Get Stories: http://mawarberduri99.blogspot.com

Monday, August 25, 2014

MERETAS SILABUS MENJADI PENULIS



"Dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya," itulah yang terkesan dalam benak saya ketika buku Silabus Menulis Fiksi dan Nonfiksi sampai di tangan saya. Betapa tidak! Pada tanggal 11 Agustus 2014 saya mengirimkan notif ke ongkirsilabus.divapress@gmail.com. Tiga hari berikutnya saya dapat balasan, kemudian tanggal 16 Agustus, buku yang dimaksud sudah ada di tangan saya. Alhamdulillah, semoga buku ini menjadi motivator tersendiri bagi saya.

Sebelumnya sudah saya dengar tentang buku Silabi ini yang sempat dibincangkan di sebuah blog. Tetapi tidak mudah bagi saya untuk mendapatkannya. Dengan berbagai alasan yang tidak perlu saya sebutkan di sini. Tentu ada kebahagiaan tersendiri bagi saya, jika pada akhirnya saya dapat memilikinya, bahkan dengan cara yang sangat tragis (ehh...maksud saya gratis). Terima kasih owner Diva Press, Edi Akhiles, semoga sumbangsih Anda menjadi best mu'amalah yang bisa terganjar surga. Amin.

Bahasa dan bahasan yang gaul, ketika saya mencoba mencerna (baca: baca) dalam buku silabus ini. Keren, dengan bahasa yang super sekali (pinjam bahasanya Pak Mario Teguh). Bahasannya terkesan ringan, tetapi tetap pada jalur silabi yang diinginkan. Bahkan, di dalamnya terkadang saya merasa dielus, sekaligus dibantai (lhoo, kok bisa?). Seperti dalam bahasan 'Writer's Block, Ah itu... Pada ending ekspresinya,

"....atau setop bercita-cita jadi penulis." (halaman 59)

Kalimat akhir di atas telah menampar passion saya untuk menjadi seorang penulis. Kadang muncul rasa 'putus harapan', meski juga terkadang timbul greget untuk terus berusaha. Harapan saya, semoga yang kedua ini yang mengemuka.

Selama ini saya merasa bahwa penulis artikel (nonfiksi), lebih hebat daripada penulis fiksi. Tetapi, setelah saya membaca ulasannya di silabus ini, baru saya pahami (?) bahwa ternyata penulis fiksi lebih baik daripada penulis nonfiksi. Mengapa? Baca sendiri deh! Apa lagi bukunya gratis...tis...tis...

Kemudian, jika saya ditanya tentang kelebihan buku ini, maka jawaban saya, "tidak ada!" Kurang pun apalagi. Tersebab oleh keterbatasan saya untuk memilih dari sekian ulasan yang menurut saya tidak ada yang lebih. Pas? Entahlah! Yang pasti saya langsung baca sampai tuntas. Tidak terlewatkan meski hanya sekalimat. Inikah kelebihannya? Gak juga kan? Baca sampai tuntas, menurut saya bukan sebuah kelebihan. Siapa pun bisa melakukannya. Bahkan, buku yang tidak menarik (tidak berkwalitas) sekalipun bisa dibaca tuntas oleh siapa saja.

Baca buku ini tidak bikin stress. Malah akan merasakan santai dan terkesan ringan. Ini juakah sebuah kelebihan? Terserah Anda deh. Karena setiap individu punya rasa dan selera masing-masing. Malah, yang terkesan terlalu santai akan berbenturan dengan kesan main-main. Hehee...?
Kurang lengkap kiranya, kalau saya juga tidak menyertakan 'kelemahan' dari buku ini. Meski apa yang akan saya tuturkan, sungguh tidak mengurangi kualitas dan identitas dari buku ini sendiri. Saya menemukan beberapa typo. Kesalahan pengetikan adalah hal lumrah. Biasa. Namun, tidak harus dilumrahkan atau pun dibiasakan.

Seperti kata 'cakrawaka' (cakrawala?) halaman 10 paragraf keempat. 'Bahasa' (bahas?), halaman 11 paragraf keenam. Juga pada halaman 11 paragraf tujuh, 'tepi' (tapi?). Berikutnya halaman 44 baris paling buntut, 'analisasmu' (analisamu?), halaman 48 paragraf terakhir, 'yaMaka' (ya, maka?), halaman 51 paragraf akhir 'memperlintiri' (mempelintiri?), halaman 66 baris dan paragraf terakhir, 'bertama' (bertema?), dan halaman 68 paragraf tiga, 'menguntuingkan' (menguntungkan?).
Masih ada beberapa typo lainnya, halaman 94 paragraf terakhir 'dua' (dia?), halaman 99 paragraf terakhir, 'malakah' (makalah?), halaman 105, 'bermewahah' (bermewahan?) dan 'bahwa' (tertulis dua kali), dan yang terakhir, halaman 123, 'masihkan' (masihkah?).

Ada hal yang rasanya 'kurang etis?' ketika penyebutan nama (artis) yang terkesan negatif. Untuk yang terkhir ini, saya tidak bisa menyimpulkan sebuah 'ghibah', karena saya pun mengesankan hal yang seharusnya kita pahami, serta menjadi tuntunan dan tuntutan untuk mawas diri.

Akhirnya, saya berterima kasih kepada Mas Edi Akhiles, yang telah memberikan ruang baca kepada saya dengan buku gratis. Juga, 'nyo'on sapora' jika kesan tulis saya ini kurang berkenan. Hanya sebuah keinginan agar punya semangat yang menggebu seperti Mas Edi, dengan sebuah proses penulisan cerpen 'tanpa' paragraf. Semoga pengalaman Mas Edi jadi penyemangat bagi saya untuk tetap menulis, menulis, menulis, dan juga membaca. Salam dari jauh, ujung timur Pulau Madura.

Sumenep, 24 Agustus 2014

No comments:

Post a Comment