Sunday, February 16, 2014

GADIS DI BALIK JENDELA



GADIS DI BALIK JENDELA
 
Sumber gambar: http://id.upphotos.net/gadis-anak-kereta-jendela.html
Setiap pagi, saat matahari terbit, aku selalu membuka jendela. Meski sudah terlihat tua, tapi kusen kayu itu --entah kayu apa namanya-- masih kokoh menyangga daun jendela. Ada bunyi derit dari engsel jendela tiap kali aku membukanya. Maka, pada saat itu aku bisa leluasa memandang, menatap ke luar. Angin pagi yang sejuk, sepoi menyeruak menerpa wajahku. Terasa nyaman meski sedikit agak dingin. Sendiri, aku tersenyum diterpa sinar mentari dari balik jendela yang menghadap ke timur.

Jauh di sebelah sana, tanah lapang membentang luas. Atau agak luas, tepatnya. Pada hari-hari tertentu, banyak anak-anak bermain di sana. Berbagai permainan yang mereka lakukan. Layang-layang, sepak bola --bolanya dari buntelan plastik atau kain--, gobak sodor, petak umpet, dan sebagainya. Ramai, ceria, dan nampak begitu gembira.

Dari balik jendela kamarku, aku menatap mereka. Leluasa. Dan anehnya, aku merasa juga terlibat dalam permainan mereka. Sungguh, sebuah kebahagiaan tersendiri bagiku. Dari balik bingkai jendela, aku bermain layang-layang, bermain sepak bola, bermain kejar-kejaran, dan berbagai macam permainan lainnya.

Aku hidup sendiri. Sebatang kara. Aku tidak tahu siapa bapak dan ibuku. Aku juga tidak tahu siapa paman atau bibiku, kakek dan nenekku, serta siapa kakak atau adikku. Yang aku tahu, aku hidup sendiri, tidak punya siapa-siapa.

Aku juga tidak tahu, siapa yang membuatkan aku rumah. Gak ding! Tepatnya gubuk, dengan kamar dan jendela menghadap ke arah terbit matahari. Aku tidak tahu. Yang kutahu, aku anak cacat. Kedua kakiku tidak ada. Hanya ada sedikit benjolan dari pangkal kedua paha, hingga aku bisa duduk. Kedua tanganku lengkap. Dan anggota tubuh yang lain juga ada. Bahkan, kata bisik-bisik orang, aku ini cantik.

"Kasihan sekali. Anak itu sebenarnya cantik!"
***

Hari Minggu. Nampak di lapangan banyak sekali anak-anak bermain. Sebaya, ya kurang lebih seumuran denganku. Begitulah! Tiap ada anak-anak bermain di lapangan, aku merasa, --sekali lagi ini perasaanku saja-- aku ikut serta dalam permainan mereka. Tentu saja sangat mengasyikkan bukan?

"Tika, ayo main!" Salah seorang di antara mereka memanggilku.
"Main apa?"
"Main bola!"
"Lhoo, aku kan perempuan?!"
"Gak apa-apa!"

Aku pun terjun dalam permainan sepak bola. Perasaanku, kedua kakiku utuh. Hingga aku bisa menendang, mengoper, dan menggiring bola. Bahkan, meski aku seorang perempuan, aku termasuk bintang lapangan. Hehee, aneh kan? Tapi begitulah!

Sebenarnya, aku tidak pernah keluar rumah. Aku hanya duduk di dalam kamar. Pada sebuah amben yang sudah termakan waktu. Tapi masih cukup kuat kalau hanya untuk menyanggaku. Di kamarku juga ada kursi. Tidak jauh beda keadaannya dengan amben. Sudah terlihat tua. Namun masih kokoh untuk sekadar aku duduk di atasnya. Nah, dari atas kursi itulah sering kali aku menatap ke luar. Melalui jendela yang pasti kubuka lebar-lebar tiap pagi. Dan aku turut serta apa kata alam di luar sana.

"Aduh, sulit ya kayaknya?! Untuk meyakinkanmu bahwa aku juga bisa bermain, berkejaran, serta menikmati alam. Ya, hanya dari jendela. Bingkai jendela ini yang membantuku. Terima kasih, Jendela!"

Nyatanya, aku tidak bisa apa-apa. Aku tidak bisa bekerja untuk mendapat uang. Aku tidak bisa berjalan, layaknya teman-temanku yang lain. Aku hanya bisa --sedikit-sedikit-- membersihkan kamarku, pekarangan, dan sekitarnya. Tentu saja dengan cara beringsut, ngesot --teringat dengan suster ngesot--, atau melata. Dengan cara begitu aku bisa memindahkan tubuhku.

Makan? Tentu saja aku makan. Kalau tidak, mana bisa hidup? Dari mana? Itulah! Tuhan selalu ngasik jalan bagi orang-orang yang disabilitas. Seperti aku ini. Bahkan yang lebih miris daripada aku, juga banyak kok! Mereka masih bisa makan. Bagaimana caranya? Hem, entahlah!

Masih ada orang-orang kasihan melihat keadaanku. Kemudian mereka mengirimiku makanan. Ala kadarnya. Kadang juga makanan yang enak-enak. Meski aku malu, tapi karena perut lapar, ya aku makan juga. Aku terima makanan pemberian itu dengan ucapan terima kasih.

"Terima kasih, Bu De!" Ucapku hari itu ketika seseorang yang sangat kukenal mengantarkan makanan. Dia adalah Bu De Rahma. Tahunya aku, dia dipanggil De Rahmah. Seterusnya, aku tidak tahu seluk beluk orang yang selama ini kuanggap paling perhatian terhadapku. De Rahmah hanya tersenyum mendengar aku mengucapkan terima kasih.

Tidak hanya De Rahmah yang mengantarkanku makanan. Tetangga yang lain juga. Tanpa dinyana, seperti terjadwal sendiri. Atau bahkan terkadang sama-sama ngirim di hari yang sama. Jadinya, makanan di rumahku banyak. Bukan melimpah, lhoo!

Sebenarnya aku merasa malu dengan hanya mengharap pemberian orang. Tapi mau gimana lagi? Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Untuk menyeret tubuhku sendiri saja, aku merasa kesulitan. Entahlah! Ini sebuah ujian atau tidak. Aku juga tidak tahu, seperti apa seharusnya menyikapi suatu ujian dan cobaan. Yang penting, di hari itu aku bisa mengisi perut. Bisa buat untuk bertahan hidup.

Tidak selamanya aku bisa makan. Sebagaimana tidak selamanya De Rahma atau tetangga yang lain sempat mengirimiku makanan. Entah karena sebab apa? Kadang sampai dua atau tiga hari, tak seorang pun mengirimiku makanan. Aku hanya pasrah dalam lapar yang melilit. Perutku berbunyi kriyuk-kriyuk minta diisi. Tapi aku hanya diam, tidak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya berharap, "Semoga makanan segera datang."
***

Malam mulai beranjak. Sekitar pun mulai gelap. Di rumahku tidak ada listrik. Hanya kelap-kelip teplok yang kubuat dari kaleng bekas dan kapas yang kupintal sendiri. Dengan minyak tanah, aku bisa menghidupkan damar conglet tersebut. Jendela masih terbuka. Malam belum begitu larut. Bulan separuh purnama mengintip di balik rimbun bambu, nun jauh di sana. Cahayanya sebagian menerabas jendela. Menyinari wajahku di malam sunyi itu. Beberapa anak tetangga bermain di bawah cahaya bulan. Aku pun 'merasa' turut serta dalam permainan mereka. Berlari, berkejaran main petak umpet.

"Hai, Tika ketemu!" Seru teman-temanku saat aku ketahuan di tempat persembunyianku. Aku pun bersorak, girang.

Malam pun beranjak larut. Aku menutup jendela. Maka sunyi pun terasa. Senyap dalam kesendirianku. Aku mulai menarik selimut. Untuk segera berlayar di alam mimpi. Tidur.

"Apakah aku mimpi?" Pagi-pagi aku terbangun. Hari masih agak gelap. Mar samar muwa. Beberapa waktu lagi matahari akan muncul membilaskan sinarnya. Aku duduk terpaku di amben. Seperti ada sesuatu yang tidak beres dengan tubuhku. Terutama di pangkal pahaku. Aku masih berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi semalam.

Seseorang berjubah putih, masuk kamarku lewat jendela. Padahal, biasanya aku pakal pakek grendel yang sudah berkarat.

"Apa aku lupa?"

Aku beranjak mendekati jendela. Benar saja, grendel tidak aku pasang. Aku mungkin lupa, semalam kurang teliti. Lagian, siapa yang mau masuk ke rumahku? Aku tidak punya apa-apa untuk dicuri.

Ya, aku ingat. Orang itu berjubah putih. Mendekatiku dengan cara mengendap-endap. Ternyata ia ingin berhubungan badan denganku. Aku berontak. Aku tidak mau. Bagaimanapun bodohnya, aku mengerti kalau perbuatan itu dosa. Sekuat tenaga aku bertahan. Tapi, tenagaku tidak berdaya. Ditambah lagi dengan kondisi fisikku yang tak sempurna. Jadinya, malam ini kegadisanku lesap. Hilang entah ke mana. Tapi,... Mimpikah?

Aku memang tidak pernah mengaji. Apa lagi sekolah. Jadi aku ini buta huruf, tidak tahu apa-apa. Sekarang umurku sudah 18 tahun. Tentu alat reproduksi dalam tubuhku normal. Layaknya wanita kebanyakan. Sejak umur 14 tahun aku sudah mengalami menstruasi. Kesimpulannya, selain fisik, aku ini gadis belia yang normal.

Siapa gerangan orang berjubah putih itu? Malaikatkah? Hemm, sesuatu banget. Mana mungkin?! Antara sadar dan tidak, sebelum beranjak pergi ia berbisik di telingaku.

"Aku mencintaimu, tetapi sulit untuk menyatukan cintaku padamu!"

Waktu terus berlalu. Melewati hidupku dari waktu ke waktu. Selang beberapa waktu kemudian, ada sesuatu yang aneh dalam perutku. Bahkan kadang aku mual-mual dan muntah. Aku tidak tahu, apa sebenarnya yang terjadi pada diriku. Hingga suatu waktu, saat aku muntah-muntah De Rahma datang untuk mengantarkan makanan. De Rahma terkejut melihat keadaanku.

"Kenapa, Tika?" Semacam ada rasa kwatir di wajah De Rahma. Ah, itu mungkin hanya perasaanku saja.
"Gak tahu, Bu De!" Jawabku apa adanya.

Kemudian aku menceritakan perihal mimpiku. Mimpi? Aku anggap saja itu mimpi. Meski pada akhirnya nyata, biarlah! Aku juga tidak ingin hal ini terjadi pada diriku. De Rahma mendengarkan ceritaku dengan saksama. Nampak dari raut wajahnya, rasa heran. Mungkin juga terkejut. Atau, entah apa namanya.

"Benarkah, Tika?"
"Ya, De!  Saya tidak berbohong!"
"Jin atau malaikat?"

Sejak itu, perutku semakin membesar. Benar, aku telah hamil. Janin dalam perutku, entah siapa ayahnya. Terkadang aku menangis, ketika teringat dengan keadaanku. Mampukah aku merawat dan membesarkannya? Aku tidak bisa berbuat banyak. Dari balik jendela, aku memandang jauh ke luar. Aku mengelus perutku yang semakin membesar. Gerimis di luar sana mulai turun. Seiring air mataku menetes di pipi.

Hingga waktunya pun tiba. Aku merintih kesakitan. Ditemani De Rahma yang begitu prihatin melihat ke adaanku. Aku akan melahirkan. Ya, sebentar lagi aku akan punya anak. Meski aku tidak tahu siapa bapaknya.

Beberapa lama kami menunggu. Aku juga sudah tidak merasakan sakit. Tapi tidak ada bayi. Tidak ada tangisan. Diam dalam sepi yang sunyi. De Rahma pun bingung. Bayi yang ia tunggu tidak ada. Benar-benar tidak ada. Hanya air ketuban yang keluar dari rahim Tika. Selebihnya tidak ada. Termasuk juga ari-ari, tidak ada.

Inikah yang dalam ilmu medis disebut pseudocyesis? Janin yang tiba-tiba hilang tanpa sebab. Atau kalau dalam adat tertentu disebut ekakan sombilang? Semua masih misteri.

"Bangunlah Tika! Mungkin bayimu telah dibawa malaikat." Begitu kata De Rahma, masih dalam keheranannya. Aku pun bangun. Tidak merasakan sakit. Tubuhku sehat sebagaimana sedia kala.

Waktu pun terus berlalu. Aku tumbuh menjadi gadis yang cantik, selain cacatku, yang tanpa kedua kaki. Hingga pada suatu saat, De Rahma datang tergopoh-gopoh ke rumahku. Tidak seperti biasanya, beliau tidak membawa makanan.

"Tika, ada yang ingin melamarmu." Serasa berbisik di hadapanku. Aku terkejut.
"Apa Bu De?" Aku ingin keyakinan dari informasi yang De Rahma sampaikan.
"Ada yang ingin melamarmu. Benar, ini bukan bohong." Aku hanya melongo. "Bu De sendiri yang disuruh memberi tahumu." De Rahma mencoba meyakinkanku. Aku hanya tergelak. Bagaikan sebuah mimpi. "Adakah orang yang mau denganku, orang tidak sempurna ini?"

Tetapi, begitulah takdir. Rahasia alam. Tidak bisa dihitung secara matematis. Semula aku menolak lamaran laki-laki, tetangga desa sebelah. Hingga kemudian, ia, Hasim namanya datang padaku dan menyatakan jeseriusannya.

"Mas tahu kan, kondisi tubuhku?"
"Aku tahu semuanya."
"Aku gak punya kaki, Mas!"
"Tapi, itu tidak menghalangi cintaku. Aku mencintaimu apa adamu!"

Begitu mantap kesan yang kurasakan atas kata-kata Mas Hasim. Aku tidak melihat kebohongan. Maka semai cinta pun berpadu di telaga asmara yang berbunga cerita rindu. Kami pun diikat oleh kekuatan pernikahan. Dalam mahligai keluarga bahagia.

Setelah aku menikah dengan Mas Hasim, dalam mimpi aku seringkali didatangi oleh orang berjubah putih. Ya, seperti yang pernah datang sebelumnya untuk mengambil perawanku. Tapi kali ini, ia datang tidak untuk itu. Melainkan, mengajariku bacaan-bacaan Quran. Seperti Fatihah, doa-doa, dan surat-surat pendek lainnya. Aku bersyukur, ternyata Mas Hasim adalah orang yang dianggap lebih dalam pemahaman agama. Maka sedikit demi sedikit, aku pun diajari melaksanakan kewajiban agama. Dan aku tidak merasa kesulitan dalam memahami dan melaksanakannya.

Dan inilah takdir. Tersebab oleh orang berjubah dalam mimpiku, serta ajaran dari suamiku, entah bagaimana asalnya, kemudian aku dipercaya oleh orang-orang untuk mengobati berbagai macam penyakit. Tidak hanya itu, problematika kehidupan lainnya pun sering berkonsultasi denganku. Aku hanya menjelaskan, bahwa apa pun itu, dalam kehidupan ini datangnya dari Allah swt. Manusia sebagai hamba, hanya bisa ikhtiar atau usaha. Selebihnya, sukses tidaknya kita serahkan kepada Allah swt.

Semakin hari, semakin banyak saja orang yang datang kepadaku. Mereka membawa masalah mereka masing-masing. Semula hanya tetangga, desa sekitar, desa sebelah, akhirnya menyebar dari berbagai penjuru. "Aku bukan malaikat. Aku bukan orang keramat." Demikian seringkali aku katakan kepada pasienku.

Hingga pada suatu waktu, selepas melaksanakan jamaah shubuh.

"Dek, maafkan aku," kata Mas Hasim, suamiku.
"Justru aku yang harusnya minta maaf, Mas!"
"Orang yang mendatangimu di malam separuh purnama itu adalah aku,...!"

Aku hanya melongo,....

Sumenep, 12 Februari 2014

No comments:

Post a Comment