"Dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya," itulah yang terkesan
dalam benak saya ketika buku Silabus Menulis Fiksi dan Nonfiksi sampai di
tangan saya. Betapa tidak! Pada tanggal 11 Agustus 2014 saya mengirimkan notif
ke ongkirsilabus.divapress@gmail.com. Tiga hari berikutnya saya dapat balasan,
kemudian tanggal 16 Agustus, buku yang dimaksud sudah ada di tangan saya.
Alhamdulillah, semoga buku ini menjadi motivator tersendiri bagi saya.
Sebelumnya sudah saya dengar tentang buku Silabi ini yang sempat
dibincangkan di sebuah blog. Tetapi tidak mudah bagi saya untuk mendapatkannya.
Dengan berbagai alasan yang tidak perlu saya sebutkan di sini. Tentu ada
kebahagiaan tersendiri bagi saya, jika pada akhirnya saya dapat memilikinya,
bahkan dengan cara yang sangat tragis (ehh...maksud saya gratis). Terima kasih
owner Diva Press, Edi Akhiles, semoga sumbangsih Anda menjadi best mu'amalah
yang bisa terganjar surga. Amin.
Bahasa dan bahasan yang gaul, ketika saya mencoba mencerna (baca: baca)
dalam buku silabus ini. Keren, dengan bahasa yang super sekali (pinjam
bahasanya Pak Mario Teguh). Bahasannya terkesan ringan, tetapi tetap pada jalur
silabi yang diinginkan. Bahkan, di dalamnya terkadang saya merasa dielus,
sekaligus dibantai (lhoo, kok bisa?). Seperti dalam bahasan 'Writer's Block, Ah
itu... Pada ending ekspresinya,
"....atau setop bercita-cita jadi penulis." (halaman 59)
Kalimat akhir di atas telah menampar passion saya untuk menjadi seorang
penulis. Kadang muncul rasa 'putus harapan', meski juga terkadang timbul greget
untuk terus berusaha. Harapan saya, semoga yang kedua ini yang mengemuka.
Selama ini saya merasa bahwa penulis artikel (nonfiksi), lebih hebat
daripada penulis fiksi. Tetapi, setelah saya membaca ulasannya di silabus ini,
baru saya pahami (?) bahwa ternyata penulis fiksi lebih baik daripada penulis
nonfiksi. Mengapa? Baca sendiri deh! Apa lagi bukunya gratis...tis...tis...
Kemudian, jika saya ditanya tentang kelebihan buku ini, maka jawaban saya,
"tidak ada!" Kurang pun apalagi. Tersebab oleh keterbatasan saya
untuk memilih dari sekian ulasan yang menurut saya tidak ada yang lebih. Pas?
Entahlah! Yang pasti saya langsung baca sampai tuntas. Tidak terlewatkan meski
hanya sekalimat. Inikah kelebihannya? Gak juga kan? Baca sampai tuntas, menurut
saya bukan sebuah kelebihan. Siapa pun bisa melakukannya. Bahkan, buku yang
tidak menarik (tidak berkwalitas) sekalipun bisa dibaca tuntas oleh siapa saja.
Baca buku ini tidak bikin stress. Malah akan merasakan santai dan terkesan
ringan. Ini juakah sebuah kelebihan? Terserah Anda deh. Karena setiap individu
punya rasa dan selera masing-masing. Malah, yang terkesan terlalu santai akan
berbenturan dengan kesan main-main. Hehee...?
Kurang lengkap kiranya, kalau saya juga tidak menyertakan 'kelemahan' dari
buku ini. Meski apa yang akan saya tuturkan, sungguh tidak mengurangi kualitas
dan identitas dari buku ini sendiri. Saya menemukan beberapa typo. Kesalahan
pengetikan adalah hal lumrah. Biasa. Namun, tidak harus dilumrahkan atau pun
dibiasakan.
Seperti kata 'cakrawaka' (cakrawala?) halaman 10 paragraf keempat. 'Bahasa'
(bahas?), halaman 11 paragraf keenam. Juga pada halaman 11 paragraf tujuh,
'tepi' (tapi?). Berikutnya halaman 44 baris paling buntut, 'analisasmu'
(analisamu?), halaman 48 paragraf terakhir, 'yaMaka' (ya, maka?), halaman 51
paragraf akhir 'memperlintiri' (mempelintiri?), halaman 66 baris dan paragraf
terakhir, 'bertama' (bertema?), dan halaman 68 paragraf tiga, 'menguntuingkan'
(menguntungkan?).
Masih ada beberapa typo lainnya, halaman 94 paragraf terakhir 'dua' (dia?),
halaman 99 paragraf terakhir, 'malakah' (makalah?), halaman 105, 'bermewahah'
(bermewahan?) dan 'bahwa' (tertulis dua kali), dan yang terakhir, halaman 123,
'masihkan' (masihkah?).
Ada hal yang rasanya 'kurang etis?' ketika penyebutan nama (artis) yang
terkesan negatif. Untuk yang terkhir ini, saya tidak bisa menyimpulkan sebuah
'ghibah', karena saya pun mengesankan hal yang seharusnya kita pahami, serta
menjadi tuntunan dan tuntutan untuk mawas diri.
Akhirnya, saya berterima kasih kepada Mas Edi Akhiles, yang telah memberikan
ruang baca kepada saya dengan buku gratis. Juga, 'nyo'on sapora' jika kesan
tulis saya ini kurang berkenan. Hanya sebuah keinginan agar punya semangat yang
menggebu seperti Mas Edi, dengan sebuah proses penulisan cerpen 'tanpa'
paragraf. Semoga pengalaman Mas Edi jadi penyemangat bagi saya untuk tetap
menulis, menulis, menulis, dan juga membaca. Salam dari jauh, ujung timur Pulau
Madura.
Sumenep, 24 Agustus 2014