Get Stories: http://mawarberduri99.blogspot.com

Sunday, September 28, 2014

NYANYIAN HUJAN





Anak itu mendekap tubuhnya yang ringkih. Terlihat raut wajahnya, gigil menahan hempasan dingin yang membakar. Di tangannya, dalam bungkusan plastik kecil hitam, ia menggenggam uang tiga ribu perak. Sesiang ini, hanya satu orang yang menggunakan jasanya. Sewa payung.

Hujan masih terus mengguyur. Di sudut peron ia berdiri gelisah. Bukan! Bukan karena rezeki di hari itu terasa seret. Tetapi, jauh dalam pikirannya, ia gundah. Resah terus bergelayut dalam benaknya.

"Dik! Payung, Dik!" Tanpa disangka seorang ibu muda memanggilnya. Tergesa ia menghampirinya. Ibu muda itu ingin menyeberang, dan menaiki taxi di seberang stasiun.

"Berapa, Dik?"
"Dua ribu," jawabnya sambil mengacungkan dua jari tangan kanannya. Ibu itu menyerahkan uang lima puluhan ribu. Ia terperanjat.
"Tidak ada kembaliannya, Bu!" Ia berkata sambil menelan ludah. Kerongkongannya terasa kering, di antara gerimis yang terus merinai.
"Ambil saja. Gak usah dikembaliin," jawab ibu itu sambil tersenyum. Cantiknya menghilang setelah pintu taxi rapat tertutup.

Tanpa sengaja air matanya meleleh. Tidak ada yang tahu, karena gerimis masih menghempas saat itu. Ia pun berbenah. Disaksikan kursi-kursi yang diam di peron. Tiang besar atap stasiun yang juga terlihat kuyup. Lelah, berselimut dingin di siang menjelang sore itu.

Sejak pagi ia belum makan. Tapi ia tidak merasa lapar. Tepatnya, ia sanggup menahan lapar. Bukan hanya sehari. Tapi juga bisa lebih dari itu. Tubuhnya, semakin terlihat kurus. Tapi ia tetap lincah di antara derai dan gerimis hujan.
***

"Assalamu'alaikum. Ibu, Adi pulang," suaranya lantang. Ada semacam daya dalam ungkapan katanya.
"Wa'alaikum salam. Tumben siang-siang udah datang?" Parau suara ibu terdengar di balik pintu rumahnya. Bukan rumah ding! Tapi gubuk.
"Ya, Bu. Adi bawa obat untuk ibu. Juga membeli nasi bungkus. Ada ayam goreng kesukaan Fani."

Fani yang masih berumur lima tahun itu mengambil handuk untuk kakaknya. Ia pun menyiapkan air panas untuk sang kakak. Selepas mandi, Adi menceritakan kisahnya di hari itu. Bahwa dari pagi hingga menjelang siang, baru mendapatkan satu pelanggan. Bahwa setelah itu, ada ibu muda yang menggunakan jasanya. Bahwa, ibu muda itu memberikan uang lima puluh ribu dan tidak minta kembalian.

"Alhamdulillah," ibu yang sudah agak sehat itu mengucap syukur. Selama dua hari lamanya ia tidak bisa bekerja. Maka, anaknya, Adi, yang masih duduk di kelas lima itulah yang pontang panting mencari kehidupan.

"Besok, Insya Allah, ibu sudah bisa bekerja. Mari kita nikmati dan kita syukuri rezeki Allah hari ini." Nasihat ibu sambil membuka bungkus nasi hasil kerja anaknya. Adi dan Fina pun makan bersama-sama di sore itu. Gerimis masih terus menghempas. Payung Adi menggantung di balik pintu gubuknya. Hujan masih terus menyanyi.
***

Ah, anak itu membuat aku rindu. Ya, rindu akan celoteh manja seorang anak. Sekian lamanya aku berumah tangga, namun si buah hati belum kunjung ada. Terkadang, gerimis air mata bercucuran di saat malam melanglang.

"Sudahlah Rifka, Tuhan masih belum berkenan," begitulah suamiku selalu membujukku. Untunglah aku punya suami yang sabar. Mengayomi, sekaligus mencintaiku apa adanya.

Hujan mulai reda.
Dari dalam taksi aku melihat gumpalan awan putih. Tetapi gerimis sudah pergi. Mentari masih tertunduk malu di balik sisa awan hujan seharian. Tiba-tiba air mataku menderas. Entahlah!

Beberapa menit kemudian aku sudah sampai di depan rumahku. Ya, rumah yang terbilang mewah. Rumah yang selalu kurindu. Karena pada setiap senja, suamiku datang untuk sebuah cinta yang tulus. Tetapi, masih ada yang kurang. Ya, di rumah besar itu tidak terdengar tangisan anakku.
***

"Ibu,....Adi pulang!" Dari jauh Adi sudah memanggil-ibunya. Ia ingin memperlihatkan nilai rapotnya akhir tahun ini. Ya, Adi masih terus sekolah. Ia pantang menyerah. Ditinggal bapaknya, memang kehidupan Adi berubah. Ia yang sekarang menjadi tumpuan ibu dan adiknya.

"Ada apa, Nak. Kok teriak-teriak dari jauh," jawab ibu saat Adi sudah berada di dekat ibunya.
"Adi dapat juara lagi, Bu. Nih lihat, nilai Adi bagus semua," jelas Adi begitu sumbringah. Terlihat dari sinar matanya yang memancar.

"Syukurlah, Anakku!" Jawab ibu parau. Terharu dengan prestasi anak lelakinya ini. "Andai bapakmu masih hidup," pikir ibu sambil menengadah. Tak kuasa air matanya meruah oleh keadaan yang tidak ingin ia jalani. Tetapi nasib telah menyeret mereka ke dalam penderitaan hidup.
***

Selepas dari sekolah.
Adi bersiap menuju stasiun. Hari begitu gelap. Tumpahan curah hujan mulai meruah satu demi satu.

"Bismillah," langkah Adi menyusuri jalanan becek. Menuju stasiun. "Semoga banyak rejeki hari ini," doanya dalam hati. Adi berjalan kaki menyusuri jalan raya yang tidak begitu ramai. Mungkin karena hari hujan. Hanya sesekali motor dan mobil melintas. Derunya ditingkahi gemuruh hujan yang semakin menderas. Di tangannya, dua payung hitam ia genggam.

Sesaat sebelum menyebrang ke arah stasiun, tiba-tiba sebuah mobil berhenti di sampingnya. Adi heran. Ia tidak punya keluarga kaya. Tepatnya, ia tidak tahu. Ibunya tidak pernah menceritakan siapa-siapa. Kecuali bapaknya, yang selalu dibanggakan oleh ibunya.

Pintu mobil itu terbuka. Pas di depan matanya. Adi semakin bingung. Seorang ibu muda, tersenyum ke arahnya.

"Masuklah, Nak!" Ibu muda itu berkata lembut. Tapi Adi bingung. Bahkan mulai timbul kecurigaan.

"Maaf, Bu. Saya harus bekerja," jawab Adi apa adanya. Herannya, Adi tidak kuasa menolak, melihat ibu itu berlinang air mata. Adi semakin bingung, dan menuruti keinginannya.
***

Kupandangi anak itu dengan saksama. Aku merasa ada darahku yang turut mengalir di nadinya. Aku tidak tahu, mengapa hal ini bisa terjadi. Aku melihat kecerdasan pada sinar matanya. Dan itu pulalah yang membuat aku semakin terharu. Aku ingin mendekapnya, bagai anakku sendiri. Tetapi, apakah anak ini suka? Tuhan, pengaruh anak begitu menghunjam nuraniku.

"Makanlah, Nak," kataku bergetar, haru tiba-tiba kembali menyeruak. Adi hanya mengangguk, kemudian.berpaling kepada bapak di sebelahnya. Bapak itu pun tersenyum. Terasa tulus di sudut hati Adi.

"Makanlah, di luar masih hujan," jawab bapak itu tak kalah lembut. Adi semakin salah tingkah. Seakan hari ini ia bersua dengan dua malaikat. Ia pun teringat dengan ibu dan adiknya.

"Tapi,...." Kata Adi tidak melanjutkan.
"Tapi apa? Katakanlah pada ibu." Adi kelihatan ragu. Tapi kemudian ia mengatakannya.
"Saya teringat ibu dan adik di rumah," Adi terlihat menarik napas.
"Oh, itu. Tidak usah kwatir. Nanti adik dan ibumu, kamu bawakan makanan dari sini."

Adi pun tidak ragu. Ia makan dengan lahapnya. Dari pagi, ia memang belum makan. Hanya beberapa jajanan kering saat ia di sekolah.

Aku kembali memperhatikan anak di depanku. Aku tidak berselera makan. Kulihat suamiku juga demikian. Kami terbiasa makan di rumah.

Kembali terngiang celoteh anakku yang tak kunjung datang. Maka, Adi yang sekarang ada di depanku telah menjelma buah hatiku. Meski sampai detik ini, aku tidak tahu siapa dia sebenarnya. Tetapi benang kasih itu telah berurai di setiap tarikan napas Adi.

Kini aku semakin paham, kalau ternyata Adi tinggal bersama adik dan ibunya. Dari cerita Adi, bapaknya telah tiada. Maka, Adi kecil harus mencari uang sendiri. Dengan cara apa saja, yang penting halal. Juga dengan menyewakan payung di musim penghujan.

Hujan di luar restoran mulai reda. Tinggal titik-titik gerimis yang semakin lesap. Adi pun pamit pulang. Karena hari sebentar lagi akan malam. Aku hanya mengangguk, saat Adi ijin pulang. Kuselipkan uang dua ratus ribu di saku bajunya. Kulihat Adi terkejut. Tidak percaya. Tapi, bagiku uang itu tidak seberapa.

Aku lihat Adi berjalan riang. Di antara gerimis yang masih mengundang. Aku dan suamiku saling pandang.

"Bagaiman kalau kita antarkan saja anak itu?" Usul suamiku. Tidak menunggu lama, aku pun mengiyakan.

Tidak berapa lama, karena memang rumah Adi tidak jauh dari tempat itu, akhirnya kami pun sampai. Hujan tak lagi bernyanyi. Benar-benar senja yang indah.

"Ibu,...." Adi berteriak memanggil ibunya sebelum turun dari mobil. Dan seseorang separuh usia beserta seorang putrinya, terpaku heran di ambang pintu. Aku pun turun. Mendekati seseorang yang tidak mungkin aku lupa. Aku pun menghambur, menangis, memeluk embakku sendiri.

"Embaaaa....k,"
*** 

Sumenep, 28092014

No comments:

Post a Comment