cinta, rindumu
adalah aku, menyibak tirai cakrawala
di ujung tarikan napas, masih
memuja kelopak mayang, lamur
awasmu terus menghunjam cermin jiwaku
Lerah!
Suluh waktu melindap, kerap
sabana meliris sepoi angin sagara
Bersama rinduku,
cintamu menaut desah lahat
di mulut bumi, raga berkalang
tanah memeluk keriap rinai surga
ambang diam di reranting kamboja
Ranau bergurat!
Aku dalam dekap cintamu.
Sumenep, 24042014
Bapak
adalah segalanya. Bapaklah yang telah menunjukkan aku birunya langit. Juga
hamparan bumi yang penuh dengan cadas. Bapak, dengan cintanya yang lebur di
palung hatiku, telah merekam jejak kesatria untuk bertarung di hamparan
bumi-Nya. Lekuk keras didikannya, menghantam ganasnya lembah kehidupan. Dan aku
ada, benar,... aku ada dari titisan keringat darah Bapak yang terus bertalu.
Jumat
itu, aku baru saja datang dari masjid. Ketika meniba, sebuah panggilan
mengabarkan duka. Dan aku terbang bersama kelindan perasaan bersalah. Tidak
sempat berseucap dengan Bapak.
“Ya
Allah, ampunilah Bapak!”
Bapak
adalah bilur keangkuhanku. Ketika pada setiap rakaat shalatnya, gemetar
tangannya terangkat untuk sebentuk cinta. Terhadapku, ya kepadaku. Doa-doa
liris, serta alunan kalam Ilahi, selalu dan selalu terucap dari relung hati dan
ucap fasih ayat-ayat Alquran. Cinta Bapak adalah cinta abadi. Membakar seluruh
keangkuhan dan keakuanku. Aku luruh dalam rindu padu. Di atas pusara, yang
basah oleh air mata.
Mengurai
laksa kerinduan. Dalam tatapan mata Bapak yang tajam. Kesiur tembang cintanya luruh.
Di tepian hati yang paling dalam. Akulah anaknya, emasnya, yang selalu menjadi
luhur digdaya, pada setiap nurani jiwanya. Entahlah! Mengapa rinai kepak sayap
rindunya, bermuara di keping nuansaku.
PULANG
(Kado
Cinta Buat Bapak)
Laut asa
terbelah
menusuk
pasang gelombang, pulang
Harum
ruam rinduku
Mengentak
jiwa-hasrat-hati
Selagi
desah bermuara cinta
Bergurat
labuh dermaga, liris
Terjerat
keriput hati
Pulang!
Mengepul
dermaga asa
Menyemai
api rindu, berselimut luka
Telah
berbalut dahaga jiwa
Pada
jeritan asa, untuk bersua
Aku
datang!
Membelah
hari, memanggul api
Tapi
cahaya itu redup
Kepul
kepulangan, asap membubung
Air
mataku!
Menderas
jatuh menghunjam
Melarung
waktu, berbaris doa
Allahummaghfir
lahu!
Sumenep,
03042014
Aku
pulang. Ya, aku pulang setelah dapat SMS dari orang rumah bahwa Bapak sudah
kritis. Aku pulang bersama tetesan air mata. Hati yang kusut. Perasaan yang
tidak karuan. Aku lagi di tempat tugas. Jauh di seberang pulau, saat Bapak
dalam keadaan sakit yang membawa kepergiannya untuk selamanya.
Di atas
Kapal Laut (KM Sabuk Nusantara 27), di atas gelombang, dan di antara badai.
Tetapi perasaanku tertuju pada Bapak. Pada wajah Bapak. Pada cinta dan rindu
Bapak. Untukku, ya hanya untukku. Karena, Bapak begitu cinta, selaksa sayang, yang
selalu ia lontarkan di setiap kesempatan. Pada saat aku tidak ada. Ketika aku
jauh di rantau. Atau, saat aku tidak di sisinya. Bapak selalu mengatakan, kalau
aku adalah anaknya yang hebat. Anak yang selalu dalam sanjungan. Entahlah!
Bapak!
Maafkan anakmu ini, yang tidak mampu memberikan yang terbaik untukmu. Hanya doa
yang bisa aku haturkan untukmu. Untuk cinta yang terus mengalun merdu. Untuk
sebuah kepastian rindu yang terus menyatu. Dalam rindu dan cintamu. Di antara
memoria nasihat-nasihatmu. Tentu, tidak akan pernah aku lupa, bahwa langit
adalah atap kehidupan dan bumi adalah hamparan perjuangan.
Ah!
Bapak bukan seorang pencerita yang baik. Tetapi, suatu hari Beliau berkisah
tentang sebuah perjuangan. Saat beliau masih muda. Di saat Bapak masih mampu
berpetualang. Pergi dari rumah untuk sebuah kehidupan yang lebih baik. Untuk
kehidupan aku, anaknya. Untuk mencari makan kesemua putra-putrinya. Bahwa hidup
adalah perjuangan. Bahwa hidup adalah pengorbanan.
“Jangan
jadi orang sombong, Nak!” Begitu pesanmu padaku. Aku akan terus ingat dalam kehidupan ini.
Sampai akhir hayatku.
DUKA
KECIPAK LARA
(Kado
Cinta Buat Bapak)
Memintal
benang kawat
Pada
langit rinai telaga duka
Luruh!
Sekeruh
sendang air mata
Menusuk
luka, beriak tak terkata
Sehantar
kelebat masa
Terlibas
pada pusara jarak
Rutukku!
Padku
kelu dalam gugu
Setilas
tapakmu, suci
Berkubang
debu asaku, duh!
Lara
kepulangan,
Sekepulan
waktu meruncing
Menghentak
jiwaku, diam
dalam
gamang, angan mengawang
di balik
batu nisan
Kecipak
dukaku
runtuh
di derai air mata
Sumenep,
24042014
Jasad
Bapak telah berpulang. Tetapi, cinta dan kasihnya terus mengalir di detak
nadiku. Di degup jantungku. Terus, selamanya. Begitu bertalu, begitu berpadu.
Terpaku di aliran darah kehidupanku. Cinta Bapak masih ada. Meski Beliau pergi
dari kehidupan ini, untuk selamanya. Untuk tidak kembali lagi.
Maka
sisa kepedihan masih terus menghantui hari-hariku. Aku masih belum bisa
menerima keadaan ini. Meski takdir ini telah menjadikan perasaan harus berkata
“Idza jaa’a ajalukum...” tentu saja aku hanya mempu menghadirkan serangkum doa.
Doa yang akan menghantar Bapak menemui Tuhannya. Allah swt. Semoga Bapak
bahagia di sisi-Nya. (continued)
***
Subscribe to:
Posts (Atom)