GADIS DI BALIK JENDELA
Setiap pagi, saat matahari terbit, aku selalu membuka
jendela. Meski sudah terlihat tua, tapi kusen kayu itu --entah kayu apa
namanya-- masih kokoh menyangga daun jendela. Ada bunyi derit dari engsel
jendela tiap kali aku membukanya. Maka, pada saat itu aku bisa leluasa
memandang, menatap ke luar. Angin pagi yang sejuk, sepoi menyeruak menerpa
wajahku. Terasa nyaman meski sedikit agak dingin. Sendiri, aku tersenyum
diterpa sinar mentari dari balik jendela yang menghadap ke timur.
Jauh di sebelah sana, tanah lapang membentang luas.
Atau agak luas, tepatnya. Pada hari-hari tertentu, banyak anak-anak bermain di
sana. Berbagai permainan yang mereka lakukan. Layang-layang, sepak bola
--bolanya dari buntelan plastik atau kain--, gobak sodor, petak umpet, dan
sebagainya. Ramai, ceria, dan nampak begitu gembira.
Dari balik jendela kamarku, aku menatap mereka.
Leluasa. Dan anehnya, aku merasa juga terlibat dalam permainan mereka. Sungguh,
sebuah kebahagiaan tersendiri bagiku. Dari balik bingkai jendela, aku bermain
layang-layang, bermain sepak bola, bermain kejar-kejaran, dan berbagai macam
permainan lainnya.
Aku hidup sendiri. Sebatang kara. Aku tidak tahu siapa
bapak dan ibuku. Aku juga tidak tahu siapa paman atau bibiku, kakek dan
nenekku, serta siapa kakak atau adikku. Yang aku tahu, aku hidup sendiri, tidak
punya siapa-siapa.
Aku juga tidak tahu, siapa yang membuatkan aku rumah.
Gak ding! Tepatnya gubuk, dengan kamar dan jendela menghadap ke arah terbit
matahari. Aku tidak tahu. Yang kutahu, aku anak cacat. Kedua kakiku tidak ada.
Hanya ada sedikit benjolan dari pangkal kedua paha, hingga aku bisa duduk.
Kedua tanganku lengkap. Dan anggota tubuh yang lain juga ada. Bahkan, kata
bisik-bisik orang, aku ini cantik.
"Kasihan sekali. Anak itu sebenarnya
cantik!"
***
Hari Minggu. Nampak di lapangan banyak sekali
anak-anak bermain. Sebaya, ya kurang lebih seumuran denganku. Begitulah! Tiap
ada anak-anak bermain di lapangan, aku merasa, --sekali lagi ini perasaanku
saja-- aku ikut serta dalam permainan mereka. Tentu saja sangat mengasyikkan
bukan?
"Tika, ayo main!" Salah seorang di antara
mereka memanggilku.
"Main apa?"
"Main bola!"
"Lhoo, aku kan perempuan?!"
"Gak apa-apa!"
Aku pun terjun dalam permainan sepak bola. Perasaanku,
kedua kakiku utuh. Hingga aku bisa menendang, mengoper, dan menggiring bola.
Bahkan, meski aku seorang perempuan, aku termasuk bintang lapangan. Hehee, aneh
kan? Tapi begitulah!
Sebenarnya, aku tidak pernah keluar rumah. Aku hanya
duduk di dalam kamar. Pada sebuah amben yang sudah termakan waktu. Tapi masih
cukup kuat kalau hanya untuk menyanggaku. Di kamarku juga ada kursi. Tidak jauh
beda keadaannya dengan amben. Sudah terlihat tua. Namun masih kokoh untuk
sekadar aku duduk di atasnya. Nah, dari atas kursi itulah sering kali aku
menatap ke luar. Melalui jendela yang pasti kubuka lebar-lebar tiap pagi. Dan
aku turut serta apa kata alam di luar sana.
"Aduh, sulit ya kayaknya?! Untuk meyakinkanmu
bahwa aku juga bisa bermain, berkejaran, serta menikmati alam. Ya, hanya dari jendela.
Bingkai jendela ini yang membantuku. Terima kasih, Jendela!"
Nyatanya, aku tidak bisa apa-apa. Aku tidak bisa
bekerja untuk mendapat uang. Aku tidak bisa berjalan, layaknya teman-temanku
yang lain. Aku hanya bisa --sedikit-sedikit-- membersihkan kamarku, pekarangan,
dan sekitarnya. Tentu saja dengan cara beringsut, ngesot --teringat dengan
suster ngesot--, atau melata. Dengan cara begitu aku bisa memindahkan tubuhku.
Makan? Tentu saja aku makan. Kalau tidak, mana bisa
hidup? Dari mana? Itulah! Tuhan selalu ngasik
jalan bagi orang-orang yang disabilitas.
Seperti aku ini. Bahkan yang lebih miris daripada aku, juga banyak kok! Mereka
masih bisa makan. Bagaimana caranya? Hem, entahlah!
Masih ada orang-orang kasihan melihat keadaanku.
Kemudian mereka mengirimiku makanan. Ala kadarnya. Kadang juga makanan yang
enak-enak. Meski aku malu, tapi karena perut lapar, ya aku makan juga. Aku
terima makanan pemberian itu dengan ucapan terima kasih.
"Terima kasih, Bu De!" Ucapku hari itu
ketika seseorang yang sangat kukenal mengantarkan makanan. Dia adalah Bu De
Rahma. Tahunya aku, dia dipanggil De Rahmah. Seterusnya, aku tidak tahu seluk
beluk orang yang selama ini kuanggap paling perhatian terhadapku. De Rahmah
hanya tersenyum mendengar aku mengucapkan terima kasih.
Tidak hanya De Rahmah yang mengantarkanku makanan.
Tetangga yang lain juga. Tanpa dinyana, seperti terjadwal sendiri. Atau bahkan
terkadang sama-sama ngirim di hari yang sama. Jadinya, makanan di rumahku
banyak. Bukan melimpah, lhoo!
Sebenarnya aku merasa malu dengan hanya mengharap
pemberian orang. Tapi mau gimana lagi? Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Untuk
menyeret tubuhku sendiri saja, aku merasa kesulitan. Entahlah! Ini sebuah ujian
atau tidak. Aku juga tidak tahu, seperti apa seharusnya menyikapi suatu ujian
dan cobaan. Yang penting, di hari itu aku bisa mengisi perut. Bisa buat untuk
bertahan hidup.
Tidak selamanya aku bisa makan. Sebagaimana tidak
selamanya De Rahma atau tetangga yang lain sempat mengirimiku makanan. Entah
karena sebab apa? Kadang sampai dua atau tiga hari, tak seorang pun mengirimiku
makanan. Aku hanya pasrah dalam lapar yang melilit. Perutku berbunyi kriyuk-kriyuk minta diisi. Tapi aku
hanya diam, tidak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya berharap, "Semoga
makanan segera datang."
***
Malam mulai beranjak. Sekitar pun mulai gelap. Di
rumahku tidak ada listrik. Hanya kelap-kelip teplok yang kubuat dari kaleng bekas dan kapas yang kupintal
sendiri. Dengan minyak tanah, aku bisa menghidupkan damar conglet tersebut. Jendela masih terbuka. Malam belum begitu
larut. Bulan separuh purnama mengintip di balik rimbun bambu, nun jauh di sana.
Cahayanya sebagian menerabas jendela. Menyinari wajahku di malam sunyi itu.
Beberapa anak tetangga bermain di bawah cahaya bulan. Aku pun 'merasa' turut
serta dalam permainan mereka. Berlari, berkejaran main petak umpet.
"Hai, Tika ketemu!" Seru teman-temanku saat
aku ketahuan di tempat persembunyianku. Aku pun bersorak, girang.
Malam pun beranjak larut. Aku menutup jendela. Maka
sunyi pun terasa. Senyap dalam kesendirianku. Aku mulai menarik selimut. Untuk
segera berlayar di alam mimpi. Tidur.
"Apakah aku mimpi?" Pagi-pagi aku terbangun.
Hari masih agak gelap. Mar samar muwa.
Beberapa waktu lagi matahari akan muncul membilaskan sinarnya. Aku duduk terpaku
di amben. Seperti ada sesuatu yang tidak beres dengan tubuhku. Terutama di
pangkal pahaku. Aku masih berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi semalam.
Seseorang berjubah putih, masuk kamarku lewat jendela.
Padahal, biasanya aku pakal pakek
grendel yang sudah berkarat.
"Apa aku lupa?"
Aku beranjak mendekati jendela. Benar saja, grendel
tidak aku pasang. Aku mungkin lupa, semalam kurang teliti. Lagian, siapa yang
mau masuk ke rumahku? Aku tidak punya apa-apa untuk dicuri.
Ya, aku ingat. Orang itu berjubah putih. Mendekatiku
dengan cara mengendap-endap. Ternyata ia ingin berhubungan badan denganku. Aku
berontak. Aku tidak mau. Bagaimanapun bodohnya, aku mengerti kalau perbuatan
itu dosa. Sekuat tenaga aku bertahan. Tapi, tenagaku tidak berdaya. Ditambah
lagi dengan kondisi fisikku yang tak sempurna. Jadinya, malam ini kegadisanku
lesap. Hilang entah ke mana. Tapi,... Mimpikah?
Aku memang tidak pernah mengaji. Apa lagi sekolah.
Jadi aku ini buta huruf, tidak tahu apa-apa. Sekarang umurku sudah 18 tahun.
Tentu alat reproduksi dalam tubuhku normal. Layaknya wanita kebanyakan. Sejak
umur 14 tahun aku sudah mengalami menstruasi. Kesimpulannya, selain fisik, aku
ini gadis belia yang normal.
Siapa gerangan orang berjubah putih itu? Malaikatkah? Hemm, sesuatu banget. Mana mungkin?!
Antara sadar dan tidak, sebelum beranjak pergi ia berbisik di telingaku.
"Aku mencintaimu, tetapi sulit untuk menyatukan
cintaku padamu!"
Waktu terus berlalu. Melewati hidupku dari waktu ke
waktu. Selang beberapa waktu kemudian, ada sesuatu yang aneh dalam perutku.
Bahkan kadang aku mual-mual dan muntah. Aku tidak tahu, apa sebenarnya yang
terjadi pada diriku. Hingga suatu waktu, saat aku muntah-muntah De Rahma datang
untuk mengantarkan makanan. De Rahma terkejut melihat keadaanku.
"Kenapa, Tika?" Semacam ada rasa kwatir di
wajah De Rahma. Ah, itu mungkin hanya perasaanku saja.
"Gak tahu, Bu De!" Jawabku apa adanya.
Kemudian aku menceritakan perihal mimpiku. Mimpi? Aku
anggap saja itu mimpi. Meski pada akhirnya nyata, biarlah! Aku juga tidak ingin
hal ini terjadi pada diriku. De Rahma mendengarkan ceritaku dengan saksama.
Nampak dari raut wajahnya, rasa heran. Mungkin juga terkejut. Atau, entah apa
namanya.
"Benarkah, Tika?"
"Ya, De!
Saya tidak berbohong!"
"Jin atau malaikat?"
Sejak itu, perutku semakin membesar. Benar, aku telah
hamil. Janin dalam perutku, entah siapa ayahnya. Terkadang aku menangis, ketika
teringat dengan keadaanku. Mampukah aku merawat dan membesarkannya? Aku tidak
bisa berbuat banyak. Dari balik jendela, aku memandang jauh ke luar. Aku
mengelus perutku yang semakin membesar. Gerimis di luar sana mulai turun.
Seiring air mataku menetes di pipi.
Hingga waktunya pun tiba. Aku merintih kesakitan.
Ditemani De Rahma yang begitu prihatin melihat ke adaanku. Aku akan melahirkan.
Ya, sebentar lagi aku akan punya anak. Meski aku tidak tahu siapa bapaknya.
Beberapa lama kami menunggu. Aku juga sudah tidak
merasakan sakit. Tapi tidak ada bayi. Tidak ada tangisan. Diam dalam sepi yang
sunyi. De Rahma pun bingung. Bayi yang ia tunggu tidak ada. Benar-benar tidak
ada. Hanya air ketuban yang keluar dari rahim Tika. Selebihnya tidak ada.
Termasuk juga ari-ari, tidak ada.
Inikah yang dalam ilmu medis disebut pseudocyesis? Janin yang tiba-tiba
hilang tanpa sebab. Atau kalau dalam adat tertentu disebut ekakan sombilang? Semua
masih misteri.
"Bangunlah Tika! Mungkin bayimu telah dibawa
malaikat." Begitu kata De Rahma, masih dalam keheranannya. Aku pun bangun.
Tidak merasakan sakit. Tubuhku sehat sebagaimana sedia kala.
Waktu pun terus berlalu. Aku tumbuh menjadi gadis yang
cantik, selain cacatku, yang tanpa kedua kaki. Hingga pada suatu saat, De Rahma
datang tergopoh-gopoh ke rumahku. Tidak seperti biasanya, beliau tidak membawa
makanan.
"Tika, ada yang ingin melamarmu." Serasa
berbisik di hadapanku. Aku terkejut.
"Apa Bu De?" Aku ingin keyakinan dari
informasi yang De Rahma sampaikan.
"Ada yang ingin melamarmu. Benar, ini bukan
bohong." Aku hanya melongo. "Bu De sendiri yang disuruh memberi
tahumu." De Rahma mencoba meyakinkanku. Aku hanya tergelak. Bagaikan
sebuah mimpi. "Adakah orang yang mau denganku, orang tidak sempurna
ini?"
Tetapi, begitulah takdir. Rahasia alam. Tidak bisa
dihitung secara matematis. Semula aku menolak lamaran laki-laki, tetangga desa
sebelah. Hingga kemudian, ia, Hasim namanya datang padaku dan menyatakan
jeseriusannya.
"Mas tahu kan, kondisi tubuhku?"
"Aku tahu semuanya."
"Aku gak punya kaki, Mas!"
"Tapi, itu tidak menghalangi cintaku. Aku
mencintaimu apa adamu!"
Begitu mantap kesan yang kurasakan atas kata-kata Mas
Hasim. Aku tidak melihat kebohongan. Maka semai cinta pun berpadu di telaga
asmara yang berbunga cerita rindu. Kami pun diikat oleh kekuatan pernikahan.
Dalam mahligai keluarga bahagia.
Setelah aku menikah dengan Mas Hasim, dalam mimpi aku
seringkali didatangi oleh orang berjubah putih. Ya, seperti yang pernah datang
sebelumnya untuk mengambil perawanku. Tapi kali ini, ia datang tidak untuk itu.
Melainkan, mengajariku bacaan-bacaan Quran. Seperti Fatihah, doa-doa, dan
surat-surat pendek lainnya. Aku bersyukur, ternyata Mas Hasim adalah orang yang
dianggap lebih dalam pemahaman agama. Maka sedikit demi sedikit, aku pun
diajari melaksanakan kewajiban agama. Dan aku tidak merasa kesulitan dalam
memahami dan melaksanakannya.
Dan inilah takdir. Tersebab oleh orang berjubah dalam
mimpiku, serta ajaran dari suamiku, entah bagaimana asalnya, kemudian aku
dipercaya oleh orang-orang untuk mengobati berbagai macam penyakit. Tidak hanya
itu, problematika kehidupan lainnya pun sering berkonsultasi denganku. Aku
hanya menjelaskan, bahwa apa pun itu, dalam kehidupan ini datangnya dari Allah
swt. Manusia sebagai hamba, hanya bisa ikhtiar atau usaha. Selebihnya, sukses
tidaknya kita serahkan kepada Allah swt.
Semakin hari, semakin banyak saja orang yang datang
kepadaku. Mereka membawa masalah mereka masing-masing. Semula hanya tetangga,
desa sekitar, desa sebelah, akhirnya menyebar dari berbagai penjuru. "Aku
bukan malaikat. Aku bukan orang keramat." Demikian seringkali aku katakan
kepada pasienku.
Hingga pada suatu waktu, selepas melaksanakan jamaah
shubuh.
"Dek, maafkan aku," kata Mas Hasim, suamiku.
"Justru aku yang harusnya minta maaf, Mas!"
"Orang yang mendatangimu di malam separuh purnama
itu adalah aku,...!"
Aku hanya melongo,....
Sumenep, 12 Februari 2014
No comments:
Post a Comment