(Apresiasi Puisi “Kehilangan yang
Kautakutkan,” oleh: Muhammad Asqalani Eneste)
"Janganlah kamu takut
dan kawatir, Allah bersama kita." (Alquran)
Kematian adalah bagian dari
gejala alam yang sampai saat ini "belum" direlakan untuk segera
bersua. Artinya, jiwa manusia yang terangkum dalam wadah fisik insan, berusaha
untuk berhindar dari kematian itu sendiri. Hal ini begitu normatif, kewajaran
yang terungkap dari kepastian "takut" untuk tercerabut dari dunia
nyata. Bahkan orang bunuh diri pun belum bisa dipastikan bahwa mereka berani
dengan mati.
Kematian adalah sebuah
kenyataan. Setiap jiwa yang hidup, pasti akan mengalamai mati. Siapa pun saja,
baik yang ateis (tidak percaya Tuhan) ataupun yang teologis (percaya Tuhan),
merasa dan menyadari bahwa pada saatnya nanti kematian akan menjemput. Tentu
saja ada perbedaan dalam menghadapi kematian, hal ini nampak jelas pada manusia
yang percaya Tuhan. Persiapan untuk kehidupan yang kekal (akhirat) menjadi
prioritas, meskipun pola dan caranya tidak sama. Bahkan, sekalipun keyakinan
yang kepura-puraan.
"Tiap-tiap (jiwa)
yang bernafas akan mati." (Alquran)
Memaknai ketiadaan ---saya
lebih condong pada arti mati, meskipun ketiadaan bisa bermetafor pada banyak
keadaan--- menurut Muhammad Asqalani Eneste adalah seperti dalam puisi
(narasi?) yang ia ciptakan. "Kehilangan yang Kautakutkan" adalah
puisi otokomunika sebagai bentuk otokritik untuk membangun kontemplasi yang
lebih jauh, mendalam, dan mengena. Tentang suatu ketiadaan yang akan menemui
sunyi, senyap, dan hanya rasa sedih yang menyisakan tangis dan air mata.
"|Kehilangan yang
Kautakutkan|" adalah judul puisi yang dimaksud oleh pemuisi sebagai
individu kritik, atau lebih tepatnya sebagai nasihat pribadi yang berdampak
positif pada kehidupan sosial. Mengapa harus takut ketika diri sudah siap
dengan amaliah syar'i sesuai dengan kaidah Ilahi? Atau, jika kita tidak ingin
"was-was" menghadapi mati (ketiadaan), hendaknya kita bersiap diri
selagi kesempatan masih ada.
Makna yang lebih bias dari
sekadar ketiadaan adalah kematian, juga meniscaya untuk memberikan pemahaman
yang bernilai luas. Ketiadaan adalah segala bentuk kenafian arti hidup.
Dekadensi moral, hilangnya harta benda, dan kosongnya segala bentuk kenikmatan merupakan
arti bias dari ketiadaan.
"Dan sungguh Kami uji
kamu sekalian dengan sesuatu, seperti rasa takut, lapar, dan hilangnya harta
benda, jiwa, dan juga buah-buahan. Dan berilah kabar gembira bagi orang-orang
yang sabar." (Alquran)
"Saat aku kembali, ketuk
tak ada lagi, jemari sebagai yang kehilangan arti, dan cinta jadi sepasang
lengang yang terus memanjang."
Kembali ke hadirat Ilahi
Robbi, adalah sebentuk kepastian tempat kembali. Maka tidak ada lagi amaliah
(ketuk tak ada lagi), usaha tidak akan berdampak (jemari sebagai yang
kehilangan arti), ketika kematian itu sudah tiba. Tertutup sudah pintu usaha
untuk sesalan waktu yang terbuang percuma. Pada saat kematian telah tiba, cinta
hanyalah sebuah angan, dan senyap datang berkepanjangan.
Bolehlah kita membangun cinta
kasih selama hayat di kandung badan. Cinta terhadap istri, anak cucu, dan cinta
terhadap harta benda. Namun, ketika kematian itu datang, maka segala bentuk
cinta akan terputus, dan tinggallah amaliah yang akan menjadi "saksi"
persoalan tangung jawab selagi hidup di dunia. Sudah siapkah kita?
"Simpan, hitam dan
cekung kantung matamu, kesedihan tak memiliki nama selain tangis, apa yang tak
mampu kaujangkau, biarlah tak sentuh. Tak sentuh."
Tidak ada gunanya gundah
diungkapkan, sedih dinyatakan, dan tangis diruahkan (disimpan). Semua kembali
kepada amal perbuatan kita di dunia. Jika amaliah kita lebih condong kepada
kebaikan, maka kita akan menemui Tuhan dengan wajah berseri bak bulan purnama.
Tetapi jika amal buruk yang lebih dominan, maka wajah sesal dan sesak napas
jiwa menjadi penanda akan dampak buruk dari lelaku kita selama hidup. Dan
takdir telah menjelma menjadi kenyataan hidup yang tak punya arti. Tempat yang
seburuk-buruknya tempat (neraka), telah disiapkan untuk menjadi penebus
keserakahan dalam kehidupan dunia.
Saudara dan sanak kadang
telah terpisahkan. Dekat tapi jauh, dan jauh tetapi begitu dekat. Tidak bisa
dijangkau, dan tak mungkin untuk disandingkan. Maka, biarkan saja "tak
sentuh. Tak sentuh." Hal yang sangat mustahil untuk tetap berlabuh di
kehidupan yang sama. Yang satu dalam kehidupan dunia, dan yang lain pun di
dunia lain (akhirat). Tentu, biarkan saja hal yang tak mungkin bisa tersentuh
oleh kondisi jiwa yang tak sama. "Cekung kantong matamu" adalah bentuk
kesedihan yang begitu akut, tersebab oleh ketiadaan, kematian, atau perpisahan
karena ketiadaan/kematian.
"Jika ada sebersit
doa, tak pernah kuharap kauanggit, jika tadah bukan tabah, jika Allah bukan
sebagai sandaran hayah."
Bait ini membuat saya ambigu,
pada serapan makna yang pasti. Umumnya, orang yang sudah meninggal berharap
banyak doa dari yang masih hidup. Entah, mengapa Asqalani tidak berharap raupan
doa (....serbersit doa, tak pernah kuharap kauanggit). Meskipun bisa niscaya,..
Di balik makna lain bisa
berbias pada frase asindeton, yaitu penghilangan kata penghubung yang
seharusnya ada untuk kesempurnaan kalimat yang efektif.
"Jika ada sebersit doa,
(yang) tak pernah kuharap kauanggit, (karena tidak diucapkan dengan ikhlas),
(atau) jika tadah (doa) bukan tabah (tulus), jika Allah bukan sebagai sandaran
hayah (hidup)." Maka senarai doa yang seperti itu tidak pernah kuharap.
Namun, jika doamu bernilai surga (tulus dan ikhlas), tentu hal tersebut adalah
sepenuh harap.
"Sadar sayang,
pingsanmu bukan karena tertimpa batang pisang di seberang nisan, tapi biji aku
yang tak dapat lagi kausemayam."
Sadar sayang (istri/anak?),
kesedihan dan tangis yang telah melanda kamu saat ini, bukan karena hal lain
selain saatnya telah tiba (kematian). Tetapi, lebih dikarenakan karena jiwaku
(biji?) telah terpisah dari raga. Dan itu artinya, kalian tidak bisa lagi
menjalin kebersamaan denganku. Engkau di alam dunia dan aku di alam akhirat.
Tentu, perbedaan ini tidak akan memberikan ruang untuk saling berinteraksi.
Harapan untuk menjalin cinta
hanyalah sebuah kenangan. Tidak lebih, ketika dua jiwa saling berseberangan.
Ketiadaan adalah kematian yang akan memisahkan dua jiwa, meskipun tetap saling
menyinta.
"Cinta ternyata
jarak, selamanya ada yang mengukur di sisa-sisa umur, bahkan cinta yang timbun
bersama embun di pagi kubur.
Mirza Ovler 2015"
Sebesar apa pun cinta, ketika
perpisahan telah tiba saatnya (kubur?), maka timbunan cinta hanya bermuara pada
doa-doa, di pagi hari saat embun menitikkan kesedihan.
Meski telah terukir laksa
cinta, hakikat takdir telah menjelma menjadi sebentuk tangis dan kesedihan.
Maka, biarlah kita belajar dari ketiadaan, belajar dari kematian, dan belajar
dari tangis dan kesedihan. Memaknai ketiadaan menjadi kicau irama doa, agar
kita menjadi insan yang begitu sempurna untuk menyambutnya (mati/ketiadaan).
Tentu, tafsir dan apresiasi
puisi ini jauh dari sempurna, terlebih lagi kesempurnaan itu milik Yang Maha
Sempurna. Maka, kepastian makna juga ada pada pemuisi (Muhammad Asqalani
Reborn), tentu saya berharap maaf jika apa yang saya ungkap tidak sesuai dengan
imaji, maksud, dan kehendak yang semestinya. Semoga, apresiasi ini menjadi
bagian dari ragam tafsir yang menuangkan manfaat. Hazanah pustaka yang bermuara
pada hikmah (manfaat).
Salam semangat, dan hidup
dalam karya yang hebat. Aamiin!