Get Stories: http://mawarberduri99.blogspot.com

Tuesday, February 12, 2013

CATATAN PINGGIR SANG USTADZ


 CATATAN PINGGIR SANG USTADZ
(CINTA YANG TERGADAI)

Betapa hari itu berganti dengan semangat cahaya mentari yang tidak pernah lelah. Waktu pun menjadi sebuah keharusan untuk terus berjalan perlahan tapi mantap. Maka pada saatnya akan menjadi nyata bahwa hidup adalah sebuah pilihan, dan sebuah keharusan yang mesti kita hadapi.

Siang itu aku terbangun dari mimpi indahku. Tentang kehidupan yang pasti. Tentang kebahagiaan yang berlalu lalang dalam anganku. Pikiranku bagaikan terbang menyebrangi lautan. Di antara debur ombak di pantai. Diantara lambaian nyiur yang tersisir angin laut.

Di sebuah madrasah aku telah menjadi sosok seorang ustadz. Mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan. Dari tauhid, fiqih, akhlaq, nahwu, shorrof, bahkan matematika, ipa, ips, dan bahasa inggris.

Madrasah tempatku mengajar tidak terlalu besar. Hanya dua buah bangunan berlantai semen, yang satu membujur ke utara dan selatan, dua ruang ditempati kelas 5 dan 6. Yang satunya lagi membujur ke barat dan timur, dua ruangan juga dengan lantai semen yang lumayan tidak berdebu karena agak baru. Di antara dua ruangan itu ada satu ruang kecil, yang didaulat jadi ruang kantor. Sebuah tempat lembaga pendidikan yang benar benar bersahaja. Di sekitar bangunan madrasah tersebut banyak pohon kelapa yang tinggi menjulang, dengan buah lebat dan hijau. Menambah suasana 'ger sereng' yang semakin nampak nyata.

Mengajar, sebuah rutinitis yang aku jalani. Tapi dengan senang hati. Dengan hanya berharap ridha dari Allah swt. Mengajar adalah sudah menjadi bagian dari hidupku. Sejak aku lulus dari bangku SMP, aku sudah disuruh mengajar oleh pamanku. Maklum yang punya madrasah kala itu juga pamanku sendiri. Ditambah lagi anak sang paman, sepupuku, menjadi tunanganku saat itu. Jadinya, segalanya sangat mudah untuk sekedar menjadi ustadz di madrasah itu. Tapi, kemampuanku juga bisa dibilang lumayan, agar tidak terkesan sombong jika dikatakan cukup baik.

Ombak masih cukup keras menghantam pembatas pantai. Maklum, tempatku bermalam adalah rumah kasek yang letaknya cukup dekat dengan pantai. Bukan hanya dekat, tapi bersentuhan langsung dengan bibir pantai. Lokasi yang demikian kerap kali menjadikan inspirasi untuk sekedar corat-coret agenda. Aku juga sering tulis-tulis puisi. Meski tidak menjadi profesiku, namun terkadang orat-oret itu dapat menghilangkan kejenuhan.

Malam itu malam Minggu. Aku tidak mempunyai persiapan untuk masuk sekolah esok. Karena hari minggu sekolahku libur. Tiba2 di depan pintu kamar kosku ada sosok yang mengucap salam. Serta merta kujawab salam itu.
''wa'alaukm salam'' jawabku.
Tidak terlalu lama aku harus berpikir siapa yang datang. Karena dia adalah muridku juga di madrasah.

Sosoknya anggun. Tidak urakan, apalagi play girl. Cantik dan tentu saja rajin dan pintar. Semua guru memaklumi, siapa dia sebenarnya, sosok siswi yang tidak pernah berulah, patuh dan taat kepada guru.

'' Iin, dengan siapa?'' tanyaku berbasa-basi. Maklum anak PP tidak familiar dengan tamu cewek, eh gadis.
''Sendiri aja. Wong rumah saya dekat kok di sebelah ini'' jelasnya sambil kembang senyum dari bibirnya.

Begitu dia menunjuk rumahnya, sambil mendongakkan kepalanya. Tentu saja lehar jenjangnya kelihatan dan kilau putih menyilaukan pandanganku yang sedikit dikenai cahaya lampu.

Akhirnya kami pun ngobrol. Tak ada kata yang khusus dalam obrolan kami. Tapi dia membawa rantang yang tersusun dua. Di lain itu ada bungkusan plastik hitam entah berisi apa? Tanpa basa-basi diletakkan semua bawaannya di sebelahku. Aku paham. Itu berarti untukku.

Malam itu, setelah dia pulang dan aku mulai tidur, aku bermimpi indah sekali. Benih-benih cinta? Entahlah,... Dan rantang itu ternyata berisi soto, makanan favoritku, ditambah lagi degan kerupuk udang, menjadi lengkaplah makan malamku kala itu.

Seiring berjalannya waktu, hubunganku pun berlanjut. Bahkan sampai-sampai saling berkirim surat. Tentu isinya tidak perlu dipertanyakan lagi. Tentang cinta. Ya, tentang cinta, rindu, asmara, dan masa-masa indah yang akan datang.

Tentu saja, rantang-rantang berikutnya terus berdatangan dengan beragam makanan yang super enak. Hal yang demikian juga kurang direstui oleh ibu kosku. Soalnya, aku jadi sering tidak makan yang telah dipersiapkan oleh ibu kosku. Tapi yang namanya pemberian, tentu saja tidak boleh ditolak. Lebih-lebih lagi pemberian itu dari seseorang yang tersimpan di lubuk hati yang paling dalam.

Sebenarnya ibu kosku melarang hubunganku dengan Iin (bukan nama sebenarnya). Karena, ibu kosku tahu bahwa aku telah bertunangan dengan sepupuku. Tapi aku katakan pada ibu kosku (ibu kosku ini sudah menganggap aku sebagai anaknya sendiri, sampai saat ini) bahwa hubunganku tidak lebih dari hubungan antara guru dan murid. Ibu kosku hanya bilang,

''Awas, hati-hati'' nasihatnya sambil tertawa mencibir. Beliau tidak percaya dengan alasanku.

Hari-hariku kian indah. Di madrasah seringkali kucuri pandang untuk menyelami cantik raut wajah Iin. Dan tentu saja, Iin seringkali salah tingkah ketika pandangan sayu matanya beradu pandang dengan mataku. Serta merta jika itu terjadi, senyum akan mengembang, bahkan kadang disusul dengan sedikit tawa. Dan senyum Iin telah menjadikan hari-hariku terbang ke alam hayal. Cinta monyetkah? Aku masih sangat muda saat itu, apalagi Iin, baru belasan tahun umurnya.

Melahirkan sebuah kenangan dengan sang kekasih adalah menjadi sebuah harapan. Dan satu2nya kenangan yang tidak mungkin aku lupakan adalah pada saat aku dan Iin berfoto bersama. Entah bagaimana caranya, ketika aku bermain ke rumah Iin, di sana sudah ada tukang foto. Jadinya, hamparan pasir putih pantai di belakang rumahnya menjadi panorama indah sebagai latar foto kita berdua. Sebuah kenangan yang tak mungkin kita lupakan.

Dan satu lagi kenangan yang sulit terlupakan, saat aku juga berkunjung ke rumah Iin. Dia lagi tertidur saat itu. Dan aku membangunkannya, kupegang tangannya yang halus dan putih. Aku goyang-goyangkan, dan Iin pun terbangun, tersenyum, dan langsung bangun sambul berkata,

''Lhoo, ada Ustadz'' sambil tersenyum. Just that I have done to her. Tidak lebih, suer aku dapat pastikan tidak lebih dari hanya sekedar itu saja.

Sudah banyak yang kita bicarakan melalui surat (saat itu belum ada HP). Tentang cinta (monyet?), tentang rindu (monyet?), tentang apa saja yang bisa kita utarakan. Lewat surat, rindu terbayarkan. Lewat surat, cinta menjadi harapan. Tapi, harus benar-benar waspada, karena ibu kosku tetap tidak merestui. Dan kalau ketahuan orang rumah bisa jadi malapetaka.

''In, besok Ustadz mau pulang''
''Mau pulang Ustadz?'' seperti tidak percaya dengan apa yang Iin dengar.
''Iya mau pulang'' jawabku agak ragu dan kelu.
''Kenapa Ustadz mau pulang? Tidak kembali lagi?'' Iin semakin penasaran dalam keraguan.
Aku hanya mengangguk, dan air mata pun tidak terbendung lagi. Dengan berkaca-kaca aku katakan bahwa aku harus pulang. Madrasah di rumahku, punya paman, membutuhkan aku. Dan itu artinya pupus sudah rajutan kasih yang selama ini kita bina.
Tetapi cinta memang tidak harus saling memiliki. Sebesar apapun rasa itu, jika memang kita tidak ditakdirkan bersatu, maka cepat atau lambat akan berakhir. Akhir sebuah kisah cinta ini, akan menjadi ukiran prasasti kita hingga akhir kemudian. Dengan harapan, doa kita tetap saling menyertai.

''Maafkan saya Ustadz'' kata Iin sambil menarik tanganku dalam ciumnya. Sebuah keharuan yang luar biasa, antara dua insan yang saling mengungkap rasa. Aku hanya mampu menatap langit yang kelabu. Karena mendung menyiratkan keharuan akan suasana hati yang tenang dalam peluk cium dua insan yang saling menyinta.

Buat Iin, jika sempat membaca kisah ini, selamat berbahgia bersama pangeranmu.

No comments:

Post a Comment