Get Stories: http://mawarberduri99.blogspot.com

Wednesday, February 26, 2014

PENDAKI YANG GAGAL



PENDAKI YANG GAGAL
 
Penulis beserta teman-teman pendaki di Posko pendakian
Hari Rabu, 26 Februari 2014. Ya hari ini, sekitar jam 13.30, aku beserta rombongan berangkat dari lokasi SMPN 1 Masalembu, menuju gunung Masalembu. Mendaki. Ya, ada kegiatan mendaki gunung, sebagai latihan untuk menaklukkan Gunung Arjuno di Pasuruan Jawa Timur. Latihan ini sudah dilakukan beberapa kali oleh peserta Lintas Alam. Anggota Pramuka SMPN 1 Masalembu.

Beberapa hari sebelumnya, pendakian ini sudah direncanakan. Hal yang tidak lazim adalah, aku merupakan anggota baru, yang  baru pertama kali ikut, dalam kegiatan jelajah alam ini. Selain aku, Bapak Sulaiman Fajar juga merupakan anggota anyar, yang beru mencoba untuk turut serta dalam kegiatan Gudep Pramuka Tamphomas 2.

Kami serombongan, berjumlah 13 orang berangkat menggunakan motor. Setelah sampai di kaki bukit, kami pun meletakkan motor dan bersiap-siap memulai pendakian. Rombongan dipimpin oleh Bapak Maru'ei, aktifis pramuka yang berpengalaman di pendakian berbagai tempat yang lebih menantang.

Dalam hal persiapan, aku sepertinya yang paling ‘gawat’. Dengan tas ransel hitam di punggung, sepatu anyar, serta memakai topi. Di dalam ransel aku membawa dua botol air aqua. Juga ada hasduk, sarung, sajadah, dan sebungkus nasi. Tidak lupa juga headset untuk hiburan, dan buka agenda serta bolpen. Rencanya, aku akan menulis dari puncak gunung, sambil menikmati pemandangan yang tentu saja sangat indah.

Di kaki bukit, kami berdoa, semoga dalam pendakian tidak ada kendala. Jalan terjal pun kami lewati. Kami, para pendaki, dengan semangat 45, menjejakkan kaki dengan mantap dan tanpa ragu. Mereka sudah beberapa kali latihan. Nampak sekali kalau mereka begitu bugar. Tidak nampak lelah di wajah mereka. Sementara, aku sudah aempor(lesso ta’ kowat). Tenaga sudah terkuras. Padahal baru beberapa meter saja. Duh,...aku lelah. Capek. Tak bertenaga. Bahkan dalam benakku, rasanya aku sudah mau mati. Ya Allah,...

Dalam kepanikan yang luar biasa, aku sudah membayangkan sebuah kematian. Pohon-pohon di sekeliling terasa berputar-putar. Bumi serasa bergoyong. "Aku dalam sakratul maut," jerit hatiku.

Untung saja Pak Satimin paham akan kondisiku. Ketika kukatakan kalau aku serasa mau mati, ia berkata tegas padaku.

"Gak mungkin. Ayo kuantar turun aja!" Kata Pak Satimin padaku.

Aku menarik napas panjang. Serasa dadaku mau pecah. Maklum, tidak biasa olah raga. Langsung turun ke medan yang cukup menantang. Setelah beberapa lama mengatur napas, aku mencoba berdiri. Kakiku bergetar. Serasa tidak menjejak bumi. Bayang kematian kembali datang di pelupuk mataku.

Rencananya, aku akan diantar turun oleh Pak Maru'ei, berdua dengan Pak Satimin. Tapi aku menolak. Kasihan kalau anak-anak ditinggal. Lagi pula di sana ada Pak Sulaiman Fajar yang tidak berpengalaman. Maka aku katakan, biar Pak Satimin seorang yang mengantar. Daripada aku pulang sendiri, tapi kemudian aku sudah diketemukan menjadi mayat. Na'udzu billah!

Frizki, Zaqila, Rita, Ude, dan I'ik,--semuanya perempuan-- dengan semangat yang menyala, terus dan terus menapaki langkah demi langkah bukit terjal yang ada di hadapan mereka. Mereka sudah terbiasa. Itulah hikmah di balik latihan yang maksimal. Begitu juga dengan anggota pria. Leo, Hasbullah, Robby, dan Iyung, tanpa kenal menyerah terus melangkah membelah semak di lereng bukit yang curam. Sungguh, aku bangga dengan mereka!

Sementara, aku keok. Gagal dalam pendakian kali ini. Sebenarnya aku menyesal. Mengapa aku harus gagal. Tetapi, memang tidak boleh dipaksakan. Seperti yang diungkapkan oleh Pak Satimin, yang dengan didikasinya mengantarkan aku kembali ke kaki bukit, posko tempat kami memulai pendakian. "Aku gagal," desisku dalam perjalanan pulang dengan rasa sesal yang remuk.

"Jangan dipaksakan. Tapi, jangan berputus asa!" Pak Satimin mewanti-wanti, bagai hiburan kepada seorang anak kecil yang kalah dalam perang-perangan. Hehee,...

Masihkah aku bisa kembali mendaki di lain waktu? Sementara aku sudah gagal dalam pendakian kali ini? Meski begitu, aku bertekat bahwa, suatu saat nanti, gunung Masalembu yang hanya 'sejengkal' itu harus kutaklukkan.

Sendiri, aku menunggu di kaki bukit. Sungguh sebuah penantian yang mengecewakan. Aku gagal. Sementara mereka terus membelah gunung, menerjang bukit, dan menelusuri semak. Tentu diselingi dengan gurauan, gelak tawa, dan nyanyi riang hati yang terus berkumandang. "Ya Allah, serasa umurku sudah tidak berguna lagi. Padahal, aku ingin hidup seribu tahun lagi."

Kisah dari sebuah cerita.

Berikut ini adalah cerita dari sebuah kisah. Jam 16.30 sore mereka sudah datang. Wajah-wajah lelah tapi sumbringah nampak di depan mataku. Aku duduk di posko. Mereka pun larut dalam kisah dramatis pada pendakian mereka kali ini.

Bagaimana saat mereka menuruni tebing yang curam. Menerabas semak, berduri, dan berbatu-batu. Dengan keberaniannya yang luar biasa, mereka mampu menembus curamnya bukit, rimbunnya rebus, dan tingginya tebing.

Tentu saja aku kecewa. Hanya mendengarkan saja kisah-kisah yang mendebarkan. Bahkan, Pak Sulaiman Fajar harus dibantu pakai tambang untuk menuruni suatu tebing yang curam. Dalam.hati aku berkata, "Betapa sebuah pengalaman yang tidak mungkin terlupakan." Aku ingin melaluinya. Ingin menikmatinya. Betapa keinginan ini menghantam hatiku. Tapi, bisakah?

Sekitar jam 17.00 kami tiba di sekolah. Semua nampak lega. Meski lelah, mereka nampak bahagia. Gembira. Aku juga turut bahagia, meski aku gagal dalam pendakian perdana ini.

Selepas Maghrib, setelah baca Alquran aku bergumam,"Alhamdulillahi Robbil 'alamin." Aku masih bisa bernapas, sehat tak kurang suatu apa pun. Tekatku, suatu saat Gunung Masalembu, pasti aku taklukkan.

"Ternyata aku masih hidup. Terima kasih ya Allah!"
***

Anggota pendaki (Rabu, 26022014):

Maru'ri, Satimin, Sulaiman Fajar, Leonardo Ismi S., Robby Herman M., Hasbullah, Khairul Anam, Friski Layanti, Ega Desty, Nur Hasanah, Zaqilah, Rio Rita, dan Rusdi El Umar (reporter)
Pendaki putri dengan sejuta semangat

Mulai merambah pendakian

Gerbang tanjakan

I'ik dan Rio, pertama kali nyampek

Wajah sumbringah sesaat setelah pendakian

Gelar tampang di posko setelah lelah mendaki

Monday, February 24, 2014

HIKMAH SEDEKAH



HIKMAH  SEDEKAH


“Dik, aku mau berangkat ke pengajian!” Pamitku pada istri selepas sholat isya’ di mushollah dekat rumahku.
“Ya Mas. Pergi dengan siapa?”
“Sendirian saja.” Jawabku. “O ya, ada uang untuk bensin?” lanjutku sambil mengeluarkan vespa, motor bututku yang selalu setia menemaniku dalam segala aktifitas. Istriku masuk ke dalam kamar. Tidak lama kemudian kembali keluar dan memberikan dua lembar uang lima ribuan. “Lima ribu saja!” kataku sambil mengambil satu lembar lima ribuan.
“Tidak kurang Mas?”
“Gak. Cukup kok Insya Allah.” Jawabku.
Aku tidak tau bahwa ternyata bensin di motorku sudah krisis. Empty. Hanya tinggal sisa-sisa kehidupan yang sebentar lagi akan habis. Tapi akau tidak kwatir, karena sudah bawa uang untuk beli bensin.
Benar saja. Di tengah perjalanan, tiba-tiba motorku tersendat. Bahkan tiba-tiba mati dengan sendirinya. Aku mencoba memiringkan motorku. Alhamdulillah, hidup. Aku terus menuju tempat pengajian.
“Biar saja, nanti setelah pengajian aku beli bensin.” Batinku.
Sesampainya di tempat pengajian, aku memarkirkan motor vespaku di tempat yang telah disediakan panitia. Tidak berapa lama kemudian, pengajian pun dimulai. Seperti biasa, acara dibuka dengan acara pembukaan. Membaca surat al Fatihah. Diteruskan dengan pembacaan tilawatil Quran, dan pembacaan shalawat. Dan akhirnya, sampailah pada acara inti. Ceramah agama yang disampaikan oleh ulama kharismatik dari luar daerah.
Dalam cermah membahas tentang pentingnya bersedekah. Bahwa harta yang kita sedekahkan di jalan Allah swt. hakikatnya tidaklah berkurang. Akan tetapi, nanti di sisi Allah akan dibalas dengan berlipat kebaikan.
Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah melipat-gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rizki) dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan. (QS al Baqarah, 245)
Al Quran Surah al-Baqarah ayat 261, Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir , seratus biji. Allah melipat-gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Mahaluas (karunianya) lagi Maha Mengetahui.
Di akhir ceramah, panitia menarik sedekah bagi yang berkenan. Dengan beberap wadah kotak, surban, dan wadah lainnya. Beberapa panitia berjalan dari satu orang ke orang yang lainnya. Banyak sekali jamaah yang hadir  memberikan sumbangan. Mereka bagitu yakin dengan pembahasan tentang sedekah yang baru saja usai.
Aku berada di persimpangan. Antara memberikan sumbangan, uang terakhir yang semestinya aku persiapkan untuk membeli bensin. Antara ya dan tidak. Hatiku begitu menggebu ingin memberikan sedekah. Tapi motorku, meminta minum untuk melaju.
“Tidak usah disumbangkan. Kamu mau motormu didorong?” suara illusi di telinga kiriku.
“Sumbangkan saja. Kapan lagi ada kesempatan untuk menyumbang. Percayalah, sumbanganmu tidak akan sia-sia di sisi Allah swt.” di telinga kananku.
Keputusan akhirku adalah menyumbang. Dengan ikhlas. Apa pun yang terjadi dengan motorku, akan aku terima dengan lapang dada. Ada perasaan lega dalam hatiku. Dengan rasa ikhlas aku sumbangkan uang Rp. 5000,- untuk kemaslahatan masyarakat. Atau untuk lembaga keislaman lainnya.
Sekitar jam 10.00 malam, pengajian itu pun usai. Seluruh undangan terlihat puas. Mereka pulang ke rumah masing-masing dengan satu pemahaman baru, berkenaan dengan sedekah. Aku juga melangkah keluar dari tempat pengajian. Menuju vespa bututku. Dan aku pun pulang dengan hanya sisa bensin yang entah tinggal berapa meter lagi bisa melaju.
Benar saja. Sekitar lima belas meter aku mengendarai motorku, bensin sudah habis. Dan tentu saja aku harus mendorongnya. Tidak mengapa. Aku ikhlas karena Allah semata. Di dalam gelap, aku terus mendorong motorku. Hingga di pertengahan perjalananku ke rumah, tiba-tiba ada mobil berhenti tepat di sampingku. Aku heran. Siapa gerangan punya mobil mewah ini?
“Umar, kenapa motormu?” Fahri, temanku, menyapaku dari atas mobil mewahnya.
“Hee, kehabisan bensin.” Jawabku malu-malu.
“Ayo cari bensin dulu. Titip motormu di dekat warung itu!” Ajak Fahri. Aku sedikit bingung. Tapi akhirnya mau juga.
Tidak tanggung-tanggung. Aku dibelikan 5 liter bensin. Kata Fahri, sisanya biar dibawa pulang. Aku mengucap syukur. Alhamdulillah, masih ada orang baik di zaman seperti ini.
Sebelum pulang, aku diajak Fahri mampir ke rumah makan. Rumah makan mewah dengan aneka menu masakan yang bermacam-macam. Aku disuruh ambil makanan semaunya. Sepuasnya. Aku tahu, Fahri, temanku ini secara materi memang termasuk sukses. Entah di luar itu. Semoga, lahir dan batin juga bahagia. Aku pulang dengan motor penuh bensin, masih ada lagi sisa, serta seporsi makanan untuk istriku yang dibelikan Fahri.
“Ya Allah, hanya dengan uang Rp. 5000, Engkau balas aku dengan berlipat ganda.” Desahku sebelum berpisah dengan Fahri.
****



Sunday, February 23, 2014

KARMA



Sumber gambar: http://completeyourbridge.org/Articles/GPM5%20Karma%20Buster/GPM5_KarmaBuster.htm

Sebenarnya, Rafli adalah anak yang rajin. Anak yang pintar dan cerdas juga. Setiap tugas dan pekerjaan rumah selalu ia kerjakan dengan baik. Dan nilainya pun selalu baik.

Begitulah! Terkadang dalam diri seseorang ada suatu hal yang baik, di samping hal yang kurang dapat dipertanggungjawabkan. Ada yang pintar dengan segudang prestasi, tapi ia orang miskin. Ada juga yang kaya raya, tapi ia nakal dan memanfaatkan kekayaannya untuk hal-hal yang negatif. Ada juga yang tekun belajar dan rajin, tapi otaknya udang. Dan,...masih banyak yang lainnya.

Berbeda dengan Rafli. Ia anak yang cerdas, rajin, semangat, dan berprestasi di bidang akademik. Satu hal yang jelek, yang ada pada karakter Rafli adalah telat, terlambat. Bukan lemot; lemah otak, telmi; telat mikir, lola; loding lama, atau lekir; lemah mikir. Juga buka oda; otak udang. Tetapi, pastinya ia selalu datang terlambat dalam setiap ada acara di sekolahnya.

Entahlah! Tidak ada yang tahu pasti, mengapa Rafli sering datang terlambat. Dan anehnya, ia hanya 'diam' kalau ditanya, mengapa datang terlambat.

"Terlambat masih lebih baik daripada tidak sama sekali," suatu waktu Rafli berargument. Tris yang ada di sampingnya tertawa rendah.
"Emangnya Kau gak pernah merasa bosannya menunggu?"
"Gak kok!"
"Tapi, pernahkah Kau menunggu? Atau jangan-jangan selama ini hanya menjadi objek yang ditunggu?"
"Hem,..."
***

Begitulah kebiasaan Rafli. Ia tidak pernah berpikir bahwa kebiasaannya tidak baik. Dan bahkan bisa menyebabkan suatu hal yang bernilai negatif.

Dan akhirnya, karma itu satu persatu menghampirinya.

"Sudah berapa lama aku menunggu?" Ketus, Giska marah pada Rafli.
"Aku gak sengaja, Ka!"
"Tidak sengaja katamu? Setelah aku berkali-kali diperlakukan begini?"
"Maafkan aku, Ka!"
"Tidak! Saat ini juga kita putus!"

Giska, pacar Rafli sudah ada di puncak kesabaran. Ia tidak betah berpacaran dengan Rafli. Keterlambatannya, sering membuatnya menderita. Putus, adalah jalan yang terbaik baginya.

Rafli termangu. Ia tidak percaya dengan apa yang terjadi dalam cintanya. Ia ingin berubah. Ia tidak ingin hal lain yang terburuk terjadi padanya.

Tetapi, betapa sulitnya merubah kebiasaan. Telat dan terlambat masih selalu menyertainya. Meski ia berusaha untuk merubahnya. Kebiasaan itu begitu menyiksa.

"Bis sudah mo berangkat," sms Deri pada Rafli, dalam suatu acara sekolah. Rafli terperanjat. Ia terkejut. Masih belum mandi, belum bersiap-siap. Dengan tergesa-gesa ia mempersiapkan diri. Tapi, apa yang terjadi? Rombongan persahabatan sepak bola itu pun berangkat. Dan Rafli hanya bisa gigit jari. Esoknya, ia jadi tumpuhan kekesalan teman-temannya.

Bukan hanya itu. Rafli masih terus dalam kebiasaan telat dalam aktivitas kesehariannya.

Hingga pada suatu waktu, di sekolah diadakan acara pentas seni. Besok adalah rapat kegiatan tersebut. Bapak pembina OSIS, Bapak Fajar, mengultimatum para pengurus OSIS, bahwa besok jam 07.00 sudah harus berkumpul.

"Besok jam 07.00 sudah harus hadir di aula sekolah," begitu Pak  Fajar mengatakan saat itu.
"Harus disanksi Pak, bagi yang terlambat," Udin ketua OSIS mengusulkan.
"Benar! Bagi yang terlambat, akan dihukum gantung,... di Munas!" Pak Fajar berkata sambil tersenyum, tapi tetap serius. Semuanya menoleh ke arah Rafli. Ia hanya nenunduk.

Bagaimana  pada akhirnya? Apakah Rafli tidak terlambat? Kita tunggu besok di sekolah. Atau jangan-jangan Rafli akan menjadi yang kedua digantung di Munas. Kita lihat aja! Besok!

Sumenep, 15012013

Wednesday, February 19, 2014

MANUSKRIP NABI



MANUSKRIP NABI
 
Sumber gambar: http://alphandi6.wordpress.com/2009/04/03/manuskrip-surat-nabi-kepada-kaisar-heraklius/
Tiba-tiba cahaya hilang, lenyap. Mentari bersembunyi entah di mana. Gelap, keadaan begitu gulita. Aku meraba dan terus meraba. Mencari cahaya yang hilang. Menemukan cercah yang mungkin tertinggal. Sia-sia, cahaya itu lenyap begitu saja. Tanpa jejak. Tanpa pamit. Hilang bak ditelan malam.

Aku menoleh ke sana ke mari. Ke kanan, kiri, atas, di bawah tempat tidur. Di pojok-pojok kamar, di atas lemari, di balik tirai selambu. Gelap, masih pekat, halimun kegelapan mencuri penglihatanku. Aku mulai bingung, mencoba berpikir entah. Hirap cercah meluruh pekat. Gelap dan calemot[1]!

Aku menengadah. Langit tak berbintik, bintang tak tampak. Sedetik, kuperhatikan cakrawala, berderit pintu langit menyingkap tirai. Pintu pun terkuak, kelebat cahaya berpendar. Melayang, membawa obor keabadian. Mendekat, semakin dekat, dan hinggap di hadapanku. Begitu saja, sekitar pun benderang, memendar cahaya dari lontar langit yang turun bersama kelopak senja.
***

“Ini adalah pesan dari Muhammad bin Abdullah, yang berfungsi sebagai perjanjian dengan mereka yang memeluk agama Kristen, di sini dan di manapun mereka berada, kami bersama mereka. Bahwasanya aku, para pembantuku, dan para pengikutku sungguh membela mereka, karena orang Kristen juga rakyatku; dan demi Allah, aku akan menentang apa pun yang tidak menyenangkan mereka.

Tidak boleh ada paksa atas mereka. Tidak boleh ada hakim Kristen yang dicopot dari jabatannya, demikian juga pendeta dan biaranya. Tidak boleh ada seorang pun yang menghancurkan rumah ibadah mereka, merusaknya, atau memindahkan apa pun darinya ke rumah kaum muslim. Bila ada yang melakukan hal-hal tersebut, maka ia melanggar perintah Allah dan Rasul-Nya. Bahwasanya sesungguhnya mereka adalah sekutuku dan mereka aku jamin untuk tidak mengalami yang tidak mereka sukai.

Tidak boleh ada yang memaksa mereka pergi atau mewajibkan mereka berperang. Muslimlah yang harus berperang untuk mereka. Bila seorang perempuan Kristen menikahi lelaki muslim, pernikahan itu harus dilakukan atas persetujuannya. Ia tak boleh dilarang untuk mengunjungi gereja untuk berdoa. Gereja mereka harus dihormati. Mereka tidak boleh dilarang untuk memperbaiki gereja mereka dan tidak boleh pula ditolak haknya atas perjanjian ini. Tidak boleh ada umat muslim yang melanggar perjanjian ini hingga hari penghabisan (kiamat).”[2]
***

"Aku menemukan manuskrip ini," kataku pada temanku, Zidqi sore itu.
"Apa itu?" Zidqi penasaran.
"Manuskrip."
"Manuskrip apaan?" Zidqi mencoba merebut naskah kuno itu dari tanganku. Memegangnya, takjub, heran. Realitas sosialita dari manusia Agung, Rasulullah saw.

"Ini adalah pesan dari Muhammad bin Abdullah," kalimat indah dari serat kata yang berjimat wahyu. Jiwa manusia, rasa peduli sosial yang beliau kedepankan. Bukan Rasulullah sebagai keagungan purna yang Beliau ungkapkan, tetapi Muhammad bin Abdullah. Ana Abdullah[3], manusia biasa yang berempati luar biasa, dengan kehidupan biasa, tetapi dengan ruh ikhtiar yang sangat luar biasa.

"yang berfungsi sebagai perjanjian dengan mereka yang memeluk agama Kristen, di sini dan di manapun mereka berada, kami bersama mereka." Terjabarkan sebagai bentuk perjanjian, dengan kewajiban untuk memenuhi janji tersebut dengan sebenarnya.

"Berjanji kepada orang Kristen?" Zidqi masih tidak percaya.
"Benar kan? Manuskrip ini menjelaskan seperti itu." Aku mencoba menarik kesimpulan.
"Bukankah Kristen itu kafir dalam pandangan Islam?!" Zidqi seolah bertanya dalam nada pernyataan. Masih kulihat bingung.

Kemudian aku menjelaskan, bahwa orang kafir ada dua golongan. Kafir harbi[4] dan kafir dzimmi[5]. Kafir harbi adalah orang kafir yang selalu mengganggu dan menyakiti kaum muslim. Kafir ini yang harus kita tumpas, hingga mereka menyatakan siap untuk tidak mengganggu lagi. Sedangkan kafir dzimmi adalah orang kafir yang hanya tidak mengakui kebenaran Islam. Mereka tidak mengganggu, hidup dalam sosial kemasyarakatan, juga saling menolong dalam berkehidupan. Darah mereka, harus dilindungi.

Zidqi terdiam. Mungkin ia mencerna apa yang barusan aku katakan. Dan rupanya ia paham. Mengerti dengan apa yang berusan aku jelaskan. Meski tentu saja, sedikit banyak masih ada yang menganjal di benaknya, karena doktrin yang selama ini ia pahami akan memberikan dampak yang lebih dalam.

Rasulullah saw menyatakan bahwa Beliau bersama mereka. Orang-orang Kristen itu sebagai saudara. Sahabat yang seiya sekata, dalam urusan sosial kehidupan. Tentu, tidak dalam urusan aqidah. Maka, dusta apa yang masih disangsikan dalam pengakuan ini?

Sesaat Zidqi membolak-balik transkrip kuno yang ada di tangannya. Ada perasaan takjub di pikirannya. Ketika, dari naskah itu berpendar cahaya yang berkilauan. Cahaya kebenaran, berkas sinar keabadian.

"Dari mana Kaudapatkan naskah ini, Di?" Tak kusangka Zidqi menanyakan itu kepadaku. Aku tergeragap, tidak tahu mesti berkata apa. Kemudian aku menoleh ke arahnya, tersenyum, dan Zidqi pun turut tersenyum. Aku lega.

"Bahwasanya aku, para pembantuku, dan para pengikutku sungguh membela mereka, karena orang Kristen juga rakyatku; dan demi Allah, aku akan menentang apa pun yang tidak menyenangkan mereka."

Zidqi masih terlihat bingung. Ia memandang ke langit, ke arahku, kemudian ke manuskrip yang ia pegang. Membaca naskah kuno itu dengan saksama. Sekali lagi, dan sekali lagi, bahkan sudah berkali-kali. Hantinya masih diliputi tanda tanya yang tidak berkesudahan. Ternyata ada naskah agung yang jauh lebih menghormati sebuah makna toleransi. Arti dari sebuah ikatan sosial di antara kehidupan berbangsa, bernegera, dan beragama. Islam begitu toleran, mengakui hak asasi dari setiap individu, sehingga tidak semuanya dijadikan sebagai objek sama rata. Baik sebagai pemeluk Islam atau di luar Islam.

Rasulullah saw berjanji dalam sebuah tekat yang suci untuk membela kehormatan Kristen. Beliau akan terasa senang jika mereka (Kristiani) senang, dan merasakan susah jika mereka susah. Darah mereka perlu dibela dengan pertumpahan darah, bahkan dengan nyawa sekalipun. Subhanallah, Mahasuci Allah dengan segala kehendaknya!

“Tapi, bukankah Ibnu Taimiyah menghukumi haram orang yang mengatakan selamat hari Natal?” Zidqi masih bimbang. Doktrin yang selama ini ia pahami berkecamuk di dalam pikirannya dengan segala konsekuensinya. Mencoba membalik setiap persoalan yang logis menjadi samar. Sesamar persoalan mengucapkan “Selamat Hari Natal.”

“Itulah perbedaan, Qi. Ada semacam kaidah umum yang menyatakan bahwa di dalam perbedaan itu terdapat hikmah. Sehingga kita tidak merasa benar sendiri. Merasa menang sendiri. Orang lain salah, sedangkan ana[6] yang paling benar. Sebuah persoalan ananiyah[7] yang berarti egois dan individualis.” Aku mencoba menjabarkan makna khilafiyah[8].

Demikianlah, jika memang persoalannya adalah ucapan “selamat,” tentu hal ini jauh dari koridor aqidah, bahkan ada yang berani mengatakan bahwa ucapan itu jauh lebih dahsyat dan lebih “kafir” daripada orang berzina, korupsi, membunuh, mencuri, merampok, dan segala bentuk perbuatan dosa besar lainnya. Logika model apa ini? Sudah jelas terungkap pembelaan yang jauh lebih mendalam daripada hanya sekadar ucapan “selamat.” Bahwasanya sesungguhnya mereka adalah sekutuku dan mereka aku jamin untuk tidak mengalami yang tidak mereka sukai. Dusta apalagi yang mereka makarkan dalam keagungan naskah ini?
***

Berlalu sang waktu.
John adalah tetangga dekatku. Aku begitu akrab dengannya. Meski keyakinan kita berbeda, tetapi tidak membuat perbedaan itu sebuah pertentangan, perpecahan. John menghormati saya sebagai muslim, sebagaimana aku pun menghormati John sebagai kristian. Betapa indahnya ketika kita saling berbagi. Tanpa melihat status sosial individu. Tanpa memandang keyakinan dari diri kita masing-masing. Ada semacam perasaan yang terus memupuk rasa cinta, untuk terus berupaya memberikan yang terbaik bagi siapa saja. Lingkungan dan alam sekitar.

Masih terngiang beberapa waktu yang lalu, saat aku dan segenap kaum muslim merayakan Hari Raya Idul Fitri. Dengan senyum yang begitu indah, ikhlas, dan ikut bergembira, John datang bertandang ke rumahku.

“Selamat Hari Raya Idul Fitri, Di!” Ucap John sambil menjabat erat tanganku. Aku pun membalas jabatan erat tangan John dengan gembira. Aku tidak boleh menolak ucpan tulus John. Jika tidak, dimanakah timbal balik dan toleransi yang seharusnya kita berikan sebagai agama yang kaffah[9] dan berperinsip rasa sosial?

“Terim kasih John,” itulah jawabanku terhadap rasa kepedulian sesama teman.

Kebetulan saat itu, Zidqi juga bershilaturrahmi ke rumahku. Tentu ia juga berjumpa dengan John temanku. Zidqi sudah tahu kalau aku berteman akrab dengannya. Sebagaimana juga ia tahu, bahwa John adalah Kristiani yang juga berteman dengannya, meski tidak terlalu akrab.

“Selamat Idul Fitri, Zid!” John juga menyalami Zidqi pada saat itu. Dengan ucapan, ya dengan ucapannya yang tulus. Zidqi hanya diam. Terlihat ia agak kikuk, ada sesuatu yang tidak beres dengan perasaannya. Tapi, John tidak peduli. Kami pun akrab bercengkerama di beranda rumahku dengan aneka gu’ganggu’[10].

25 Desember
Sebagaimana biasa setiap tanggal 25 Desember umat Kristiani merayakan Hari Natal. Terlepas dari kebenaran hari lahir Yesus, Nabi Isa, maka pada tanggal tersebut oleh sebagian kalangan Nasrani diyakini sebagai hari lahir Yesus. Maka mereka berupaya untuk menyambut hari lahir tersebut dengan berbagai tradisi upacara yang mungkin saja, dari waktu ke waktu bisa mengalami perkembangan, atau pun perubahan.

Tak terkecuali dengan John. Ia juga tengah mengadakan misa, atau ritual keagamaan yang ia yakini. Di gereja, ya tempat John melakukan ritual ibadah agamnya. Aku yang beragam Islam, tentu saja tidak masuk dalam ritual tersebut. Tetapi, sebagai penganut Agama yang baik, aku tidak pernah mengganggu kegiatan greja dan lainnya. Biarlah, mereka melakukan ritual keagamaannya, sesuai dengan keyakinannya. Lakum dinukum waliya din.[11]

Hari itu, aku duduk-duduk bersama Zidqi di depan masjid Raya. Masjid yang begitu megah di kotaku. Setelah melakukan sholat Dhuha, aku dan Zidqi ngobrol apa saja. Termasuk juga manuskrip Nabi yang aku temukan beberapa waktu yang lalu.

“Kemrean aku membaca sebuah artikel. Irene Subandono, menjelaskan tentang hakikat Hari Raya Natal. Bahwa Yesus, Nabi Isa, tidak dilahirkan pada tanggal 25 Desember!” Zidqi dengan berapi-api mengatakan itu kepadaku.
“Terus, jika begitu?”
“Ya, tentu mereka salah!”
“Kalau mereka tidak mau dengan kesalahan yang mereka persalahkan?”
“Itu juga!”
“Apakah kita harus paksakan?”
“Tidak juga!”
***

Manuskrip Nabi, begitu indah pengakuan dan perlindungan itu untuk kaum siapa saja. Siapapun mereka, selama masih di dalam perlindungan Nabi, mengikuti aturan sosial Nabi pada saat itu, maka mereka akan aman, dan darah mereka dalam perlindungan yang teramat sangat. Ritual keagamaan mereka terlindungi, terpelihara di bawah pengawasan baginda Rasulullah saw.

Betapa naif, ketika persoalan sosial dibawa ke persoalan aqidah. Lebih-lebih lagi dengan segala cara, daya, dan upaya untuk memenangkan apa yang mereka ‘yakini’ kebenarannya. Pemahaman yang dipaksakan, kebenaran yang tidak boleh tiak harus mereka terima. Meski harus menyakiti hati temannya, tetangganya, saudaranya, atau pun orang lain yang tidak sekata dengan mereka.

Persoalan ‘selamat Natal’ tidak akan pernah selesai. Selalu ada, dan jika tidak akan terus diadakan. Dengan sengaja, mengharap adanya kekeruhan dan kekisruhan suasana. Maka, kekeruhan kondisi yang mereka ciptakan adalah bagian dari sebuah propaganda untuk menyerang, menindas, dan melukai orang lain. Na’udzubillah min dzalik![12]

Dari arah seberang, tempat aku dan Zidqi membahas persoalan ‘Selamat Natal’, Johan melambaikan tangan. Ia dan keluarganya, serta beberapa sahabatnya baru saja melakukan sembahyang di greja dalam rangka Natal. Dari wajahnya tersungging senyum kebahagiaan. Dengan ketulusan persahabatan, aku menyalami John.

“Selamat Hari Natal, John!” Aku berucap dengan senyum tulus. Zidqi yang ada di sisiku tidak tinggal diam. Ia pun menyalami John.
“Selamat,.....siang John!” John tersenyum, tertawa dan sedikit terbahak.
“Terima kasih, Sahabat!” Jawab John mantap, lugas!

Madura, 27 Desember 2013
***


[1] Bahasa Madura; gelap yang teramat sangat.
[2] Transkip ini saya salin dari sebuah artikel di blognya Mas Edi Akhiles
[3] Aku hamba Allah
[4] Keras, garis keras, yaitu orang kafir yang memerangi kaum muslimin.
[5] Perlindungan, orang kafir yang wajib dilindungi.
[6] Bahasa Arab; saya
[7] Egoisme, mementingkan diri sendiri
[8] Perbedaan pendapat di kalangan ulama Islam
[9] Meliputi seluruh alam, menyeluruh
[10] Bahasa Madura; camelan
[11] Bagimu agamu dan bagiku agamaku (QS. al-Kafirun)
[12] Aku berlindung kepada Allah dari hal tersebut.