Get Stories: http://mawarberduri99.blogspot.com

Friday, November 22, 2013

NYANYIAN KEMATIAN


Aku memagut-magut diriku di depan cermin. Pantulan bayang itu pun begitu sempurna. "Aku memang cantik," kataku dalam hati. Ada rasa percaya diri yang berlebih. Hingga rasa sombong pun membuncah, memenuhi relung hatiku. Maka, korban pun berjatuhan.

Malam itu, rembulan begitu sempurna. Purnama. Sinarnya menembus pekatnya malam. Aku menyusuri jalan setapak, di taman itu. Taman kota yang begitu ramai di malam purnama seperti ini. Meski sinar bulan itu berpacu dengan gemerlap cahaya lampu listrik. Tapi, sebagian orang masih menikmatinya. Apa lagi, di tempat remang ini.

Seorang laki-laki gagah menghampiriku. Rupanya ia sudah paham siapa aku. Kupu-kupu malam. Tawar menawar pun terjadi.

"Bayar di muka," aku berbisik kepadanya. Wajahnya lumayan tampan. Masih muda. Sudah terlihat buru nafasnya mulai meruah.
"Tidakkah seharusnya pasca main?"
"Tidak," jawabku tegas. Ia pun mengeluarkan dompetnya yang lecek.
***

Malam itu purnama ikut tersenyum. Bukan, bukan hanya tersenyum, tapi malah terbahak. Permainan pun sudah dimulai. Gerimis kematian menghunjam jantung bumi. Anyer darahnya menembus cakrawala malam.

Malam itu pun geger. Ketika  beberapa orang menemukan tubuh tak bernyawa. Tewas entah sebab apa. Matanya mendelik. Seperti menahan siksa yang luar biasa. Tidak ada luka. Tidak ada bekas apa pun yang dapat dijadikan indikasi sebagai siksaan, sebelum kematian. Di balik bayang rumpun bunga taman, aku tersenyum lebar.
***

"Mati dengan tiba-tiba?" Kata seseorang sambil sendekap memperhatikan mayat yang dimasukkan ke ambulan.
"Ya. Kenyataannya demikian," jawan yang lain.
"Kok bisa ya?"
"Entahlah. Emang aneh kok," jawabnya lagi.

Korban terus saja berjatuhan. Dimana-mana dan kapan saja. Malam, siang, sore, atau dini hari. Baik lelaki remaja, dewasa, setengah umur, atau pun sudah lanjut usia. Korban terus berjatuhan. Satu-satu nyawa bergelimpangan. Masih berupa misteri. Tidak dipahami mengapa bisa terjadi.

Aku masih terus saja dengan permainan ini. Permainan maut. Dengan modal cantik. Dan sedikit pasang aksi. Banyak sudah lelaki yang terpikat. Terjebak dalam pelukan kematian. Tiap detik adalah nyawa yang mungkin bisa melayang.

"Kemana Sri?" Rina tetanggaku menyapa saat aku keluar rumah. Mencari mangsa, korban. Atau hanya sekadar jalan-jalan.
"Hanya jalan-jalan kok," jawabku sekenanya. Tentu dengan senyum mautku. Senyum, yang sudah banyak meminta korban.

Menjelang malam. Senja mulai bertabur bintang. Aku duduk di depan rumah. Dua orang lelaki lewat. Lelaki hidung belang, penjaja cinta. Atau lelaki di gelap malam.

"Haii,..." Aku menggoda. Dengan segala pikat yang aku punya. Nampaknya, mereka masuk dalam perangkapku.
"Haii juga. Lagi ngapain?" Basa-basinya.
"Menunggu kalian," manja jawabku.

Mereka pun terjebak pada geliat kupu-kupu malam. Terperangkap di antara kepingan cinta yang gelap, palsu, dan menjaring kematian. Di depan rumahku, ada sebuah rumah tua. Kosong. Dan terlihat angker. Di sanalah tragedi berikutnya terjadi.

Pagi-pagi sekali, di rumah tua itu geger dengan kematian dua pemuda. Matanya terbuka lebar. Yang satunya lagi, lidahnya menjulur. Tidak ada tanda-tanda kekerasan. Misteri kematian.

Dari balik jendela, aku melihat kerumunan orang. Aku tersenyum. Senyum kemenangan. Tawa kegirangan. Korban pun berjatuhan. Entah sampai kapan.

Aku adalah Sri. Ya, hanya Sri. Orang-orang pun hanya memanggilku dengan nama Sri. Aku sebatang kara. Keluargaku meninggal semua. Dengan cara yang tidak wajar. Sangat mengenaskan.

Ayahku diketemukan di dalam sumur tua. Kedua tangannya terikat. Ada banyak bekas luka. Bekas siksaan. Entahlah. Sampai detik ini tidak dikatahui pelakunya. Polisi pun menyerah. Tidak mampu menemukan orang yang telah berbuat jahat terhadap ayahku.

Ayah orang baik. Tidak pernah berbuat salah terhadap orang lain. Rupanya, sang pembunuh mengincar uang di saku ayah. Terbukti uang sebesar lima juta, hasil menjual sapi, lenyap tak berbekas.

Berbeda dengan ibu. Ibu mengalami kekerasan seksual. Kecantikan ibu telah mendorong beberapa orang untuk berbuat senonoh. Mereka, para durjana itu membawa paksa ibuku ke sebuah kebun sunyi. Ibu mencoba berontak. Tetapi tenaga ibu tidak ada apa-apanya. Mereka memperkosa ibu hingga ibu tewas. Kali ini polisi berhasil menangkap seluruh pelakunya, sebanyak tujuh orang, dan menjebloskan mereka ke dalam penjara.

Adikku, yang baru berumur 6 tahun, juga tak luput dari kematian tragis. Untuk adikku ini, aku tidak dapat menceritakannya. Terlalu gamang dan sadis untuk kuceritakan. Aku bahkan selalu berbanjir air mata, tiap kali teringat tragedi tragis adikku. Biarlah menjadi kemelut hatiku, yang akan kujadikan lecut amarahku.

Ilmu hitam pun menjadi sasaranku. Aku berteman iblis. Memuja jamah jemari setan. Sihir dan guna-guna telah mendarah dan mendaging. Maka korban pun terus berjatuhan.

"Meninggal? Siapa yang meninggal?" Kasak kusuk orang-orang membicarakan tragedi maut. Semalam.
"Tetangga desa sebelah," jawab yang ditanya.
"Kenapa emangnya?"
"Gak tahu juga. Sudah tidak bernyawa saat diketemukan orang-orang."
"Ada bekas aniaya?"
"Gak ada."
"Aneh!"

Di antara kerumunan, hatiku tertawa lepas. Lega dan puas. Itulah yang aku harapkan. Melampiaskan kekesalanku pada para hidung belang. Biar aku lepas dari bayang-bayang tragis hidupku. Aku ingin mencari mangsa sebanyak-banyaknya. Mencampakkan mereka ke jurang kebinasaan. Biar luka hati ini terpecah, untuk mereka yang merelakan segala macam cara. Menghalakan yang haram, atau mengharamkan yang halal. Binasalah Engkau, wahai para penjahat kelamin.

Aku ingin tetap tegak. Dengan ilmu hitamku. Dengan segala dosa-dosaku. Aku tetap setia. Kepada iblis. Kepada setan. Kepada maksiat dan kemungkaran.

"Inilah aku," ucapku keras-keras. Sang pemuja kematian. Bagi mereka yang berhati belang. "Tunggulah kedatanganku," masih dengan api kebencian. Masih dengan derap sombong dan keangkuhan. Sebagai balasan, dendam, dan gemuruh hati yang tercampakkan.

Nyanyian kematian. Terus saja berdendang. Bergemuruh di antara gelap malam. Di bawah terang bulan. Bahkan di siang bolong. Mereka menjerit, melolong, mengaduh, menghembuskan nafas terakhirnya, dan merobek kafan kematian.

Sumenep, 17112013

No comments:

Post a Comment