Get Stories: http://mawarberduri99.blogspot.com

Wednesday, September 10, 2014

GEMA MALAM BERTAKBIR



PURNAMA SURGA BERTAUT

Senja di ujung kisah
Menjaring pelangi, runcing mentari
Mendawai mahligai purnama
di telaga maghfirah Ilahi

Sirah sebening istighfar
dendang nafiri berlabuh rindu
pucuk cintanya-Nya, redam angkara
di ruas sang waktu, di bibir malam

Ramadhan!
Bias dendang kelana jiwa
menyuluh kasturi, di rimba kasih
bertaut Rahmat-Mu, menebar cakrawala
melarung keabadian berhulur kasih

Bulanku, purna!

Purnama bergurat syahadat
Gemerlap dedaun, berpadu ampunan
berderai meneriak kawah rindu, melebur jiwa
lelangkah berselip lidah retak
berpucuk tirai sekerat ‘istighfar’

Rmadhan!
Marhaban ya cahaya surga
Tarian bidadari, jamah malaikat
Munajat shalawat, di mihrab cinta
Berkidung nyanyian mahligai rindu

Tirai ampunan, bertalu doa
Bertakbir salam, ya Allah!
Taut rinduku sebening hasrat
Di lembar pucuk ramadhan

‘Pintu ridha-Mu, surga berdawai
siluet tirai maaf, dari kobar nyala api-Mu’

BTP 28072014

Pagi di musim kemarau. Angin sepoi, semilir menggigilkan tubuh ringkihku. Setelah sholat subuh, Mbak mengajakku untuk pergi ke bawah pohon asam (nyandha' accem; Madura). Mengharap ada beberapa buah asam yang jatuh. Tentu, buah asam yang sudah masak, menjadi bagian dari rejeki kami saat itu. Dikumpulkan untuk beberapa hari lamanya. Kemudian dibawa ke pasar untuk dijual ke pedagang.

Embun musim kemarau masih menetes. Aku masih terlalu kecil saat itu, untuk merasakan makna hidup. Maka, ketika kudapatkan sebuah asam, buah kecut itu menggugah seleraku. Aku pun memakannya. Di pagi itu, kala mentari masih belum menampakkan diri.

"Lho, kok dimakan?" Kata Mbakku sambil menggendong adikku yang masih kecil.
"Kenapa?" Aku tidak mengerti.
"Kan kamu puasa?"
"Kan masih malam, Mbak!"
"Tidak boleh!" Jawab Mbakku sambil menjelaskan batasan-batasan puasa.

Ya, benar. Saat itu bulan Ramadhan. Semua orang Islam sedang melaksanakan ibadah puasa. Dalam benakku, puasa hanya tidak boleh makan pada waktu siang. Maksudku, saat matahari pagi belum nampak, aku kira, masih bisa makan dan minum. Maklum, aku masih begitu kecil, belum sekolah. Tapi sudah diajari untuk melaksanakan puasa.

Pada saat musim asam berbuah, di dekat rumahku ada sebuah pohon asam yang sangat besar. Kami, aku dan teman-teman sebayaku, biasa nongkrong di bawah pohon asam besar itu. Menunggu angin lewat, dan beberapa buah asam yang sudah matang berguguran. Dan kami berebutan. Gembira. Meski terkadang buah asam itu hancur karena diperebutkan. Kebahagiaan masa kanak-kanak kami begitu membekas. Tetap terbayang hingga waktu yang tak berhingga.
***

Hari Raya Idul Fitri tinggal beberapa hari lagi. Seharusnya, kebahagiaan datang menghampiriku. Berangan baju baru, celana baru, songkok baru, dan lain-lain yang serba baru.

Namun, lebaran kali ini kebahagiaan itu harus kupendam. Pasalnya, sampai detik ini, hari raya tinggal dua hari lagi, orang tuaku belum membelikanku pakaian baru. Ingin rasanya aku menangis, bila mendengar teman-temanku membicarakan baju barunya masing-masing dengan rasa bangga. Ya, dengan rasa bangga.

"Bajuku warna merah. Ada garis-garis hitam di depannya." Kata Fudali.
"Kalau bajuku warba hijau. Kerahnya hitam." Arifin menimpali.

Aku hanya jadi pendengar. Aku sudah yakin, lebaran tahun ini tanpa baju baru. Ingin rasanya aku menangis. Berteriak minta dibelikan baju baru. Namun, aku tahu kondisi ayah dan ibuku. Bukan mereka tidak mau membelikan baju baru untukku. Tetapi, uangnya yang tidak memungkinkan. Kemiskinan telah merajai kondusi keluargaku.

Malam hari raya.

Hari Raya Idul Fitri tinggal beberapa hari lagi. Seharusnya, kebahagiaan datang menghampiriku. Berangan baju baru, celana baru, songkok baru, dan lain-lain yang serba baru.

Namun, lebaran kali ini kebahagiaan itu harus kupendam. Pasalnya, sampai detik ini, hari raya tinggal dua hari lagi, orang tuaku belum membelikanku pakaian baru. Ingin rasanya aku menangis, bila mendengar teman-temanku membicarakan baju barunya masing-masing dengan rasa bangga. Ya, dengan rasa bangga.

"Bajuku warna merah. Ada garis-garis hitam di depannya." Kata Fudali.
"Kalau bajuku warba hijau. Kerahnya hitam." Arifin menimpali.

Aku hanya jadi pendengar. Aku sudah yakin, lebaran tahun ini tanpa baju baru. Ingin rasanya aku menangis. Berteriak minta dibelikan baju baru. Namun, aku tahu kondisi ayah dan ibuku. Bukan mereka tidak mau membelikan baju baru untukku. Tetapi, uangnya yang tidak memungkinkan. Kemiskinan telah merajai kondusi keluargaku.

Malam hari raya.
Aku pasrah tanpa baju baru. Meski hati ini menangis. Meski perasaan begitu membuncah. Harapan sekali dalam setahun. Tak berwujud. Biarlah. Sudahlah.

Di beranda rumah. Aku duduk bersama ibu dan adikku. Ibu dengan cinta mengelus keningku. Kulihat telaga matanya mengembang. Tidak, ibu bukan menangis. Aku tahu, ibu adalah orang yang tegar.

"Sabar Nak!" Kata ibu sambil membelai rambutku. Aku hanya diam. Adikku yang belum bisa bicara bermain mobil-mobilan di lantai. Ya, lantai tanah yang penuh debu. Siang tadi aku buatkan mobil-mobilan untuknya dari buah 'nyamplong'. Dan kulihat adikku menyukainya.

Allahu Akbar...Allahu  Akbar...
Walillahil hamd!

Takbir berkumandang di malam lebaran. Di menara-menara masjid. Di surau dan langgar. Juga di lapangan. Besok, semua orang Islam merayakan kemenangan. Kebahagiaan telah lulus melaksanakan ibadah puasa. Sukses menahan godaan iblis dan setan. Aku pun begitu. Tidak sehari pun aku lepas dari puasa Ramadhan. Alhamdulillah.

Saat semua teman-temanku bergembira. Aku hanya termangu. Ah, tidak. Aku pun bahagia. Aku tetap gembira meski tidak harus berbaju baru. Tidak mengapa. Aku tetap bahagia. Aku tunjukkan kebahagiaanku pada ibu. Dengan menyalakan kembang api yang dibelikan Paman, beberapa hari yang lalu. Oh, ternyata bahagia itu tidak harus berpakaian baru.

"Bu, Ayah kemana?" Dari siang tadi aku tidak melihat Ayah. Aku tidak tahu kemana Ayah seharian, hingga malam lebaran ini pun belum datang.
"Gak tahu," jawab ibu menggeleng. Senyum seakan dipaksakan dari raut bibir ibu.

Belum lama kami membincang Ayah, ia tiba-tiba muncul dari balik gelap malam. Cahaya patromak meyakinkan itu adalah Ayah.

"Ayah,..." Aku berteriak pada pada ibu. Antara gembira dan kegetiran yang tidak menentu.

Dengan wajah sumbringah, ayah membuka bungkusan plastik yang dibawanya. Allahu Akbar, pekikku dalam hati ketika kulihat apa yang dibawa ayah. Baju baru, sarung baru, songkok baru, dan juga sandal jepit baru. Untukku, untuk adikku, juga untuk ibu.

"Alhamdulillah. Ya Allah, terima kasih, telah Engkau berikan padaku Ayah dan Ibu yang menyayangiku tanpa batas!"

Jauh setelah aku besar, baru aku tahu bahwa Ayah mendapat uang untuk lebaran saat itu dengan cara menggadaikan barang berharga milik Ayah. Terima kasih Ayah!

Sumenep, Juli 2014

No comments:

Post a Comment