Dalam sebuah kisah diceritakana bahwa isteri Mu`adz Ra
memberikan sebuah apel yang telah digigitnya terlebih dahulu kepada pembantunya
yang laki-laki. Isteri Mu`adz tidak sampai berpikir yang bukan-bukan dengan
perbuatannya itu. Sehingga apa yang ia berikan merupakan perbuatan yang
biasa-biasa saja, apa lagi si pembantu laki-lakinya itu sudah lama bekerja
padanya.
Namun tidak demikian dengan Mu`adz. Ia tidak membenarkan
perbuatan isterinya tersebut karena menurut analisis Mu`adz RA akan terjadi
suatu pemikiran yang tidak-tidak terhadap pembantu laki-lakinya itu. Seperti
bisa saja ia berpikir dan membayangkan mulut dan bibir istrinya. Di samping
sang isteri yang masih belia dan bisa dikatan cantik, maka hal itu tidak
dibenarkan oleh Mu`adz kareana kurang baik memberikan sesuatu yang telah
digigitnya lebih dahulu. Kalau memang harus dibelah dua, maka sebaiknya gunakan
pisau atau benda lainnya. Demikian Mu`adz menjelaskan kepada isterinya. Dan isteri yang setia dan patuh kepada
suaminya berjanji tidak akan berbuat yang demikian terhadap pembantunya atau siapa saja.
Secara sosial memberikan buah yang telah digigit
terhadap siapa saja kurang baik dan kurang menghargai. Oleh karena itu
perbuatan seperti itu sebaiknya dihindari, kalau tidak bisa dibilang harus
dilarang.
Logikanya, bila seseorang memberikan sisa makanan yang
secara fisik dapat dipahami adanya bekas sentuhan mulut, dan atau sentuhan
tangan yang kurang hormat, seperti bekas jari yang nampak jelas pada suatu
makanan, maka hal yang seperti itu kurang baik. Dan seharusnya dihindari untuk
memberikan kesan yang hormat dalam memberikan sesuatu.
No comments:
Post a Comment