Sunday, February 16, 2014

KUPU-KUPU BERSAYAP PELANGI



KUPU-KUPU BERSAYAP PELANGI
Rusdi el Umar
 
Sumber gambar: http://www.gambargratis.com/gambar/gambar-kupu-kupu
Kupu-kupu telah menjadi sebuah legenda. Warnya indah penuh pesona. Kepak sayapnya lembut menawan. Para pecinta pun menggores liris larik-larik puitik. Kupu-kupu bersayap mega. Menggores gelora purnama di taman persada. Langit pun luruh bersama kelopak bunga telaga.

Tidak banyak yang tahu. Bahwa kupu-kupu punya cerita pilu. Ada kisah duka dalam menjalani kehidupannya. Tetapi semua itu telah berlalu. Dan kini ia menjalani hari-hari  yang sangat indah.

Semula, kupu-kupu tidak lebih daripada seekor larva. Seekor ulat yang tidak bisa berbuat apa-apa. Dia hanya mampu berjalan ke sana ke mari dengan tubuh yang sangat lemah. Dia tidak bisa berbuat banyak. Bahkan untuk sekedar pindah dari satu tempat ke tempat yang lain pun, ia merasa kesulitan. Ulat, bisa jadi hanya sebagai santapan burung-burung pemakan ulat. Ulat, adalah makhluk yang tidak bisa berbuat apa-apa.

“Haha... si Kupu lagi menari”. Suatu hari si Pipit burung kecil dan lincah mengejek si Kupu-kupu sambil terbahak-bahak. Pipit seringkali merasa angkuh di hadapan si Kupu-kupu. Ia selalu mencela, mencemooh, serta merendahkan si Kupu-kupu. Si Kupu-kupu pun menjadi rendah diri. Ia tidak percaya diri. Kadang ia merasa bahwa kehidupan ini tidak adil.
“Pit, apa gak ada kerjaan lain selain mengejek aku?”. Si Kupu-kupu mulai merengek. Ia sudah mulai ingin menangis. Sebenarnya ia sangat marah mendengar celotehan ejekan si Pipit.

“Kupu-kupu cengeng. Kupu-kupu jelek. Kupu-kupu jongos. Kupu-kupu....”. Banyak lagi kata-kata menyakitkan yang dilontarkan si Pipit. Kupu-kupu hanya bisa diam. Diam dalam kesedihan. Diam dalam kemarahan yang amat sangat. Ia malu. Ia merasa hidup tidak berguna.

“Haruskah kuakhiri hidup ini?”. Bisik hati si Kupu-kupu.

Di sebuah dahan pohon yang tinggi.

“Tidak ada gunanya aku hidup”, kata si Kupu-kupu kepada Laba-laba teman dekatnya. Hanya Laba-labalah satu-satunya teman yang bisa diajak curhat oleh Kupu-kupu.
“Ada apa Kupu-kupu? Kok sepertinya sedih banget?” Kata Laba-laba pada saat itu. Laba-laba merasa iba melihat keadaan Kupu-kupu temannya.
“Hidup ini tidak adil”, balas Kupu-kupu dengan pilu.
“Kok berkata seperti itu? Bukankah aku temanmu yang bisa diajak berbagi?”, Laba-laba berkata dengan lembut.
“Ya, aku tau. Hanya kamu Laba-laba satu-satunya teman yang mengerti aku”.
“Makanya, coba ceritakan aja apa masalahmu”.
“Aku sudah bosan hidup”.
“Tidak boleh berkata seperti itu”.
“Aku adalah makhluk yang terjelek di dunia ini”.
“Siapa bilang seperti itu? Kamu, aku, dan makhluk yang lainnya sama kok. Sama-sama makhluk Tuhan. Tidak boleh saling mencela, mencaci, menyakiti, dan saling membohongi”. Panjang lebar si Laba-laba menasihati si Kupu-kupu.

Akhirnya si Kupu-kupu pun menceritakan keluh kesahnya kepada si Laba-laba. Ia menceritakan bahwa si Pipit selalu mencaci dan mencela dirinya. Ia sudah tidak tahan dengan ocehan si Pipit. Tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa. Ia  mahkhluk lemah. Tidak berdaya dan tidak memiliki kelebihan apa-apa.

Si Laba-laba mendengarkan keluhan temannya. Ia sangat perhatian dan mencoba memberikan jalan keluarnya. Ia menyarankan kepada si Kupu-kupu untuk menemui seorang petapa yang berada di lereng gunung. Siapa tau, si petapa bisa memberikan nasihat yang berharga baginya.

“Terima kasih Laba-laba”, kata si Kupu-kupu dengan air mata sembab.

Tempat si petapa yang ditunjukkan oleh si Laba-laba tidaklah dekat. Di bawah lereng gunung Gading. Jauh melewati bukit dan lembah serta hutan belantara yang sangat lebat. Tetapi tekat si Kupu-kupu sudah bulat. Ia berhasrat kuat untuk menemui si petapa. Ia ingin mendapat nasihat darinya.

Berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan, si Kupu-kupu berjalan melewati lembah, bukit, dan belantara. Panas, dingin, hujan, bahkan duri dan tajamnya batu cadas dan reranting duri tidak ia rasakan. Hanya si petapa yang ada dalam benaknya. Ia ingin segera menemuinya.

Setelah berbulan-bulan berpayah-payah, akhirnya si Kupu-kupu pun sampai di tempat si petapa. Segera ia menceritakan apa maksud kedatangannya.

“Eyang, maaf saya datang dari jauh karena ada suatu maksud”, si Kupu-kupu mengatakan kepada si petapa setelah agak lama ia beristirahat.
“Maksud apa gerangan?”, jawab si petapa lembut, syahdu dalam kharisma yang amat sangat.
“Saya ingin berubah”, jelas si Kupu-kupu gugup.
“Maksud kamu? Berubah?” si Petapa heran.
“Betul Eyang. Saya bosan dengan celaan si Pipit tentang keadaan diri saya yang jelek”.
“Semua makhluk itu sama Nak. Tentu ada kelebihan dan kekurangan masing-masing”. Si Pertapa mencoba menjelaskan. Tapi tekat si Kupu-kupu terlalu kuat. Ia ingin berubah. Tidak hanya berupa ulat yang tidak berdaya. Tetapi, ia ingin mempunyai kelebihan yang bisa ia banggakan.

Akhirnya, si Pertapa memberikan nasihat. Dari olah batinnya, si Pertapa mendapat wangsit, bahwa jika ingin berubah, maka Kupu-kupu harus bertapa. Maka ia memerintahkan kepada si Kupu-kupu untuk bertapa. Dengan bertapa, ia akan menjadi apa yang dia inginkan. Kupu-kupu sangat gembira. Ia pun akan melaksanakan apa yang diperintahkan sang Pertapa.

Sebelum memulai bertapa, si Kupu-kupu membayangkan akan menjadi seperti apa. Ia sebenarnya tidak tau, apa yang ia inginkan. Tapi sedetik sebelum mulai bertapa ia melihat pelangi. Sungguh suatu susunan warna yang begitu indah. Dalam hati si Kupu-kupu berkata,

“Andai tubuhku seindah pelangi”.

Pertapaan pun dimulai. Mula-mula ia berdiam di suatu tempat yang telah dipilih sebelumnya. Sehari dua hari si Kupu-kupu tidak makan dan tidak minum. Ia tahan lapar dan dahaga demi sebuah cita-cita. Ingin menjadi makhluk yang indah, yang tidak lagi dicemooh oleh si Pipit. Burung yang selalu menyakitinya.
Satu minggu kemudian si Kupu-kupu sudah mulai kelihatan perubahannya. Ia telah berubah menjadi kepompong. Tapi perubahan ini tidak ia rasakan. Ia khusyuk dalam pertapaannya. Dari bentuk ulat sudah berubah menjadi kopompong. Tetapi perubahan ini belum selesai. Ia masih terus bermetaforfosis yang pada akhirnya ia pun berubah menjadi Kupu-kupu yang indah bagai warna pelangi.

Setelah menjadi Kupu-kupu yang indah, ia merasa terlahir kembali. Ia memangut-mangutkan wajahnya di sebuah telaga yang bening. Ia pun merasa takjub dengan keadaan dirinya. Lain dari sebelumnya. Sungguh sesuatu yang sangat luar biasa. Ia pun ingin menemui si Pertapa dan akan mengucapkan terima kasih atas nasihatnya.

“Eyang,...Eyang,...”. panggil si Kupu-kupu indah berkali-kali. Tetapi yang dipanggil sudah pergi. Pergi entah kemana. Si Kupu-kupu pun merasa berhutang budi.

Dengan kepakan sayapnya yang gemulai, si Kupu-kupu indah terbang pulang ke asalnya. Pertama-tama ia menemui teman karibnya si Laba-laba. Ia ceritakan bahwa ia dalam perjalanan panjangnya telah menemui si Pertapa. Dan hasilnya,

“Coba lihat sendiri. Tubuhku indah kan?”, kata Kupu-kupu sumbringah. Si Laba-laba pun takjub dengan perubahan temannya yang luar biasa ini.

Dunia telah berubah. Kupu-kupu yang semula berbentuk ulat dan tidak punya kelebihan apa-apa, kini telah menjadi seekor Kupu-kupu yang cantik dan indah. Dan si Pipit pun menyadari, bahwaa selama ini perbuatannya terhadap Kupu-kupu tidak baik. Akhirya ia minta maaf kepada Kupu-kupu.

Benih-benih cinta di hati Pipit terhadap Kupu-kupu mulai bersemi. Tidak diketahui, apakah cinta si Pipit one side love, ataukah si Kupu-kupu indah bersayap pelangi menerinya dengan setulus hati. Adakah yang mengerti?
***


No comments:

Post a Comment