KUPU-KUPU BERSAYAP PELANGI
Rusdi
el Umar
Kupu-kupu
telah menjadi sebuah legenda. Warnya indah penuh pesona. Kepak sayapnya lembut
menawan. Para pecinta pun menggores liris larik-larik puitik. Kupu-kupu bersayap
mega. Menggores gelora purnama di taman persada. Langit pun luruh bersama
kelopak bunga telaga.
Tidak
banyak yang tahu. Bahwa kupu-kupu punya cerita pilu. Ada kisah duka dalam
menjalani kehidupannya. Tetapi semua itu telah berlalu. Dan kini ia menjalani hari-hari yang sangat indah.
Semula,
kupu-kupu tidak lebih daripada seekor larva. Seekor ulat yang tidak bisa
berbuat apa-apa. Dia hanya mampu berjalan ke sana ke mari dengan tubuh yang
sangat lemah. Dia tidak bisa berbuat banyak. Bahkan untuk sekedar pindah dari
satu tempat ke tempat yang lain pun, ia merasa kesulitan. Ulat, bisa jadi hanya
sebagai santapan burung-burung pemakan ulat. Ulat, adalah makhluk yang tidak
bisa berbuat apa-apa.
“Haha...
si Kupu lagi menari”. Suatu hari si Pipit burung kecil dan lincah mengejek si
Kupu-kupu sambil terbahak-bahak. Pipit seringkali merasa angkuh di hadapan si
Kupu-kupu. Ia selalu mencela, mencemooh, serta merendahkan si Kupu-kupu. Si
Kupu-kupu pun menjadi rendah diri. Ia tidak percaya diri. Kadang ia merasa
bahwa kehidupan ini tidak adil.
“Pit,
apa gak ada kerjaan lain selain mengejek aku?”. Si Kupu-kupu mulai merengek. Ia
sudah mulai ingin menangis. Sebenarnya ia sangat marah mendengar celotehan
ejekan si Pipit.
“Kupu-kupu
cengeng. Kupu-kupu jelek. Kupu-kupu jongos. Kupu-kupu....”. Banyak lagi
kata-kata menyakitkan yang dilontarkan si Pipit. Kupu-kupu hanya bisa diam.
Diam dalam kesedihan. Diam dalam kemarahan yang amat sangat. Ia malu. Ia merasa
hidup tidak berguna.
“Haruskah
kuakhiri hidup ini?”. Bisik hati si Kupu-kupu.
Di
sebuah dahan pohon yang tinggi.
“Tidak
ada gunanya aku hidup”, kata si Kupu-kupu kepada Laba-laba teman dekatnya.
Hanya Laba-labalah satu-satunya teman yang bisa diajak curhat oleh Kupu-kupu.
“Ada
apa Kupu-kupu? Kok sepertinya sedih banget?” Kata Laba-laba pada saat itu.
Laba-laba merasa iba melihat keadaan Kupu-kupu temannya.
“Hidup
ini tidak adil”, balas Kupu-kupu dengan pilu.
“Kok
berkata seperti itu? Bukankah aku temanmu yang bisa diajak berbagi?”, Laba-laba
berkata dengan lembut.
“Ya,
aku tau. Hanya kamu Laba-laba satu-satunya teman yang mengerti aku”.
“Makanya,
coba ceritakan aja apa masalahmu”.
“Aku
sudah bosan hidup”.
“Tidak
boleh berkata seperti itu”.
“Aku
adalah makhluk yang terjelek di dunia ini”.
“Siapa
bilang seperti itu? Kamu, aku, dan makhluk yang lainnya sama kok. Sama-sama
makhluk Tuhan. Tidak boleh saling mencela, mencaci, menyakiti, dan saling
membohongi”. Panjang lebar si Laba-laba menasihati si Kupu-kupu.
Akhirnya
si Kupu-kupu pun menceritakan keluh kesahnya kepada si Laba-laba. Ia
menceritakan bahwa si Pipit selalu mencaci dan mencela dirinya. Ia sudah tidak
tahan dengan ocehan si Pipit. Tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa. Ia mahkhluk lemah. Tidak berdaya dan tidak
memiliki kelebihan apa-apa.
Si
Laba-laba mendengarkan keluhan temannya. Ia sangat perhatian dan mencoba
memberikan jalan keluarnya. Ia menyarankan kepada si Kupu-kupu untuk menemui
seorang petapa yang berada di lereng gunung. Siapa tau, si petapa bisa
memberikan nasihat yang berharga baginya.
“Terima
kasih Laba-laba”, kata si Kupu-kupu dengan air mata sembab.
Tempat
si petapa yang ditunjukkan oleh si Laba-laba tidaklah dekat. Di bawah lereng
gunung Gading. Jauh melewati bukit dan lembah serta hutan belantara yang sangat
lebat. Tetapi tekat si Kupu-kupu sudah bulat. Ia berhasrat kuat untuk menemui
si petapa. Ia ingin mendapat nasihat darinya.
Berhari-hari,
berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan, si Kupu-kupu berjalan melewati lembah,
bukit, dan belantara. Panas, dingin, hujan, bahkan duri dan tajamnya batu cadas
dan reranting duri tidak ia rasakan. Hanya si petapa yang ada dalam benaknya.
Ia ingin segera menemuinya.
Setelah
berbulan-bulan berpayah-payah, akhirnya si Kupu-kupu pun sampai di tempat si
petapa. Segera ia menceritakan apa maksud kedatangannya.
“Eyang,
maaf saya datang dari jauh karena ada suatu maksud”, si Kupu-kupu mengatakan
kepada si petapa setelah agak lama ia beristirahat.
“Maksud
apa gerangan?”, jawab si petapa lembut, syahdu dalam kharisma yang amat sangat.
“Saya
ingin berubah”, jelas si Kupu-kupu gugup.
“Maksud
kamu? Berubah?” si Petapa heran.
“Betul
Eyang. Saya bosan dengan celaan si Pipit tentang keadaan diri saya yang jelek”.
“Semua
makhluk itu sama Nak. Tentu ada kelebihan dan kekurangan masing-masing”. Si
Pertapa mencoba menjelaskan. Tapi tekat si Kupu-kupu terlalu kuat. Ia ingin
berubah. Tidak hanya berupa ulat yang tidak berdaya. Tetapi, ia ingin mempunyai
kelebihan yang bisa ia banggakan.
Akhirnya,
si Pertapa memberikan nasihat. Dari olah batinnya, si Pertapa mendapat wangsit,
bahwa jika ingin berubah, maka Kupu-kupu harus bertapa. Maka ia memerintahkan
kepada si Kupu-kupu untuk bertapa. Dengan bertapa, ia akan menjadi apa yang dia
inginkan. Kupu-kupu sangat gembira. Ia pun akan melaksanakan apa yang
diperintahkan sang Pertapa.
Sebelum
memulai bertapa, si Kupu-kupu membayangkan akan menjadi seperti apa. Ia
sebenarnya tidak tau, apa yang ia inginkan. Tapi sedetik sebelum mulai bertapa
ia melihat pelangi. Sungguh suatu susunan warna yang begitu indah. Dalam hati
si Kupu-kupu berkata,
“Andai
tubuhku seindah pelangi”.
Pertapaan
pun dimulai. Mula-mula ia berdiam di suatu tempat yang telah dipilih
sebelumnya. Sehari dua hari si Kupu-kupu tidak makan dan tidak minum. Ia tahan
lapar dan dahaga demi sebuah cita-cita. Ingin menjadi makhluk yang indah, yang
tidak lagi dicemooh oleh si Pipit. Burung yang selalu menyakitinya.
Satu
minggu kemudian si Kupu-kupu sudah mulai kelihatan perubahannya. Ia telah
berubah menjadi kepompong. Tapi perubahan ini tidak ia rasakan. Ia khusyuk
dalam pertapaannya. Dari bentuk ulat sudah berubah menjadi kopompong. Tetapi
perubahan ini belum selesai. Ia masih terus bermetaforfosis yang pada akhirnya
ia pun berubah menjadi Kupu-kupu yang indah bagai warna pelangi.
Setelah
menjadi Kupu-kupu yang indah, ia merasa terlahir kembali. Ia memangut-mangutkan
wajahnya di sebuah telaga yang bening. Ia pun merasa takjub dengan keadaan
dirinya. Lain dari sebelumnya. Sungguh sesuatu yang sangat luar biasa. Ia pun
ingin menemui si Pertapa dan akan mengucapkan terima kasih atas nasihatnya.
“Eyang,...Eyang,...”.
panggil si Kupu-kupu indah berkali-kali. Tetapi yang dipanggil sudah pergi.
Pergi entah kemana. Si Kupu-kupu pun merasa berhutang budi.
Dengan
kepakan sayapnya yang gemulai, si Kupu-kupu indah terbang pulang ke asalnya.
Pertama-tama ia menemui teman karibnya si Laba-laba. Ia ceritakan bahwa ia
dalam perjalanan panjangnya telah menemui si Pertapa. Dan hasilnya,
“Coba
lihat sendiri. Tubuhku indah kan?”, kata Kupu-kupu sumbringah. Si Laba-laba pun
takjub dengan perubahan temannya yang luar biasa ini.
Dunia
telah berubah. Kupu-kupu yang semula berbentuk ulat dan tidak punya kelebihan
apa-apa, kini telah menjadi seekor Kupu-kupu yang cantik dan indah. Dan si
Pipit pun menyadari, bahwaa selama ini perbuatannya terhadap Kupu-kupu tidak
baik. Akhirya ia minta maaf kepada Kupu-kupu.
Benih-benih
cinta di hati Pipit terhadap Kupu-kupu mulai bersemi. Tidak diketahui, apakah
cinta si Pipit one side love, ataukah
si Kupu-kupu indah bersayap pelangi menerinya dengan setulus hati. Adakah yang
mengerti?
***
No comments:
Post a Comment