PUTRI
KAYANGAN
Liburan sudah tiba. Itu artinya
saatnya bersantai. Menikmati masa-masa bebas. Lepas dari aktivitas harian yang
membosankan. Liburan adalah yang aku tunggu. Tentu orang lain pun demikian.
Menunggu hari libur. Menanti saat-saat santai. Bersama teman, kekasih,
keluarga, dan atau pun malah sendiri saja.
“Ma, aku mau berlibur.” Pamitku
pada mama.
“Berlibur kemana?” tanya mama.
“Maunya sih ke pantai.”
“Bersama siapa?”
“Sendiri aja Ma.” Jawabku pada
mama. Aku mau berlibur sendiri saja. Bukannya aku tidak suka berlibur bersama
teman-teman. Tapi saat ini, aku ingin berlibur sendiri. Hanya sehari saja.
Tidak lebih. Maka pantai Cemara adalah tempat yang kutuju. Ke sanalah aku
menuju.
Pagi-pagi sekali aku berangkat.
Dengan segala persiapan yang telah dibantu oleh mamaku. Aku memang anak mama.
Aku kelas sepuluh di SMA vaforit di kotaku. Masih benar-benar dijaga oleh mama.
Segalanya masih dalam pantauan mama. Padahal, kalau anak yang lain mungkin
sudah bisa berdikari. Tidak lagi terlalu didekap mama. Tapi beda dengan diriku.
“Hati-hati di jalan. Juga waspada
kalau berenang di pantai.” Nasihat mama sebelum aku berangkat.
“Ya Ma.” Jawabku mantap. Agar
mama tidak terlalu merisaukan aku. “Di sana aku pasti ketemu dengan
teman-temanku kok.” Kataku berbohong. Karena aku tidak tahu, apakah ada
teman-temanku yang mau berlibur di pantai Cemara. Hanya saja agar mamaku tidak
terlalu was-was.
Sekitar jam setengah delapan, aku
sampai di pantai Cemara. Disebut pantai Cemara, karena di sekitar pantai
ditumbuhi pohon cemara. Begitu indah terlihat. Jauh di tengah lautan, perahu
layar terlihat putih berkilau. Diterpa sinar mentari pagi.
Beberapa lama kemudian, aku
mengeluarkan bekalku. Aku benar-benar sendiri di pantai itu. Tidak ada orang
lain. Sehingga terkesan sepi. Hanya riak ombak kecil yang menyisiri tepian
pantai. Dan sepoi angin yang mendesh di antara rernting cemara dan nyiur yang
melambai. Sepi yang begitu indah.
“Mas, boleh duduk di sini?”
tiba-tiba seseorang menghampiriku. Aku tidak melihat dari mana gadis cantik ini
datangnya. Sendirian lagi. Pesona senyum dan tawanya begitu renyah. Begitu
kesan awal aku melihatnya.
“Bo..boleh.” aku tergagap. Seakan
tercekat menjawab permintaan gadis misteri ini. Siapakah ia sebenarnya? Mengapa
tiba-tiba ada di sini? “Adik siapa? Dan dari mana?” tanyaku penasaran. Kulihat
ia hanya tersenyum. Begitu manis. The sweet smile deh pokoknya.
Ia menyebut dirinya Putri
Kayangan. Apa benar di zaman seperti ini masih ada legenda seperti ini? Putri
Kayangan? Benarkah kayangan itu ada? Aku semakin penasaran. Tapi kenyataan di
depan mata. Seorang Putri dengan rambut terurai panjang. Hitam bergelombang.
Matanya teduh bagai aketeb mella’ ta’ mare. Dipandang bagai bersinar,
dipaling menyisakan rindu. Aku terbuai dalam cinta yang terdalam. Tak lepas
mataku menembus detak jantugnya. Semoga saja bukan one side love. Aku
ingin membangun mahligai cinta bersamanya.
Putri memberikan sebuah gelang
kepadaku. Setelah aku dan dia puas bermain di sekitar pantai. Hanya berdua. Tak
nampak seorang pun di sepanjang pantai itu. Sungguh suasana yang luar biasa. Umumnya,
liburan seperti ini, di pantai yang sudah termahsyur ini selalu ramai
dikunjungi muda-mudi. Saat ini, pantai Cemara hanya milik kita berdua.
“Pakai Mas, gelangnya.” Tanpa
disuruh dua kali aku pun memakai gelang mutiara jamrut pemberian Putri.
Berkilau indah di tepas sinar mentari. Anehnya, setelah memakai gelang itu,
tubuhku terasa ringan. Aku bisa terbang ke sana ke mari. Putri tertawa renyah
melihatku. Tersenyum sumringah.
Tanpa basa-basi, Putri
menggandeng lenganku. Terbang ke angkasa. Berpegangan, berpelukan. Aku dapat
melihat bintang-bintang dari tempat yang lebih dekat. Entah mengapa, tiba-tiba
senja pun berlalu. Dan gemintang muncul di sekitar aku dan putri. Indah
berkilau. Aku semakin betah dalam
Sampailah pada suatu tempat.
Tempat yang begitu indah. Penuh dengan taman-taman bunga. Sebuah kerajaan Negeri
Kayangan di angkasa. Aku berseri-seri menyaksikan beragam keindahan ini.
“Tempat apa ini?” bisikku.
“Ini negeri kayangan,” Putri
menjawab seakan tahu kata hatiku.
“Negeri Kayangan?” masih dalam
batin.
“Ya benar. Ini adalah Negeri
Kayangan, tempat para bidadari mengurai kehidupan.”
Aku dan Putri berjalan dari satu
tempat ke tampat yang lain. Menyusuri taman dan telaga yang dihiasi beragam
bunga. Semerbak harum, dan pesona warna begitu menggoda. Aku memetik beberapa
kuntum di antaranya. Aku juga melewati kebun buah-buahan. Beragam buah-buahan
tersedia. Dan aku bebas memetik dan memakannya. Lezat dan begitu enak. Tidak
pernah aku rasakan sebelumnya.
Aku dibawa masuk ke istana.
Beberapa bidadari menyambut kedatanganku. Senyumnya manis. Dan bahasa tubuhnya
begitu gemulai. Tak ingin rasanya aku pergi dari tempat ini. Aku ingin
selamanya di sini. Putri adalah satu-satunya alasan aku kerasan di sini. Aku
telah jatuh cinta. Aku ingin berumah tangga dengan Putri Kayangan. Semoga Putri
bagian tulang rusukku yang hilang.
“Jangan sekali-kali Kau lepas
gelang itu.” Kata Putri suatu hari. Di sebuah pohon besar rindang. Buahnya
ranum. Dan aku santai di bawahnya sambil menikmati buah surga itu.
“Emangnya kenapa?”
“Tidak apa-apa. Ingat saja
pesanku ini!”
Aku berusaha untuk selalu ingat
akan pesan Putri. Walaupun aku sendiri jadi penasaran, mengapa gelang ini tidak
boleh aku lepas. Hari berganti hari. Bulan berganti tahun. Entah sudah berapa
lama aku berada di Negeri Kayangan. Dengan segala keindahannya. Dengan
fasilitas yang selalu tersedia. Apapun yang aku inginkan, maka barang itu
tib-tiba ada di dekatku. Sebuah pemandangan yang tidak masuk di akal. Tapi,
begitu nyata di depan mata.
Suatu hari, aku duduk di sebuah
taman. Bersama Putri Kayangan, kekasihku. Menikmati gemercik air yang mengalir
jernih. Bening dan sejuk. Tiba-tiba saja aku ingin membuka gelang yang selama
ini kupakai. Aku hanya ingin menimang saja. Tidak lebih.
Tanpa prasangka yang tidak-tidak,
aku membuka gelangku. Putri yang melihat apa yang aku perbuat berteriak
histeris.
“Jangaaa.....n, Mas!” Sambile
berusaha meraih lenganku. Tapi terlambat. Seketika, aku terjatuh. Meluncur
bebas dari cakrawala. Menghempas bumi, jatuh di antara pasir di pantai Cemara.
Anehnya lagi, aku tidak mengalmi cidera sedikit pun. Aku hanya bagai terbangun
dari mimpi. Aku menggapai-gapai. Ingin meraih tangan halus Putri Kayangan.
“Putri,... jangan tinggalkan aku
sendiri!” hanya itu bisik hatiku yang melara, karena Putri kekasihku hilang
entah kemana.
Sumenep, 13 Februari 2014
***
No comments:
Post a Comment