Get Stories: http://mawarberduri99.blogspot.com

Sunday, April 14, 2013

ISTRIKU BIDADARIKU




Malam sudah semakin larut. Jam sudah mendekati tengah malam. Sesekali derap rintik hujan masih terdengar menyapu genteng rumahku. Musim hujan membuat suasana semakin hening. Aku masih saja berkutat di depan laptopku. Mencermati persiapan mengajarku untuk besok pagi. Maklum, besok aku kebagian supervisi. Jadinya, persiapannya harus benar-benar matang. Dari sejak tadi, istri dan ketiga anakku sudah pulas. Tidur dengan irama nafas yang teratur. Berlayar dengan alam mimpi masing-masing. Nampak mereka tenang dalam damai tidurnya.

Tidak berapa lama aku pun telah selesai dengan persiapan mengajar besok pagi. Ada perasaan lega. Lelah dan capek tiba-tiba datang menyergap. Aku pun menggeliat, beranjak ke pembaringan. Rasa pegal dan capek mengajakku untuk segera berhayal di dunia mimpi. Aku pun berbaring di samping istri dan anakku yang paling kecil. Kedua anakku yang lain tidur di kamar sebelah.

Tapi aku tidak bisa cepat-cepat tidur. Entahlah, alam pikiranku terus berjalan, menghayal jauh entah kemana. Aku pun tidak tau kenapa bisa begini. Resah pun jadi gelisah. Muara hayalku belum berlabuh di alam tidurku. Bantal pun terasa gerah, panas. Aku hanya  bisa bolak-balik di pembaringan yang terus saja terasa tidak nyaman.

Tiba-tiba anakku yang paling kecil merengek.

"Ma, mimik susu" katanya dengan logat bahasanya sendiri yang masih cadel. Maklum anakku yang bungsu ini berumur belum genap dua tahun. Tubuhnya mungil nampak seperti kurang gizi. Padahal dibandingkan dengan mbak dan masnya, dia paling terjamin gizi makan dan minumannya. Makannya pun dia banyak. Tapi biarlah, toh dia sehat-sehat saja tak kurang suatu apa.

Mendengar rengekan anaknya, istriku terbangun dan beranjak ke dapur. Sebentar ia melihat ke arahku yang juga masih belum tidur. Tanpa berkata apa-apa hanya sebuah senyum bangun tidurnya, ia terus pergi ke dapur. Membuatkan susu untuk si kecil. Tidak lama kemudian ia pun kembali sambil memberikan sebotol kecil susu hangat. Si kecil pun dengan tersenyum semangat menerimanya dan terus melahapnya.

"Eitt... jangan langsung mimik. Harus baca apa dulu?" cegah istriku dengan lembut. Si kecil hanya nyengir saja. Kemudian membaca bismillah seperti yang diinginkan mamanya.
"Bismillahirrahmanirrohim. Allahumma barik...." tentu dengan logatnya yang masih berlepotan.

Aku hanya tersenyum melihat itu semua. Ada rasa bangga ketika keluarga islami mengalir di relung keluargaku. Sungguh aku bersyukur dengan keadaan keluargaku.

"Alhamdulillah, tiada sia-sia didikanku selama ini. Istri yang sabar, setia, ikhlas, dan menerima apa adanya. Anak-anak yang sehat, cerdas, dan patuh kepada kedua orang tua". Bisikku dalam hati.

"Belum tidur Yah?" kata istriku melihat aku masih belum tidur dan masih mengelus-elus kepala si kecil.
"Belum Ma, baru selesai ngerjakan persiapan besok" jawabku sekenanya.
"Segera tidur pas Yah. Biar besok tidak ngantuk". Jelas istriku sambil merebahkan tubuh untuk tidur lagi.
"Ya Ma", jawabku. Padahal mataku masih belum bisa diajak istirahat. Hayalku masih terus menerawang.

Menjadi seorang istri itu bukan perkara gampang. Ada banyak pekerjaan yang menjadi tanggungan. Bukan sebuah kewajiban memang. Tapi seorang istri yang baik, tentu tidak akan tinggal diam dengan segala tanggung jawab di dalam sebuah rumah tangga. Maka pantaslah kalau Rasul saw bersabda,

"Sebaik-baik harta dunia adalah perempuan (istri) yang shalihah".

Tidak berapa lama kumandang adzan dari menara masjid terdengar. Istriku bangkit dari pembaringan. Aku pun mengkutinya. Menuju jeding untuk mengambil air wudhuk. Seperti biasa aku dan istriku sholat shubuh berjamaah. Sementara ketiga anakku masih lelap di waktu shubuh yang masih terasa menggigil.

Selepas sholat istriku seperti biasa mempersiapkan segalanya untukku dan anak-anakku. Memasak sarapan, menjerang air, membuat sayur. Belum lagi mempersiapkan keperluan anak-anak sekolah. Mempersiapkan mandi, menyiapkan sarapan, serta melayani si kecil jika akan pipis dan buang air besar. Sungguh sebuah pekerjaan yang teramat melelahkan jika kita kaji dan direnungkan.

Tapi istriku tidak pernah mengeluh. Dia lalui rutinitas keseharian dengan senyum. Itu yang membuat aku terkadang harus berpikir, bijak dalam hal banyak tingkah dan santun dalam kata dan sapa. Aku terkadang bersikap kurang baik dan bercakap kurang bijak. Tapi istriku tidak pernah mendendam.

"Ayah, ayo sarapan dulu" ajak istriku sambil beres-beres di meja makan.
"Baik Ma", jawabku sambil beranjak dari depan laptopku. Biasa, pagi-pagi browsing mencari berita-berita hangat atau sekadar update status di akun FB.

Kedua anakku sudah siap berangkat ke sekolah. Yang besar namanya Tiara, umurnya hampir sembilan tahun kelas empat SD. Adiknya kelas dua, berumur tujuh tahun lebih. Namanya Farhan. Kalau berangkat sekolah pasti selalu bersama-sama. Tentu, karena sekolahnya juga sekolah yang sama.

"Ayah, Mam, ... berangkat sekolah dulu. Assalamu'alaikum..." pamit kedua anakku dan tak lupa bersalaman.
"Wa'alaikum salam..." jawabku dan istri bersamaan.

Jam menunjuk angka tujuh kurang sepuluh menit. Aku pun berangkat ke sekolah untuk memberikan pelajaran kepada anak didikku. Tempat sekolahku mengajar tidaklah jauh. Hanya beberapa menit saja aku sudah sampai di kantor sekolah.

Di sekolah. Juga sebuah rutinitas. Sehari-hari kerja mengajar. Tidak ada pekerjaan lain. Ya, di sela-sela sibuk mengajar aku sempatkan untuk membaca. Kadang juga sempat menulis. Tetapi yang pasti tugas keseharianku adalah mengajar. Berkutat dengan lembar-lembar paket yang itu-itu saja. Tentu saja, terkadang rasa jenuh itu hadir dalam perasaanku.

Tapi apa hendak dikata. Mengajar adalah tugas dan kewajibanku. Jadi aku haru mampu mengusir rasa jenuh itu jauh-jauh. Melahirkan formula KBM dari yang semula bouring menjadi inspiring. Semoga saja apa yang aku lakukan mendapat berkah dari Allah swt.

Akhir-akhir ini dunia pendidikan dibikin heboh. Ribut dengan kurikulum baru. Ada yang pro ada juga yang kontra. Bahkan ada petisi untuk memprotes kurikulum tersebut. Entahlah jadi apa dunia pendidikan kita nanti. Semoga saja lebih baik, dan terus lebih sempurna.

Aku sendiri tidak terlalu pusing dengan perubahan kurikulum. Karena pada hakikatnya sebaik apapun sebuah konsep, tanpa dilandasi stigma pengabdian secara personal, maka model perubahan apapun namanya akan melahirkan kesia-siaan. Intinya sumber daya pengabdian personal yang harus dibangun menjadi paradigma pendidikan yang baik dan bijak.

Siang hari. Baru saja aku tiba dari mengajar. Hari begitu terik, setelah semalaman rintik hujan tiada henti. Cerah, beberapa lembar awan berkelebat, tapi tidak mampu menghalangi cerahnya mentari.

Selepas makan siang ditemani istri, aku duduk-duduk di serambi. Kulihat istriku sibuk mengumpulkan baju-baju kotor. Rupanya ia akan mencuci. Begitu  banyak, menumpuk baju dan celana yang kotor. Padahal tiap saat istriku selalu mencucinya. Terbersit dalam benakku,

"Mampukah aku melakukan hal banyak seperti istriku?". Gumamku terbang, melayang ke angkasa. Menyusuri langit jingga. Menyisiri bianglala. Karena yang dilakukan istriku bukan saja mencuci, tetapi juga banyak yang lainnya.

"Wanita itu unik. Anda dapati dia tersenyum seharian, tanpa mengetahui betapa dia menangis sepanjang malam".

Kalimat itu begitu menghunjam. Mencabik-cabik relung noraniku. Jiwaku karam dalam tangis yang panjang. Hatiku kelu mentahbiskan lelaku istriku yang tak mengenal lelah.

"Ma, istirahat dulu. Biar ayah yang nyuci", pintaku pada istriku.
"Gak apa-apa kok Yah. Mama juga gak ada kerjaan nih" jawab istriku. Jawaban yang begitu tulus. Setidaknya itu yang terberait dalam benakku.

Aku pun membantu istriku mencuci. Sebuah pekerjaan yang jarang sekali aku lakukan. Bahkan hampir tidak pernah aku lakukan. Ternyata mencuci itu bukan pekerjaan ringan, walaupun bukan pekerjaan yang teramat berat. Tapi dengan banyaknya cucian yang menumpuk, mencuci tentu bukan pekerjaan yang bisa dipandang sebelah mata.

Ternyata bekerja bersama-sama lebih membawa ke arah yang lebih positif. Ada emosional yang lebih dekat. Komunikasi yang lebih intens, dan hati yang lebih tulus dan lapang. Kebersamaan dari dua pemikiran yang disatukan melalui ikatan yang sah dan legal.

Malam sebelum tidur. Mata belum terpejam. Aku teringat kembali dengan peran berat seorang istri. Dari bangun tidur sampai tidur kembali, seorang istri tidak lepas dari aktivitas.

Bangun tidur, setelah shalat subuh ia telah harus mempersiapkan masakan untuk keluarga. Memasak mempersiapkan sarapan. Bersih-bersih rumah, menyapu lantai dan halaman sekitar, mengelap dinding dan kaca jendela. Mencuci barang-barang dapur yang kotor, dan membereskan semua tempat tidur.

Mempersiapkan anak-anak sekolah. Memandikan, merapikan pakaian seragam, menyetrika,  dan melayani mereka sarapan. Membersihkan si kecil yang pipis dan buang air besar, memandikan, dan menenangkannya jika ia rewel atau semacamnya.

Tak ada waktu untuk sejenak beristirahat. Cucian yang menumpuk, atau bahan makanan yang berkurang dan harus pergi  berbelanja. Maka aku harus berbisik pada desah angin, pada malam yang menggigil, pada kesabaran istriku,

"Maafkan aku sayangku, jika aku tidak belajar diam dari banyaknya bicara, tidak belajar tabah dari sebuah kemarahan, tidak belajar sabar dari suatu keegoisan, tidak belajar menangis dari sebuah kebahagiaan, dan tidak belajar tegar dari kehilangaan. Istriku adalah malaikatku dan istriku adalah bidadariku".

“Bangkitlah wahai jiwaku yang alpa. Sadarlah wahai noraniku yang salah. Yang selama ini tiada pernah menyadari akan peran serta seorang istri yang begitu setia, ikhlas, tulus, dan mengabdi semata-mata untuk kebahagiaan suami”.

No comments:

Post a Comment